Chapter 015 - Just Do It Bitch!
Tidak ada American Pizza, tidak ada sun chips atau apapun yang bisa menemani kami saat menonton film. Semua snack yang ditulis Christopher pada pesan singkat di kelas Professor Smith hanyalah angan-angan belaka karena lelaki itu, justru mengajakku berbelanja bahan-bahan mentah di supermarket dan menjadikanku sebagai buruh panggul untuk semua belanjaannya yang sudah seperti belanjaan untuk satu keluarga.
Lebih parah lagi, selama itu pula aku harus bekerja ekstra keras untuk mengenyahkan setumpuk pikiran kotor karena pada akhirnya akan mengunjungi rumah Christopher. Memang ini bukanlah pertama kali, tapi sekarang situasinya berbeda. Kami sama-sama telah dewasa! Dan kemungkinan bertahan di kamar lelaki itu membuatku semakin sinting.
Apalagi saat di rumah kutemukan sticky notes tertempel di kulkas yang mengatakan bahwa dad dan mom akan pergi berlibur selama tiga hari. Liburan mendadak--yang terkesan aneh--tentu akan digunakan sebaik mungkin, seperti Davis yang mungkin akan pulang terlambat atau tidak pulang sama sekali.
Dan kali ini, sepertinya, aku pun akan mengikuti jejak Davis.
Ketika masih di supermarket, Cecilia sempat mengirimkan chat berupa informasi bahwa mereka tengah berbaikan. Mengajakku pergi berpesta dan mengatakan bahwa Davis juga mengajak Christopher. Namun, karena Christopher sama sekali tidak menyinggungnya, aku berpendapat dia menolak pergi dan ingin berdua saja denganku.
Ha-ha, berdua denganku? Yang benar saja!
"Perlu meneguk sesuatu untuk melepaskan dahaga, Miss James?"
Aku bersandar pada sofa biru di ruang keluarga. Langsung meluruskan kaki, setibanya kami di tempat tujuan. Televisi dalam keadaan mati, begitu pula dengan beberapa lampu sehingga Christopher harus menekan saklar agar rumahnya tidak terkesan remang-remang. Aku mengikuti setiap pergerakan lelaki itu, selagi River Golden menyandarkan kepala di pangkuanku sehingga aku menggaruk bagian belakang telinganya dan ia terpejam akibat rasa nyaman tersebut.
"Aku baru sadar. Di mana semua orang?" Dan akhirnya aku memang menyadari sesuatu, bahwa rumah ini terkesan amat sepi dari terakhir kali aku berkunjung. "Biasanya ibumu akan mengucapkan kata di sini dan akan muncul dari arah dapur atau kolam renang, setiap kali kau membuka pintu dan memanggilnya."
Tidak langsung menjawab, Christopher justru menuang segelas air mineral di mini bar sehingga membuatku berpaling untuk langsung menatapnya. "Jangan bilang ini adalah salah satu rencanamu dari sejuta rencana yang katamu hanya berupa acara menonton film."
Tolong, jangan--
"Benar." Oh, no way! Dia akhirnya menyahut kemudian menghampiriku dengan dua gelas air di tangan. "Tapi setiap kali yang kau maksud itu sudah tidak berlaku sejak bertahun-tahun lalu. Terutama semenjak kontraknya habis di Food Network, ibuku memutuskan beralih menjadi Youtuber. Katanya agar bisa lebih dekat dengan keluarga, tapi itu hanya omongannya saja karena wanita itu lebih banyak berada di studio, daripada di rumah."
Oh. Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Ekspresi Christopher tampaknya juga baik-baik saja, tapi bukankah kalau dalam situasi seperti ini kita diharuskan untuk menghibur? Sayangnya aku pun kesulitan menemukan kalimat yang tepat. Alhasil, aku hanya mengatupkan bibir, menatapnya lekat-lekat, dan tanpa sadar membuat kedua sudut bibirku menukik ke bawah.
"Santai saja, Heather." Christopher justru tertawa sambil menyentuh kedua sudut bibirku dan menariknya sedikit ke atas. "Aku bukan anak kecil, jadi kau tidak perlu menghiburku."
"Yeah, aku juga tidak pandai melakukannya." Entah kenapa, aku bernapas lega sampai-sampai kedua bahuku merosot turun dan membuat Christopher tertawa lagi hingga kedua matanya nyaris terpejam. "Tapi kau benar-benar tertawa, 'kan? Bukan berarti kau menyembunyikan sesuatu." Dan kenapa pula kau menanyakannya? Padahal kau sendiri yang bilang tidak pandai menghibur orang lain. Akal sehatku memutar mata.
"Hei." Christopher meraih tanganku yang menggenggam segelas air hingga kesadaranku kembali padanya.
"Apa?" tanyaku, sambil menatap Christopher, berusaha menembus kedua matanya.
Meskipun River Golden berada di sini dan duduk di tengah-tengah kami, seakan dia adalah pembatas, sesungguhnya itu tidaklah membantu sebab kesunyian di rumah ini sedikit demi sedikit telah merenggut kewarasanku.
Yeah, begitulah. Christopher dan kesunyian adalah kombinasi yang membuatku pusing setengah mati.
Satu.
Dua.
Tiga.
Dalam diam aku menghitung, sekaligus meneguk saliva pelan-pelan, saat menunggu kelanjutan dari semua ini. Menunggu Christopher mengatakan sesuatu atau melakukan apapun (seperti menciumku) karena mustahil jika kami hanya saling beradu pandang.
"Sebaiknya kau nikmati segelas air ini, selagi aku menyiapkan makan malam."
Sial!
Dia tersenyum saat menempelkan ujung gelas itu ke bibirku kemudian mengubahnya menjadi bidang biring, hingga cairan bening secara perlahan memasuki mulut, membasahi tenggorokan, sekaligus membersihkan harapan yang selalu membara setiap kali Christopher menantangku untuk beradu pandang.
Jesus! Bisakah Kau membuatnya menjadi lebih kejam dari ini?!
"Ada Playstation di sana kalau kau tidak tertarik menonton acara televisi dan ada River Golden kalau kau tidak tertarik dengan keduanya," kata Christopher setelah bangkit dari sofa dan menggaruk bagian telinga si Tua River Golden. "Atau kau bisa berenang di sana, jika ingin berolahraga sedikit untuk mengosongkan perut. Aku akan memasak dengan cepat, agar kau tidak bosan menunggu."
Christopher? Memasak?! Dewi batinku menjerit waktu itu juga, bersamaan dengan lidahku yang lagi-lagi melakukan tugasnya tanpa pikir panjang karena ... "Otot bisepmu menggiurkan, tidak mungkin mengabaikan momen yang ... oh, shit!"
Aku memalingkan wajah, buru-buru beranjak dari sofa dan tersedak air liur sendiri, tetapi tetap memaksakan diri untuk tetap melangkah ke mana saja selama mampu menjauhi Christopher. River Golden menggongong di belakang, seakan menuntut pertanggungjawaban karena aku telah melecehkan tuannya. Lebih parah lagi, bukan cuma anjing tua itu yang mengikuti, Christopher juga turut mengekoriku sambil mengoceh hal-hal yang terdengar mustahil.
Seperti kalimatnya yang terdengar seolah ingin menenangkanku, mengatakan bahwa itu bukan masalah, sebab memang banyak gadis yang memuji otot bisepnya. Bahwa ucapanku barusan merupakan sesuatu yang lumrah didengar, sehingga tidak perlu terlalu khawatir.
Namun, bagaimana aku bisa menyikapi hal tersebut sesuai keinginannya?! Akal sehatku meyakini bahwa seratus persen Christopher hanya pura-pura bodoh. Berpura-pura polos.
Semua kebetulan yang terjadi hari ini terasa begitu kentara, seakan Dewa Eros sedang mendorong kami untuk melakukan hal itu, tetapi selalu gagal sebab Christopher seolah lebih senang menggodaku.
Oh, Tuhan, tolong murnikan pikiranku dan jangan membuatku terlalu mencolok karena--"Aw!" Keningku menabrak pintu kaca--sial!--yang menghadap ke arah kolam renang, hingga menciptakan bunyi yang khas sekaligus perasaan nyeri sampai tanganku harus mengusapnya.
"Kau baik-baik saja?"
Dan kenapa juga harus ada adegan seperti ini?
Christopher menyentuh kedua bahuku kemudian dengan mudah mengarahkanku agar menghadap ke arahnya. River Golden masih menggongong.
"Diamlah, River, kau membuat Heather tidak nyaman," perintah Christopher yang langsung membuat anjing itu beringsut mundur. "Kau terluka?" Dia mengalihkan tatapannya ke arahku, selagi menjauhkan tanganku untuk memeriksa keadaanku.
Yang sebenarnya aku yakin hal itu tidak perlu dilakukan. Benturannya memang keras. Namun, aku yakin tidak ada luka karena akal sehat dan dewi batinku masih memerankan peran mereka dengan sangat baik, yakni mendorongku--saling sahut-menyahut--untuk langsung meluapkan hasrat birahi sialan ini.
Kalian hanya berdua, kenapa tidak menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan fantasi liarmu saja sekarang?!
Percayalah, Christopher pasti memiliki kondom di laci kamarnya.
Malam yang kau tunggu-tunggu. Melepaskan keperawananmu kepada Christopher!
Cium dia sekarang! Kau penulis erotis, tentu tahu bagaimana caranya.
Lakukan saja, Jalang! Makan malam hanya kedok. Memasak butuh waktu yang cukup lama atau--
"Sialan, kau, Christopher Lee." Aku melingkarkan kedua tanganku di leher Christopher, menariknya hingga ia harus menunduk sedikit selagi aku berjinjit agar mampu mencapainya.
Dengan jantung berdebar kencang karena takut ditolak, aku membiarkan bibirku berada di atas bibir Christopher. Merasakan dengan penuh damba, betapa lembut miliknya dan kututup kedua mata serapat mungkin sebab benar-benar tidak siap untuk melihat seperti apa ekspresi lelaki itu.
Tapi aku harus melakukannya, bukan? Aku perlu kepastian untuk melanjutkan atau berhenti.
Jadi ... aku melepaskannya, dengan hati-hati kemudian berkata, "A-apa"-- Katakan dengan tegas, Sialan!--"boleh ... kulanjutkan?" Suaraku, jelas sekali seraknya.
Christopher hanya menatapku dan itu benar-benar menyiksa. Sesaat sebelah alisnya terangkat lalu senyum asimetris terlukis di wajahnya.
Demi Tuhan, hal itu benar-benar mendorongku untuk memohon padanya. Namun, aku harus menahan diri. Sekuat mungkin. Demi harga diri.
Persetan, dengan harga diri, Heather! Akal sehatku menampar amat keras.
"Wow." Christopher menatapku. Namun, dengan cara yang berbeda. Tidak ada kehangatan seperti musim semi, hanya hawa panas seolah diriku dihadapkan dengan cuaca ekstrim.
Aku meneguk saliva. Berkeringat akibat ....
... adrenalin?
"Apa yang ada di pikiranmu, Heather? Aku sungguh penasaran."
Begitu pula denganku. Bibirku terkatup rapat, membentuk garis horisontal, memasrahkan seluruhnya kepada Christopher.
Aku yakin dia telah membaca bahasa tubuhku. Yeah, setidaknya ....
... setidaknya ....
... begitulah yang akan terjadi seperti--
"Kurasa kau sudah memikirkannya matang-matang seharian ini, Heather," ujar Christopher yang setelahnya mendaratkan bibirnya ke bibirku.
Benar-benar tindakan yang mengejutkan.
Hingga tubuhku seolah menyusut seutuhnya.
Christopher membuka mulut, tangannya menarik daguku, memaksa agar mulutku bersedia menerima lidahnya.
Aku menahan napas. Tidak mampu memikirkan apapun, selain lidahnya yang begitu piawai bermain di dalam rongga mulutku. Bahkan ketika salah satu tangannya memeluk pinggangku, dengan sekali hentakan ia menarik tubuhku agar lebih menempel padanya.
Desahanku terdengar di sela-sela ciumannya yang kini telah turun di bagian leher. Dan entah bagaimana kedua tangannya pun sudah berada di balik pakaianku, menyapu lembut pinganggku, punggungku, dan--
Dan--
Dan ... oh, tidak, kedua lututku benar-benar melemah saat salah satu tangannya kini berada di dadaku.
Meremasku.
Amat lembut.
Tanpa tergesa-gesa.
Seperti air yang mengalir, Christopher melakukannya dengan tenang.
Sangat-sangat tenang, sampai--
Sampai ....
Oh, Jesus, seperti kehilangan kontrol atas diri sendiri, aku tidak sadar bahwa Christopher telah melepas kaitan bra-ku.
Dan aku menengadah, hingga bunyi benturan kecil terdengar saat kepalaku menyentuh pintu kaca.
"Oh, Christopher," bisikku tertahan, sambil mencengkram bahu lebarnya.
Jari Christopher menelusuri lekukan tulang punggungku. Menjadikan aliran darah dalam tubuhku mengalir kuat. Paru-paruku bahkan bekerja lebih, akibat memerlukan pasokan udara yang kuhirup dengan rakus.
Apakah sensasinya memang seperti itu?
Sial, ini bahkan di luar imajinasiku!
Desahanku bahkan tak kunjung berhenti selagi kedua mata tertutup rapat, serta saat wajah Christopher kini berada di tulang selangka dan tangannya berhasil meloloskan bra-ku.
"Aku bahkan baru memulainya, Heather James," bisik Christopher yang mana embusan napasnya saja sudah membuatku terengah-engah. "Aku tidak ingin membuatmu menjadi lebih buruk dari ini." Lalu dia melepaskan pelukannya dan secara naluriah, aku menatap lelaki itu.
Tanpa mampu mengatakan apapun.
Hanya mampu terengah-engah.
Namun, bahasa tubuhku ....
... bahasa tubuhku ....
Aku yakin bahwa aku memohon padanya karena kini tanganku terulur, meraih tangannya dan dengan semakin sinting, aku menghisap telunjuk serta jari tengahnya.
Mencoba untuk menggoda. Meski aku tidak yakin bagaimana cara mengerjakannya dengan benar.
Tapi Christopher memejamkan kedua matanya dan mulai menggerakkan jarinya di mulutku.
Jalang yang cepat sekali belajar.
"Heather ...."
Yeah, panggil namaku, Christopher.
"Yeah, gadis pintar." Christopher membuka mata dan menggunakan tangan satunya, ia menarik tengkukku, meloloskan jarinya dari mulutku kemudian kembali melahap rakus bibirku.
Leherku.
Payudaraku.
Perutku.
Hingga--
Hingga--
Hingga aku tidak tahan lagi, saat kusadari tak ada sehelai benang pun di tubuhku.
Semuanya berjalan di bawah alam sadar.
Bagaimana Christopher melucuti pakaianku? Aku tidak tahu, tapi ....
... sengatan listrik saat Christopher menyentuh puncak kemaluanku, membuat seluruh tubuhku menegang.
Tuhan, dia benar.
Dia benar.
Ini akan menjadi hal terburuk.
Karena ....
... karena aku akan segera orgasme.
Godness, kami bahkan belum melakukan penetrasi.
Tapi aku tidak bisa menahannya lagi.
Aku menggigit bibir. Nyaris melukainya dan--
"Oh, Chris ...."
Dan kedua kakiku gemetar, seiring dengan pelepasan luar biasa yang dilakukan tanpa penetrasi.
"Kau merona, Heather," katanya dan kurasakan beberapa percikan dingin menyentuh keningku. "Benar-benar merona, sampai membuatku khawatir."
Aku menggeleng, tersengal-sengal, tetapi memaksa menjawab, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Aku meletakkan kepalaku di dadanya. "Ini luar biasa."
"Heather."
"Ya?"
"Heather."
"Katakan."
"Your phone."
Huh?
***
Ola! What do u think about this chap? Jangan lupa tinggalkan tanggapan kalian, ya ^^ karena ini adalah tekhnik baru (sebut saja namanya paragraf pendek u/ meningkatkan ketegangan) yang kudapatkan dari salah satu penulis yg novelnya kubaca. Jadi semoga hasilnya sesuai dengan harapan ya.
Dan tidak pernah lelah mengingatkan kalian, semoga kalian gk pernah bosan buat ngikutin cerita ini.
Sampai jumpa lagi di chapter selanjutnya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro