Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 014 - What I Don't Know

Kau pernah dengar seperti apa para bidadari menyanyi di surga? Atau apa kau pernah mendengar eros memainkan harpa? Ha-ha, sepertinya tidak. Tapi, percayalah, aku tahu bagaimana semua itu terdengar karena sejak berjam-jam yang lalu dewi batinku terus mengumandangkannya, sampai-sampai akal sehatku harus tutup mulut sambil memberikan tatapan iri.

Syalala lalalala lala .... 🎶

Aku tidak bisa berhenti menyunggingkan senyum. Auraku mungkin telah berubah menjadi merah muda karena tak segan menyapa siapa saja yang berpapasan denganku. Bahkan Kenneth sekali pun--persetan, dengan cibiran atau setumpuk makian untukku--aku tetap menyapanya dengan mengatakan, "Hai, Ken, semoga harimu selalu menyenangkan." sambil melambaikan tangan, hingga kuyakin dia berpikir bahwa aku sinting.

Akan tetapi, bagaimana mengatakannya, ya? Aku memang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Bahkan bersikap sedingin dasar lautan sekali pun, itu merupakan hal mustahil. Ribuan kupu-kupu memenuhi dunia taman bungaku, matahari bersinar begitu hangat, dan pangeran berkuda putih menghampiriku di saat aku tengah menikmati keindahan ini. Kurang lebih begitulah yang kurasakan, setiap kali melihat layar ponsel hingga kedua kaki kesulitan untuk tidak menghentak-hentak bumi, serta suara cekikikan menjadi hal tersulit untuk dihindari.

Oh, seluruh penderitaanku, telah terbayarkan seluruhnya hari ini. Aku bersumpah tidak akan menggantinya dengan apapun yang ada di dunia ini.

"Aku memang sudah yakin kau akan semakin sinting karenanya," ujar suara dari balik bahuku. "Jadi apa itu merupakan efek dari ciuman di hari pelelangan?"

Sial! Aku yakin wajahku memerah sekarang dan aku benci itu karena dialah yang memergokiku, bukan penggemarnya apalagi mantan pacarnya, tapi Paul. Entah sejak kapan dia berada di tribun lapangan rugby, aku tetap buru-buru menyimpan ponsel ke dalam tas. 

Dia duduk di sampingku lalu menyisir rambut hitamnya ke belakang menggunakan jemari. "Tidak perlu disembunyikan, pacarmu itu sudah mem-posting-nya di Instagram lengkap dengan caption yang membuatku mual."

"Kau mengikutinya?" Aku tahu, sungguh, aku sudah tahu Christopher melakukannya. Tapi karena yang melaporkan hal itu adalah Paul, maka aku harus bertanya karena setahu kami dia tidak punya waktu untuk media sosial.

Dan tentu saja Paul menyangkal dengan gelengan, tapi juga menjawab sebagaimana biasanya hal itu selalu terjadi. "Aku cuma dengar. Beritanya sungguh berisik, sampai gendang telingaku seperti akan pecah."

Dewi batinku tersenyum bangga, sambil berbicara lantang--memberitahu dunia--bahwa itulah kehebatan Christopher-ku. Aku menyikut lengan Paul saat ia membuka bungkusan plastik bening berisi wortel kering. "Kau iri, ya?"

Paul berjengit, menatapku seolah mengatakan kau sinting, ya? Tapi aku tidak peduli dan langsung mengambil salah satu wortel kering, ketika plastiknya terbuka dengan sempurna.

"Cepat kerjakan pekerjaanmu, Heather," katanya yang ingin segera kujawab, tapi dia tidak membiarkan hal itu terjadi. "Kau di sini bukan untuk menonton pacarmu atau menjadi sinting hanya karena satu foto."

"Sebenarnya beberapa foto," ralatku sambil ingin memamerkannya di galeri ponselku, tapi Paul menahannya. Lagi. Ugh!

"Terserah apa katamu, tapi Mr. Wang dan anak buahnya sudah mau selesai."

Aku merotasikan bola mata kemudian mengambil kamera dan mulai membidik beberapa foto dari jarak yang cukup jauh. "Dan kenapa malah kau yang berada di sini?" Aku menanyakannya, tanpa menoleh ke arah Paul selagi bangkit dari tribun bersiap untuk turun ke tepi lapangan, demi mendapatkan hasil dari jarak dekat sebagai pilihan alternatif.

"Cecilia yang mengutusku," jawabnya dan hal itu membuatku berhenti memotret. Paul tersenyum asimetris, saat aku ingin menjatuhkan rahang. "Katanya kau perlu diawasi karena pekerjaan ini gampang membuatmu teralihkan. Dan itu benar adanya, bukan?"

Aku mengatupkan bibir serapat mungkin. Terpaksa mengedikkan bahu karena ... "Yeah, kalian terkesan mengetahui segalanya."

"Dan itu memang benar." Paul membuka kaleng sprite yang didapatkannya dari seorang gadis beberapa waktu lalu. "Kau transparan, Heather. Asal kau tahu saja."

Aku tidak menyahut karena Paul hanya besar mulut. Dia tidak tahu apapun tentang aku dan Christopher, tentang aku yang memang menyukainya, tentang aku yang menjadi siapa untuknya. Tidak ada yang benar-benar mengetahuinya karena aku merahasiakannya serapat mungkin. Namun, tunggu, apa yang baru saja kulakukan?!

"Gotcha!" Sial! Tahu-tahu Paul sudah di balik bahuku, melihat apa yang sedari tadi kulakukan secara tidak profesional.

Buru-buru aku menghapus foto-foto Christopher, tapi Paul merebut kameraku. "Kupikir kau perlu bantuan agar tetap fokus."

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku terdengar seperti merengek.

Paul melangkah meninggalkan tribun, selagi aku mengikutinya dengan langkah lebar hingga kami berada di tepi lapangan. Secara professional, ia mengambil beberapa foto klub rugby yang sedang latihan, sesekali memperlihatkan hasilnya kepadaku, dan seringkali memerintahku agar memikirkan pertanyaan yang lebih berbobot untuk ditanyakan kepada Mr. Wang setelah ini. Aku sempat merasa posisiku tersisihkan sebagai anggota resmi jurnalistik, tapi lama-lama menyadari keberadaan Paul ada gunanya karena perbedaan kualitas otak kami. Dia sedikit berada di atasku, jadi dia pun sudah seperti penasihat jika pertanyaanku dianggap kurang menarik sebagai sebuah pertanyaan.

Hasilnya, aku mencatat sepuluh pertanyaan panjang yang sepertinya mustahil untuk mendapatkan jawaban hari itu juga karena semuanya, dimulai dengan pertanyaan bagaimana dan mengapa.

Kami menghampiri Mr. Wang setelah latihan selesai. Yang mana sesudah menyerahkan selembar kertas berisi rentetan pertanyaan kepada pria itu, aku diam-diam melempar pandang sekaligus senyuman termanis yang kumiliki ke arah Christopher.

Di lain sisi, Paul mengambil foto Mr. Wang secara close up dan kudapatkan isyarat Christopher yang berisi, tunggu aku di depan ruang ganti. Yeah, sepertinya begitu, jadi aku mengangguk.

"Menyenangkan, bukan?" tanya Paul yang membuatku nyaris mendorongnya, ketika dia berbicara tepat di telingaku dengan suara yang-bisa-dibilang-nyaring untuk jarak sedekat itu. "Bekerja di tempat pujaan hatimu berada, sehingga bisa bermesraan walau hanya sekadar saling bertukar pandang."

Oh, Tuhan! Aku menendang bokong Paul--tidak terlalu keras--karena ia justru tertawa, sambil pura-pura mengaduh kesakitan seakan aku memang berniat untuk melakukannya.

"Tutup saja mulutmu, Paul dan berpura-pura buta saja."

"Ouch, kau akan membuatku lumpuh kalau mengenai pusat sarafku, James," jeritnya selagi mengusap bagian yang kutendang dan membuatku terus mendorongnya, hingga kami meninggalkan lapangan.

***

"Heather James!"

Aku menoleh ketika suara yang amat sangat familier memanggil namaku, di depan ruang ganti anggota klub rugby dan ketika tatapan kami saling bertemu, dia langsung mengarahkan kamera ponselnya ke arahku.

"Pertahankan," pintanya, "ekspresimu." Dan itu langsung menyadarkanku bahwa dia mengambil fotoku tanpa aba-aba.

Oh, damn, Christopher!

"No." Aku menghampirinya, akan merebut ponsel tersebut, tanpa peduli di mana kami sekarang. Namun, mudah ditebak, dia mengangkat tangan setinggi mungkin, hingga aku harus melompat-lompat, dan membuat beberapa anggota klub rugby yang melintas dari ruang ganti bersiul ke arah kami.

"Hapus fotoku, Christopher!" pintaku masih terus melompat, meski hal itu tetaplah sia-sia. "Aku tahu betapa buruk hasilnya. Jangan membuatku sebagai bahan lelucon."

"Cantik, kok." Tapi Christopher malah mengelak, sembari mengamati hasil jepretannya yang sebenarnya tidak bisa kulihat sama sekali. Tapi di lain sisi, aroma sabun di kulitnya sungguh memanjakan indera penciumanku. Aku jadi ingin--diam, Gadis Mesum!

"Sejak di tribun, kau terus-terusan tersenyum," katanya masih mengabaikan usahaku dan terus menatap foto sialan itu. "Jadi terlihat lebih menyenang dan--"

Oh, tidak, tidak, tidak!

Mataku terbuka melebar, kedua kakiku tahu sekali apa yang harus dilakukan karena--sialnya--aku kembali kehilangan keseimbangan, saat salah satu dari mereka menginjak tali sepatu, hingga ....

... damn it! Aku mengutuk (hanya dalam pikiran) saat dewi batinku bersorak riang gembira, sambil mendesak agar segera melakukan apa yang seharusnya dilakukan di saat-saat seperti ini. Dia bahkan sampai melupakan bagaimana caranya berkedip.

Satu.

Dua ....

... lima.

Aku sadar tangan kananku mencengkram lengan atas Christopher dan tangan kiriku berada di dadanya. Tubuh kami kembali menempel, di saat bahu kokohnya bersandar pada tembok. Sesaat perasaan de javu di area parkir menguasai, tetapi hal yang paling penting adalah ....

... tatapan kami saling mengunci satu sama lain. Jantungku berdebar amat kuat, seperti terdapat puluhan tapak kuda di Thoroughbred Racing. Jaraknya hanya beberapa centi lebih dekat dari kejadian sebelumnya dan kalau memang tidak ingin membuang kesempatan ini, tentu saja hal itu mudah sekali. Namun, aku malah menunggu, menunggu, dan menunggu, sampai--persetan! Tutup saja matamu, Sialan!

Aku menutup mata dalam keadaan enam puluh persen cemas dan sisanya penuh perasaan menamba. Oh, tidak, apa, sih, yang kulakukan?! Akal sehatku seolah mendaratkan benda keras tepat dijantungku, membuat seluruh tubuhku meleleh akibat kecemasan berlebih. Namun, aku masih saja menunggu, hingga tanpa sadar tanganku mengepal, mencengkram baju Christopher dan ....

Ya, Tuhan! Embusan napasnya!

Christopher!

Tubuhku seolah akan meledak saat embusan napas paling hangat sedunia itu, menyapu puncak hidungku. Menjadikan paru-paruku terasa mengerucut sebab aku--entah sejak kapan--telah menahan napas dan--

Dan--

Dan ... kupikir aku siap mati dalam damai saat ini juga.

Tapi--tidak, ini semakin menyiksa kenapa waktu berjalan sangat lam--

"Ekhem."

--bat. Brengsek!

Aku mendorong tubuh Christopher sedetik setelah seseorang berdeham tepat di belakangku. Dan seperti tertangkap basah sedang melakukan kesalahan, aku buru-buru menjauh, menjaga jarak dengan wajah yang seratus persen kuyakin semerah paprika.

Senyum asimetris tergambar jelas di wajahnya. "Shit, ini bukan tempat yang tepat untuk papa dan mama menyalurkan hasrat mesumnya." Nada mengejeknya terdengar jelas dan batinku terus memaki karena perusak suasana menegangkan ini adalah Kenneth. "Bisakah kalian melakukannya di tempat yang lebih tertutup, eh? Kalian membuatku mual."

Christopher terkekeh lalu menggenggam tanganku, di saat aku ingin memaki Kenneth. "Kau iri, ya?"

Kenneth memutar mata. "Sama sekali tidak," jawabnya, "jangan lupa, dia adalah gadis yang mengambil fotomu untuk keperluan masturbasi."

"Hei--"

"Jaga mulut sialanmu, Kenneth." Christopher mengeratkan genggamannya di tanganku dan ia juga menyelaku, padahal aku ingin membela diri. "Dia pacarku, jadi terserah dia untuk mengeksploitasi apa yang ada padaku."

Kedua alisku mengerut. Kurasa kata eksploitasi terlalu berlebihan dan ungkapan win-win solution terdengar lebih tepat.

"Terserah. Aku cuma mengatakannya saja." Kenneth memutar mata. "James Fucking Bond, pasti sangat terbebani karena status barunya." Ia tersenyum miring dan menepuk bahuku, hingga aku harus mengelak. "Dan aku jadi kehilangan mainanku. Menyebalkan, bukan?"

"Tidak. Aku bukan mainanmu, kau tahu?" Aku menantang Kenneth, menatapnya secara langsung seakan-akan terdapat laser yang akan menembus kedua matanya.

Tapi tentu saja hal itu tidak berpengaruh karena dia memiringkan kepala, sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Ya, ya, ya, aku tahu, aku tahu, kau pacar sahabatku dan itu sangat mengesalkan karena--"

"Pergilah, Ken." Christopher menggeser posisi berdirinya menjadi di tengah-tengah antara aku dan Kenneth. "Kalau kau terus seperti ini, aku tidak akan segan untuk bertindak."

"Seperti yang kau lakukan beberapa jam lalu?"

"Tidak."

"Yeah, kau melakukannya."

"Bisa kau tutup mulutmu dan pergi saja?" Suara Christopher berubah menjadi sedingin es di Kutub Utara. "Please."

Dan aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, serta apa yang dilakukan Christopher beberapa jam lalu. Otakku jadi bertanya-tanya, tapi ... genggaman Christopher, semakin kuat hingga membuatku harus meringis.

Kenneth menghela napas, memerosotkan bahunya lalu berkata, "Baiklah." Dan ia kembali melirik ke arahku. "Aku mengawasimu, ingat itu," katanya sambil menggerakkan telunjuk serta jari tengahnya ke matanya lalu ke mataku.

Akan tetapi, percuma saja, aku tidak tahu apapun jadi hanya bisa diam dan membiarkan Kenneth pergi.

"Hello, bisakah kau kendurkan genggamanmu?" Aku menoleh ke arah Christopher, setelah Kenneth berjarak cukup jauh dan ketika perasaan nyeri di tangan kanan semakin bertambah. "Kau menyakitiku, Tuan Muda Lee," kataku sengaja menyebutnya dengan sapaan yang diinginkannya agar ia tidak tersinggung dan menerimanya, sebagai lelucon untuk mencairkan situasi.

Situasi yang kurasa sempat terasa amat menegangkan, entah kenapa.

Namun, yeah, dia tidak terlihat seperti harapanku sebab setelahnya, genggaman kami terlepas dengan amat mendadak.

"Sorry," katanya dan aku langsung merasa kehilangan.

Kontrol dirimu, Jalang! Akal sehatku mengingatkan, tetapi aku tidak bisa menahannya karena lidahku langsung mengerjakan tugasnya dengan segera bertanya, "Apa ada sesuatu yang telah terjadi?"

Tentu saja Christopher menggeleng. "Tidak ada"--aku yakin dia menyembunyikan sesuatu--"lupakan saja"--mustahil, ucapan Kennteh membuatku penasaran setengah mati--"karena masih ada tugas untukmu dan aku tidak ingin melewatkan pesta bersamamu di rumahku."

Oh, aku sempat melupakannya.

Lea, Davis, dan mobil yang sempat berubah menjadi tempat sampah, semua kejadian itu sangat menguras kesabaranku hari ini, hingga perhatianku jadi teralihkan. Sebenarnya, aku ingin beristirahat di kamarku, tetapi bukankah berada di sisi Christopher merupakan tempat peristirahatan paling nyaman sedunia? Apalagi, hal tersebut merupakan sesuatu yang paling kuidam-idamkan. Kencan bersama Christopher? Aku dilarang untuk melewatkannya.

Jadi aku melangkah menghampiri Christopher, berusaha mengesampingkan ribuan pertanyaan yang mendesak seluruh rongga kepalaku dan berkata, "Kau boleh memilih sepuasnya. Anggap saja hari ini aku adalah Dollar berjalanmu."

Christopher tertawa kecil dan itu membuatku sedikit takjub karena perubahan mood-nya yang amat cepat. "Benarkah? Jangan sampai menyesal karena telah mengatakannya."

"Apa itu merupakan peringatan yang diselebungi dengan tantangan?"

Dia menoleh ke arahku, di saat kami berjalan bersisian menuju area parkir. "Bisa dibilang seperti itu."

"Memang apa yang akan kau lakukan?"

Dia memiringkan kepala, masih mempertahankan kontak mata, seakan tidak khawatir jika ia bisa saja menabrak sesuatu. "Rahasia. Yakinkan saja bahwa kau memiliki stamina yang kuat."

Stamina yang kuat? Hei, hei, tidak bisakah untuk tidak berpikiran kotor, Heather James! "Kenapa?" Kau cuma pergi mentraktir Christopher dan makan malam bersama di rumahnya! "Kurasa tidak perlu stamina lebih untuk sebuah makan malam." Tetaplah berpikiran jernih, makan malam adalah untuk menambah energi, bukan? "Jangan mengatakan sesuatu yang bermakna ganda, Lee." Itu salahmu sendiri yang berpikiran kotor, Jalang! Berhenti mencari-cari alasan untuk--

Christopher tertawa, yang mana tanpa kusadari ia sudah berdiri tepat di hadapanku. Kedua mataku mengerjap dan ia berkata, "Apa yang kau pikirkan, Heather? Hari ini kau terlalu sering merona sampai aku ingin sekali masuk ke dalam pikiranmu."

Dan--damn it, enyahlah, pikiran kotor!

***

Ola! What do u think about this chap? Jangan lupa tinggalkan tanggapan kalian, ya ^^ dan tidak pernah lelah mengingatkan kalian, semoga kalian gk pernah bosan buat ngikutin cerita ini.

Sampai jumpa lagi di chapter selanjutnya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro