Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 022 - You're My Only Daughter

Keesokan harinya, aku terbangun karena Cecilia mengirimiku beberapa pesan singkat.

Cecilia : Sinting. Aku pikir kau memang sudah tidur di kamarmu.

Cecilia : Ops! Maafkan aku, Heather Sayang. Bukan aku yang menggoda kakakmu, tapi dia.

Cecilia : Davis bilang tidak ada siapa pun di rumah selain kau. Jadi aku setuju-setuju saja.

Cecilia : Tapi kau lebih gila! Bersama Christopher jam tiga dini hari. Dari mana saja sampai selarut itu?

Cecilia : Terakhir, tolong, jawab aku, apa kau akhirnya menginap di rumah Christopher? Apa kasurnya terasa nyaman dan empuk? Apa kalian menyalakan pendingin ruangan? Seberapa rendah kau harus mengaturnya? LOL

Cecilia : Jangan abaikan. Aku penasaran. Demi Tuhan!

Kubersihkan kotoran di sudut-sudut mata menggunakan jari tangan, selagi membaca pesan Cecilia lalu ada satu pesan dari Davis. Aku tidak membuka bagian tersebut, hanya melihat melalu notification karena isinya hanya pemberitahuan bahwa mom akan segera datang. Dia pasti hanya membual karena pada dasarnya lelaki itulah yang membuatku berakhir di sini.

Singkatnya, Davis membawa Cecilia ke rumah, bermesraan penuh gairah di ruang tamu hingga mereka setengah telanjang dan menjadi kalang kabut, ketika kami mendapati mereka.

"Oh, shit!" Davis berteriak, tertahan saat nyaris telanjang di atas Cecilia, di sofa ruang tamu. "Heather, kupikir kau di kamar."

"Lalu kenapa kalau aku di kamar?" Aku memalingkan wajah, berdiri di samping Christopher, selagi Cecilia beranjak--lebih panik--sambil menutupi bagian tubuh menggunakan pakaian Davis.

"Sial! Sa-santai saja, ok? Aku hanya sebentar." Aku menunjuk ke pintu ke arah mana saja. "Yeah, cuma sebentar. Christopher, ikutlah denganku."

Lalu dengan suasana yang teramat canggung, kutarik tangan Christopher menuju pintu keluar.

Dan tahu apa yang dikatakan Christopher, dia malah meminta mereka untuk melupakan kedatangan kami, serta sebaiknya segera melanjutkan adegan panas tersebut, sebelum penis Davis melemah.

Yuks! Aku tahu itu normal untuk dua lelaki tersebut, tetapi canggung untuk telinga seorang perempuan sepertiku.

Aku menguap, meletakkan kembali alat komunikasi itu di samping tumpukan beberapa kain yang beralih fungsi sebagai tempat tidur.

"Beruntunglah karena aku adik yang pengertian," kataku, dimaksudkan kepada Bajingan Davis, meski dia tidak berada di sini. "Dan nasib buruk karena Davis tidak membawamu ke kamarnya, Cecilia. Tapi kurasa kau pun juga tidak mempermasalahkannya. Oh, sial! Kenapa aku jadi bicara sendiri?"

Christopher masih tertidur di sampingku. Dengkuran halus terdengar samar dan lengan kanan lelaki itu--Jesus--berat sekali untuk menjauhkannya terlebih karena hanya kehangatan yang ia tawarkan.

Sebelum berbalik menghadap Christopher, aku mengecup pergelangan tangannya, menghirup dalam aroma tubuh lelaki itu yang kali ini memiliki aroma samar dari salah satu cologne. Jarak kami hanya beberapa centi--tentu saja--kami tidur dalam posisi berpelukan--membuatku mudah sekali untuk memerhatikan wajahnya atau bahkan, mencium makhluk paling indah yang sedang tertidur pulas ini. Namun, tidak akan kulakukan pilihan kedua karena--kapan aku bisa mendapatkan kesempatan seperti ini lagi? Tidak mungkin besok atau lusa, 'kan?!

Jadi selembut mungkin kuletakkan tanganku di rahangnya. Menatap lekat wajah Christopher yang bisa dibilang saat ia tidur, terlihat seperti sesosok malaikat. Ha-ha. Katakan saja aku berlebihan! Karena memang seperti itu adanya. Sepasang alisnya tercipta dengan begitu rapi, tebal, dan panjang, tanpa kau perlu mengikisnya sedikit demi mendapatkan bentuk simetris. Bulu matanya pun lentik dan tebal, seolah sering mendapatkan perawatan dari aloevera. Ibu jariku mengusap bagian tersebut lalu kedua sudut bibirku sedikit terangkat.

Selama ini yang kupikirkan tidak pernah jauh dari hal-hal mesum tentang Christopher. Padahal lelaki ini juga memiliki sesuatu yang lebih bersih. Seperti bagaimana dia memperlakukanku, dengan meminta ijin sebelumnya. Lupakan tentang ciuman mendadak pasca pelelangan tempo lalu, anggap saja bahwa ia tengah terdesak dan aku adalah orang yang tepat.

Tepat dalam artian, dia mungkin tahu bahwa aku memiliki ketertarikan dengannya.

Tepat dalam artian, kami secara tidak langsung terikat karena sesuatu yang berbeda, tetapi saling terhubung.

Dan yang terpenting adalah tepat dalam artian, Christopher pun rupanya juga tertarik padaku.

Aku menyimpulkan bagian terakhir itu dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi sebab jika dipikir berulang kali, mana mungkin Christopher mau terlibat di saat ia sendiri pun bisa menolaknya.

Jadi ... yeah, "Sejak kapan kau menyukaiku? Karena aku sudah lama sekali merasakannya." Aku berbisik pada Christopher yang masih tertidur.

Kening lelaki itu mengerut dan segera kuusap lembut ibu jari di pangkal hidung menuju keningnya, beberapa kali melakukan hal tersebut hingga ia kembali pulas. Sesuatu yang sering dilakukan grandmom padaku, rupanya memang efektif menenangkan.

Kau tampan.

Kau keren.

Kau lembut sekali.

Malu-malu kusapukan kembali ujung jari di rahang Christopher dan sebenarnya, juga ingin menyentuh bibir, hidung, mata, dan seluruh yang ada di wajahnya. Namun, tentu saja hal itu akan membuat Christopher terbangun sehingga mau bagaimana lagi? Hanya menatapnya-lah yang bisa kulakukan.

Christopher memiliki kulit super lembut, pori-pori wajah yang cukup besar di area pipi dekat hidung tidak terlalu bermasalah sebab warna kulit yang seputih susu. Berbeda denganku yang berwarna pucat, serta memiliki beberapa bintik hitam. Wajah Christopher lembap sehingga menyenangkan untuk di sentuh, sedangkan milikku kering jelas terasa kasar terutama saat musim dingin tiba.

Christopher memiliki apa yang kuidam-idamkan sebagai perempuan. Tipikal orang-orang Asia, di mana tekstur kulit mereka selalu membuat iri beberapa orang Amerika.

Aku mengecup bibirnya. Singkat saja. Lalu pipinya, matanya, hidungnya, keningnya, dan tanganku menyugar rambutnya kemudian--

"Sudah puas menganalisa bagian atas diriku, Babe?"

"Oh, damn it," desisku terkesiap, saat kedua mata itu tiba-tiba saja terbuka plus suara serak meluncur jelas dari bibir yang nyaris kucium.

Aku segera beringsut mundur, menjaga jarak agar tidak terlalu menempel. Namun, mudah sekali, posisiku tidak aman sehingga Christopher mampu mempertahankan posisi kembar siam yang sedang berbaring.

Ia menatapku, tersenyum, membelakangi cahaya matahari yang mengintip dari celah gorden.

"Selamat pagi," katanya lalu mengecup keningku. "Kupikir kau akan memanfaatkan kesempatan dengan menyentuhku lebih jauh."

Sial! Wajahku memanas.

"Tapi ekspektasiku terlalu tinggi." Dia berujar lagi. "Kalau saja aku tidak membuka mata, sejauh mana yang akan kau lakukan, Heather?"

Hei, hei, pertanyaan macam apa itu?! Aku mendorong tubuh Christopher agar menjauh atau kalau tidak bisa, aku saja yang melakukannya. Namun, lelaki itu keras kepala. Melingkarkan kakinya di kakiku, seolah aku adalah batang pohon dan dia adalah koala.

"Sejak kapan kau terjaga?" Aku harus siap dengan jawaban yang terburuk.

Christopher mengerling, pura-pura berpikir, padahal dia pasti sudah tahu jawabannya.

"Sejak kapan?" desakku.

Dan dia tertawa kecil. "Kau sangat penasaran, ya?"

Menyebalkan.

"Saat kali pertama kau menyentuh rahangku."

Lalu kedua mataku melebar. Bahkan ketika jelas sekali, Christopher mengatakan hal tersebut dengan sangat santai.

"Dan ... kau tidak bangun saja?" Entah kenapa aku malah agak panik, seolah yang kulakukan itu adalah tindakan kriminal.

Tindakan kriminal yang anehnya, juga membuat Christopher tertawa. "Why?"

Oh, ayolah, kenapa, Heather? Christopher bahkan mempertanyakannya, tapi aku juga tidak punya jawaban. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain, selain memaksakan diri untuk menjauh.

Yeah, menjauh seperti pegulat yang berusaha membebaskan diri. Aku memukul-mukul, bahkan menendang Christopher untuk mendapatkan kebebasan. Namun, tidak benar-benar berniat menyakitinya sebab ia justru semakin tertawa terpingkal-pingkal.

Aku duduk bersila, membelakanginya lalu berkata, "Hei, tidak ada yang lucu!" Nada suaraku ketus, padahal menikmati tawanya yang teramat renyah di telinga. "Berhentilah bertingkah seperti orang gila."

"Ok, ok, Heather," kata Christopher, masih di sela tawa yang berusaha ia redam. "Kau lucu banget."

Christopher memelukku, meletakkan keningnya di keningku, serta menyelimutiku menggunakan selimut yang semalam kami gunakan bersama. Di dalam sana, aku merasakan kulit lelaki itu menyentuh lembut bagian depan tubuhku yang kebetulan hanya mengenakan bra setengah kering.

Kedua mataku terpejam ketika Christopher menyapukan bibirnya di garis rahangku lalu turun ke leher. Kantuk sebenarnya masih terasa. Nyaris tidak tidur semalaman adalah petaka, hal itu karena tugas dari Professor Smith mendesakku untuk segera diselesaikan.

Semalam Paul mengingatkanku dan untuk pertama kali, aku nyaris melupakan tanggung jawab.

"Kukira kau benar-benar akan menyewa hotel," kataku tetap menatap layar ponsel, sambil mengetik sederet kalimat pada document words yang terhubung dengan notebook.

Christopher berbaring di sisiku, memainkan rambutku dengan memilin mereka berulang-ulang di jari telunjuknya.

"Aku merasa jauh lebih beruntung menghabiskan waktu di toko roti ibumu, daripada menghabiskan uang sekadar menyewa kamar hotel bintang lima hanya untuk menemanimu mengerjakan tugas Professor Smith."

Aku menoleh ke arah Christopher. Menangkapinya sedang menguap lebar. "Kalau begitu kenapa tidak tidur saja? Pergerakanmu sungguh mengganggu."

Akan tetapi, dia menggeleng dan bangkit dari tempatnya berbaring kemudian meletakkan kepala di atas gumpalan hoddie. "Tidak akan tidur sampai kau tertidur."

Aku memutar mata. "Baiklah, aku tersanjung mendengarnya," kataku, sambil meletakkan ponsel serta menutup beberapa buku yang kupinjam di perpustakaan. "Hanya tiga puluh menit, setelahnya aku akan melanjutkan pekerjaanku. Terserah, kau ingin mengerjakan tugas Professor Smith atau tidak, itu bukan urusanku. Namun, yeah, aku juga perlu istirahat dan semoga itu sungguhan. Tidak ada maksud lain."

Kedua sudut bibir Christopher terangkat dan sebagai pacar yang baik, dia memang tidak menggangguku. Kami berbaring di atas tumpukan kain di depan etalase, berselimutkan satin bekas dekorasi, dan menggunakan lengan Christopher sebagai bantalku, serta hoddie sebagai bantalnya.

Lima menit pertama, kami belum tertidur. Masih saling berpelukan dan Christopher membelai rambutku.

Lima menit kedua, sepertinya Christopher sudah mulai mengantuk. Belaiannya memelan, bersamaan dengan kedua mata yang tertutup rapat.

Lalu setelahnya, aku pun turut tertidur, sampai tidak mendengar alarm atau mungkin tanpa sadar mematikannya dan baru terbangun sekarang. Setelah Cecilia mengirimiku beberapa chat.

"Sudah terlambat untuk mengumpulkan tugas dari Professor Smith," kataku pada Christopher, sambil menoleh ke arah jendela kecil yang mulai memperlihatkan cahaya matahari pagi. "Dan kurasa, ini akan jadi kali pertama aku terlambat masuk kelas."

"Oh, Heather." Christopher melepaskan ciumannya di belahan dadaku. "Apa kau secara tidak langsung mengatakan bahwa kau menyesal?"

Aku menunduk, menatap wajahnya yang kurang menyenangkan untuk dilihat. "Nope."

"Nope?" Dia mengulang jawabanku, tetapi terdengar mempertanyakannya. "Sebenarnya, aku sangat menikmatinya."

"What?" Suara yang tidak asing lantas membuat kami berdua menoleh ke arah pintu utama.

Dad!

Kedua mataku melebar.

Dalam hitungan detik, aku menjauh dari Christopher. Meraih apa saja untuk mengelak pemandangan yang pasti bisa menciptakan kesalahpahaman.

Aku meraih ponsel, sambil membuka salah satu buku secara acak.

Dan Christopher--he such an idiot!

Dia pura-pura membaca, tetapi bukan buku sungguhan yang ia baca. Melainkan buku tamu bekas pesta ulang tahun Mrs. North beberapa bulan lalu.

"Apa yang kau nikmati semalam, Christopher?" Suara dad tenang. Namun, terdengar seperti menginterogasi pelaku kejahatan, daripada bertanya pada anak tetangga.

Aku melirik ke arah Christopher lalu mengintip melalui celah bulu mata ke arah dad. Pria itu mengenakan seragam sheriff lengkap. Berdiri di ambang pintu, sambil bertolak pinggang.

Sial!

Christopher menutup bukunya lalu menampilkan senyum paling idiot yang kuharap, tidak ia perlihatkan. Kami tertangkap basah, bahkan tanpa ada seks sekali pun. Namun, dengan penampakan yang seperti ini dad pasti akan berpikir ke arah sana.

Jadi aku membuka mulut, bersiap untuk menjelaskan apa yang terjadi dan mungkin akan mengatakan semuanya. Akan tetapi, Christopher berbicara satu detik lebih dulu dariku.

"Kami mengerjakan tugas bersama dan karena Davis membawa teman-temannya ke rumah, kau, tahu"--Christopher mengedikkan bahu, sambil melirik ke arahku--"Heather kehilangan konsentrasi. Dia mengetuk pintu rumahku, ingin menumpang mengerjakan tugas kuliah di rumahku, tapi na'as rumahku dibobol orang iseng."

Sebelah alis dad terangkat. Jelas dia tidak akan memercayai ucapan Christopher. Netranya mengarah padaku lalu menatap ke arah Christopher, terus seperti demikian selama beberapa kali kemudian beralih pada tumpukan kain yang kami gunakan sebagai alas tidur. Melihatnya saja, aku langsung mengerti apa yang pria itu cari.

"Dad," panggilku, "no." Aku menggeleng pelan ke arahnya dengan harapan semoga dad mengerti. "Yang dikatakan Christopher ada benarnya."

"Kenakan pakaian kalian," perintahnya lalu berbalik--memunggungi--memberikan kami sedikit waktu untuk berbenah.

Christopher meraih kaos tanpa lengan di sandaran kursi, mengenakannya tanpa butuh waktu lama lalu memberikan hooddie miliknya padaku. Ia berbisik, sebelum aku bertanya, "Kau lebih memerlukannya karena dia jauh lebih nyaman, daripada jaket kulit yang dikenakan sebagai pelapis bra tanpa camisole."

Aku tidak mengatakan apapun, tetapi menuruti sarannya dan sedetik setelah mengenakan hooddie Christopher, mom muncul dengan ponsel masih menempel pada telinga. Tatapan kami sempat bertemu selama beberapa detik.

"Ya, Christopher ada di sini, Nancy," kata mom.

Kutatap Christopher, setelah mom menyebutkan nama Nancy. Lelaki itu mengangkat bahunya.

"Dia tidak pernah mencariku," bisik Christopher.

"Kau mengacaukan sesuatu?"

Dia menggeleng. "Selain mobil yang tertinggal, kurasa tidak."

"Ya, Lee, sudah menceritakan semuanya dan Arthur juga sudah menghubungi temannya." Mom melirik lagi ke arah kami berdua. "Tidak ada yang terlambat, Nancy. Keputusan kalian sudah benar untuk melaporkan tindakan perusakan properti yang terjadi berulang itu."

Lalu mom mengakhiri panggilannya teleponnya, setelah mengucapkan salam perpisahan yang terjadi sebagaimana umumnya.

"Aku harus segera membuka toko," kata mom, "dan kalian harus segera pergi kuliah, benar, 'kan?"

Dan aku segera sadar bahwa mom mencoba melepaskan kami dari sesi interogasi yang kemungkinan besar, akan dilakukan dad.

Tidak perlu bertanya tentang apa yang terjadi, kurasa kami sudah bisa meraba mengapa mereka berdua sampai berada di tempat ini. Mungkin karena Davis mengatakan sesuatu, meski tidak tahu pasti yang dia katakan. Namun, dengan kejadian di rumah Christopher, semua jadi terdengar masuk akal kenapa kami bisa sampai di tempat ini.

Jadi aku segera mengemasi barang-barangku, sebelum beranjak meninggalkan toko bersama Christopher. Namun, dad menahanku dan meminta Christopher untuk keluar lebih dulu. Ada yang ingin dibicarakan denganku, katanya dan aku langsung bisa menerka apa.

"Kau menggunakan alat kontrasepsi?" Dan, yeah, tanpa basa-basi, dad langsung menanyakan hal tersebut. Bahkan di depan mom.

"Tidak ada yang terjadi dad."

"Katakan kau tidak akan melakukannya, tanpa menggunakan alat kontrasepsi."

Aku memutar mata. "Dad." Nada suaraku terdengar agak frustrasi. "Sudah kubilang, kami tidak melakukan apa yang kau pikirkan."

"Laki-laki dan perempuan di tempat seperti ini dalam keadaan setengah telanjang. Bagaimana bisa kau bilang tidak melakukan apapun?"

"Tuhan." Aku menyugar rambutku. "Mom, tolong, tanyakan pada dad apa yang harus kulakukan agar dia percaya, please."

Akan tetapi, mom tidak mengatakan apapun selain tersenyum lebar sambil memberikan dua jempol padaku. Christopher Lee? Kau luar biasa hebat, Nak. Kurang lebih itu yang ia katakan melalui gerakan mulut.

"Aku tidak ingin kau membuang cita-citamu karena harus hamil di luar nikah, Sayang."

What?! Kedua alisku menyatu. "Jangan bercanda, Dad," kataku terasa semakin menggila. "Umurku sembilan belas, nyaris dua puluh. Sudah cukup dewasa untuk tidak mengambil risiko hamil di luar nikah. Please, percaya padaku dan jangan buat perbincangan kita semakin konyol."

"Tapi--"

"Tidak," selaku, "mom bahkan percaya padaku. Kenapa kau tidak."

"Karena kau putriku satu-satunya."

Oh, God. Aku mengulurkan tanganku, meraih dad untuk dipeluk dan kuarahkan ciuman singkat di pipinya. "Yeah, dan aku sangat mencintaimu. Kalian pulang lebih cepat," kataku pada mereka berdua, tetapi sebelum dad atau mom menimpali perkataan tersebut aku terlebih dahulu mengatakan bahwa aku sudah cukup terlambat, sehingga tidak bisa berlama-lama di sini.

Beruntungnya, mom mengerti maksudku yang sebenarnya. Dia membukakan pintu untukku dan tanpa banyak bicara, melambaikan tangan setinggi mungkin. Lalu sekitar sepuluh meter dari toko roti mom, ponselku bergetar.

Pesan singkat dari mom.

Mom : Dia seksi dan tampan, kau tentu mengetahuinya, bukan?

Mom : Seleremu bagus, tidak jauh berbeda denganku, so ... jangan lupakan alat kontrasepsi-nya kapan pun kau siap melakukan itu dengannya. 😘

Dan benar-benar ada emoji seperti itu di akhir pesannya. Wajahku memanas, hingga buru-buru mematikan layar ponsel sebelum Christopher melihatnya. Menyimpan benda tersebut di saku hooddie lalu menggandeng tangan Christopher.

Lelaki itu menoleh ke arahku lalu membalas genggamanku, sebelum kami menyeberang jalan setelah lampu merah menyala.

Dan di tengah-tengah para pejalan kaki yang menyeberang, Christopher berkata, "Aku lihat apa yang kau lihat semalam, Heather."

Aku menoleh. "Apa?"

"Gadis itu dan percobaan pembunuhan itu. Aku melihatnya."

Langkahku terhenti, tepat di tengah-tengah jalur penyeberangan.

"Kau ... mengenalnya?"

Christopher berdiri di hadapanku. Dia menggeleng, tetapi kedua tangannya kini berada di bahuku. "Dengar, Heather, kau aman. Selama bersamaku, kupastikan kau tetap aman. Itu bentuk tanggung jawabku jadi, percayalah padaku."

Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat.

"Bisakah kau melakukannya?"

Aku tidak yakin untuk berkata ya. Gadis itu bisa saja lebih berbahaya dari dugaannya. Meski Christopher bilang bahwa ia juga melihat hal tersebut, bisa saja sudut pandang kami berbeda.

Christopher bisa saja berpikir bahwa gadis itu ingin melukai lelaki kulit hitam di belakangku. Sesuai dengan dugaan, bahwa motifnya merusak jendela kaca Christopher adalah bentuk patah hatinya karena dicampakkan oleh pemilik hunian terdahulu.

Berbeda denganku yang memiliki sudut pandang setelah menerima tatapan langsung dari gadis itu. Tatapan penuh kebencian yang kurasa karena--

Tunggu! Apakah masuk akal jika itu adalah kecemburuan?

Aku menatap Christopher lekat-lekat, selagi otakku berpikir lalu menjawab, "Ya, aku percaya, tapi--"

"Dan kau juga harus percaya bahwa aku tidak akan menghamilimu." Christopher mengedipkan sebelah mata, meski mendadak harus menerima pukulan sebagai balasannya.

"Sial! Kau menguping?!" tuduhku dengan masih memukulinya.

"Salahkan ayahmu yang berbicara terlalu keras seperti berpidato di hari nasional, Heather," katanya, sambil terus melangkah berusaha menjauh dari serangan.

Yang tentu saja tidak akan kubiarkan hal itu terjadi dengan mudah.

"Menyebalkan, seharusnya kau tidak perlu mengatakan apapun! Sekarang, aku jadi terlihat seperti--"

Jesus!

Ucapanku terputus.

Bunyi klakson panjang, sungguh memekakkan telinga.

Mengejutkan semua orang di sekitarku.

Dan ....

... si pengendara motor yang menginjak rem secara mendadak.

Bunyi yang khas terdengar jelas.

Tanpa mampu dicegah.

Tanpa mampu ditarik kembali.

Pandanganku mengabur, tetapi kakiku ....

... mereka melangkah lebar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro