Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 016 - It's Just A Fantasy And Don't Fall Into the Same Hole

Aku tidak tuli. Sungguh! Aku bahkan berani memeriksakan keadaan telingaku di poli THT kalau memang diperlukan, tapi, seriously, bagaimana mungkin aku bisa tidak mendengar ponselku yang berdering? Bahkan terkesan mati rasa karena aku juga tidak merasakan getarannya di pahaku.

Oh, damn it!

Kedua alisku terangkat kemudian melirik ke diri sendiri, demi memastikan apa yang telah terjadi dan--again, damn it!

Pakaianku masih lengkap dan artinya, aku baru saja menghayal di waktu yang tidak tepat. Di hadapan Christopher Lee, objek fantasi liarku.

Aku menatap Christopher yang berdiri sejauh satu langkah di hadapanku. Salah satu tangannya menempelkan ponsel di telinga kanan, sedangkan tangan lainnya menunjuk ke saku celana jeans-ku.

"Your phone," katanya, sambil menunjuk ke arah saku celanaku.

Oh, ok. Aku merogoh saku celana yang ia maksud kemudian meraih ponselku yang berdering sekaligus bergetar di waktu bersamaan. Cukup sekilas untuk melihat siapa si penelepon karena kurang dalam sedetik, aku telah mengetahuinya.

Yakni Christopher Lee.

Aku meneguk saliva. Namun, dilakukan secara perlahan, sebelum menghela napas panjang. Berusaha bersikap tenang, meski hatiku cemas. Berusaha tidak terjadi apa-apa, meski bahasa tubuhku bersikap defensif. 

"Apa aku mengatakan sesuatu atau kau malah mendengarku mengatakan hal aneh?" Sebaiknya, kau tidak menyadari apapun atau ... berpura-pura bodoh saja!

"Nope." Dia menggeleng.

Kedua alisku terangkat, meski hanya beberapa detik.

"Tapi kau seolah tidak berada di sini selama beberapa saat."

Kini kuyakin kedua mataku melebar. Kuharap kepanikan tidak terlihat di wajahku.

"Wajahmu merona, disertai dengan napas yang--"

"Hentikan!"

Oh, Jesus! Aku menolak untuk mendengar kelanjutannya karena sudah tahu apa yang akan Christopher katakan. Tentu saja napasku terengah-engah karena setelah kembali ke dunia nyata, bisa kurasakan bagaimana jantungku berdebar kuat, keringat dingin membasahi dahi, telapak tangan dan kaki, serta lebih parahnya sesuatu yang basah pun turut terasa di antara kedua pahaku. Ugh.

"Heather?".

Aku berdeham saat tenggorokanku tercekat dan berharap tidak akan serak, akibat kecemasan berlebihan ini. "Yeah?"

"Are you ok?"

Kedua mataku mengerjap. Akal sehatku secara naluriah mempertanyakan apakah Christopher serius menanyakan hal itu? Namun, lidahku justru mengatakan hal lain, "I need to go to the toilet."

"Ok."

Canggung sekali. Aku tahu. Dan aku tetap melangkah menghindari Christopher dengan alasan pergi ke toilet yang aku sendiri pun tidak yakin di mana tempatnya. Namun, selama masih berada di bumi tempat itu pasti akan selalu mudah ditemukan. Maksudku, di mana lagi kalau bukan di area dapur dan kulihat ruangan tersebut berada di sayap kanan, tepat di belakang tangga menuju lantai dua.

Yeah, aku bisa melihat mini bar di sana, serta meja makan, dan kitchen set. Toilet pasti tidak jauh dari mereka.

Akan tetapi, Christopher yang memanggil namaku membuatku terpaksa berhenti dan ... menoleh.

"Toiletnya bukan di situ," katanya dan aku tahu sikapku terlihat sangat berlebihan untuk sekadar menjatuhkan rahang, serta melebarkan mata. "Kami telah melakukan renovasi, mengubah letaknya menjadi di antara ruang tamu dan ruang keluarga."

"Baiklah," jawabku dan semakin tidak nyaman karena aku menghindari tatapan Christopher. Bahkan mengambil rute terjauh, hingga terasa sekali bahwa aku tengah menjaga jarak, dan ....

Ugh, persetan! Mengapa kau harus berlari, Heather?! Dewi batinku meneriakkannya tepat di kepala, apa, sih, yang kau lakukan?! Dan ia pun tengah menghantamkan benda terkeras di pusat saraf, sampai membuatku sangat pusing. Damn it, kau payah!

Aku mengunci pintu dengan tergesa lalu setelahnya menyandarkan punggung pada daun pintu, seiring dadaku yang bergerak naik akibat menghirup oksigen dengan amat rakus.

"Oh, sial, sial, sial," bisikku sambil memejamkan mata, mengingat kembali tentang apa yang baru saja kulakukan. "Kau memang payah. Orang terpayah di dunia sampai memalukan diri sendiri." Aku melangkah menghampiri washtafel, membuka kerannya, lalu membasuh wajah berulang kali. "Sialan, mengapa harus melakukan hal yang tidak perlu? Apa, sih, yang ada di pikiranku? Kenapa harus berlari di saat berjalan jauh lebih baik? Mengapa harus seperti telah tertangkap basah? Christopher tidak bisa membaca pikiranmu, so ... just relax."

Yeah, just relax. Kuulangi kalimat tersebut, sambil masih membasuh wajah seolah hal tersebut merupakan sebuah ritual ampuh yang mampu mengubah keadaan.

Namun, tetap saja, nasi sudah menjadi bubur dan Christopher bukan lelaki bodoh. Sulit bagiku untuk memikirkan bahwa dia menganggap sikap sialanku merupakan hal normal.

"Dan apa yang harus dilakukan sekarang?" Desahan frustrasi meluncur di bibir, setelah punggung tanganku menyeka wajah dan mematikan kran air.

Aku menatap pantulan diriku di cermin.

"Jalang tidak tahu diri, wajahmu telah menjawab semuanya." Kunyalakan lagi kran air di washtafel lalu kembali mencuci wajah, berharap hal tersebut mampu melunturkan dosa yang telah kuperbuat, hingga tidak terhitung berapa kali kulakukan hal tersebut sampai--

Suara ketukan terdengar, disusul dengan satu pertanyaan bodoh. "Kau baik-baik saja?"

Tidak! Ini kacau! Dewi batinku menjawabnya, merajuk, padahal dia adalah salah satu yang mendorongku untuk hal itu. "Ya, yeah, kau tidak perlu khawatir. Aku hanya ... yeah, begitulah." Dan aku pun juga tahu jawaban ini terdengar meragukan, karena dari celah pintu bisa kulihat bayangan kedua kaki Christopher yang masih bertahan di tempat.

Sudah kubilang lakukan aksi, bukan mengkhayal. Akal sehatku mengejek, duduk di singgasananya, sambil tersenyum miring.

"Baiklah, take your time, tapi kalau kau memerlukan sesuatu aku ada di dapur," katanya, "memasak untuk makan malam kita."

"Hmm, yeah, thanks."

Lalu kulihat bayangan kaki Christopher menghilang. Membuat akal sehat dan dewi batinku kembali memprovokasi, setelah mereka menandai satu kata amat penting dalam kamus Christopher Lee.

Memasak!?

Aku tidak tahu apa mereka tengah bertanya atau bersorak, tapi jelas terdengar antusias.

Kau tidak boleh melewatkannya. Otot bisep Christopher akan terpampang, saat dia menggulung lengan bajunya. Dewi batinku memulainya, sambil berputar-putar di kepalaku.

Bukankah itu salah satu bagian favoritmu. Sedangkan akal sehatku, masih duduk di singgasananya sembari memutar video-video Christopher di Instagramnya yang pernah kutonton berulang, setiap kali ia mem-posting-nya.

Jangan lewatkan, Heather.

Lupakan saja apa yang terjadi barusan dan act normal.

Semua ucapannya terkesan bisa dipercaya.

Yeah, dia memang tidak tahu apapun karena tidak memiliki kemampuan telepathy.

Christopher hanya bisa menduga-duga, tapi dia memilih di--

"Oh, sialan kalian, enyahlah dari pikiranku!" Aku menggeleng kuat lalu mengambil tissue dan mengeringkan wajah dengan terburu-buru. "Lagi pula mustahil untuk terus berada di dalam toilet," ujarku pada pantulan diri sendiri, sembari meremas gumpalan tissue di tangan. "Oh, God!" Dan tentu saja desahan yang jelas terdengar frustrasi mampu ditangkap oleh indera pendengaranku.

Aku membuang gumpalan tissue tersebut ke tempat sampah kemudian melangkah menuju closet, serta membuka celana. Sial! Kedua mataku terpejam, berusaha menenangkan diri saat koleksi makian di otak mulai bermunculan, hingga akan meledakkan kepala.

Sekali pun tidak pernah terpikirkan hal ini akan terjadi, tapi mau bagaimana lagi?! Celana dalamku jelas berlendir, bersamaan dengan ujung telunjuk yang lengket setelah mengusap vagina. Oh, shit, shit, shit! Sekarang bukan saatnya untuk diam dan terus memaki, berpikirlah, Heather! Pikirkan apa yang harus dilakukan agar tetap bersikap nyaman dalam keadaan basah.

"Yeah, kau jalang tidak tahu diri." Kulepaskan celanaku seluruhnya kemudian membersihkan area kewanitaan, dan ... yeah, mustahil untuk mengganti pakaian dalam baru sebab aku tidak membawanya.

Jadi setelah selesai membersihkannya menggunakan tissue, aku kembali berpakaian lengkap, menarik napas dalam lalu mengembuskannya, dan membuka pintu toilet.

Keadaannya masih sama. Sunyi. Tidak ada siapa pun. Hanya ada satu suara dari arah dapur.

Christopher. Dia masih memasak makan malam dan wajahku kembali memanas untuk alasan yang lagi-lagi sama.

"Tenang, Heather, jangan posisikan dirimu seperti wanita murahan," bisikku pada diri sendiri kemudian menghampiri Christopher, serta mengabaikan rasa tidak nyaman di bagian bawah.

Sudah pukul delapan malam dan aroma daging menguar lezat memanjakan indera penciumanku. Begitu pula dengan penampilan Christopher yang menurut penglihatanku amat sangat sexy, meski hanya mengenakan pakaian kaos hitam tanpa lengan dan celana jins belel. Rambut bergelombang alaminya pun menandakan bahwa ia telah membersihkan diri--entah kapan--tapi aku bisa mencium salah satu merek sabun mandi dari tubuhnya.

Ugh! Aku tahu dia sedang pamer. Secara imajiner, mataku berputar, tetapi kenyataannya kedua sudut bibirku terangkat canggung.

"Kau sudah selesai, Heather?" Dia bertanya sambil meletakkan dua mangkok berisi mie berwarna cokelat gelap yang terlihat lengket, tanpa kuah,  memiliki taburan biji wijen dan nori, di atas meja lalu dua gelas kosong di masing-masing sisinya. "Aku menyempatkan diri untuk mandi karena kau tahu, bauku tidak jauh berbeda dengan selokan."

Yeah, tapi itu tidak masalah. "Tidak bisa dikatakan mandi, jika dilakukan bersama lima belas lelaki. Aku mengerti," jawabku selagi melangkah menuju counter dan menemukan dua kaleng Dr Pepper, serta sebotol jus jeruk. "Kau mau aku membawakan ini ke meja makan? Kurasa sudah agak terlambat untuk makan malam."

Christopher mengangguk lalu melirik ke arah lain, sehingga secara naluriah kuikuti arah pandangnya. "Dan tolong matikan kompornya. Itu salah satu protein kita jadi jangan sampai gosong."

"Kupikir kau akan masak besar setelah berbelanja seperti akan memberi makan satu keluarga," komentarku setelah mematikan kompor dan menyerahkan minuman tersebut kepada Christopher, sebelum memindahkan tumisan daging ke dalam piring yang telah disediakan.

"Yeah, awalnya memang mau seperti itu." Dia menepuk-nepuk sudut meja makan, seolah mengisyaratkan agar aku duduk di sisinya dan bukan di hadapannya. "Tapi kita sudah terlambat untuk sebuah pertunjukan memasak, jadi daripada membuatmu kecewa kuputuskan untuk membuat sesuatu yang ringkas."

"Seperti mie instan dan tumisan daging."

"Yeah dan juga kimchi."

"Sangat bergaya Korea."

Christopher meraih piring berisi tumisan daging di tanganku lalu menggunakan tangan satunya, ia menarik--menuntunku--untuk duduk di sisinya. "Kau akan menyukainya. Akhir-akhir ini makanan Korea sedang hits karena drama dan K-pop-nya."

"Apa kau pamer? Kau telah menjadi salah satu dari mereka di sini. Maksudku kau populer di mata para perempuan."

"Oh, ya?"

Kupikir Christopher akan membanggakan dirinya sendiri, seperti Davis yang begitu narsis jika seseorang memujinya sekali saja. Namun, entah mengapa senyuman di wajah itu seketika lenyap hingga membuatku ingin bertanya mengapa--

"Lelaki Asia tidak pernah terlihat seperti yang kau pikirkan, Heather," katanya lantas membuat alisku mengerut. "Butuh usaha untuk terlihat sama seperti lelaki Amerika."

Huh? "Apa yang kau--"

"Makanlah," selanya, sambil meletakkan beberapa potong daging di mangkuk mie milikku, beserta dengan beberapa lembar kimchi. "Jika sudah dingin, akan berkurang kelezatannya."

Aku menghela napas, melakukannya dengan perlahan, dan demi menghargai keputusan Christopher kutelan semua pertanyaan yang memenuhi isi kepala. Ini adalah kencan, saatnya untuk bersenang-senang dan sekarang kami sedang berada di meja makan, menikmati makan malam yang seharusnya hanya menceritakan tentang hal-hal ringan seperti; Apa Christopher masih membaca komik?

Akan tetapi, Christopher mendahuluiku.

"Ngomong-ngomong, aku penasaran." Perhatianku langsung berpusat pada Christopher saat ia mengarahkan sumpitnya ke arahku. "Apa yang kau lakukan di toilet?"

Kedua mataku melebar. Instingku lantas memperingatkan bahwa pertanyaan ini bersifat berbahaya.

"Kupikir kau sudah menghabiskan waktu cukup lama saat kita mampir di rumahmu dan kenapa kembali memerlakukan waktu selama itu di toiletku?"

Oh, hentikan, Christopher. Gigiku berhenti mengunyah, seiring hawa panas mulai menyapu setiap centi kulitku.

"Yeah, aku tahu ini privasimu, tapi aku merasa kau seperti sedang menyembunyikan sesuatu dan--"

Sudah kubilang berhenti!

Aku kehilangan kontrol dan situasinya benar-benar lepas kendali. Bahkan ketika aku bangkit dari duduk, kursi terjatuh tepat di belakangku akibat gerakan refleks yang kuperbuat.

"Jesus!" Kuletakkan sumpit secara asal dan sambil terbatuk-batuk menghampiri Christopher yang wajahnya--

Wajahnya--

Tuhan, apa yang kulakukan?! Aku baru saja mengotori karya terindahMu

"Maafkan aku," kataku panik, sambil membersihkan wajahnya menggunakan tanganku. Namun itu saja tidak cukup, Tolol!

Di mana serbet makan atau tissue-nya?! Netraku beralih ke meja makan, mencari-cari benda yang bisa digunakan untuk membersihkannya. Namun--sekali lagi ini bukan restoran, Heather Sialan!

"Oh, shit." Aku mendesah kasar dan demi Tuhan, tanpa pikir panjang kutarik T-shirt yang kukenakan sedikit ke atas lalu menyapukannya ke wajah Christopher, tapi--

Sial, sial, sial!

Tubuhku membeku, setelah kekacauan kembali dilakukan saat siku-ku tanpa sengaja menyenggol segelas jus jeruk milik Christopher, hingga ....

... yeah, mudah ditebak.

Gelas itu pecah.

Meninggalkan pecahan kaca.

Bersama cairan berwarna kuning yang berceceran di lantai marmer putih tulang.

Dan aku memejamkan mata, sambil menggigit bibir. Batinku terus-terusan memaki, sedangkan akal sehat dengan teramat tolol justru memprovokasi, mengatakan bahwa aku memang telah terjatuh ke lubang buaya.

Kuembuskan napas sepelan mungkin lalu berbisik, "Tenang, Heather." Dan aku membuka mata, melirik ke arah lantai dengan pecahan kaca dan jus jeruk.

Di lain sisi, Christopher tidak melakukan apapun. Ia hanya membeku. Tidak bergerak. Tidak mengatakan apapun, tapi ia menatapku dan itu membuatku menolak untuk membalas tatapannya.

Benar saja, aku telah tertangkap basah. Christopher telah mengetahuinya bahkan tanpa seorang pun memberitahu. Bahasa tubuhku, ekspresiku, serta cara bicaraku terlalu transparan seperti yang dikatakan Paul saat di tribun dan ....

... dan jelas saja, ada maksud lain saat kami harus berdua saja, di tempat sebesar ini.

Tapi, tidak! Secara imajiner, aku menggeleng kuat. Ini bukanlah tempat yang besar. Meski ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari rumahku, selama bersama Christopher, aku masih bisa menghidu aroma tubuhnya bahkan dari setiap sudut sekali pun. Aku mengingatnya.

Mengingat masa kecil saat kami menghabiskan waktu bersama hanya dengan menggunakan diapers.

Masa remajanya yang menjadi saat pertama kali aku menyukainya.

Dan saat sekarang, ketika semua ini menjadi benar-benar gila.

Apa aku telah kehilangan kontrol? Di mana Heather yang mampu menyimpan perasaannya, selama bertahun-tahun? Di mana Heather yang hanya berani menumpahkan perasaannya melalui tulisan dan fantasi liar di atas tempat tidur? Aku telah kehilangannya dan--telah menjadi sinting yang--

"Heather."

Semua itu berawal dari perjanjian konyol yang kuanggap sebagai kesempatan emas.

"Heather."

Aku memungut pecahan-pecahan kaca tersebut meletakkannya secara perlahan di telapak tangan, sambil terus berpikir bahwa ini memanglah kesalahan fatal.

Aku bahkan mengabaikan Christopher yang terus memanggilku.

Karena aku tidak ingin terlihat semakin transparan.

Christopher yang mampu membacaku, rupanya tidak terasa menyenangkan.

Aku seperti ditelanjangi.

Dipermainkan.

Dan dibuat seperti jalang oleh fantasi liarku sendiri.

Oh, tidak! Jangan menangis, Heather James. Ini bukan saatnya.

"Hentikan, Heather!" Christopher meraih tanganku, menjauhkan pecahan kaca tersebut dari tanganku, dan ia mengangkat daguku menggunakan tangan lainnya. "Kau terlihat tidak baik-baik saja, tapi ... maafkan aku kalau itu semua karenaku."

Apa?!

"Kau jadi terbebani karenaku."

Huh?!

"Tapi ... aku juga tidak bisa menahannya sendiri."

Ini tidak nyata!

"Apa kau menyukaiku?"

Ini khayalan sialan dan--

"Davis mengatakannya padaku."

Aku tahu ke mana ini semua akan berakhir.

"Aku ingin memastikannya darimu sendiri, meski setelah seharian memerhatikanmu aku--"

"Diamlah, Lee." Aku tahu tidak sopan menyela pembicaraan orang lain, tapi harus kulakukan agar tidak terjatuh ke lubang yang sama. "Davis adalah pembohong." Ini hanya khayalan. "Aku tidak pernah menyukaimu." Dan jangan menjadi gila lagi.

Aku menjauhkan tangan Christopher dari pergelangan tanganku kemudian bangkit, dengan membawa beberapa pecahan yang tersisa. Membuangnya ke tempat sampah lalu ....

... diam-diam kucubit lenganku dan--damn!

Kedua mataku membola.

Lalu kucubit lagi lenganku, tetapi di tempat yang berbeda dan--

Dan--

Hasilnya tetap sama.

Sialan!

Aku menoleh ke arah Christopher, memandangnya dengan panik, dan buru-buru ingin menjelaskan semuanya. "Christopher--"

"Aku menyukaimu."

Apa?!

Tubuhku seketika meledak seperti terkena bom berkekuatan super hingga ....

... terasa menyakitkan.

Tapi juga melegakan.

"Thanks for the wonderful days with you."

No!

No, no, no!

"Christopher--"

"Akan kuantar kau pulang."

Tidak!

"Tolol! Bisakah kau tidak menyelaku?! Aku juga--"

"Kencan selesai, Kids!" Suara lain tiba-tiba saja mengintrupsi, membuatku memaki meski berupa bisikan. "Tidak akan kubiarkan Christopher menghamili putri sahabatku."

Mr. Lee, ingin kupenggal kepalamu!

***

Ola! What do u think about this chap? Jangan lupa tinggalkan tanggapan kalian, ya ^^ dan tidak pernah lelah mengingatkan kalian, semoga kalian gk pernah bosan buat ngikutin cerita ini.

Sampai jumpa lagi di chapter selanjutnya ^^


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro