Chapter 020 - Big D's Party
Kalau bukan karena Christopher, aku pasti tidak akan berada di pesta Big D.
Aku bahkan tidak yakin bisa cocok di tempat ini. Meskipun pesta yang diselenggarakan Big D selalu terdengar menggiurkan untuk dikunjungi siapa saja, setidaknya sekali seumur hidup atau akan menjadi berkali-kali jika kau merasa cocok dan beruntung. Memang ada saat-saatnya kita harus keluar dari zona nyaman dan bersama Christopher, mungkin ini adalah salah satunya.
Rumah Big D sebesar bayanganku. Dibangun dengan sangat kokoh pada tanah datar yang ukurannya sudah pasti berhektar-hektar. Menggunakan dominan cat warna putih, dua buah patung singa menyambut kami di pintu gerbang, dan setelah melewati pintu pertama sepasang patung romawi setengah telanjang tengah menuang air di kolam ikan koi. Sebelah alisku terangkat ketika secara alamiah, langsung berfokus pada alat genital mereka.
Well, selera orang selalu berbeda-beda. Pikirku.
"Kau pasti sedang membayangkan hal yang kotor."
Damn it!
Christopher menyikut lenganku, setelah dengan tepat sekali membisikkan sesuatu yang sedang kupikirkan.
"Memangnya kau tidak?" Kubalas sikutannya lalu menggunakan dagu, menunjuk ke arah patung tersebut. "Jangan berbohong karena siapa pun tahu, bagian genitalnya-lah yang menjadi daya tarik."
"Wow, kupikir kau tidak akan mengatakannya secara gamblang." Christopher tertawa kemudian merangkul bahuku.
Yang tentu saja, membuat tubuhku agak menegang karena belum terbiasa. Namun, aku memutar mata sebelum menanggapi ucapannya. "Aku sudah kuliah. Ok? Bukan anak kecil yang merasa tidak nyaman mengatakan hal-hal tabu."
"Ya, ya, ya." Dia menarik transparent scrunchie di rambutku, hingga dalam hitungan detik low bun style yang kubuat di perjalanan pun tak lagi terlihat memamerkan sebagian leherku. "Sebaiknya dibiarkan tergerai," kata Christopher menjelaskan, bahkan sebelum aku bertanya.
Akan tetapi, aku tetap bertanya, "Why?" Karena siapa pun tentu tahu, berada di tengah-tengah kepadatan manusia selalu menciptakan hawa panas yang membuatmu gerah. Dan rambutku terlalu tebal, serta cukup panjang, untuk tetap dibiarkan tergerai dalam situasi seperti demikian.
Christopher membiarkan transparent scrunchie melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu memperlihatkannya, tepat di depan mataku. "Karena aku ingin menandai diriku sendiri sebagai lelaki yang telah memiliki pacar."
Sinting. Perutku mual setelah mendengarnya, tapi hatiku justru berbunga-bunga setelah disiram oleh bualan paling payah sedunia. Aku kembali memutar mata lalu meraih tangan kiri Christopher, "Mendengarmu mengatakan hal tersebut, aku jadi tidak ragu kalau kau selalu berhasil mematahkan hati para gadis." Aku menoleh ke arahnya, sebelum kami memasuki pintu selanjutnya yang mana di baliknya, samar-samar terdengar suara musik. "Kau memang pemain handal."
Senyum asimetris tergambar di wajah Christopher dan bukannya mengelak, ia malah bertanya, "Apa kau tidak takut, kalau suatu saat nanti aku mematahkan hatimu, Heather?"
Tidak langsung menjawab, aku justru menatapnya. Bahkan ketika tangan kami saling bertumpu menggenggam gagang pintu. Batinku secara sadar menjawab, Yeah, sial, aku tahu dan aku takut karena aku sangat menyukaimu, Idiot! "Tidak. Apa yang bisa kau harapkan dari cinta di usia dewasa awal? Bahagia hingga akhir hanyalah bonus." Aku tertawa kecil, meski hatiku melakukan hal sebaliknya.
"Jawaban yang--"
"Fuck off, bisakah kalian enyah dari sini, eh?" Kami menoleh ke arah suara. Jeff dan Kenneth, entah sejak kapan mereka berada di belakang kami. "Kalau terus ingin mengobrol lanjutkan saja di dalam dan jangan menghalangi orang lain." Rupanya itu suara Kenneth. Ini mustahil, tapi aku benar-benar melupakan suaranya hingga alarm peringatan pun tak lagi terdengar di bawah alam sadarku. "Membuatku ingin muntah saja."
Dan mendengarnya, aku pun ingin menjauhkan tanganku dari gagang pintu. Namun, Christopher menahannya dengan mencengkram sedikit lebih kuat.
Aku menoleh ke arahnya, tepat saat Christopher menjawab, "Kalau kau merasa tidak nyaman, tutup saja matamu dan jangan lihat."
"Hei, dude, berhentilah bersikap kekanakan." Jeff akhirnya angkat suara, setelah menyimpan ponsel di saku celana. Ia menatapku sesaat lalu berkata, "Heather, hari yang melelahkan, bukan? Dan lipstikmu sedikit berantakan."
"Oh--"
Disapukannya ibu jari di sudut bibirku, hingga membuat ucapanku terputus dengan tangan kiri menggantung di udara. Well, ini agak canggung, tapi Jeff tidak beralasan karena memang benar ujung ibu jarinya kini tampak sedikit mengkilap akibat lipgloss.
"Thanks," kataku sambil menyentuh bagian yang sama, yang sebelumnya disentuh Jeff. Tidak ada maksud lain, hanya sekadar memastikan bahwa usapannya benar-benar efektif membersihkan.
Dia mengangguk dan sempat kulihat Kenneth, serta Christopher tengah beradu pandang. Bukan pandangan yang bersahabat, tetapi lebih terlihat seperti mereka tengah melakukan perlombaan saling memandang, tanpa berkedip. Tak sampai di situ, bahkan urat-urat di rahang serta leher Christopher pun menyembul. Begitu pula dengan Kenneth yang kedua tangannya terkepal.
Jeff berdeham, menyadarkanku bahwa aku telah menatap mereka terlalu lama. "Abaikan saja mereka, Heather," katanya, "kau tidak mungkin mau menjadi bulan-bulanan banyak manusia yang menunggu pintu itu terbuka, 'kan?"
"Err ... yeah." Kulirik balik punggung Jeff dan di jarak sekitar sepuluh meter, tampak sekelompok lelaki dan perempuan berjalan mengarah pada kami.
Pakaian mereka seratus persen mencolok karena berasal dari merek-merek fashion terkenal di dunia, serta aksesoris dengan harga selangit. Dari kejauhan, bisa kurasakan mereka menatap kami dan karena tidak ingin membuat ucapan Jeff menjadi kenyataan, aku pun mendorong pintu tersebut dengan tenaga tiga kali lipat lebih besar, serta mengabaikan Christopher yang ... mungkin nyaris jatuh.
Damn it! Pintu berbahan apa yang beratnya seperti dua ekor gajah dewasa?
Akan tetapi, pemikiran tersebut segera terenyahkan ketika udara panas menyesakkan dada, berbaur dengan musik rap dari meja disc jockey yang menggetarkan jantung serta gendang telinga. Orang-orang berkumpul di tengah ruangan full kaca, bersorak mengatakan "hey" mengikuti instruksi DJ sambil menari sesuai versi mereka masing-masing, dan lampu disko warna-warni pun membuat suasananya semakin meriah. Meski kabut beraroma ganja dan tembakau, sulit sekali untuk diabaikan.
"Yo, Christopher, welcome to the party and ...." Big D melirik ke arahku, ketika tangannya masih menjabat tangan Christopher. "Heather James." Dia melepas jabat tangannya lalu merentangkan kedua tangan, mengisyaratkan bahwa ia ingin memelukku.
Jadi kuterima pelukan tersebut, sambil melirik ke arah Christopher. Agak penasaran dengan reaksinya.
"Ini pertama kalinya kulihat kau datang ke rumahku, so ... semoga kau betah," ujar Big D setelah merenggangkan pelukan, tetapi tidak melepaskan lengannya di tubuhku.
"Yeah, thanks." Hanya itu yang bisa kukatakan karena seseorang menyenggol bahuku, bahkan nyaris menumpahkan minumannya di baju. "Hei." Aku menegur wanita itu, tetapi langkahnya yang goyah menandakan bahwa ia mabuk berat.
Ingat, percuma menegur orang mabuk karena mereka seratus persen idiot.
Big D tersenyum ke arahku, sambil menepuk-nepuk lenganku. Bersikap hangat layaknya sang Tuan Rumah yang menyenangkan, sehingga perhatianku kembali teralihkan padanya.
"Abaikan saja yang teler dan tidak berguna itu," katanya lalu memiringkan kepala ke arah kanan. "Bergabunglah dengan kelompok, aku akan menyusul kalian." Lalu ia menepuk bahu Christopher, sebelum melangkah ke sisi lain lautan manusia, bergabung di tengah-tengah lantai dansa.
Christopher merangkulku lagi, menarik tubuhku agar menempel padanya. Ia mengarahkan wajah ke telingaku, bersamaan dengan pergantian musik menjadi suara Drake yang sedang nge-rap di pengeras suara.
"Jadi ... apa kau ingin menari atau berkeliling?" Dia bertanya dengan nada cukup keras demi bisa mengalahkan suara Drake, sekaligus suara milik semua orang di lantai dansa yang meneriakkan bagian starter from the bottom, now we're here--dulu terpuruk, sekarang kami di sini.
Aku tahu bahwa sekarang, bukanlah saat yang tepat untuk terus berpikir tentang gadis aneh itu kemudian menyangkutpautkannya dengan insiden jendela pecah di rumah Christopher. Karena Demi Tuhan, pesta Big D adalah waktu terbaik guna melepaskan pikiran tersebut. Orang-orang berseru, tertawa lepas tanpa beban, dan melakukan apa saja sesuka hati mereka. Meskipun aku payah dalam hal menjadi sok asyik, tapi menari bersama Christopher sepertinya bukan pilihan buruk so ....
"Yeah." Aku meraih tangannya, turut mengarahkan wajah ke telinga lelaki itu meski memerlukan usaha ekstra agar suaraku terdengar jelas. "Menarilah denganku, tanpa memedulikan kualitasnya."
Di dalam cahaya redup, sorot mata Christopher berbinar. "Kuharap kau tidak malu karena aku payah."
"Aku juga bukan yang paling jago, tapi bukankah kencan adalah untuk bersenang-senang?"
"Oh, aku hampir lupa bahwa ini kencan."
"Memangnya kau pikir apa?"
"Masih susah move on dari status pacar pura-pura seorang Heather James dan jabatan tuan muda Lee." Dia tersenyum lebar. "Apa kau benar-benar ingin berpacaran denganku?"
Aku memutar mata lalu mencubit lengannya. "Berhenti bersikap norak, Christopher atau kau sendiri akan merusak imajinasiku tentangmu."
"Benarkah?" tanyanya yang terdengar antusias, padahal aku tidak mengharapkannya. "Apa yang kau pikirkan tentangku?"
Preman, pemain wanita, lelaki paling tampan, seksi, dan menggairahkan di dunia. Tentu saja aku tidak akan menjawabnya seperti itu karena tanganku, kini menarik Christopher ke dalam lautan manusia. Bergabung di lantai dansa, mengabaikan perasaan sesak akibat harus berebut oksigen.
Hawa panas membuat kami berkeringat bahkan pada lima detik pertama. Namun, kami tetap berdiri berhadapan, mulai menari mengikuti ritme musik, sekaligus ikut bersorak, mengikuti perintah sang DJ. Dan tanpa kusadari lengan Christopher sudah melingkar di pinggangku, tubuh kami saling menempel, sehingga memengaruhi tarian kami yang kini mungkin sudah terlihat seperti tarian dari sepasang kembar siam.
Dan setelah dua lagu diputar dengan begitu menghentak, musik pun berubah menjadi lebih lembut, pelan, sangat ramah untuk didengar. Christopher kembali mengarahkan wajahnya ke telingaku, ketika kami secara naluriah saling berpelukan dan bergerak pelan mengikuti ritme.
"Butuh rehat?" tanyanya yang di waktu bersamaan bisa kurasakan napas Christopher tersengal-sengal, akibat beberapa lompatan di lagu sebelumnya. "Kurasa aku kehabisan tenaga karena termakan euforia Eminem."
Yeah, tidak hanya kau, Christopher. Aku mengangguk lalu tertawa kecil, saat Christopher menarik tanganku. Membawaku keluar dari lantai dansa menuju meja berisi berbagai jenis snack dan minuman, tepat bersebalahan dengan kolam renang yang juga dijadikan area pesta.
Well, kurasa seluruh bagian dari rumah ini telah dijadikan tempat untuk bersenang-senang. Sungguh tidak ada celah karena, Jesus, terasa penuh sesak oleh semua kalangan usia dari remaja, dewasa awal, dan dewasa sesungguhnya yang mungkin saja sudah memiliki keluarganya sendiri.
Langkahku terhenti pada sekelompok orang yang sedang bermain limbo, dengan menggunakan tisu toilet. Di mana hal tersebut terkesan konyol, tetapi juga menantang sebab tisu tidak sekokoh tongkat dan tangan bisa berbuat curang, sehingga siapa pun yang bergabung tentu akan bersorak dalam artian memaki.
"Kau mau bergabung?" Seorang gadis berambut merah menghampiriku, pakaiannya sudah tidak bisa disebut pakaian lagi karena ia hanya mengenakan bra dan celana dalam. "Cobalah, ini sangat menantang," katanya lagi, sambil mengusap kedua lengan telanjangnya. "Sial! Dingin sekali."
"Well, tidak aku--"
"Hei, gadis cantik ini akan bergabung!"
Oh, sial! Rahangku terjatuh secara imajiner ketika gadis berambut merah itu menyela ucapanku. Ia melambaikan salah satu tangannya, sehingga si pemegang tisu menyambutku dengan sangat antusias. Ugh! Aku tidak ingin melepaskan pakaian untuk hal konyol ini.
"C'mon! Tunjukkan kehebatanmu, Cantik." Cowok berambut silver--si pemegang tisu di sebelah kanan-- menyemangatiku dengan sangat antusias, sampai-sampai anting panjang di telinga kirinya turut bergoyang.
"Kalau kau kalah, kau harus melepas sehelai pakaianmu." Kali ini si rambut merah dengan baik hati mengingatkanku, padahal dialah yang menyeretku ke lubang buaya. "Jadi kau harus menang."
"Sejauh mana kerendahan yang kau inginkan, Babe?"
"Seda--"
"Sepinggang!"
Godness! Aku menoleh kesal, ke asal suara yang lagi-lagi menyela ucapanku. Apa, sih, yang salah dengan orang-orang di sini? Kenapa suka sekali menyela perkataan orang lain?!
"Dia memiliki tubuh seperti karet." Dia menyunggingkan senyum miring. Tampak sangat menyebalkan karena si pemiliknya adalah Kenneth. "Like Monkey D Luffy."
"Wow, kalau begitu perlihatkan, Sayang." Lelaki berambut silver semakin antusias.
Akan tetapi aku akan menyerah karena--
"Tidak ada jalan untuk kembali. Kalau kau berpikir melakukannya, itu hanyalah sia-sia karena mereka adalah para manusia pemaksa."
Oh, fuck! Ingin sekali rasanya merobek mulut si gadis merah ini karena dia adalah awal dari bencana.
"Ayolah, Heather." Kenneth mendesakku sambil tersenyum jahat, hingga aku bisa melihat wujud seorang monster berdiri di balik tubuhnya. "Kau tentu tidak akan mempermalukan pacarmu yang tidak pernah menolak tantangan."
"Seriously?! Gadis ini punya pacar?" Si rambut perak entah mengapa selalu antusias. "Apa dia ada di sini? Siapa?" Dia mengedarkan pandangan. "Well, tidak heran, dia cantik, kok."
Kedua tanganku kini terkepal, meski tersembunyi di balik saku jaket kulit. Aku mengatupkan bibir rapat-rapat, menolak untuk mengatakan apapun yang tentu tidak akan berakhir baik.
Pergi saja kalau tidak ingin melakukannya. Begitulah peringatan dewi batinku. Sisi pengecutku yang sangat menyebalkan karena membuatnya seringkali terlihat seperti tidak bertanggung jawab, tapi--
"Christopher Lee." Suara Kenneth kembali terdengar dan ketika tatapan kami bertemu, sebelah alisnya terangkat. Satu bahasa tubuh yang berarti sebuah ancaman untukku. "Dia menaklukkan hatinya."
Dan aku diam saja. Kupikir semua telah berubah.
"Kenapa?" Kini dia melangkah mendekatiku. "Kau jadi pendiam. Apa kau khawatir--"
"Akan kulakukan." Dan kujilat ludahku sendiri dengan menyela ucapan Kenneth.
Aku tidak tahu pasti apa yang akan dia katakan, tetapi hal itu pasti bukanlah hal baik. Kenneth mengetahui perlakuanku kepada sahabatnya, terutama sejak kejadian di depan perpustakaan. Bukan tidak mungkin, ia akan membongkarnya di sini dan kembali mempermalukanku jadi ....
"Yeah, akan kulakukan." Aku melepas jaket kulitku, mengabaikan peringatan yang diberikan si rambut merah bahwa sehelai pakaian di tubuhku adalah sesuatu yang berharga dan sebaiknya tidak dilepas sebelum memulai permainan.
Akan tetapi, peduli setan, aku tidak peduli karena yang kutahu jaket kulitku terasa cukup membatasi pergerakanku. Oleh karenanya dengan hanya mengenakan kamisol serta celana jins, aku menekuk kedua lutut, begitu pula dengan tulang punggung, dan setengah mati melangkah perlahan, sambil menjaga keseimbangan agar tidak roboh atau memutuskan tisu toilet sialan itu.
Orang-orang bersorak. Menyemangatiku karena sesuai dugaan, mereka berbuat curang. Aku bisa melihatnya, bagaimana bentang tisu diturunkan jauh di bawah pinggang mereka sehingga rambutku, tentu saja menyentuh lantai dan--brengsek!
Punggungku menghantam lantai, diikuti dengan bokong, tapi agak beruntung karena kepalaku terasa seperti ditahan sesuatu. Dan ketika aku membuka mata, Kenneth terlihat di depan wajahku.
"Kau beruntung aku bisa bergerak cepat, hingga kau tidak membenturkan kepalamu," katanya, tetapi itu sama sekali tidak membuatku lega.
"Enyahlah." Dan aku segera bangkit. Mau tidak mau harus menerima hukuman saat si rambut silver, bersama teman-temannya kembali bersorak agar aku mau melepaskan kamisolku.
Demi Tuhan, ini menyebalkan! Dan sudah kubikang, aku tidak yakin akan cocok dengan pesta ini. Bahkan, meski, alasannya adalah untuk keluar dari zona nyaman sekali seumur hidup.
Aku menarik napas panjang, di saat kedua tanganku sudah berada di ujung kamisol. Bersiap untuk melepaskannya, tetapi tentu membutuhkan waktu yang lama. Dan aku tahu mereka tidak memiliki kesabaran, bahkan sekadar menunggu karena si rambut merah bersama teman wanitanya menghampiriku, memaksaku melepaskan pakaian, hingga--
"Fuck off, ladies." Christopher tiba-tiba saja sudah berada di depanku, berdiri tegap sambil memegang dua gelas kertas berwarna merah. "Kalau kalian berpikir bisa melihatnya tanpa busana, enyahlah." Dia memberikan dua gelas sialan itu kepada seorang gadis remaja yang kebetulan lewat, memberikan senyum manisnya sekilas, sebelum kembali menatap kami. "Karena aku tidak akan membiarkannya."
Dan--
"Who ho-ho, lihat, pacar yang sangat jantan!" Seruan di belakangku terdengar bangga. Ia bahkan bertepuk tangan, hingga provokasinya mengundang siulan dan berbagai macam reaksi yang menurutku ....
... berlebihan.
Aku yakin, aku tidak memerlukan aksi heroik seperti itu. Namun, setelah Christopher melepaskan hoddie-nya, cengkraman dua gadis di pakaianku mengendur dan tidak sampai di sana, suara lain juga terdengar.
"Lepaskan lagi karena aksi superman-mu."
Aku menoleh ke arahnya dan itu adalah salah satu pelayan Lea. God!
Jadi aku bergegas menghampiri Christopher, menahan lelaki itu agar tidak bersikap lebih norak lagi. "Hentikan, Christopher," ujarku.
Sayangnya, dia malah bertahan dan tidak menjauh, seperti yang kuisyaratkan. Lebih parah lagi, Christopher--
Dor! Bunyi tembakan. Aku merunduk, sambil menggenggam tangan Christopher membawanya bersembunyi di mana saja yang memungkinkan.
Dor! Tembakan kedua. Kini teriakan histeris terdengar, bersamaan dengan makian, dan semakin banyak orang berlari menuju pintu keluar atau tempat apa saja yang bisa digunakan untuk bersembunyi.
Dor! Tembakan ketiga. Sial! Tubuhku kaku dengan jantung berdetak kencang karena keadaan semakin kacau. Seorang lelaki jakung terjatuh di depan mataku, terinjak-injak, tetapi berhasil bangkit meski kakinya terpincang-pincang.
Christopher mengeratkan genggamannya di tanganku. "Heather, lihat aku," pintanya dan aku menurut. "Ayo."
Ada terlalu banyak orang yang berlarian, bahkan sebagian besar dari mereka menabrakku. Tembakan masih terdengar di belakang kami yang aku tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, tapi--
Tapi--
Aku melihatnya lagi.
Gadis berambut pirang pucat itu.
Berdiri dengan tenang di tengah rasa panik orang-orang.
Sorot matanya terkunci ke arahku.
Dan ....
... tangannya, masih menggenggam sebilah pisau.
Tapi bukan--
Bukan, ini yang ingin kukatakan karena--
Karena sekarang dia berlari ke arahku.
Sial!
Dia mengejarku yang bersama Christopher, tengah berusaha melarikan diri dari penyerangan timah panas.
Dan--
Dan--
Dan--
Jangan.
Tolong.
Hentikan!
Kedua mataku terpejam.
Jantungku seakan berhenti berdetak.
Dan bisa kudengar teriakan tertahan telah lolos dari bibirku.
Karena pisau itu--
Pisau itu--
Tidak.
Dad!
"Christopher ...." Dan suaraku melemah, seiring dengan genggamanku yang mengendur.
***
Alo! What do you think about this chap guys? Like it or not?
Serius, nanya, ya, ada rasa tegang2nya gak waktu kalian baca bagian terakhirnya?
Semoga kalian suka dan sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro