Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 021 - At the End of the Night

"Aku baik-baik saja," bisikku, "tidak ada yang salah denganku." Aku mengangguk pelan, tetap memejamkan mata, berusaha menjadi tuli, dan setengah mati mengsugestikan diri bahwa semua tidak seburuk yang kupikirkan.

Akan tetapi, bagaimana? Aku masih bisa merasakannya.

Bukan dalam hal baik, tapi terbilang buruk.

Cairan itu kental.

Hangat.

Dan lengket.

Bau besi memenuhi paru-paruku, berbalut dengan aroma mesiu serta berbagai hal lainnya yang menyatu dalam pesta.

Teriakan dari rasa panik, umpatan, dan suara senjata api yang ditembakkan masih melekat di telinga, seolah otakku telah merekamnya untuk diulang berulang kali.

Damn it.

Kupikir ini akan menjadi pesta pertama yang menyenangkan, tetapi tidak. Aku lupa, sebagian besar pesta liar, selalu ada adegan penembakan.

Entah legal mau pun illegal.

Dan selalu ada pertumpahan darah, berujung penangkapan.

"Minum, Heather." Christopher mengulurkan sebotol air mineral ketika kami berhasil lari, serta bersembunyi di halaman rumah kosong tidak jauh dengan kediaman Big D. "Aku sungguh minta maaf karena membuatmu jadi seperti ini, tapi, yeah, kau tahu selalu ada penyerangan ketika orang-orang berada di luar kendali."

Yeah, kau benar. Hanya batinku yang menimpali perkataan Christopher. Bibirku masih terkatup rapat, selagi tubuh mengalami tremor yang tak kunjung berhenti.

Aroma ganja, alkohol, mariyuana, dan apapun yang membuat teler telah menjadi hal dominan di pesta Big D. Yang sayangnya, juga masih melekat di hidungku. Aku meneguk saliva sekuat tenaga, teringat kembali bahwa sejak awal menginjakkan kaki di sana pun sudah tampak sekali bahwa tempat itu berbahaya. Namun, lebih sial lagi, aku malah terbuai hingga menikmati suasana baru tersebut tanpa memikirkan risiko.

Dan sekarang, risiko itu datang tanpa adanya persiapan.

"Kau bisa bilang padaku kalau ingin pulang." Christopher duduk di sisiku, bersandar pada pagar berselimut tumbuhan merambat, dan ia menengadahkan wajahnya. "Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Polisi biasanya akan berpatroli untuk mencari yang kabur."

Tapi aku tetap bergeming. Menggenggam sebotol air mineral pemberian Christopher, bersama pikiran yang terus berkecamuk.

Gadis itu.

Yeah, gadis itu. Aku sudah melihatnya dua kali setelah ia muncul di depan rumah Christopher, seakan-akan dirinya mengikutiku.

Aku meneguk saliva kuat-kuat, sebelum menempelkan ujung botol ke bibir dan mulai membiarkan beberapa tegukan air berhasil melegakan dahaga.

"Christopher." Kuserahkan botol air itu padanya. "Apa kau tidak lihat apa yang terjadi di dekat kita?" Sebenarnya, jantungku pun berdetak tak keruan saat menanyakannya. "Aku melihat percobaan pembunuhan dan pelakunya--"

Tiba-tiba saja cahaya dari lampu senter memantul dari jendela kaca, hingga Christopher kembali menggenggam tanganku. Dia mengintip dari celah tumbuhan rambat, selagi cahaya tersebut bergerak-gerak seolah sedang mencari mangsa.

"Aku tahu kalian ada di sana, Bajingan kecil!"

Sial! Jika ketahuan, dad akan membunuhku. Aku nyaris kesulitan bernapas, terutama ketika suara ranting yang patah terdengar tidak jauh dari tempat persembunyian kami.

"Keluar sekarang jauh lebih baik, daripada aku yang menemukan kalian," katanya lagi, masih dengan suara ranting yang terinjak sebagai backsound. "Lagipula jika tidak ada pelanggaran, mengapa harus bersembunyi?"

Benar. Mengapa harus bersembunyi? Aku menoleh ke arah Christopher, menarik tangan lelaki itu, tetapi ia segera menahannya.

Christopher balas menatapku dan aku melirik ke arah di mana suara pria berseragam itu berasal, bersama pistol yang mungkin saja sudah teracung siaga. Tidak ada kalimat yang terucap, tetapi Christopher tampak mengerti karena ia segera menggeleng.

Aku mengerutkan kening, selagi kedua bahuku terangkat menuntut penjelasan.

Tidak ada yang salah pada kita. Aku melihat sesuatu dan harus melaporkannya. Memang tidak ada bukti, tetapi Big D pasti memiliki rekaman CCTV.

Dan penjelasan melalui telepati, memang selalu gagal jika lawan bicara tidak memiliki kemampuan membaca pikiran atau raut wajah sekali pun.

Aku memutar mata, sebelum membuka mulut untuk menjelaskannya secara gamblang. Namun, Christopher, justru menarik tanganku dan--

"Ayo," tegasnya sambil memaksaku untuk berdiri dan kami berlari lagi ke dalam keremangan yang dimiliki rumah tersebut. Seolah pemiliknya hanya membeli untuk aset liburan belaka.

Tahu bahwa kami kembali melarikan diri, pria berseragam itu pun berteriak, memerintahkan agar kami berhenti kabur atau dia akan menembak. Namun, hal tersebut sia-sia karena Christopher terus menarik tanganku, memaksa agar aku terus berlari mengikuti langkahnya sampai suara tembakan tiba-tiba terdengar. Secara alamiah kami merunduk, berguling, sedikit merayap, sambil memeriksa keadaan satu sama lain.

"Kau tertembak?" tanya Christopher dan aku menggeleng. "Jangan lihat ke belakang, ok," perintahnya, sambil membantuku untuk bangkit dan kembali membawaku berlari, semakin memasuki pekarangan rumah tersebut.

"Sebenarnya kita tidak melakukan apapun selain ingin bersenang-senang di pesta seorang teman."

"Lari saja sampai mereka kehilangan jejak, Heather."

Sial! Baiklah. Aku membalas genggaman tangan Christopher, memercayakan seluruhnya pada lelaki itu dan terus berlari.

Sampai akhirnya, suara sirine milik mobil polisi pun nyaris tak lagi terdengar. Langkah kami memelan lalu berhenti untuk mengambil napas sebanyak mungkin dan di waktu bersamaan, juga memberikan kesempatan untukku mengamati keadaan sekitar. Jajaran pohon-pohon liar, pencahayaan minim, serta suara hewan malam yang  mendominasi. Christopher membawaku ke tempat antah berantah, setelah bersusah payah melompati beberapa pagar yang berukuran cukup tinggi.

Christopher menarik napas panjang, setelah melepaskan genggamannya di tanganku demi memegangi kedua lutut. "Jangan khawatir, kita aman dan akan segera sampai," katanya di tengah napas yang tersengal-sengal.

Aku juga tidak langsung menjawab. Paru-paruku masih mengoptimalkan daya kerjanya dalam memasok oksigen. "Kau pikir hutan adalah tempat yang paling aman?" Sial! Kedua kakiku terasa lembek. "Bagaimana kalau ini akan memperburuk keadaan? Tersesat bukan sesuatu yang keren."

"Benar." Dan akhirnya, Christopher berhasil berdiri tegap. Padahal aku sendiri masih tersengal-sengal seolah umur kami terpaut jauh. "Tapi aku sudah mengenal jalur ini, seperti aku mengenal diriku sendiri."

"Jangan membual. Aku benci kegelapan di tengah hutan."

"Masih ada cahaya bulan dan"--dia merogoh saku celananya--"flash light dari ponsel."

Aku memutar mata. "Sesukamu saja." Berdiri tegak, kulepaskan jaket kulit yang kini terasa lengket akibat keringat selepas berlari. "Ini terasa seperti bukan kencan biasa."

"Yeah," katanya, "karena kau berpacaran dengan Christopher Lee."

Kami melanjutkan perjalanan di mana kali ini tidak lagi berlari karena pria berseragam kepolisian itu, mustahil akan mengejar kami sampai di sini. Kecuali kalau kami adalah buronan paling berbahaya di dunia. Christopher yang memimpin, berjalan di depanku hanya bermodal cahaya bulan menembus celah-celah pepohonan, serta flash light dari ponsel. Tanah di bawah kami cukup basah, suara aliran air samar-samar tertangkap di telinga, dan tanganku semakin erat menggenggam ujung hoddie Christopher selagi netraku mencari sumber aliran tersebut.

Well, aku tidak lupa sehingga aku perlu membasuh wajahku sekali lagi, meski Christopher telah membersihkannya.

"Kita harus ke sungai terlebih dahulu," kataku saat suara alam akhirnya benar-benar menyatu pada kami. "Meski kau sudah membersihkannya, hidungku masih saja bisa mencium bau amis."

Christopher menoleh ke arahku. Hanya sebentar, tetapi dia mengangguk dan itu membuatku agak lega.

Yeah, agak lega sebab ekspresi menyeramkan dari gadis itu masih melekat kuat di ingatanku.

"Kita memang akan menyebrangi sungai. Jalan pintas untuk cepat sampai ke rumah karena mobilku, jelas harus dititipkan terlebih dahulu bersama Big D."

"Kau yakin dia tidak ikut tertangkap?"

Christopher menggeleng. "Nope. Nama belakang membuatnya sulit untuk ditangkap."

"Lucky man."

"Exactly."

Aku tersenyum kecil ketika Christopher membenarkan label tersebut. Dia menarik tanganku lembut, membawaku berjalan di sisinya daripada berada di belakangnya. Di sepanjang perjalanan, ia bersiul, bersenandung, mengikuti salah satu lagu milik Harry Styles yang mana hal tersebut, akhirnya membuatku ikut bernyanyi.

Di tengah keremangan cahaya bulan, Christopher tersenyum lebar. Tawa singkat terdengar memanjakan telinga, selagi lelaki itu meraih kedua tanganku. "Begitu lebih baik, daripada terlalu banyak diam seakan berada di akhir dunia." Ia meletakkan mereka di bahunya, membawaku menautkan jemari di tengkuknya, dan bersama suara--yang kata Christopher tidak kalah jauh dengan milik Taylor Swift--aku menyanyikan lagu Sign of the Times. Christopher mengikuti, sambil kami melakukan dansa yang ....

... kurasa sangat jarang dilakukan oleh pasangan lain.

Dewi batinku tersenyum lebar. Kembali menari-nari di padang bunganya, bersama sekelompok kupu-kupu dan kuda poni berbulu indah.

So lucky me!

○●○●○●

"Kupikir kencan ini akan menjadi kencan terburuk sepanjang sejarah."

Christopher duduk di sampingku, setelah meletakkan kano di sisinya dan ketika aku membenamkan wajah ke dalam aliran sungai setibanya kami di dermaga buatan manusia tidak profesional.

"Tapi setelah melihat ekspresimu yang seperti itu, rasanya tidak seburuk pikiranku."

Dia membenarkan letak rambutku agar tidak basah lalu menyatukan mereka, menggunakan transparent scrunchie yang ternyata masih melingkar di pergelangan tangannya.

"Apa kau tahu seperti apa wajahmu tadi, Heather?" tanyanya, "seperti bocah sepuluh tahun yang terlalu bahagia karena bisa merasakan bagaimana menjadi Odette."

Oh, damn!

Aku mengangkat wajah, mencipratkan air ke arahnya menggunakan tangan. "Kau mengejekku. Sial! Seharusnya berkaca bahwa ekspresimu pun sama, padahal yang memiliki petualangan cinta lebih banyak adalah kau."

Dia membalas, melakukan hal serupa. Namun, dengan volume air yang lebih besar. "Apakah itu tolak ukurnya?" tanya Christopher, terdengar tidak benar-benar serius menanyakannya. "Tidak. Kau hanya termakan gosip-gosip murahan."

"Jangan mengikutiku. Kau akan membuatku basah."

"Well, bentuk pertahanan. Kau tahu?"

Aku tertawa lalu menyipratkan air menggunakan kedua tangan. Lebih banyak dan lebih cepat dari sebelumnya. Pembalasan terakhir. "Kena kau!" seruku, sambil berusaha menangkap tangan Christopher saat dia kembali ingin membalasku.

Namun, yang benar saja. Dia justru menjatuhkan diri--secara mendadak--hingga aku berada tepat di atas tubuhnya. Pergelangan tanganku menyentuh bagian dada kiri Christopher, sebuah debaran kuat terasa jelas seolah terdapat sebuah ... adrenalin?

Kontrol dirimu, Heather! Alarm bawah sadarku memperingatkan. Akan tetapi, persetan! Kami sudah saling memiliki jadi--aku melepaskan salah satu cengkramanku di tangannya, secara perlahan menelusuri garis rahangnya selagi pandangan kami saling bertemu.

Sempurna.

Christopher terpejam, saat jemariku perlahan turun ke lehernya, melintasi tonjolan yang bergerak saat ujung jari tengahku menyentuhnya dan aku meneguk saliva.

Seksi.

Kini tanganku berada pada tulang selangkanya. Bahu yang selalu kukagumi karena kekokohannya dan lengan kuat hasil dari berolahraga.

Terkutuklah kau, Heather James.

"Heather," bisik Christopher, memanggilku.

Akan tetapi, aku tidak menyahut. Masih menelusuri tubuh Christopher, saat tanganku dengan sangat berani kini berada di balik pakaiannya.

"Heather," panggilnya lagi. Kali ini dengan suara serak dan kedua mata yang masih terpejam. "Kurasa, lebih baik kita berenang saja."

Dan Christopher membuka kedua matanya. Tersenyum lebar, sambil meraih tanganku agar keluar dari dalam pakaiannya.

Sial! Aku segera bangkit. Menjauh darinya, tetapi dia memelukku--memaksa--agar tetap berada di atas tubuhnya.

"Terlalu cepat untuk hal yang paling intim, bukan?"

Aku mendongak ke arahnya. "Apa kau tidak mau melakukannya sekarang? Terus terang, kau baru saja memancingku untuk hal itu."

"Kau berharga, Heather James." Christopher mengusap kepalaku. "Bagaimana mungkin kulakukan di tempat seperti ini, jika aku punya kamar yang lebih nyaman untuk ditiduri."

"Kau ...." Aku mengatupkan bibir serapat mungkin. Tidak yakin untuk mengatakannya bahwa aku tidak peduli karena, ya, selama bersama Christopher, aku akan baik-baik saja melakukan hal itu di mana pun. Terlebih, sejak awal aku ingin dirinyalah yang menjadi pertama untukku.

"Aku ingin memberikan yang terbaik, James," jelas Christopher. Jemarinya masih membelai rambutku. "Dan kalau memungkinkan di hotel bintang lima."

Lantas kedua alisku menyatu dan kudorong dadanya menggunakan telunjuk. "Akan lebih mengesankan kalau kau mengajakku dengan uangmu sendiri," kataku lalu bergegas bangkit dan berpaling dari Christopher.

Yang benar saja, perkataannya tadi pasti membuatku memerah. Terbukti dari suhu tubuhku yang meningkat pesat dan jantung berdetak hebat. Aku tidak ingin Christopher mengetahui hal tersebut, sehingga demi menyembunyikannya segera kuturuti saja keinginan lelaki itu dengan bergegas melepaskan pakaian.

Christopher bertanya dari balik punggungku, selagi aku melepaskan camisole, "Apa yang kau lakukan?"

Duh! "Kau pura-pura tolol atau apa? Katanya ingin berenang."

Bertepatan saat aku ingin melepaskan celana jins, ia memelukku dari belakang. "Kau yakin?"

"Kenapa harus tidak yakin?"

"Sekarang sudah lewat tengah malam dan kau tidak membawa pakaian renang."

Oh. Aku tertawa kecil lalu menoleh ke arah Christopher. "Kurasa kau tahu bahwa secara teknis bra dan celana dalam wanita, tidak jauh berbeda dengan bikini. Lalu ...." Kulirik celana cargo yang dikenakan lelaki itu. "Tunggu apa lagi, Babe?"

Yuks! Babe? Itu menggelikan.

Dan aku segera melompat ke dalam sungai, setelah meloloskan celana jins lalu sengaja menyelam untuk beberapa saat. Well, hal tersebut memang perlu dilakukan demi membersihkan pikiran kotorku, sekaligus menyembunyikan ekspresi kekecewaan karena Christopher enggan menyentuhku sekarang.

Rasa dingin yang menusuk kulit pun terasa tak begitu berarti sekarang. Namun, sebuah tangan yang merengkuh pinggangku membuatku menoleh dan memaksa agar aku segera ke permukaan. Sekadar mengambil napas. Lalu kami sudah saling bertatapan saja.

"Dingin," kata Christopher. Bibirnya gemetar, begitu pula denganku. "Kukira kita akan langsung naik kano saja."

"Apa sekarang kau menyesal?"

Dia berenang lebih dekat. Di dalam air, tangan kami saling bertautan.

"Sebaliknya, aku malah senang karena ini merupakan hal baru. Siapa yang mau berenang di sungai selarut ini?"

"Hanya kita."

"Yeah, hanya kita." Christopher tertawa kemudian menarikku agar semakin lebih dekat lalu mencium bibirku. "Yang benar saja, aku bisa menghabiskan waktuku selamanya untuk menciummu."

Aku ingin menimpali perkataan Christopher, tetapi dia kembali membungkam bibirku dengan ciumannya. Tidak sampai di situ, ia bahkan menarik tubuhku agar mau menyelam bersamanya.

Menyelam sambil tetap berciuman. Seperti yang selalu terjadi film putri duyung dan kekasihnya. Ternyata tidak seburuk dugaanku, malah terasa amat sangat menggairahkan hingga dinginnya air sungai berhasil dikalahkan oleh suhu tubuhku.

Aku melingkarkan kedua tangan di leher Christopher, membiarkan lelaki itu membuka kaitan braku sekaligus tidak merasa keberatan ketika tangannya dengan bebas mengusap punggungku.

Lalu kami kembali ke permukaan, mengambil napas dengan tersengal-sengal dan Christopher berenang ke belakangku.

Dia berbisik tepat di telingaku, "Apa kau mengizinkannya?"

Yeah, selama itu adalah kau. Aku mengangguk dengan perasaan sungguh tak keruan. Apalagi semenjak tangan Christopher kembali menyentuhku.

Dimulai dari tulang selangka, turun ke belahan dada, dan perutku. Embusan napas Christopher begitu hangat menerpa leherku, hingga aku terpejam demi merasakan sensasinya.

Dan sungguh tidak sadar bahwa Christopher juga menuntunku untuk menepi. Ke bagian yang lebih dangkal, hingga kaki kami bisa menyentuh bagian dasar sungai.

"Sejak awal, aku tahu kau menginginkannya," bisiknya, "tapi aku menahan diri."

Tidak. Kau tidak perlu menahan diri. "Yeah."

"Dan perkataanku untuk memberikan yang terbaik pun masih berlaku."

"Tidak, Christopher." Napasku tersengal, ketika tangan kiri lelaki itu berada di balik bra-ku. Meremas lembut milikku, selagi tangan lainnya berada di antara kedua pahaku. "Apapun itu ... aku ...."

"Kau cantik, Heather James."

Dan aku pun terbuai.

Dalam sentuhannya.

Ciumannya.

Serta perkataannya yang selalu terdengar memujiku.

"Oh, Christopher." Kepalaku terangkat ke atas, kedua mata terpejam, dan tanganku mengepal kuat.

Kali ini bukan khayalan. Seratus persen kusadari bahwa hal ini merupakan sesuatu yang nyata.

Bagaimana saat jari Christopher membelai pusat kenikmatanku, aku tak kuasa menahan desahan. Bahkan ketika ia memasukkannya, melakukan gerakan maju mundur, aku--

Aku--

"Lepaskan, Heather," pintanya dengan suara serak, tepat di telingaku.

Dia mempercepat ritme. Jarinya terus bergerak di pusat kenikmatanku, hingga aku bergerak gelisah dan menciptakan gelombang kecil di antara kami. Jika tidak berpegangan pada ujung dermaga, serta jika Christopher tidak memelukku, dapat dipastikan aku akan tenggelam.

Terutama ketika, pada akhirnya, pelepasan itu terjadi padaku.

Aku melenguh.

Tubuhku mengejang.

Dan hanya mampu menyebutkan satu kata, diantara napas yang terputus-putus. "Christopher."

Christopher memelukku. Sedikit pun tidak melepaskan, bahkan ketika kami kembali berciuman.


***

Ola! Gimana sejauh ini guys? Bener2 malam yang panjang ya 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro