
Chapter 024 - That Girl
08.58 AM, Mercy Hospital.
Meski tidak ada tanda-tanda seorang pun yang keluar, kami masih setia menunggu.
Mom memeluk Nancy. Tanpa merasa lelah terus menanamkan afirmasi positif tentang keselamatan Christopher. Meski yang dilakukan Nancy hanyalah menangis.
Saluran berita di televisi menayangkan kejadian yang menimpa Christopher. Beberapa orang dijadikan narasumber oleh para wartawan. Mereka menceritakan, dalam sudut pandang masing-masing dengan inti yang hampir mirip. Cuplikan melalui rekaman CCTV pun tak jarang mereka putar beberapa kali, hingga perutku merasa mual.
Aku memalingkan wajah dari televisi, ke arah pintu lift yang terus bekerja. Berusaha mengalihkan perhatian dengan menghitung berapa banyak manusia di rumah sakit yang menggunakan fasilitas tersebut.
Akan tetapi, aktivitas tersebut memang membuang-buang waktu karena telingaku tentu saja masih bisa mendengar. Jadi aku bangkit dari bangku, melangkah menghampiri mom yang masih memeluk Nancy.
"Aku harus pergi ke toilet," kataku pada mom, sambil menahan gejolak di dalam sana.
Mom mengangguk, ingin mengatakan sesuatu. Namun, tertahan saat suara langkah kaki terdengar mendekati kami. Kuharap itu adalah petugas kesehatan yang membawa kabar baik.
... atau mungkin tidak.
Langkah itu milik Mr. Lee. Ia melangkah terburu-buru, tidak setenang biasanya, sesuai dengan penampilan yang teramat kacau. Tangan pria itu membawa air mineral lalu memberikannya pada mom dan Nancy lalu ia menoleh ke arahku.
"Mrs. Jean ingin menemuimu," katanya, sambil menyerahkan air mineral. Hal sederhana yang mengingatkanku bahwa tenggorokanku telah mengering.
"Terima kasih, Mr. Lee, tapi ...." Aku ingin menolak, pertemuan ini. Kupikir Mrs. Jean bisa saja bertanya pada dad atau orang lain yang juga berada di sekitar kami di tempat kejadian. Jadi aku berkata lagi, "Aku lebih ingin menunggu Christopher di sini."
Kurasa itu adalah pilihan tepat. Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini dengan terus memikirkan nasib Christopher.
Namun, Mr. Lee meletakkan salah satu tangannya di bahuku. Ia menunduk sedikit agar tinggi kami sejajar dan bisa kulihat sorot mata kelelahannya. "Katakan saja apa yang kau ketahui, Sayang."
Aku menghela napas pelan. Tidak ingin menyinggung Mr. Lee sehingga tanpa mengatakan apapun, aku menoleh ke arah mom dan wanita itu mengangguk.
"Baiklah," kataku, pada akhirnya.
09.20 AM.
Mrs. Jean menatapku melalui celah bulu mata, sembari jari telunjuknya terus mengitari bibir gelas kopi. Seragam polisi yang melekat di tubuhnya, membuat wanita itu menjadi pusat perhatian bagi pengunjung kafetaria.
"Katakan dengan jelas, Heather," pintanya sekali lagi, meski jawaban yang kuberikan terdengar tidak memuaskan.
Aku memang tidak tahu apapun. Semua berlangsung sangat cepat, bahkan membuat otakku kesulitan untuk mencernanya. So ....
"Semuanya terjadi begitu saja. Terlalu cepat, sampai rasanya hanya memerlukukan waktu kurang dari sedetik. Aku tidak tahu apapun, Mrs. Jean dan kau tentu bisa lihat betapa syok diriku saat itu."
Aku meneguk saliva pelan-pelan. Jemari saling bertaut, menempel pada meja kayu yang menghadap jendela berukuran seperti dinding. Mrs. Jean duduk di depanku, bersama bolpoin dan buku kecil di atas meja, serta membelakangi matahari, membuatnya tampak seperti malaikat keputusan yang akan menentukan seperti apa diriku setelah ini.
Seorang pramusaji bernama Cal meletakkan dua piring kertas berisi sandwich di meja kami. Mrs. Jean mempersilakanku untuk menikmatinya, hanya menggunakan bahasa tubuh karena dia kembali bertanya, "Kau yakin, tidak mampu mendeteksi seperti apa perawakannya, Heather? Aku tahu sulit untuk mendapatkan detail di saat seperti itu, tapi setidaknya kau mungkin bisa menjelaskan lebih detail bagaimana hal tersebut terjadi karena tidak semua bisa tertangkap oleh CCTV."
Benar. Secara imajiner aku mengangguk, tetapi kenyataannya aku menunduk sambil terus menggenggam kedua tangan. Sandwich di depan mata sungguh tak menarik minat, meski sekarang sudah lewat jam sarapan.
Aku menghela napas, serta dengan terpaksa kembali menjawab, "Nope."
Nyaris tiga kali kukatakan hal serupa, tetapi Mrs. Jean tidak menyerah. Dia terus memaksaku agar terus berpikir, melihat ke segala sudut pandang, serta mengingat kembali jika saja ada sesuatu yang sengaja kulupakan.
Akan tetapi, apa? Pertanyaan itu terus-menerus bertumpuk di kepala tanpa mampu kutemukan jawabannya.
"Maafkan aku, Mrs. Jean, tapi sungguh aku tidak sempat melihat bagaimana perawakannya. Terlebih hanya keadaan Christopher yang kupikirkan saat itu."
Yeah, ini memang tidak ada gunanya. Aku adalah saksi mata terburuk di dunia. Bahkan jawabanku hanya berkisar tentang seberapa khawatir dan terkejutnya aku tentang kejadian ini. Syok telah membuat pikiranku buntu dan Mrs. Jean adalah pekerja profesional yang tetap ingin bertemu denganku, meski pertemuan lima belas menit kami telah memiliki hasil teramat minus.
"Baiklah." Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya. "Aku tidak tahu ini harus diceritakan atau tidak, tapi, yeah, kami berjalan kaki di jalur yang sesusai dengan aturan. Menyeberang jalan bersama para pejalan kaki lainnya lalu klakson tiba-tiba berbunyi di dekat kami, membuat beberapa orang di sekitar menghindar, tetapi kami terlambat.
"Entahlah, karena ... seperti kukatakan semua terjadi begitu saja."
"Seperti orang itu memang menargetkan kalian?" Mrs. Jean menyesap kopi hitam di gelas kertas kemudian menuliskan sesuatu di buku kecilnya.
Aku menggeleng. "Entahlah, kalau memang ditargetkan, seharusnya itu adalah aku, bukan Christopher."
"Dan mengapa itu adalah kau?"
Genggaman tanganku semakin erat. Benang kusut di kepala, akhirnya mulai terurai sedikit. "Karena aku berkencan dengannya dan Christopher termasuk golongan cowok yang memiliki banyak penggemar."
Kutatap Mrs. Jean dan ia tersenyum tipis. "Lanjutkan," perintahnya.
"Apakah memungkinkan bahwa ini adalah kecelakaan yang disengaja?"
"Aku belum tahu pasti." Sayangnya, Mrs. Jean menggeleng. "Tetapi, itu bisa menjadi salah satu dugaan."
"Keberadaanku, menciptakan ketidaksukaan bagi penggemarnya."
"Seberapa banyak?"
"Nyaris sangat banyak. Aku menutup akun media sosialku setelah mereka menyerangku, tetapi hal itu tidak cukup."
Mrs. Jean mengangguk-angguk, sambil terus menulis sederet kalimat di bukunya. Dia hanya menatapku sesekali, tetapi pernyataan tersebut membuat laci-laci dalam otakku terbuka lebar dan secara otomatis mulai mengaitkan satu sama lain.
"Kapan terakhir kali kau menerima tindakan kebencian?" tanya Mrs. Jean.
"Kemarin."
"Kemarin?" Dia menatapku, tetapi tidak terkejut karena pembawaannya yang selalu tenang sejak awal.
"Yeah." Aku mengangguk samar. "Terjadi seharian penuh. Mereka mengotori mobilku dengan sampah-sampah basah lalu ...." Kugigit pipi bagian dalam, mulai menimbang-nimbang untuk mengatakan sesuatu yang sebelumnya, ingin sekali kukatakan pada dad.
"Heather?"
"Ya."
"Kau bisa mengatakan apapun. Karena inilah kau berada di sini, mengobrol denganku." Mrs. Jean meletakkan tangannya di tanganku, seolah ingin menenangkanku. Membuatku percaya padanya.
"Ada gadis yang sama." Jantungku berdetak kencang, bersamaan dengan memori otak yang menampilkan ekspresi gadis itu. "Dia terlihat pertama kali setelah tidak sengaja memecahkan jendela rumah Christopher. Kemudian pada pesta yang kami datangi, tidak berakhir baik, tetapi aku melihat seperti percobaan penyerangan."
"Pesta milik Dawn Peterson?"
Aku mengangguk. "Gadis itu, entah siapa yang ingin ia serang."
"Gadis berambut pirang pucat."
Apa?! Kedua mataku melebar. Keterkejutan kini tak sanggup lagi disembunyikan. Terutama setelah, Mrs. Jean memperlihatkan gambar sketsa wajah gadis itu.
"Apakah sama dengan yang kau lihat?"
Jesus! "Yeah."
Mrs. Jean menyimpan gambar tersebut kembali, selagi berkata, "Sudah kuduga. Dia menemukan target baru."
"A-aku tidak mengerti."
"Tidak apa-apa, Heather." Mrs. Jean menutup bukunya lalu meletakkan tangan kanannya di bahuku. Tatapan wanita itu berubah, menjadi lebih serius dari sebelumnya. "Hanya berhati-hatilah. Akan kuberitahu semua ini pada ayahmu."
Dia ingin beranjak dari tempat duduknya, tetapi aku menahannya. "Tidak, jangan pergi sekarang, Mrs. Jean," kataku mencegahnya karena aku tidak ingin ditinggalkan seperti ini. "Tolong, beritahu aku, siapa dia dan target baru apa yang kau maksud? Kalau memang dia berbahaya, bukankah seharusnya media meliput hal tersebut?"
"Akan kukirimkan detail-nya melalui email. Kasus ini memang ditutup sesuai dengan permintaan keluarga korban sebelumnya. Namun, karena kau anak rekan kerjaku, kurasa aku harus membukanya kembali.
"Jadi tolong, kirimkan juga detailnya padaku melalui email secepatnya. Apapun yang kau tahu dan jangan ada yang disembunyikan."
Oh, Jesus.
Tubuhku seketika gemetar.
Pikiranku pun mulai terpecah belah.
Dan kekhawatiranku semakin memuncak.
Bukan hanya tentang Christopher, tetapi juga diriku. Entah siapa gadis itu, tetapi dia tentu mengincar salah satu di antara kami dan ....
... Christopher memiliki nilai lebih unggul dariku.
Jendela yang ia pecahkan di rumah Christopher.
Percobaan pembunuhan yang salah sasaran di pesta Big D.
Dan kecelakaan yang menimpa Christopher.
Apakah satu orang yang sama?
Aku perlu melihat rekaman CCTV-nya sekarang juga lalu--
Bagaimana dengan pesan dari nomor asing yang kuabaikan?!
Nomor asing--
Nomor asing--
Nomor asing--
Mustahil!
Aku merogoh saku hooddie, setelah Mrs. Jean menghilang di pintu kafetaria lalu buru-buru mengaktifkan ponsel yang kuabaikan berjam-jam lalu. Setumpuk pemberitahuan membuat daya kerja benda tersebut bekerja jauh lebih lambat, bahkan tidak mampu dioperasikan hingga aku harus menunggu.
Sepuluh detik.
Lima belas detik.
Sial! Kenapa lama sekali?!
Lalu setelah nyaris tiga puluh detik, ponselku akhirnya berhenti bergetar dan terlihat lebih dari seratus pesan, serta panggilan tidak terjawab yang mana sebagian besar adalah--
"Shit." Tanganku gemetar hebat, seiring keringat membasahi kedua telapak tangan, dan secara perlahan juga mulai bermunculan di kening.
Aku menelan saliva. Tenggorokan mendadak menjadi kering karena netraku tak sanggup berpaling.
Nomor asing yang sama.
Mengirimkan pesan berisi ancaman.
Kutukkan.
Foto.
Video.
Yang memperlihatkan betapa ia sangat membenciku dan ....
"Christopher." Netraku bergetar, suaraku serak, bahkan air mata mengalir begitu saja.
Aku ketakutan.
Sungguh.
Hingga tanpa sadar aku melangkah lebar, berlari, mencari keberadaan Mrs. Jean. Tahu bahwa aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk sebuah email. Namun--
Tidak!
Langkahku goyah, seiring sakit luar biasa menjalar di punggungku. Membuat kedua lutut membentur lantai dan pandangaku ....
Sial!
Seharusnya aku melarikan diri.
Tapi aku menoleh ke belakang dan--
Dan--
Dan--
Samar-samar gadis itu muncul.
Seharusnya dad tidak meninggalkanku sendirian bersama Mrs. Jean.
Seharusnya aku menolak permintaan Mr. Lee saat pria itu mengatakan bahwa Mrs. Jean ingin menemuiku.
Seharusnya aku tetap menunggu Christopher di depan ruang operasi.
Seharusnya aku--
Seharusnya aku--
Dan hanya keheningan ....
... yang tersisa.
***
Alo! What do u think about this chap guys? Hope u still like it nd keep reading this story.
With luv ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro