Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Morning Breeze - part 1

"Asty..ini udah jam berapa? Kenapa belum berangkat?" Suara mama yang sudah ke sekian kalinya berteriak, membuatku tersadar dari lamunan panjang di depan cermin besar di kamarku. Menatap sosok perempuan berkulit kuning langsat yang mempunyai tubuh tidak terlalu tinggi, dan rambut ikal sebahu dengan poni di jepit ke belakang.

Hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, aku tidak semangat sama sekali berangkat kerja. Padahal biasanya dua jam sebelumnya aku sudah berada di rumah sakit. Ah, kenapa juga harus aku yang gantiin mbak Fani jadi asisten dokter tebar pesona itu sih. Kenapa nggak Corry yang sampai mimpi-mimpi supaya bisa tiap hari berada di posisiku sekarang.

"Belum berangkat juga dek? Mau di pecat?" Mbak Dayu mengintip dari pintu kamarku yang sedikit terbuka. Aku hanya tersenyum tipis menatap wajah cantiknya yang terlihat lelah.

"Ini mau berangkat mbak, keenan udah ke sekolah?" Aku menanyakan keponakanku yang berumur 5 tahun.

Mbak Dayu adalah kakak perempuanku dan dia berperan sebagai single parent sekarang karena suaminya yang brengsek meninggalkannya untuk wanita lain yang menurutnya lebih seksi. Cih. Menjijikkan.

"Kamu kenapa nggak semangat gitu?" Mbak Dayu melangkah masuk dan duduk di pinggir tempat tidurku.

Aku menghela nafas, "Mulai hari ini aku jadi asisten dokter Fabian, mbak. Itu lho yang pernah aku ceritain, anak pemilik rumah sakit tempat aku kerja, dia spesialis internis dan pasiennya mbak, segambreng.." Keluhku.

"Katanya orangnya ganteng?" Mbak Dayu menatapku dengan geli.

"Ganteng mah relatif mbak, kayak misalnya mang Encep, bagi istrinya dia yang paling ganteng.." Ujarku sambil terkekeh menyebut nama salah seorang satpam yang berjaga di kompleks kami.

Mbak Dayu tertawa, "Ah, mbak yakin kamu males kerja ama dia karena takut jatuh cinta kan?"

"Nggak mbak, Mbak kan tahu, hati Asty cuma buat Mas Dirga seorang.." Ujarku sambil tertawa.

"Kamu ini lucu ah ty, ngarepin kok sama orang yang nggak jelas. Kejadian itu udah hampir setahun, mana sekarang si Dirga Dirga itu nggak ada kabarnya, dan kamu masih nungguin dia?"

Aku tersenyum hambar dan memakai tas selempang cokelatku, "Karena Asty yakin mbak, suatu hari dia pasti nepatin janjinya untuk kembali.."

Aku berjalan keluar kamar dan meninggalkan Mbak Dayu yang menggeleng-gelengkan kepalanya karena aku selalu pergi saat di ajak ngomongin Dirga. Ah nama itu. Sesekali ingin di ingat tapi kali lain ingin sekali aku lupakan

"Ma..asty berangkat.." Ujarku setengah berteriak.

"Iya, sarapan dulu sayang. Mama lagi mandi. Hati-hati ya.." Sahut mama dari kamar mandi.

"Iya ma.."

Aku hanya melirik ke meja makan yang sudah penuh dengan sarapan yang di buat mama. Namun setelah melihat jam dan sadar kalau aku sudah sangat terlambat. Aku memutuskan hanya meminum susu putihku kemudian langsung berlari keluar dan menghidupkan motor maticku lalu mulai menyusuri jalanan pagi ini yang pasti sudah sangat ramai.

***

"Sus..saya kok nggak dipanggil-panggil sih!" Ibu dengan sasak mencakar langit bicara padaku sambil melengos.

"Sabar ya ibu Tjondro, setelah pasien ini baru ibu yang masuk.." Aku mencoba tetap sabar di saat hatiku sudah sepanas lava gunung meletus.

Belum lagi beberapa ibu muda yang mulai gelisah menunggu giliran di panggil. Sebentar lagi pasti aku jadi sasaran amuk massa. Jangan salahkan aku, salahkan si tebar pesona di dalam yang begitu lama saat memeriksa pasien. Ya okaylah jangan salahkan dia, karena dia memang mengikuti prosedur memeriksa pasiennya dengan teliti. Tapi pasien yang sebagian besar berjenis kelamin wanita inilah yang harus di salahkan. Ada saja pertanyaan mereka supaya bisa berlama-lama menatap dokter idaman mereka di dalam.

Terdengar suara pintu terbuka, "Terima kasih lho dokter Fabian. Kayaknya saya minggu depan kesini lagi kalau batuk saya belum sembuh." Ujar seorang wanita berumur sekitar 35 tahun sambil senyum dan mengedipkan mata.

Menurut notes kecil yang mbak Fany tulis, Ibu Dinda Waluyo adalah salah satu pasien tetap disini. Entah penyakit apa yang di deritanya, obatnya hanya menatap dokter Fabian.

Dokter Fabian tersenyum kepada si ibu dan menoleh padaku, mata cokelatnya menatapku dengan ramah, dia sih memang ramah ama siapa saja. "Suster Dinasty..tolong panggil pasien berikutnya."

Aku hanya mengangguk. Sementara tarikan nafas kagum terdengar dari beberapa pasien yang duduk tidak jauh dariku. Aku mengambil file dan memanggil pasien giliran selanjutnya.

"Ibu Tjondro.."

Ibu dengan sasak mencakar langit tadi langsung tersenyum, matanya berbinar-binar dan berjalan cepat menuju ruangan. Aku mengikuti di belakangnya. Sudah tugasku untuk menyiapkan keperluan dokter saat memeriksa pasien.

"Selamat siang dokter Fabian.." Ujar ibu Tjondro dengan senyum malu-malu. Matanya berkedip-kedip genit dengan tidak tahu malunya.

Blah..dimana-mana kalau konsul dengan dokter berarti dalam kondisi yang kurang sehat, bukan berbinar-binar macam anak anjing ketemu tulang.

"Iya Ibu..ada yang bisa saya bantu?" Tanya dokter Fabian dengan RAMAH.  

"Ini lho dok..saya sariawan.." Ujarnya sambil cemberut.

Aku yang sedang merapikan tempat periksa spontan terkekeh geli. Ya kali sariawan ke dokter internis.

"Ada masalah suster Dinasty?" Suara dokter Fabian mengejutkanku. Dia mengangkat sebelah alisnya sambil menatapku.

"Nggak dok.." Ujarku datar. Sebenernya hal yang paling kuhindari sejak dapat giliran bertugas dengan dokter Fabian adalah berkomunikasi dengannya.

Dokter Fabian mengalihkan perhatiannya kembali ke ibu Tjondro. "Selain sariawan apalagi masalahnya bu?"

Si ibu sasak skyscrapper itu menunduk malu-malu, dan berbisik yang sayang sekali tetap kedengeran sama aku, "Anu dok..ada kutil di dada saya." Ujarnya sambil tersenyum genit.

Dan aku segera berjalan cepat keluar dari ruangan sebelum tawaku pecah, tidak peduli dengan tatapan heran dokter Fabian dan pasiennya yang keluhannya di luar batas kewajaran, demi seorang dokter tampan bisa menyentuhnya.

Hih!

***

"Heh..ini masih jamnya dokter Fabian kan? Ngapain lo malah duduk disini?" Corry duduk di sampingku dan mencomot kue mangkuk yang baru kubeli. Dia adalah salah satu sahabatku sejak kami sama-sama mulai bekerja di rumah sakit ini.

"Dia ada seminar siang ini. Gila! Gue bisa stres, Cor.. Lo bayangin aja, jam 8 pagi, visit ke pasien rawat inap yang bejibun, trus pasien rawat jalannya tu dokter buanyaknya minta ampun.." Keluhku kesal.

"Lah emang itu kerjaan lo, untuk itu kan lo di bayar.." Ujar Corry sambil mengunyah.

Aku mengaduk-aduk es teh manisku, "Iya sih, gue nggak maksud ngeluh, tapi serius deh tu dokter kebangetan baeknya jadi pasien suka ngelunjak, masa sampai gue usir keluar dari ruangan karena hampir sejam konsul yang isinya cuma cekikikan ngegodain tu dokter.."

"Braaay..dokter lo itu emang idola, itu bukan hal baru. Dari dia dateng kesini juga semua orang seneng ama dia. Nah lo aja yang matanya belekan, nggak bisa lihat cowok ganteng.."

Sahut Corry yang langsung kusambut jitakan di kepalanya.

Dari jauh seorang cowok ganteng bertubuh besar berjalan ke arah kami dengan senyum khasnya sambil membawa nampan berisi makan siangnya.

"Eh cyin..denger-denger lo di pindah jadi asistennya dokter Fabian yang cucok itu ya?" Hendi duduk di samping Corry.

Bisa di katakan kami bertiga ini cukup dekat, aku dan Corry sama-sama berprofesi sebagai perawat sementara Hendi di bagian administrasi rumah sakit ini. Ya meskipun badannya kekar dan besar akibat exercise siang malam, tapi Hendi yang akrab kusapa Hentong ini agak kelebihan hormon estrogen dan progesteron.

Corry mencomot risoles dari piring kecil Hendi, pura-pura tidak peduli dengan tatapan sinis Hendi yang paling kesal kalau makanannya di minta. "Iya ntong, itu aja dia ngeluh terus gara-gara pasiennya bejibun. Kalau gue sih nikmatin banget bisa lama-lama ama dokter penuh pesona itu.." Corry berusaha bicara sambil mengunyah risol.

Dengan gayanya yang khas, Hendi mulai menceramahiku, "Duuuh..asty beibeh..lo itu jangan kaku kaku amat kenapaah. Itu ada cowok ganteng, untung-untung kalo dia bisa suka sama lo. Ya kan? Kapan lagi coba temen gue nikah sama anak pemilik rumah sakit mewah ini.."

Aku hanya cemberut, "Heh ntong..gue ama dokter Fabian tu cuma sekedar dokter ama asistennya. Gue jarang ngobrol ama dia, jangan mikir yang nggak-nggaklaaah.."

"Ataaaau lo masih mikirin Dirga? Ya ampun Dinasty, lo mau nyari dia kemanaa, ke kutub utara sonoh?? Move on dong, cari cowok lain.." Ujar Hendi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya persis kayak boneka yg ada di dashboard mobil.

"Yaelaaah lo sangka move on gampang. Lagian nggak ada kata putus dari Dirga, berarti gue masih pacarnya. Gue bego? Iya emang gue bego, kalo pinter gue ogah punya temen kayak lo berdua.." Sahutku kesal. Pecahlah tawa Hendi dan Corry.

Nah, lihat sendiri kan, di ledekin malah pada ketawa. Dasar sarap.

Suara chris martin dengan lagu paradise-nya terdengar dari ponselku, aku segera mengangkatnya.

"Halo.."

"Dinasty..dimana kamu?" Suara ketus menyapaku.

Ya ampun Bu Ima atasanku..salah apalagi gue.

"Di kantin bu, sedang makan siang.."

"MAKAN SIANG??!! Ini baru jam sebelas. Barusan dokter Fabian telepon saya nyariin asistennya. Cepat kembali kamu!!" Jeritnya histeris.

Mati aku.

"I..iya, Bu..baik. Saya kesana sekarang.." Aku langsung melompat dari kursiku dan berlari secepat kilat meninggalkan Corry dan Hendi yang melongo melihatku.

----------------------------------

 
Hadeeh, Kalo dokternya setamvan ini, dikit sakit saya langsung cuss ke rumah sakit :D

Gimana?

Udah penasaraaan?

Mau di lanjut?

Wanii piirooo?

:D

 

Minta vote dan komennya aja deh, buat semangat saya nulis next partnya *uhuui*

 

I love you so much!

 

Love,

Vy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: