Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 025 - Increasingly Unsafe

Christopher terbaring kaku di depan sana. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar tiga meter, hingga aku bisa melihat perban dan selang-selang itu melilit tubuhnya seperti mumi di museum.

Seharusnya tidak separah ini, 'kan?!

"Christopher!" Aku berteriak, ingin membuatnya terbangun dan menyadari keberadaanku.

Suara konstan dari alat pendeteksi jantung terdengar mengintimidasi. Aroma obat-obatan terasa menyesakkan dada. Christopher tidak bereaksi sedikit pun dan bahkan kedua matanya tertutup rapat seolah tertidur pulas.

"Christopher!"

Aku baru saja ingin menghampirinya, tetapi langkahku tertahan oleh sesuatu. Membuatku lantas terjatuh ke lantai yang rasanya benar-benar lengket di telapak tangan.

"Damn it! What the hell going on?" Aku mempertanyakannya nyaris mendesis. Tanganku basah, lengket, serta berbau anyir. "Dari mana asalnya?!" Kuedarkan tatapanku ke segala arah, tetapi, nihil, tidak ada apapun selain diriku dan Christopher yang terbaring tanpa daya di depan sana.

Lalu aku menoleh ke arah dua kakiku dan ....

... tidak!

Kaki kananku terbelenggu. Lebih parah lagi, semakin dicoba untuk dilepaskan, benda itu pun semakin kuat mencengkram pergelangan kaki.

Aku berteriak sekuat-kuatnya. Tak kuasa menahan rasa sakit. Terlebih saat pinggiran belenggu tersebut mulai mengoyak kulitku, membuat darah secara perlahan merembes, dan sayup-sayup kudengar suara Christopher.

Dia memanggil namaku.

Nyaris seperti bisikan.

Aku menoleh ke arahnya dan tubuh itu sedikit bergerak, seolah sedang berusaha melepaskan diri.

Akan tetapi, bukan itu yang menjadi fokus utamaku, melainkan ....

... gadis itu.

Dia ada di sisi Christopher.

Menggenggam sebilah pisau berlumuran darah.

"Heather, tolong!" Suara Christopher terdengar jelas di telingaku. Ia bergerak semakin gelisah, tetapi tidak mampu menjauh sekali pun.

Pisau terangkat semakin tinggi.

Aku berusaha bangkit, berusaha berlari menyelamatkan Christopher dengan menjauhkan gadis itu. Namun, belenggu itu semakin kuat menekan pergelangan kakiku.

Dan aku berteriak, memanggil nama Christopher, memohon agar jalang itu berhenti.

Akan tetapi, kenapa?

Ke mana suaraku?!

Sial!

Christopher!

Hentikan. Tolong!

Bunuh saja aku!

Jangan dia!

Jangan!

Jangan Christopher!

Lihat aku, Jalang!

Aku musuhmu, Brengsek!

Jauhkan pisau sialan itu!

Kubilang berhenti!

Terkutuklah, kau--

Dan kedua mataku seketika terbuka.

Mimpi buruk.

Sialan!

Napasku berlangsung cepat.

Keringat bercucuran.

Dan kedua kakiku sedingin es, meski berada di balik selimut.

Di mana ini?

Aku mengedarkan pandangan lalu menemukan sebuah ruangan bercat dominan putih, bersama dekorasi bernuansa kayu. Membuat ruangan ini tidak terkesan monoton. Sebuah kursi di sisi tempat tidur kosong, tirai berwarna cokelat pastel tertutup rapat mengelilingi tempat tidur, sebuah nakas pun hanya diletakkan sebotol air mineral nyaris tandas.

Apa yang terjadi?

Tidak ada siapa pun di sini. Yang bisa kudengar hanyalah aktivitas orang asing di luar sana. Aku mencoba duduk di tepi tempat tidur dan kepalaku sungguh sakit sekali, bahkan pandanganku masih kabur sampai harus mengerjap beberapa kali.

Dalam diam, otakku mulai mengingat apa yang terjadi padaku sebelumnya.

Dimulai dari kecelakaan yang menimpa Christopher, menunggu lelaki itu di depan ruang operasi, Mrs. Jean memanggilku untuk bertemu di kafetaria. Aku mendapatkan sedikit informasi tentang gadis itu dan--

"No way," desisku selagi langsung memeriksa seluruh saku di hooddie. Mencari ponsel untuk menghubungi dad, serta memindahkan hal yang bisa menjadi bukti valid ke ponsel pria itu.

Namun, nihil, benda itu tidak ada di sana. Bahkan setelah aku mengeluarkan masing-masing dari saku tersebut.

Aku turun dari tempat tidur dan nyaris terjatuh. Entah mengapa kakiku sempat seperti kehilangan fungsinya lalu kuraba tanganku di bahu bagian belakang.

Seseorang memukulku dan itu yang membuatku kehilangan kesadaran lalu samar-samar, kulihat gadis itu hadir di depan mataku dengan membawa sebuah balok. Benar, 'kan?!

"Tentu saja benar," sahutku tanpa perlu mengelak. "Kalau bukan bagaimana kau bisa berada di sini!"

Brengsek!

Kulingkarkan lenganku di tubuh, setelah menyingkap salah satu sisi tirai yang tertutup rapat. Mencari siapa pun yang kukenal--yang membawaku ke sini--meski dalam sekali lihat, aku sudah mengenali ini adalah UGD. Beberapa perawat beraktivitas dengan terburu-buru menangani berbagai jenis pasien, beberapa kerabat pasien juga melintasiku tanpa harus menyapa.

Aku menghampiri meja perawat. "Permisi, aku, Heather James," kataku, "kau tahu siapa yang membawaku ke sini dan apa sarafku baik-baik saja?" Aku sungguh tidak tahu apa yang baru saja kutanyakan, tetapi aku yakin bahwa aku baru saja diserang. "Seseorang menyerangku. Aku harus menelepon ayahku, tapi ponselku hilang."

Sayangnya, perawat wanita itu menatapku dengan keheranan.

"Siapa namamu tadi?"

"Heather James."

Dia meraih salah satu buku di meja, menelusuri sederet tulisan di dalam tabel menggunakan jarinya.

"Apa keluargamu ada bersamamu?"

Tuhan! "Apa kau perlu menanyakannya? Keadaanku sangat genting dan aku butuh telepon." Cukup sopan santunnya, kesabaranku jelas sudah habis. "Sial! Lupakan saja. Aku harus per--"

"Heather!"

Aku menoleh ketika suara itu terdengar cukup keras untuk berada di tempat seperti ini. Kenneth. Dia melangkah lebar ke arahku, nyaris seperti berlari kecil dan bukannya berbicara padaku, ia malah mengatakan pada perawat itu bahwa aku adalah kerabatnya.

Oh, shit, sejak kapan? Kau bahkan hobi menindasku.

Dia menatapku setelah membubuhkan tanda tangan kemudian kembali beralih ketika perawat itu memberikan sebungkus kecil berisi beberapa butir obat.

"Kita bicara di luar," katanya lalu menarik pergelangan tanganku.

Dan aku ingin mengelak, tapi tubuhku masih terasa sangat lelah untuk melakukannya. Oleh karena itu, meski langkahku gontai, aku tetap mengikutinya.

"Apa kau gila?" tanyaku yang sebenarnya penuh tekanan, tapi tak terdengar seperti itu. "Di mana ibuku?"

Aku melihat pantulan diriku pada pintu kaca di balik tubuh Kenneth. Wajah pucat pasi, posisi berdiri yang terlihat sangat lemah. Oh, si jalang sialan itu!

"Kau pingsan, Tolol. Dan daripada bertanya di mana ibumu, sebaiknya kau pulang saja sekarang karena aku yang akan mengantarmu."

"Apa?! Tidak." Aku melangkah mundur lalu berbalik, ingin segera ke ruangan tempat Christopher seharusnya berada. Namun, Kenneth menahan pergelangan tanganku, hingga membuatku tersentak, kembali menatapnya. "Lepaskan, Brengsek! Kau sudah gila, ya? Sejak kapan kau jadi baik padaku?!"

Aku menyentakkan tangan, agar cengkraman Kenneth terlepas. Namun, ia melakukan hal tak semestinya yang mana tangannya justru mencengkram pergelangan tanganku semakin erat.

"Kau yang sudah gila. Kenapa memaksakan diri kalau berdiri saja sudah tidak bisa?!"

Apa? Kedua alisku lantas menyatu. Apa yang dibicarakan si Brengsek ini?
"Lepaskan aku. Aku harus menemui Christopher atau Nancy atau Mr. Lee tentang gadis itu."

"Sialan!" Kenneth masih keras kepala dan itu sangat menjengkelkan karena dia tidak seharusnya bersikap demikian.

Aku ingin meninju wajah sialannya, tapi--

"Aku sudah dengar semuanya dan ayahmu bilang, aku sebaiknya mengantarmu pulang setelah kau sadar."

Huh?!

"Padahal aku tidak seharusnya melakukan hal itu. Kau pesuruhku, dan aku dilarang melayani seorang pesuruh."

Menyebalkan.

"Omong kosong macam apa ini?" Aku ingin tertawa--mengejeknya--tapi urung dilakukan, saat kulihat raut wajah seriusnya.

"Kau pingsan di dekat tangga darurat karena serangan panik berlebih," kata Kenneth.

Tidak. Aku diserang. Gadis itu yang menyerangku dan mencuri ponselku.

"Aku menemukanmu dan kalau kau tidak percaya, kau bisa lihat rekaman CCTV-nya nanti."

Ini bukan drama tolol.

"Jadi kuhubungi ponsel Christopher dan ibunya memberikan ponsel itu pada ibumu."

Kebohongan paling payah di dunia.

"Lalu kami bertemu dan ketika dokter jaga menjelaskan keadaanmu, ibumu menceritakan semua yang terjadi pada kalian lalu ketika ayahmu datang, semua menjadi sangat lengkap karena--"

"Hentikan omong kosongmu, Brengsek. Untuk apa orang tuaku menceritakan hal itu padamu."

"Karena kakakku adalah salah satu korban si Gila itu, Brengsek!"

Dan bibirku tertutup rapat.

Jawaban Kenneth seolah menampar keras akal sehatku.

Kedua tanganku terkepal.

"Jangan bercanda," kataku ragu untuk mendapatkan jawaban Kenneth.

Yang sayangnya, ia justru mengangguk. "Tidak ada yang bercanda. Keluargaku yang menutup kasus tersebut demi sebuah reputasi."

"Konyol." Pandanganku mengabur dan tanganku berkeringat.

"Dan menyebalkan." Tambahnya, semakin menyakiti hatiku. "Aku sungguh ingin membunuh orang tuaku dan gadis gila itu karena reputasi sialan tersebut."

"Aku ...."

"Aku harus membawamu pulang sekarang." Kenneth menyela omonganku, sambil menarik tanganku pelan.

"Tapi ...."

Aku harus tahu bagaimana keadaan Christopher terlebih dahulu.

Mengetahui mengapa harus Kenneth yang membawaku pulang dan mengapa bukan mom atau dad?

Separah apa keadaannya sekarang?

"Oh, James Fucking Bond, kalau kau mengkhawatirkan Christopher, dia sudah aman. Berada di ruang observasi bersama dua bodyguard milik kenalan ibunya." Jelas, nada suara Kenneth sedang mengejek empat kalimat terakhirnya.

Sangat Kenneth sekali, tapi itu tidak penting.

"Dan bagaimana dengan orang tuaku?" Aku tahu Kenneth tidak sabar karena ia menyugar rambutnya, sebelum menarik tanganku.

"Ibumu ada di rumah bersama Davis, memastikan semua aman. Ayahmu, aku tidak tahu pasti, tapi yang jelas dia tentu sedang memperketat keamanan keluarganya atau mulai menyusun rencana.

"Berhentilah mengulur waktu dan pergi saja, Heather. Kau beruntung karena tidak terluka sedikit pun dan tuanmu ini, bersedia mempertaruhkan nyawa untuk melindungimu."

Lalu Kenneth menarik tanganku lagi, tapi kali ini tidak ada perlawanan karena aku langsung menurutinya.

Melangkah di belakangnya, sambil otakku terus-menerus berpikir.

Apakah benar aku baru saja mendapatkan serangan panik?

Apakah benar yang dialami Kenneth?

Apakah benar keberadaan gadis itu hanya halusinasi?

Apakah mimpi buruk itu adalah salah satu efeknya?

Sial, terlalu banyak pertanyaan, tanpa memiliki jawaban. Kepalaku terasa akan pecah menampung semua ini.

"Kenneth, pinjamkan aku ponselmu," kataku pada akhirnya, setelah duduk di mobil lelaki itu.

"Sure."

Ia merogoh saku jaketnya, menyerahkan alat komunikasi tersebut dan aku menelepon nomor Christopher dalam perjalanan menuju rumah, sebelum menelepon mom.

Dan bisa dibilang, keadaannya memang tidak aman.

Rumahku juga mendapatkan teror.

Lebih tepatnya di kamarku.

Foto kami--aku dan Christopher--yang diambil saat peristiwa mobil Davis menjadi tempat sampah, dirusak menggunakan spidol marker dan ditempelkan di bantal, bersama bangkai tikus menggunakan sebilah pisau.

Mom bilang aroma bangkainya sangat menusuk.

Akan tetapi, itu hanya sebagian kecilnya karena lebih parah lagi, pisau tersebut masih berlumuran darah.

Yang mungkin saja merupakan darah milik lelaki yang tidak sengaja dilukainya di pesta Big D.

Aku tidak mengatakan hal tersebut pada mom, tapi--Jalang sialan, kau seharusnya berada di neraka dan--

Ponselku!

Tidak.

Jangan sampai benda itu ada di tangannya.

"Oh, shit," bisikku. "Jangan lupakan, Christopher pernah mem-posting-nya."

***

Yeay! Akhirnya lima bab menuju ending! (Ps. Cuma prediksi, bisa bertambah enam atau tujuh bab menuju ending) 😅

Bisa kalian perkirakan gak bakal ada kejadian apa untuk chapter2 selanjutnya?

Sorry ya kalau sejauh ini cerita Heather dan Christopher gk sesuai dengan ekspektasi kalian. Tapi kuharap kalian bisa baca sampai tamat.

Terima kasih. Dengan cinta untuk kalian <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro