Chapter 026 - Some Facts About Rosemary Hilda
"Oh, Heather, kau sudah kembali."
Setelah keluar dari mobil Kenneth, Mom menyambutku dengan pelukan hangat.
"Aku sungguh mengkhawatirkanmu"--seolah kami baru saja bertemu setelah sekian lama--"sebenarnya aku ingin menunggu hingga kau sadar, tapi ayahmu bersikeras agar aku pulang secepatnya"--masuk akal karena rumah kami dibobol--"beruntung kami bertemu dengan Kenneth dan ayahmu memercayakanmu padanya"--hmm, ini agak tidak masuk akal karena aku dan Kenneth tidak seakrab itu, tetapi--Sinting!
Aku baru menyadarinya dan rahangku langsung terjun bebas, hingga menyentuh aspal, saat pertama kali melihat seperti apa kondisi rumahku sekarang.
Ini sungguh di luar dugaan, tapi juga luar biasa. Seperti benteng pertahanan tak kasat mata.
Beberapa jebakan kemungkinan besar telah tersebar di pekarangan rumah kami. Bahkan di balik pintu atau jendela sekali pun. Seakan musuh bisa datang kapan saja, jika salah menyebutkan kode, aku yakin bukan pelukan hangat yang akan menyambut, melainkan senapan api teracung tepat di depan kepalamu.
Aku meneguk saliva, teringat dad menjelaskan hal tersebut ketika tidak sengaja kutemukan gulungan kertas di gudang waktu kami melakukan pembersihan rumah, setahun sekali.
"Hanya untuk berjaga-jaga," kata dad, sambil membuka gulungan kertas tersebut dan meletakkannya di atas meja garasi. "Pekerjaan membuatku tidak bisa memercayai manusia seratus persen. Asal kau tahu, Heather, ancaman bisa datang kapan saja, meski kau selalu berbuat baik. Dan tugas seorang kepala keluarga adalah melindungi seluruh anggotanya."
Benar, awalnya kupikir itu hanya kekhawatiran berlebihan dad karena setiap hari harus bertemu dengan berbagai kasus kejahatan. Anggapan bahwa sebuah negara mampu melindungi masyarakat pun menjadi sesuatu yang skeptis. Dan sekarang kami benar-benar menghadapinya, bahkan aku telah menjadi salah satu target utama penjahat tersebut.
Tidak seratus persen yakin, tapi orang gila macam apa yang sengaja meletakkan bangkai di kamar orang lain?
"Lewat sini," kata mom, sambil menggandeng tanganku dan Kenneth mengikuti di belakang kami.
Aku menoleh pada lelaki itu dan langsung bertanya, "Kau ikut? Untuk apa?" Kurasa dia tidak punya alasan kuat agar tetap bersama kami.
"Aku meninggalkan rumah," jawabnya.
Sebelah alisku terangkat. "Lalu?"
"Sial, Heather, apalagi yang harus kulakukan supaya aku bisa membalas si gila itu?!"
Oh. "Tapi ini bukan film. Kau tahu? Orang tuamu tidak akan suka." Dan kenapa aku peduli?!
Namun, Kenneth mengedikkan bahu. Tetap keras kepala. "Mereka sudah mencoret namaku, sejak aku melangkah meninggalkan rumah dan melalui perdebatan panjang mengenai kasus sialan itu."
God, aku tidak tahu apa yang dipikirkan si Brengsek ini untuk tetap ikut campur. Namun, kalau dia berpikir bisa membalas dendam dengan cara membunuh atau semacamnya, maka itu salah besar. Tidak mudah.
"Kita tinggal di bawah hukum. Jangan berpikir akan ada pertumpahan darah," kataku memperingatkan sebelum mom menyela agar kami segera masuk ke dalam, sesuai arahan dad.
Yang mana arahan yang dimaksud adalah menunggu dengan waspada, sampai dad kembali bersama Mrs. Jean.
Kami mengikuti mom berjalan menuju garasi, sesekali melompat membentuk pola aneh demi menghindari jebakan beralas rumput buatan dad. Aku tidak bertanya di mana saja jebakan tersebut berada, tetapi kuyakini bahwa mereka telah tersebar mengelilingi rumah sesuai dengan gambaran pada gulungan kertas milik dad.
"Welcome home, lil'sis." Suara Davis terdengar sedetik setelah mom membuka pintu di dalam garasi yang menghubungkan kami pada ruang keluarga. "Cukup menegangkan karena akhirnya benar-benar memegang senjata dan itu karena kau."
"Yeah, congrast." Aku melewatinya, sambil menjauhkan senjata laras panjang yang mengarah pada kami. Berpikir bahwa Davis hanya pamer karena dad akhirnya memberi ijin setelah sekian lama dia belajar menggunakan benda tersebut.
Aku bergegas menaiki tangga. Bahkan tanpa berpikir sedikit pun untuk bertanya bagaimana keadaan di sini, sebab--sekali lagi--hanya dengan melihatnya saja aku memahami bahwa pembobolan ini membuat kami semua menjadi tidak nyaman.
Selagi menaiki tangga, sayup-sayup kudengar Kenneth berbicara pada Davis. Mengobrol sedikit tentang si Jalang Gila itu dan mom bergabung bersama mereka. Aku tidak tertarik untuk terlibat dalam kegiatan tersebut karena ada hal yang lebih penting, dari sekadar berbicara.
Kurasa, aku harus memikirkan beberapa aksi nekat jika saja tindakan dad dan Mrs. Jean berjalan lambat. Maksudku, rencana B, C, D, dan seterusnya. Entahlah, aku juga tidak mengerti darimana keberanian tersebut berasal. Mungkin sejak si Jalang Gila itu berani mungsikku melalui halusinasi, hingga alam mimpi. Ugh!
"Oh, fuck!" Aku lantas menutup hidung, terpaksa bernapas lewat mulut saat aroma busuk masih tersisa di dalam kamar. "What the hell, man?" desisku kemudian melangkah masuk dan ingin membuka jendela.
Akan tetapi, kejutan lain rupanya datang menyambut di mana dad telah mengunci mati jendela tersebut dari luar. Aku baru mengetahui hal tersebut setelah menyingkap tirainya dan empat buah papan membentuk tanda X, terpasang di masing-masing jendela.
"Demi Tuhan," bisikku, "apalagi yang bisa dilakukan kalau sudah seperti ini?" Jadi kucoba untuk membiasakan diri dengan aroma tersebut. Terutama setelah melihat salah bantal di letakkan di pojok ruangan, yang mungkin digunakan gadis itu untuk menerorku.
Sialan! Kupastikan kau salah menjadikanku sebagai target.
Kutarik kursi di meja belajar lalu kutarik pertama untuk mengambil notebook, menyalakannya, selagi mengambil buku catatan atau apapun itu untuk menulis informasi penting dari Mrs. Jean.
Yeah, kuharap wanita itu sudah mengirimkannya di email dad dan beruntung aku mengetahui passwordnya karena pria itu, menjadikanku sebagai salah satu cadangan memorinya.
"Sekarang, mari kita berkenalan," kataku sambil membuka email dari Mrs. Jean yang ternyata telah dibaca sebelumnya.
Terdapat beberapa file dalam bentuk dokumen dan gambar. Aku membukanya sekaligus lalu membacanya satu per satu dengan amat teliti.
Dan tahu tidak? Si Jalang Gila itu memiliki nama yang cukup oke, meski kehidupannya agak mengenaskan.
Damn it, berhentilah berempati, James!
Jadi dia adalah Rosemary Hilda. Usia delapan belas tahun di tahun 2020. Lahir tanpa ayah, sehingga menggunakan nama ibunya. Diketahui sejak usia lima tahun telah mengalami kekerasan rumah tangga dan di usia dua belas tahun, menjadi korban perdagangan manusia oleh ibunya sendiri. Hal tersebut membuat ibunya di penjara, tetapi bebas bersyarat setahun kemudian.
Menurut pengakuan, Rosemary bertemu dan jatuh cinta pada Shen Jackson saat pria itu menggunakan jasa Rosemary di salah satu tempat prostitusi. Namun, patah hati membuatnya kehilangan akal sehat, terutama saat ia mengetahui bahwa Shen telah memiliki tunangan.
"Kimberly Chad. Pasti dia. Memangnya siapa lagi?" bisikku pada diri sendiri, sambil terus membaca.
Terus terang aku tidak akan lupa siapa nama dan wajah kakak perempuan Kenneth. Dia adalah salah satu model yang sedang naik daun, tetapi menghilang karena tersandung kasus narkoba.
Awalnya aku memercayai berita tersebut. Namun, sekarang, sepertinya tidak setelah mendengar pengakuan Kenneth, serta membaca berita ini.
Sungguh diluar akal sehat, aku tidak bisa berkomentar tentang apa yang ada di pikiran keluarga Chad. Hal mengerikan telah menimpa putri mereka, tetapi mereka malah memilih untuk menutupi kasus sebenarnya dengan menggunakan kasus palsu.
Dan itu hanya demi sebuah reputasi. Tuhan, yang benar saja?!
Jariku secara konstan terus bergerak, seiring dengan pergerakan mata yang terus bergeser ke kanan dan kiri mengikuti deretan kalimat pada dokumen tersebut. Bahkan beberapa foto saat penyelidikan juga terlampir di sana, hingga tak perlu dipungkiri bahwa hal tersebut membuat bulu kudukku merinding.
"Dengan tubuh sekurus ini dan dia bisa menculik, bahkan menyiksa Kimberly sampai kehabisan darah." Aku menggigit pipi bagian dalam, selagi tangan kanan mulai mencatat sesuatu yang dirasa perlu diingat. Tangan yang benar-benar gemetar karena otakku pun turut membayangkan kengerian tersebut.
"Bahkan juga dilakukan kepada Shen Jackson?!" Oh, my, God!
Kedua mataku terbelalak. Secara refleks menutup notebook dan kedua tangan mendorong tepi meja, hingga kursi berodaku bergerak mundur.
Dadaku bergerak naik turut, amat cepat, seiring dengan debaran jantung seratus kali bekerja lebih kuat dari sewajarnya. Aku bangkit dari tempat dudukku, melangkah mondar-mandir, sambil tetap mencoba berpikir jernih.
Oh, tenanglah, Heather James.
Kau tidak sendirian.
Sungguh. Kau tidak sendirian.
Dad berusaha membantumu bersama Mrs. Jean.
Kau hanya perlu memercayai mereka semua.
Semua akan segera baik-baik saja.
Akan tetapi, tidak bisa. Kabut kekhawatiran menyelimuti begitu pekat, hingga menyesakkan dada dan aku segera berlari meninggalkan kamar. Mencari Davis, Mom, atau Kenneth.
Aku perlu ponsel mereka.
"Davis!" panggilku sambil berteriak, hingga kuyakin suaraku mampu terdengar di seluruh ruangan di lantai dasar. "Mom!" Aku berlari ke arah dapur, saat tak melihat seorang pun di ruang keluarga dan jantungku berdetak semakin menjadi-jadi.
Keringat mulai membasahi kulit dan ketika kulihat mom sedang menuang teh di meja makan, dia langsung menghampiriku. Wajahnya tak kalah panik denganku.
"Heather, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi? Kenapa berteriak?" Dia menanyakan hal tersebut dengan cepat, sambil meraba lenganku menggunakan kedua tangan.
"Aku butuh ponselmu," kataku, "Aku harus bicara dengan Christopher."
"Dia baik-baik saja, Sayang." Mom mencoba menenangkanku, tetapi ini bukan tentang apa dia baik-baik saja di ruang observasi atau tidak.
Ini tentang Rosemary!
"No, Mom, just ... gimmie your phone! Please." Aku tahu kali ini nada suaraku nyaris terdengar sangat frustrasi karena mom, tidak lagi mendebatku.
Dia menyerahkan ponselnya dan aku langsung meraih benda tersebut lalu kembali menuju kamar, sambil menghubungi Christopher.
Tapi tidak dijawab.
Aku langsung mengalihkan panggilannya ke nomor Nancy dan tepat di saat kakiku menginjak anak tangga pertama, wanita itu menjawab panggilanku.
"Apa Christopher sudah sadar? Maafkan aku karena menelepon di saat seperti ini, tapi aku perlu memastikan keadaannya sendiri."
"Dia baik-baik saja, Heather. Hanya mendapatkan satu luka jahitan dan patah di kaki kirinya."
"Apa dia sedang bersamamu sekarang?" Kali ini suaraku melembut dan langkahku terhenti di tengah-tengah tangga.
"Ya, baru saja bangun dari efek obat bius."
Aku meneguk saliva. "Bisakah aku bicara dengannya? Sebentar saja jika memungkinkan. Hanya lima menit."
"Baiklah."
Dan jeda sesaat lalu tergantikan dengan suara Christopher yang serak, tetapi masih sangat lemah.
"Christopher."
"Heather."
Oh, Tuhan! Lega rasanya setelah mendengar suara Christopher.
"Dengarkan aku, kau tidak boleh sendirian di sana," kataku.
"Kenapa?"
Aku menggeleng, meski Christopher jelas tidak melihatnya. "Jangan tanya kenapa, Christopher. Apa Nancy sudah menceritakan apa yang terjadi padamu?"
"Tidak, tapi aku mengaktifkan pengeras suara. Dia bisa mendengar obrolan kita."
"Baiklah, aku hanya ingin mengatakan bahwa jangan sampai kau sendirian dan apa kau ingat wajah gadis itu?"
"Yeah. Kalau yang kau maksud adalah gadis pirang pucat itu."
"Jangan biarkan dia menyelinap. Dia mengincarmu dan juga aku atau mungkin Lea."
"Huh?"
"Dia terobsesi padamu, Bodoh! Dia pemabuk yang kau bilang tidak bisa melupakan cintanya. Kau pikir untuk apa dia memecahkan jendela kacamu berkali-kali dan akhirnya, berani bertatap muka denganmu tepat di malam kita resmi berkencan?!"
Tuhan! Aku tidak bisa menahannya lagi. Otakku benar-benar pintar untuk menghubungkan sesuatu, tetapi kali ini aku sungguh tak mengharapkan kelebihan tersebut.
"Dan apa hal itu juga terjadi saat kau bersama Lea?"
"Dua kali dan setelahnya Lea mencampakkanku."
Dan aku semakin mengerti sekarang. Pesan dari nomor asing itu. Ada kemungkinan Lea juga mendapatkan teror.
"Baiklah, jaga dirimu, Christopher. Akan kutemui kau malam ini."
Aku memutuskan panggilan. Namun, saat itu juga suara keributan terdengar dari arah garasi.
Suara milik Davis dan Kenneth.
Aku ingin mengabaikan perdebatan mereka. Namun, urung dilakukan saat mereka mulai menyebut-nyebutkan namaku.
Para idiot itu!
Segera melangkahkan kaki menuju garasi, aku tahu bahwa aku harus melerai pertengkaran di waktu yang tidak tepat ini. Namun, baru saja tiba di depan pintu langkahku justru terhenti.
Tubuhku berubah menjadi kaku.
Telingaku menjadi sangat tajam untuk mendengar perdebatan mereka.
Dan kedua tanganku terkepal, seiring ribuan pisau tak kasat mata secara serempak menusuk punggungku dengan amat brutal.
Air mataku jatuh.
Hatiku sakit saat terus mendengarnya.
Bukankah seharusnya aku tidak berada di sini?
Tapi aku tidak bisa berpaling karena mereka ....
... telah mengetahui keberadaanku.
"Heather, dengar, ini--"
"Berikan ponselnya, Davis!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro