Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 013 - You Definitely Know How it Works

"Oh, tidak, tidak, aku tidak bisa tinggal. Aku harus pergi," kataku pada Jeffery saat dia berusaha menahanku, agar mau menggantikannya menemani Davis.

"Kau adiknya."

"Memang, tapi dia bisa membunuhku kapan saja."

"Apa salahnya?"

"Ini masalahnya." Aku memperlihatkan ponselku ke arah Jeffery, setelah aku menyeretnya agar lebih jauh lagi dari jangkauan Davis. Aku tidak ingin dia mencuri dengar. "Sekarang kau mengerti, 'kan?"

"Damn." Kedua mata Jeffery melebar, tetapi tidak sampai bergetar. "Perempuan memang mengerikan," katanya dan aku setuju, tanpa perlu mengatakannya secara langsung. "Apa ini karena kau dekat dengan Christopher?"

Yeah. Aku mengangguk karena mengelak pun tidak ada gunanya, sebab di kaca mobil terlihat jelas tulisan berwarna merah; Jalang sialan! Jauhi Christopher kami! Dan terlalu banyak tulisan lagi yang tidak bisa kubaca karena berukuran amat kecil, bersamaan dengan sampah-sampah sisa makanan di sekitarnya.

"Sudah jelas mereka merajah semua tong sampah di kafetaria."

"Exactly." Aku memiringkan kepala lalu mendesah. "Jadi aku harus menyelamatkan diriku sendiri, sebelum menyelamatkan orang lain."

Kupikir Jeffery akan mengerti keadaanku, tapi dia malah mengatakan hal sebaliknya setelah memberikan ponselku kembali. "Kau mengenal Davis dengan sangat baik."

"Huh?" Dia kakakku, bagaimana mungkin tidak mengenalnya? Maksudku, yeah, sebelum aku dilahirkan di dunia, aku jelas tidak mengenalnya karena kami bukan saudara kembar.

"Kau yakin dia tidak akan melakukan hal bodoh? Seperti melukai diri sendiri," katanya yang membuat bibirku terbuka tak percaya.

Oh, God! Apa Davis pacarmu, eh?! Secara imajiner kedua mataku berputar dan secara nyata, aku meringis mendengarnya.

"Kau tahu, ini pertama kali dia bisa se-galau itu." Jeffery menjelaskan, sambil menoleh ke arah Davis yang masih sibuk dengan gitar, kertas di atas meja, beserta pulpen di tangan lainnya.

Meskipun tidak terlihat air mata di pipinya, tetapi aura suram terpancar jelas di sekitar Davis. Kami berdua meneguk saliva saat melihatnya kemudian kembali berpandangan.

"Yeah." Aku mengatakannya sambil menghela napas. "Aku ingin mengejeknya, tapi aku lebih menyayangi nyawaku dan ... yeah, dia tidak akan melakukan tindakan bodoh. Davis takut jarum suntik dan takut darah."

Jeffery mengangguk kemudian ia membenarkan tali tas yang hanya di sampirkan di satu sisi bahu. "Baiklah, tinggalkan saja dia," ujarnya, "kita semua tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan diri masing-masing, bukan?" Lalu dia menoleh ke arah Davis, mengangkat sedikit dagunya sambil berkat, "Yo, Bung! Aku tidak bisa menemanimu. Kuis keparat sedang menunggu."

Sedikit pun Davis tidak menoleh. Ia hanya mengangkat salah satu tangannya yang sebelumnya memetik senar gitar, lalu menggoyangkannya, seakan mengatakan pergi saja, tidak ada bedanya kau di sini.

Jeffery mengedipkan sebelah matanya padaku lalu berkata, "Lihat, Bajingan itu mengusirku jadi aku apa lagi yang harus kulakukan di sini? Tidak ada. Jadi ... good luck, H." Dia menepuk-nepuk kepalaku. Namun, aku segera menepisnya karena aku sudah terlalu dewasa untuk mendapatkan perlakuan tersebut dan juga dia bukanlah pacarku.

Aku merapatkan pintu setelah kepergian Jeffery. Sengaja melakukan hal tersebut agar kebisingan dari alat musik tidak terdengar sampai keluar, kemudian bersandar pada pintu selagi melilitkan kedua tangan di bawah dada. Netraku memerhatikan Davis, di saat otak tengah berusaha keras menahan lidah agar tak mengejek keadaan Davis. Lucu melihatnya yang seperti itu, sehingga sudut bibirku agak menukik ke atas. Oh, hentikan!

Dia mengangkat wajahnya. Mungkin menyadari keberadaanku dan keningnya mengerut.

"Apa?" tanyanya. Wajah Davis benar-benar kacau, seperti tidak tidur berhari-hari.

"Kau memerlukan sesuatu?"

"Kau sudah mengajaknya ke perpustakaan?" Davis malah balik bertanya, padahal seharusnya dia menjawab terlebih dahulu baru melemparkan pertanyaan baru. Bukankah seperti itu etikanya?

Akan tetapi aku tetap mengangguk lalu mengedarkan pandangan ke arah dinding berisi jajaran poster band aliran Pop Punk seperti beberapanya adalah; Green Day, Descendets, Paramore, Blink-182, dan Jawbreaker lalu di sisi lainnya mereka menempeli rak-rak telur yang digunakan sebagai peredam suara. Sebuah lemari rak kayu bekas terpajang di dekat sofa tua warna ungu pucat, berisi koleksi piringan hitam serta kaset-kaset milik beberapa generasi anggota band. Davis duduk di sudut sofa, dia menengadah sambil memijat kening. Embusan napasnya terdengar frustrasi.

"Aku mengacaukannya," katanya, sambil memejamkan mata dan terus memijat. "Dia tahu aku mengancam bajingan itu."

Sebelah alisku terangkat. Aku tidak punya waktu untuk meladeni curhatan Davis kali ini, tapi aku penasaran. "Kau menghajarnya?"

Dia menggeleng kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, sebelum menoleh ke arahku. "Nyaris. Bajingan itu yang memancingku duluan."

"Wow." Tipikal bertindak, tanpa berpikir. "Kita baru mengobrol tentang kerisauanmu tadi pagi, dan selang beberapa jam kau sudah bertindak."

"Aku tidak bisa diam saja, Heather!" Kedua tangan Davis terkepal kuat dan ia menegakkan punggungnya. "Bajingan itu menuliskan kalimat tidak senonoh dan ketika kutanya pada Cecilia, ternyata hal itu bukanlah pertama kalinya."

Oh, sampai di sini saja. Kurasa sudah cukup. Aku kembali merogoh tas, mencari benda pipih untuk memanggil Cecilia atau setidaknya Paul jika gadis itu menyalakan mode pesawat pada ponselnya. "Kau ingin aku meminta Cecilia untuk ke sini sekarang? Kurasa akan lebih baik menyelesaikannya secara tatap muka, daripada terus seperti ini?"

"Dia tidak akan merespon." Nada putus asa terdengar jelas dan hal itu, membuatku sangat ingin memukul kepalanya.

Sadarlah, Davis James! Kau bukan lelaki berhati lemah! Itu yang ingin kukatakan tepat di kedua telinganya.

"Siapa yang tahu?" Aku mengedikkan bahu. "Aku bisa menelepon Paul kalau dia mengabaikanku."

Davis mengembuskan napas, kembali bersandar pada sandaran sofa lalu memejamkan kedua mata. "Terserah."

Aku segera menelepon Cecilia dan dalam hitungan detik, yang benar saja nomornya tidak aktif dan beralih ke pesan suara. Jadi sebagai opsi kedua, kucoba untuk mengalihkannya pada Paul dan lelaki itu memanggil namaku setelah dering ketiga. Suaranya terdengar berbisik yang berarti ia masih di perpustakaan. Baguslah.

"Kau masih bersama Cecilia? Bisakah kau membawanya ke ruang latihan band? Davis ingin berbaikan." Melirik ke arah Davis, aku menunggu jawaban Cecilia melalui Paul.

Davis balas menatapku dengan tatapan penuh harap, bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, tapi aku tahu bahwa dia bertanya tentang bagaimana hasilnya. Dan setelah memutuskan panggilan, aku menunjuk ke arahnya sambil berkata, "Baiklah, sekarang tinggal kau yang memutuskan bagaimana akhirnya. Cecilia akan datang sendirian, jadi pikirkan baik-baik apa yang ingin kau katakan. Aku harus pergi sekarang karena ada sesuatu yang harus segera kukerjakan."

Melangkah lebar menghampiri Davis, aku mendaratkan ciuman cepat di pucuk kepalanya. Persetan dengan penolakannya, tetapi itu adalah salah satu bentuk kasih sayangku jadi aku hanya terkikik ketika Davis memaki, sambil mengusirku.

Setelahnya, aku mencoba menghubungi Christopher. Tuhan! Kenapa hari ini terasa sibuk sekali?! Namun, sama seperti Cecilia, panggilanku dialihkan ke pesan suara sehingga dewi batinku kembali mengeluh tentang mengapa semua orang tidak menggunakan telepon mereka semaksimal mungkin?!

"Lebih baik kembali saja menggunakan surat burung merpati."

Aku melangkah lebar meninggalkan ruang latihan band, sambil mengetik pesan untuk Christopher secepat yang bisa kulakukan. Sejujurnya, aku tidak ingin lelaki itu melihat penampakan mobilku sekarang, menolak dirinya mengetahui seperti apa perangai para penggemarnya, dan keberatan membuatnya merasa terbebani. Jadi setelah menyimpan ponsel di dalam tas, aku berlari--sekencang mungkin--seperti Chariots of Fire hingga rasanya perutku nyaris memuntahkan roti isi ikan yang kumakan sewaktu perjalanan menuju perpustakaan.

Sampai akhirnya tiba di area parkir, aku tahu aku terlambat. Christopher berada beberapa langkah di hadapanku, sehingga dengan sisa-sisa napas yang kumiliki, aku kembali berlari lalu tanpa pikir panjang menarik bagian belakang bajunya dan ....

... entah kekuatan dari mana, aku berhasil membuat Christopher limbung. Namun, itu bukan sesuatu yang baik karena ketika dirinya akan jatuh ke belakang, ia menarik tanganku, hingga semua menjadi tidak terkendali.

Oh, sial! Ini bukan drama romantis!

Aku terjatuh (yang benar saja!) mendarat keras dengan siku di kedua sisi tubuh Christopher. Tubuh kami saling menempel di saat wajahku menghantam dadanya, sehingga tidak menciptakan rasa ngilu sebagaimana mestinya, tetapi berhasil membuat jantungku terlepas dari rongganya.

Tuhan, aku tidak berani melihatnya sekarang. Tapi aku yakin para jalang itu telah menggila sekarang.

"Wow," ujar Christopher yang saat ini sepertinya sedang tersenyum lebar, hingga lesung pipinya terlihat jelas dan kedua mata nyaris terpejam. "Kau baik-baik saja?"

Aku tidak berani mengatakan apapun, tapi--"Yeah"--aku menjawab, tanpa adanya kontak mata--"I'm ok"--aku tidak yakin, mungkin di antaranya atau sebaliknya--"enyahlah"--aku tidak tahan berlama-lama seperti ini--"baumu seperti lumpur"--itu jelas bohong, Christopher beraroma surgawi dan aku dibuat mabuk kepayang sekarang--"sebaiknya pergi mandi saja, daripada buru-buru mengambil barangmu yang tertinggal"--itu juga bohong, aku tidak ingin Christopher melihatnya. Mengetahui bagaimana mereka mengerjaiku, sampai tanpa pikir panjang mengotori properti yang kugunakan meski sebenarnya bukan milikku.

Christopher berdiri di sisiku, sambil menepuk-nepuk beberapa bagian tubuhnya sekadar membersihkan debu atau pasir yang menempel. "Seharusnya kau tidak berada di sini." Dia mengatakannya, setelah kami sama-sama berdiri dan hanya berjarak tiga langkah di hadapan pemandangan menjijikan tersebut. Aroma busuk menguar, hingga hidungku mengerut. "Tadinya, aku ingin membersihkannya, tapi rupanya kegilaan ini sudah sampai padamu."

Aku menoleh ke arahnya. "Itukah alasanmu meminjam kunci mobilku?"

"Yeah." Dia mengangguk.

"Dan kau mungkin tahu siapa pelakunya?"

"Yeah."

"Lalu kau memutuskan untuk bertanggung jawab, padahal bukan kau yang melakukannya."

Christopher mengedikkan bahu, sambil memiringkan kepalanya. "Yeah, tentu saja."

"Oh, God." Aku menghela napas panjang. Merasa frustrasi karena seharusnya Christopher tidak perlu berkata ya untuk semua pertanyaanku. "Aku berharap kau mengatakan hal sebaliknya, daripada sekadar yeah," ujarku lalu menghampiri mobil Davis yang sudah dipenuhi dengan sampah-sampah basah paling menjijikan, tulisan-tulisan penuh makian mengisi bagian kacanya, serta pembalut Kotex (sepertinya satu kotak penuh dan awalnya kupikir adalah darah) bernoda Magic Marker warna merah, lebih parah lagi aku menemukan dua buah kondom bekas pakai menggantung di masing-masing kaca spion. Ewh!

"Kau pacarku. Jadi apa lagi yang bisa kulakukan?" Christopher mengambil salah satu kondom bekas itu menggunakan tisu yang kuletakkan di atas kap mesin kemudian kondom satunya, sebelum membuang mereka ke tempat sampah. "Kecuali kalau kau ingin aku membalas tindakan mereka. Aku bisa melakukannya untukmu karena--kebetulan--tidak ada yang melupakan kejadian lima tahun lalu."

Lima tahun yang lalu? Lantas tanganku berhenti bergerak, seiring memori otakku yang memutar kembali kejadian mengerikan tersebut dan ....

... aku menoleh ke arah Christopher. Menggeleng padanya, sambil berkata, "Tidak. Maksudku ... memang tidak, kau tidak perlu melakukannya. Lagi pula, aku bukan pacar sungguhanmu."

"Memang bukan." Christopher meraih kantong plastik hitam dari bagasi mobil Davis kemudian mengarahkannya padaku. "Tapi tidak lama lagi."

Aku menoleh ke arahnya. Telingaku tidak mungkin salah mendengar, tapi aku tetap menanyakannya. "What?"

"Nothing." Dia mengedikkan bahu sambil tersenyum lebar lalu menggeser sampah-sampah basah tersebut menggunakan tisu, serta mengarahkan mereka pada kantong plastik yang kubuka lebar. "Hukumanku karena telah menciummu demi membungkam Lea. Ingat, kau memintaku sebagai pacarmu demi menjamin kenyamananmu selama di kampus."

Oh. Kurasakan hatiku kecewa setelah mendengarnya. Jangan terlalu percaya diri, Heather. Kau juga dihukum karena telah menggunakan Christopher sebagai objek tidak senonohmu. "Benar. Dan hukumanku sebagai pelayanmu karena telah mengambil fotomu tanpa ijin."

"Foto yang nyaris terlihat vulgar." Dia menyikut lenganku, sambil tertawa kecil seakan-akan itu merupakan lelucon. "Mereka semua masih tersimpan rapat di dalam brankas rahasiaku. Termasuk, buku catatanmu."

"Sialan." Aku balas menyikut Christopher, berpura-pura menikmati leluconnya, meski sesungguhnya ... tidak. Aku ingin dia memiliki perasaan yang sama denganku yang kuharap, suatu saat mungkin akan terjadi.

Yeah, kuharap itu bisa terjadi.

"Heather, come." Christopher mengeluarkan ponselnya kemudian menarik lenganku, hingga kembali menempel padanya setelah ia selesai membersihkan sampah-sampah sisa makanan. "Let's take some photos."

"Huh?" Aku tidak yakin dengan pikiranku tentang perkataan Christopher barusan. "Why?"

"Kau tentu tahu bagaimana cara kerjanya, bukan?" Dia melingkarkan salah satu lengannya di bahuku, menarikku agar semakin menempel padanya, selagi ia mengarahkan fokus kamera kepada kami kemudian mulai menghitung dan satu foto pertama diambil.

Aku tahu senyumku terlihat amat sangat canggung di sana. Namun, tidak untuk foto-foto berikutnya, aku telah mengetahui dengan pasti jalan pikiran Christopher dan berjanji akan menyimpan hasilnya hingga akhir hayatku.

Sumpah, Demi Tuhan Jesus Yang Maha Baik. Aku mencintaiMu, Tuhan!

***

Ola! What do u think about this chap? Jangan lupa tinggalkan tanggapan kalian, ya ^^ dan tidak pernah lelah mengingatkan kalian, semoga kalian gk pernah bosan buat ngikutin cerita ini.

Sampai jumpa lagi di chapter selanjutnya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro