Chapter 019 - Strange Girl
Kami melangkah lebar--terkesan tergesa-gesa--menghampiri asal suara. Jantungku masih berdebar kencang, memikirkan apakah kejadian ini berkaitan dengan pesan singkat yang baru saja kuterima karena jika memang benar, aku harus memberitahu Christopher atau dad kalau situasinya sungguh di luar kendali a.k.a sudah mengancam nyawa.
Namun, pertama-tama--terlebih untuk sekarang--bagaimana mengatakannya kepada Christopher? Bagaimana mendiskusikan hal tersebut, di saat kami baru saja berpacaran? Aku agak tidak rela jika harus merusak momen bahagia ini. Apalagi sejak awal, siapa pun tahu bahwa Christopher adalah salah satu lelaki populer yang mana keberadaanku di sisinya tentu saja akan menciptakan pro dan kontra.
Duh! Kenapa harus selalu memikirkan konsekuensinya, sih? Christopher saja tidak peduli? Kau cukup--
"Yeah, jalani saja," gumamku pada diri sendiri, sambil menanamkan pemikiran bahwa hal itu--ketidaksukaan mereka terhadap hubunganku dengan Christopher--merupakan sesuatu yang amat sangat tidak penting karena, yeah, apa yang bisa kau harapkan dari hubungan di usia dewasa awal? Menuju ke arah jenjang pernikahan saja angka persentasenya tak sampai lima persen.
Benar, tapi, kau tetap berharap untuk menikah dengannya, 'kan?
Dan aku juga tidak mengelak ketika pertanyaan tersebut terlintas di kepalaku.
Christopher berdiri di depanku, mencoba menahanku agar tetap di tempat sebelum bergegas membuka pintu. Namun, kuabaikan dengan tetap menghampirinya serta berdiri di sisi lelaki itu.
"Tidak apa-apa," kataku, selagi meremas lembut pergelangan tangannya.
Mungkin maksud Christopher adalah demi menjagaku tetap aman, kalau-kalau seseorang itu merupakan orang jahat. Akan tetapi, keberadaanku di sini akan tetap berguna jika sesuatu terjadi di luar kontrol, setidaknya ada aku yang bisa menjadi saksi mata.
Jendela kaca itu memang benar-benar pecah yang mana jika tidak terdapat tirai berwarna hijau olive, kami pasti bisa melihat apapun di luar sana tanpa perlu membuka pintu. Embusan angin membuat kainnya bergerak lembut, bahkan tanpa disengaja--meski sedikit--juga memperlihatkan bayangan seseorang tengah berdiri di depan pintu.
"Tetap di sana, Heather," perintah Christopher. Bahasa tubuh lelaki itu memancarkan kewaspadaan, terutama ketika memutar kenop pintu lalu membukanya hanya selebar bahu, dan seorang gadis berhoodie abu-abu, berambut pirang pucat panjang, berdiri di depan pintu dengan punggung tangan terangkat seolah ingin mengetuk pintu. "Yeah?"
Aku ingin menggeser tubuh Christopher demi mengidentifikasi, siapakah gadis tersebut. Pakaian nyaris basah, sepatu bot penuh lumpur, serta tubuh yang menggigil. Bisa dikatakan ia seperti baru saja berenang dengan mengenakan pakaian lengkap atau kemungkinan lebih masuk akalnya, terjatuh ke dalam kubangan berlumpur penuh air sehingga penampilanmu berantakan seperti yang pernah kualami sebelumnya.
Kemungkinan tersebut sekilas membuatku bertanya-tanya tentang siapa dia (karena di sini tidak ada satu gadis pun berambut pirang pucat seperti miliknya) dan apa yang dia lakukan, sampai berada dalam kondisi seperti itu? (Tunawisma atau hanya orang asing mabuk yang lupa jalan pulang) sekarang tidak sedang hujan, aneh sekali menemukan pemandangan demikian jika menyangkutpautkan kubangan berlumpur, jadi ....
Dia mungkin tunawisma yang sedang teler.
Sekali lagi kuremas pelan pergelangan tangan Christopher, sambil terus mengamati gadis--aneh?--di depan pintu. Aroma tak sedap kini menguar di sekitar kami, tetapi indera penciumanku kesulitan mengidentifikasikan aroma busuk apa itu. Lebih parah lagi, Christopher tidak membiarkanku melihat dengan detail tamu asing tersebut, padahal keanehannya saja telah memancing rasa penasaranku sekaligus perasaan tidak nyaman.
"Maaf karena tidak sengaja memecahkan jendela rumahmu."
Tepat. Aku tidak mengenal siapa pemilik suara tersebut. Namun, suaranya terdengar sangat manis, jelas di setiap katanya, dan dapat dipastikan dia tidak sedang teler. Hanya ketidakberuntungan yang mungkin tengah menghampirinya, hingga harus berakhir seperti itu.
Aku masih berusaha untuk tetap mengintip dari balik tubuh Christopher, mengabaikan aroma tidak sedap tersebut dan kuperhatikan kaki gadis berbalut sepatu bot merah itu bergerak gelisah. Beberapa jejak lumpur pun berbekas di lantai, hingga di belakang kami River Golden mulai menggonggong.
"Tenanglah, River," bisikku sambil mengusap bulu halusnya, mencoba menghentikan gongongannya yang cukup berisik untuk saat ini.
... atau lebih tepatnya, membuat perasaanku semakin gelisah untuk alasan yang belum tentu benar.
Dia masih saja menggonggong, sehingga aku membawanya ke dalam pelukan. Christopher hanya melirik sebentar ke arah kami, sebelum kembali kepada gadis asing tersebut.
"Yeah, apa kau tahu berapa harga dari barang yang hancur ini?"
"Aku akan menggantinya."
Karena membawa River Golden--yang kali ini cukup berisik--sedikit menjauh, aku hanya bisa mendengar percakapan mereka secara samar. Namun, tetap, kutajamkan indera pendengaranku dan sedikit pun tidak mengalihkan pandangan dari Christopher yang tengah mengangguk.
"Berikan kartu identitasmu," pinta Christopher sambil menadahkan tangan ke arah gadis itu. "Akan kuhubungi kau untuk tagihannya besok."
Lalu semua berlangsung begitu mudah. Christopher mendapatkan apa yang diinginkannya dan gadis itu pun bergegas pergi, setelah sekali lagi mengatakan maaf. River Golden berhenti menggonggong bersamaan dengan menurunnya kecemasanku karena tidak ada hal berbahaya yang terjadi. Napas lega pun berembus, ternyata hanya overthinking.
"See?" Christopher berbalik lalu menutup pintu dan menyimpan kartu identitas tersebut ke dalam dompetnya. "Kupikir semua akan berjalan sulit. Sangat susah menemukan orang yang bertanggung jawab akhir-akhir ini."
"Kau tidak tanya kenapa dia bisa tak sengaja memecahkan jendela rumahmu?" tanyaku saat teringat bahwa halaman rumah Christopher cukup luas untuk sebuah ketidaksengajaan.
Sebelah alis Christopher terangkat. Begitu pula dengan bibirnya yang tersenyum secara asimetris. "Entahlah, aku tidak peduli." Ia mengedikkan bahu. "Yang jelas dia mau membayar tagihannya dan orangtuaku tidak akan mengomel." Kemudian dia meraih tanganku. "Ini bukanlah yang pertama kali, Heather. Orang lain kadang iri dan ingin menghancurkan rumah kami. Namun, karena itu merupakan tindakan mustahil, apalagi yang bisa mereka lakukan selain memecahkan jendela kaca?"
Percaya, tidak percaya, aku memilih untuk lebih kritis karena aku tahu bagaimana karakter tetangga kami. Tidak ada yang iri. Aku berani menjamin karena semua orang di sini cukup sibuk dengan urusan masing-masing sehingga bisa dikatakan, mereka lebih memilih menjadi penyendiri daripada mengurusi hidup orang lain.
Oleh karena itu, kalau memang harus memercayai perkataan Christopher aku akan menarik kesimpulan bahwa orang-orang itu berasal dari luar. Satu orang yang sama atau--
"Hentikan, Heather, kau akan bertambah tua kalau terus berpikir."
Kedua mataku mengerjap, setelah mendengar ucapan Christopher yang membuyarkan kebisingan dalam kepalaku. Ia memelukku bersama River Golden yang juga masih bersamaku kemudian meletakkan dagunya di bahuku, lantas kembali berkata, "Tidak perlu khawatir, Heather. Orang tuaku bukan orang bodoh yang akan membiarkan salah satu keluarganya dalam bahaya."
"Yang artinya kau tidak akan membiarkannya begitu saja?"
"Well, kali ini akan kulakukan sebaliknya. Dia berani menampakkan diri, jadi itu adalah kemajuan yang berarti."
Aku menggeleng. Tidak mengerti. "Itu tidak masuk akal."
Christopher tersenyum, mengecup rahangku lalu berkata lagi, "Apapun yang kau pikirkan, Heather, itu tidak akan terjadi."
Dan aku tidak mengatakan apa-apa lagi, selain memeluknya dan benar-benar menelan kerisauan yang sebelumnya memang sudah ingin kulenyapkan. Namun, tetap menjadi hal sulit karena sempat kulihat di wajah Christopher, bahkan bahasa tubuhnya, bahwa ia pun juga merasa tidak nyaman.
Tidak nyaman saat menerima kartu pengenal gadis itu.
Tidak nyaman saat mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Jesus, kupikir aku sangat mengenal Christopher, tapi--tidak.
Aku tidak tahu banyak tentangnya dan--
"Aku harus mencari tahu."
"Apa?" Christopher melonggarkan pelukannya, menatap ke arahku saat mungkin tanpa sadar, aku mengatakannya terlalu keras hingga ia bisa mendengar. "Kau mengatakan apa tadi?"
"Bukan apa-apa." Aku menggeleng, terpaksa tersenyum sambil melepaskan pelukan. "Ayo bersihkan pecahannya dulu, sebelum kau kembali berkeinginan mengunjungi pesta Big D."
"Oh, aku hampir melupakannya." Christopher tertawa kemudian berlari kecil ke arah dapur dan masih saja melakukannya dengan cara tidak masuk akal, seolah ia memiliki sepasang mata di belakang kepalanya. "Hari yang sangat melelahkan. Benar, 'kan?"
"Yeah, sangat, sampai yang kupikirkan hanyalah pergi tidur secepatnya."
Christopher tertawa lagi. Bahkan ketika pinggangnya menabrak sofa tunggal, ia hanya mengaduh lalu mengumpat pelan.
Kulepaskan River Golden dari pelukan dan ia berlari ke teras rumah, selagi aku mengikutinya menuju jendela kaca yang pecah. Berjongkok di hadapan pecahan kaca yang berserakan di lantai, aku pun mulai memungutinya satu per satu. Meletakkan mereka di telapak tangan, sampai tiba-tiba saja ekor mataku menangkap sebuah siluet.
Tepat di ujung halaman. Di bawah lampu jalan.
Aku melihatnya jelas sekali.
Sepasang mata yang menatapku dengan penuh kebencian.
Sepasang mata yang siap menerkamku kapan saja.
Sepasang mata yang ....
... pemiliknya adalah orang yang sama.
Dan--
"Heather."
Perhatianku teralihkan, saat Christopher menyentuh pundakku.
"Apa yang kau lihat?"
Aku menoleh ke sudut halaman tempat siluet menyeramkan itu berada. Ingin memberitahu apa yang kulihat, tetapi ....
... dia menghilang.
***
Tuhan! Kenapa ceritanya jadi seperti ini?! Beneran deh aku tuh, maunya cerita ini ringan dan cuma berkisar tentang kisah cinta segitiga tapi, malah jadi seperti itu 😅
Yah, okelah, apa yang kalian pikirkan tentang chapter ini? Masihkah kalian suka atau enggak? Dan bisa menebak-nebakkah kalian dengan apa yang akan dihadapi Heather dan Christopher?
Dan akhir kata, sampai ketemu di chapter selanjutnya ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro