Chapter 031 - See You Again Christopher
"Kau ... bercanda, 'kan?" Ada keterkejutan yang jelas terlihat pada raut wajah Christopher. Bahkan sorot matanya terus menatapku, seakan-akan ingin membelah kepalaku. "Aku tahu kau pasti terluka karena video sialan itu, tapi kau harus tahu jika aku tidak menerimanya ... aku tidak yakin bisa meyakini perasaanku sendiri."
Aku mengalihkan pandangan. Lebih memilih memerhatikan tangan yang terpasang selang infus, daripada Christopher. Aku tidak ingin menyesal, juga tidak ingin menarik kembali ucapanku.
Apalagi memercayai ucapan Christopher, telah menjadi hal tersulit. Akal sehat dan dewi batinku senantiasa beranggapan, bahwa yang dikatakan Christopher hanyalah bentuk dari pembelaan diri setelah menerima sesuatu yang tidak diinginkannya.
Jadi--dengarkan saja dan teguhkan pendirianmu, Heather.
Aku memejamkan kedua mata selama beberapa detik dan Christopher masih saja berbicara, mencoba membujukku.
"Pada akhirnya, aku benar-benar kembali jatuh cinta padamu, Heather James." Suara Christopher memelan, tetapi mampu kudengar dengan sangat jelas. "Dan ... itu terjadi sejak menghabiskan sisa malam bersamamu di atas pohon oak antara kamar kita."
Yeah, aku mengingatnya. Kami bernyanyi, melakukan konser mini, berbicara tentang banyak hal di puncak pohon selepas membantu mom di toko roti. Saat itu Davis marah padaku karena aku menggunakan papan selancarnya sebagai jembatan, tetapi hal tersebut tidak kusesali karena setelahnya kami; aku dan Christopher menjadi semakin dekat.
Tujuanku tercapai. Menyetujui perjanjian konyol yang dibuat Christopher saat dia memegang catatan pribadi, serta foto hasil bidikkanku adalah alasanku agar bisa melakukan pendekatan dengan Christopher. Dan, yeah, dia membalas perasaanku hingga mengajakku berpacaran.
Pacaran yang sesungguhnya, setelah sebelumnya hanya sekadar pacar pura-pura.
Akan tetapi--tidak! Tahan, Heather! Katanya, dia kembali jatuh cinta padaku?!
Pandanganku mengabur. Air mata menggantung di pelupuk mata.
Oh, sial! Apakah itu berarti Christopher pernah mencintaiku?
Jika tidak ada video sialan itu, aku pasti akan menanyakan maksud dari ucapan Christopher barusan dan apapun jawabannya, tentu akan kupercayai sebagai kebenaran mutlak.
Dan tentu saja, aku pun akan menjadi gadis paling bahagia di dunia setelah mendengar jawabannya.
Tahan, Heather. Sekarang bukan waktu yang tepat. Jangan menangis, Sialan!
Aku menarik napas panjang. Berusaha mengontrol emosi saat perkataan Christopher yang menjadikanku sebagai objek taruhan terlintas, serta kembali menyakiti perasaanku.
Tenang.
Jangan menangis.
Jangan jatuh.
Jangan jatuhkan air matanya, Sialan!
"Aku benar-benar tidak ingin semua ini berakhir." Christopher berkata lagi. Menggunakan diam-ku untuk terus membujuk. "Tidak bahkan sebelum aku berusaha memperbaiki semua kerusakan ini." Dia meletakkan salah satu tangannya di atas tanganku yang terpasang selang infus.
Tangan yang hangat. Tangan yang bisa saja meluluhkan pendirianku kapan saja.
Aku meneguk saliva lalu menggeleng samar. Tidak. Kau salah, Christopher. "Apa kau tahu, Christopher?" Tuhan! Aku masih tidak berani menatapnya dan suaraku jelas terdengar serak. "Sama sepertimu, aku pun hanya tertarik pada tubuhmu dan wajah tampanmu."
"Aku tahu," jawabnya. "Aku tahu seluruhnya saat membaca buku catatan pribadimu. Maaf karena telah berbuat lancang, tetapi aku memerlukannya untuk memupuk keberanian."
Dan hal itu membuatku menoleh ke arahnya. "Memupuk keberanian?" Aku tertawa sarkas, sebelum melanjutkan ucapanku. "Kau terlihat sangat percaya diri saat mengatakan kau bisa menaklukanku dalam hitungan hari."
"Yeah." Dia tidak menyangkal, padahal aku berharap sebaliknya. "Tapi sejak perasaan itu hadir, semua menjadi berubah. Aku kembali sebagaimana diriku yang sebenarnya, memiliki kepercayaan diri rendah karena terlahir berbeda di lingkungan ini."
Secara imajiner aku mengangguk. Memahami situasinya karena Christopher pernah berkata bahwa lelaki Asia tidak semenarik perempuan Asia di mata orang kaukasia. Christopher berpendapat perempuan Asia terlihat imut, menggemaskan, dan mungkin eksotis, sedangkan lelaki Asia merupakan hal sebaliknya, yaitu dianggap kerdil, pecundang, serta terlihat seperti cowok cantik.
"Jadi tolong, pikirkan lagi." Christopher menjauhkan tangannya dari tanganku, seolah bersiap untuk meninggalkanku. "Aku tidak ingin ada penyesalan."
"Selalu akan ada penyesalan," sahutku cepat, sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca sebab sepertinya air mataku akan benar-benar jatuh tidak lama lagi.
Perasaanku mulai goyah dan itu terjadi hanya karena terlalu lama bersama Christopher. Aku tahu, benar-benar mengetahuinya bahwa setelah kepergiannya ini aku akan menangis. Dadaku mulai sesak, bersamaan dengan keputusan yang telah dipaksa untuk diterima secara sukarela.
"Bagaimana pun akhirnya, berpisah atau tidak, selalu ada penyesalan," kataku, "karena niat hubungan ini tercipta tidak sebaik semestinya."
Tuhan, beri aku keberanian untuk menatapnya. Bantu aku untuk meyakinkannya.
"Berpisah adalah jalan terbaik, Christopher Lee. Seperti buku yang benar-benar baru dan masih kosong, kita bisa memulainya kembali dari awal. Menuliskan awalan yang lebih baik, demi mendapatkan akhir yang lebih baik juga. Kau paham maksudku, 'kan?" Kutekankan kalimat terakhirku, sambil memberanikan diri untuk menatapnya. "Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau tuai. Kakekku selalu berkata demikian dan aku ingin memulainya dengan hal baik, demi mendapatkan yang terbaik."
Ini adalah penegasan terakhirku.
Penegasan yang harus dilakukan demi kami berdua.
Aku sudah memutuskannya.
Benar-benar akan melakukannya, bahkan tanpa perlu berpikir lama.
Kita memang harus berpisah, demi memahami perasaan satu sama lain.
"Setidaknya kita masih bisa berteman, sambil memahami perasaan masing-masing," kataku selugas yang kuinginkan, seringan beban yang ingin sekali kulepaskan. "Lagi pula, aku akan meninggalkan Michigan tidak lama lagi."
Seketika bibir Christopher terkatup rapat. Ia mematung di saat aku ingin dirinya mengatakan sesuatu.
Satu.
Dua.
Tiga dan ....
... sepuluh.
Lebih dari sepuluh detik ia terdiam, hingga aku harus menghela napas panjang demi mengendalikan emosi sialan ini.
Jangan menangis, Heather. Kau harus menahannya.
"Mungkin setelah aku diizinkan pulang." Tanganku terkepal dan suaraku serak, tanda bahwa bendungan dalam diriku benar-benar sudah tidak mampu untuk ditahan.
"Ke mana kau akan pergi?" Christopher akhirnya bertanya, meski itu bukanlah perkataan yang kuharapkan. "Aku tidak akan tanya mengapa, karena aku, sepertinya mengetahui alasannya."
Tidak mengherankan, dia memang mungkin saja tahu. Aku memercayai ucapan Christopher yang satu ini.
"Indianapolis." Aku hanya menebak, tetapi kemungkinan besar mom akan membawaku ke sana karena di sanalah grandmom tinggal. "Aku akan tinggal di rumah grandmom."
Dengan aura sendu yang mengelilingi dirinya, Christopher akhirnya mengangguk. Terlihat jelas bahwa bahasa tubuhnya memperlihatkan kesedihan, kekecewaan, dan ketidakinginan membiarkanku pergi, tetapi ia tahu bahwa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegahku.
Christopher sadar diri.
"Baiklah. Jaga dirimu, Heather," katanya yang semakin menyesakkan dadaku. "Kirimkan aku beberapa chat atau telepon aku di saat kau bebas. Itu saja yang kuminta kalau memang kau ingin pertemanan ini tetap terjalin."
Aku memaksakan diri untuk tersenyum, meski senyuman itu jelas terlihat hambar dan tidak memiliki setitik kebahagiaan.
"Bolehkah aku menciummu untuk yang terakhir kalinya? Meski ini merupakan permintaan kurang ajar, setelah menjadikanmu sebagai bahan permainan."
Oh, Tuhan, jangan lakukan itu, Christopher!
Aku baru saja ingin menolaknya, tetapi Christopher terlebih dahulu mendekat lalu menunduk sedikit setelah menekan salah satu panel yang membuat tempat tidur bagian kepalaku, sedikit terangkat. Dia menempelkan bibirnya di keningku, selama beberapa detik hingga air mataku akhirnya mengalir membasahi pipi.
Akal sehatku menolak keras, tetapi tidak sanggup mencegah hal tersebut.
Satu isakan pelan pun lolos dari bibirku.
Dan Christopher mengakhiri ciuman perpisahan tersebut dengan mengusap air mata di pipiku.
"Sampai jumpa lagi, Heather James," katanya yang kupikir ia akan mengungkapkan kalimat perpisahan.
Akan tetapi, bukan itu yang menjadi pusat perhatian utamaku.
Kedua mata Christopher.
Memantulkan pantulan diriku.
Mata yang berkaca-kaca.
Mata yang sama sedihnya denganku.
Kupikir hanya aku yang akan merasakan kesedihan ini, tapi Christopher juga merasakannya.
Padahal, aku yakin dia akan segera mendapatkan penggantiku.
"Maaf karena telah membuatmu terluka, Heather." Christopher tersenyum tipis. Tampak sekali kehambaran dalam ekspresinya, sehingga aku tidak mampu membalas senyuman tersebut.
Ia pun berpaling dan ....
... kuharap waktu berjalan lamban, agar aku bisa menatap punggung lebarnya sedikit lebih lama.
Christopher melangkah pergi.
Semakin lama semakin jauh dari jangkauanku.
Dan ia tidak menoleh ke arahku untuk terakhir kalinya.
Bahkan hingga akhirnya, punggung lebar yang senantiasa memberikan perlindungan itu pun menghilang dari balik pintu.
Christopher masih tidak kembali.
Dia benar-benar telah pergi. Menghargai keputusanku yang diwaktu bersamaan juga membuat tangisanku pecah.
Membuat air mataku sulit sekali dihentikan.
Bahkan setelah aku berusaha untuk tetap tenang dan menyimpannya di dalam hati saja.
Lalu penyesalan itu hadir.
Penyesalan yang kuciptakan sendiri dengan alasan tidak masuk akal.
Aku tidak ingin berpisah.
Aku ingin kita tetap bersama, sambil memperbaiki semua ini.
Tapi ....
Ingat, Heather, ini adalah yang terbaik.
Perpisahan membuat siapa saja menjadi seseorang yang jauh lebih baik karena semua orang, belajar melalui masa lalu, melalui kesalahan, melalui penyesalan.
***
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro