Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 012 - Try To Be A Good Girlfriend

Mustahil. Mustahil. Mustahil. Bibirku terus mengulangi kata tersebut, seperti sebuah mantra paling hebat di dunia yang mampu mengubah sesuatu. Di gang antara rak-rak buku perpustakaan, kedua kakiku bergerak gelisah, tangan terus-menerus menggenggam ponsel dan dari sudutku melihat sepertinya kegelisahanku telah mengganggu beberapa orang di sini. Akan tetapi, persetan! Selama mereka tidak mengatakan apapun, itu pasti bukanlah masalah besar.

Aku terus bergerak mondar-mandir, sesekali mengintip Cecilia yang duduk di kursi dekat rak buku berisi kumpulan sastra Inggris, sambil terus mencoba menghubungi Davis. Dia menghilang! Padahal dia yang terus menggangguku dengan chat berisi peringatan bahwa aku tidak boleh melupakan rencananya, tapi sekarang, lihat, bayangannya saja sungguh tak terlihat dari tadi!

"Kau kesulitan mencari sesuatu, Heather?"

God! Tubuhku tersentak--nyaris menjatuhkan ponsel--ketika seseorang menegurku dari belakang. Aku buru-buru mengambil buku secara acak, seperti tertangkap basah sedang melakukan sesuatu. Namun, dia adalah Paul jadi aku bisa bernapas lega.

"Yeah."

"Yeah?"

Aku mengangguk, sambil menyimpan ponsel ke dalam saku celana jins kemudian memperlihatkan buku yang kuambil. "Tapi aku sudah menemukannya."

Sebelah alis Paul terangkat. "Ilmu dasar pelestarian lingkungan? Kau yakin itu yang kau cari?"

Melirik ke arah buku yang dimaksud, batinku mengumpat, akal sehatku menertawai. Baiklah. Aku mengintip ke arah Cecilia, memastikan gadis itu masih bersama dengan tumpukan buku sastrawan Eropa.

"Sebenarnya, tidak." Aku mengembalikan buku yang entah siapa pelakunya, membuat benda tersebut tidak berada di rak semestinya. "Davis akan mengajak Cecilia berpacaran. Hari ini, di sini, tapi dia malah menghilang padahal aku sudah membujuk Cecilia-- dan kau--untuk mengerjakan tugas Professor Smith lebih awal."

Paul mengangguk samar, sambil mengusap dagu. Tampak berpikir sejenak. "Kurasa itu tidak akan terjadi hari ini."

"Huh?"

"Yeah, kudengar mereka bertengkar. Saat kau pergi, Cecilia terus memaki Davis dan akhirnya mematikan ponselnya."

"Huh?" Aku meraih ponselku kali ini mencari kontak Jeffery untuk bertanya keberadaan Davis. Setahuku, mereka tidak terpisahkan karena sama-sama menyukai musik. "Si Brengsek itu sudah mengacau."

Paul mengedikkan bahu. Ia mengambil salah satu buku bersampul hijau, tepat di atas kepalaku. "Sebaiknya kau menemui Davis dan beritahu dia apa yang harus dilakukan jika tidak ingin ditolak," katanya kemudian menyerahkan buku tersebut ke arahku. "Kurasa kau cocok dengan ini. Puisi tentang revolusi Prancis. Professor Smith akan menyukainya kalau kau yang menganalisis."

Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya, sebelum meraih buku tersebut. "Thanks. Kau yang terbaik, Paul." Kuberikan ciuman pipi pada pipi kirinya lalu kembali berkata, "Tolong katakan pada Cecilia, aku harus mendadak pergi karena terpaksa dihadapkan dengan urusan keluarga dan ... katakan juga aku akan datang di rapat nanti."

Paul mengangguk dan aku bergegas pergi meninggalkan perpustakaan yang mana setelahnya, Jeffery membalas pesanku.

Jeffery: Idiot itu ada di sini. Membuat lagu super galau yang seakan ingin mengakhiri hidup setelah liriknya selesai.

Lalu aku melihat tanda (•••) di bawah balon chat Jeffery, sehingga aku menunggu sambil terus melangkah menuju ruang latihan band mereka (yang sebenarnya merupakan gudang bekas perlengkapan olahraga). Gedung itu berada di dekat lapangan dan persis di belakang aula serbaguna, merangkap lapangan basket.

Jeffery:  Benar-benar merepotkan! Dia memaksaku tinggal, padahal aku akan ada kelas sebentar lagi. Bisakah kau segera ke sini dan menemaninya? Chris dan Kenneth sedang latihan.

Aku memberikan balasan cepat kepada Jeffery, hanya berupa dua emoji ibu jari lalu menyimpan ponsel di dalam tas.

Sialan, Davis. Sekarang kau benar-benar kena batunya. Aku melangkah lebar, bahkan setengah berlari sebab tidak sabar ingin memukul kepala Davis lalu mengejeknya karena bersikap begitu menyedihkan. Sekali lagi, itu benar-benar bukan dia. Jadi sikapnya yang seperti ini merupakan kesenangan bagiku. Ha-ha!

Lea berpapasan denganku di dekat kafetaria. Ia melemparkan gumpalan tisu kotor--yang sebelumnya ingin ia buang di tempat sampah--dan masih mengataiku jalang murahan, sialan, serta mati saja kau. Namun, aku mengabaikannya karena ... itu tidak penting. Sungguh.

"Demi Tuhan, dia cuma iri," kataku mengikuti ucapan Cecilia yang terus dikatakannya--seperti mantra--disepanjang kelas. "Karena dia tidak pernah mengenakan seragam kebanggan Christopher." Dan itu juga perkataan Cecilia, setiap kali aku memberitahunya bahwa pakaian ini adalah beban sebab membuatku menjadi pusat perhatian.

Dan, yeah, pusat perhatian itu kini berada kurang lebih sepuluh meter dariku, sedang membawa tiga tumpukan kardus berukuran cukup besar hingga wajahnya benar-benar tertutup. Christopher jelas terlihat kesulitan saat menuruni tangga berkelok dari gedung C, langkahnya seperti seorang lansia; lamban dan menyamping hanya demi memastikan keselamatannya.

Entah apa yang dia bawa di dalam kardus-kardus tersebut, tetapi aku tetap memanggil sekaligus berlari kecil untuk menghampirinya. "Christopher!"

Dia memiringkan kepalanya, sehingga bisa melihat langsung ke arahku. "Heather?"

"Berikan padaku," perintahku, setelah menaiki beberapa anak tangga hingga tinggi badanku sedikit melampauinya.

Namun, Christopher mengelak dengan membawanya ke sisi yang berlawanan denganku. "Terima kasih, tapi ... tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri."

Aku menggeleng cepat, sambil menggeser posisi berdiriku ke arah kerdus-kerdus itu berada. "Sialan, kau tidak boleh melupakan keberadaan pelayanmu ini. Bukankah itu yang kau pikirkan saat mengajukan perjanjian terkutuk itu?"

Sesaat Christopher terkekeh dan masih saja menjauhkan kardus-kardus itu dari jangkauanku. "Sekarang kau sudah lebih menerima statusmu, ya?"

Aku memutar mata. Menyesal karena telah mengatakannya. "Damn it, Christopher, berikan saja padaku," desakku, "aku sedang ingin membantumu. Apa kau tahu itu, eh?!"

Dia mengerling. "Baiklah-baiklah, aku tidak ingin pelayanku jadi terlihat tak berguna," katanya kemudian menghadapkan kardus-kardus tersebut ke arahku.

Aku mengambil salah satunya--yang paling atas--dan--"Godness. Apa ini tumpukan batu atau semacamnya, eh?!" tanyaku ketika rasanya, urat-urat di tanganku telah menyembul akibat mengangkat beban berat. "Bagaimana bisa kau membawa mereka semua?"

Senyum asimetris terlihat di wajah Christopher, selagi kami berjalan bersisian setelah susah payah menuruni beberapa anak tangga terakhir. Aku tidak sempat menghitung karena menolak untuk jatuh dan jika itu terjadi, sungguh, sangat tidak keren.

"Pertama, itu perlengkapan tim. Kedua, latihan fisik. Kau akan baik-baik saja selama terbiasa mengangkat beban berat."

"Well, aku biasa lari pagi."

"Itu berbeda." Dia mencebik, sambil mengangkat kedua alisnya. "Itulah sebabnya kau harus sering mengobrol dengan tuanmu ini."

Kali ini akulah yang mencebik. "Ke mana kita harus membawa mereka?"

"Ke ruang ganti klub. Tentu saja," jawabnya, "Kau mustahil tidak tahu jadwal harianku di kampus."

"Yeah, aku punya catatannya."

"Really?"

Christopher menoleh, tersenyum lebar, tapi tatapannya menatapku seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Jadi aku mengatupkan bibir serapat mungkin, serta memaksa agar otakku berpikir cepat. Oh, God, bisakah aku menarik ucapanku tadi?!

"Maksudku, aku hapal beberapa jadwal di kampus karena tuntutan majalah," ralatku cepat yang sebenarnya terdengar agak mustahil, jika Christopher mau lebih berpikir.

Namun, Christopher tidak melakukannya. Itu hal beruntungnya karena dia adalah atlet yang memiliki pemikiran praktis, sehingga ia pun mengangguk. Mengiyakan. Syukurlah.

"Kau bilang, kau terbiasa lari pagi." Christopher mengatakannya, selagi membalas sapaan dari para senior perempuan. Mereka menjerit tertahan lalu saling berbisik, saat menyadari keberadaanku. "Jam berapa kau memulainya?"

Bukannya menjawab, aku malah menanyakan hal lain. "Apa kau pura-pura tolol, Lee?"

"What?" Dia menghentikan langkahnya ketika hanya tersisa kurang lebih sepuluh meter dari lapangan rugby.

"Yeah." Aku mengedikkan bahu, sesaat turut berhenti, tetapi kembali melanjutkan langkah karena sadar kardus ini benar-benar berat. "Kau hanya perlu menjawab ya atau tidak."

Christopher tertawa sarkas. "Entah pertanyaan apa yang kau maksud, tapi, tidak."

Kuharap kau menjawab ya. Aku menarik napas panjang lalu menunduk, seakan-akan terdapat beban berat ribuan ton tak kasat mata yang diletakkan di pundakku. Otakku kembali mengira-ngira tentang apa lagi yang akan kuhadapi setelah Lea. "Kupikir rencana ini--"

"Heather, tunggu!"

Sial! Langkahku terhenti, agak terlambat, dan kardus kami saling bertabrakan. Salah satu tangan Christopher menggenggam pergelangan tanganku, berhasil mencegahku agar tidak jatuh, tetapi tidak mampu menjauhkanku dari percikan lumpur. Lebih parah lagi, t-shirt bagian belakang Christopher-lah yang kotor total.

Aku meringis menatapnya dan agak kesal, saat mengetahui bahwa si Idiot Kenneth yang melakukannya.

"Ops! Sorry, Dude! Kakiku tergelincir."

Christopher tidak menjawab. Kedua matanya terpejam dan kurasakan genggamannya menguat. Membuatku meringis kesakitan, bahkan akan mengaduh jika tidak mengontrol diri.

"Christopher, kau menyakitiku."

Dia melepaskannya, bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka kemudian mengatakan maaf sedetik sebelum Kenneth menghampiri kami.

"Aku benar-benar tidak sengaja," katanya, setelah berdiri di antara kami dan menengok ke belakang Christopher. "Fuck, Greg benar-benar sialan." Kenneth melirik ke arahku lalu berkata lagi. "Sayang sekali, Cristopher tidak punya baju ganti."

Aku menggigit bibir. Sungguh tidak tahu harus berkata apa. Maksudku, yeah, aku tahu aku mengenakan pakaian Christopher dan sekarang bajunya kotor oleh lumpur, tapi tidak mungkin aku melepaskannya untuk--

"Bisa kau ambil kardus di tangan Heather, Ken?"

"Apa?" tanya Kenneth, persis dengan pikiranku saat ini. "Kenapa?" Aku juga menanyakan hal serupa, meski tidak langsung mengucapkannya. "Aku tidak akan melakukannya." Dan lagi, itu termasuk kalimat yang terlintas di benakku.

Akal sehatku memutar mata. Aku dan bajingan itu jelas-jelas tidak memiliki keterikatan batin.

Christopher mendecak. "Tuhan, ambil saja, Kenneth, itu barang-barang klub dan pacarku dengan baik hati menolong padahal kardus ini berat untuk ukuran lengan kecilnya." Nada suaranya terdengar tidak sabar, sehingga demi menghindari suasana yang tidak nyaman aku buru-buru mengelak.

Meskipun, dewi batinku bersorak gembira karena Christopher menyebutku sebagai pacar. Bahkan sampai mengabaikan akal sehatku yang kembali mengingatkan bahwa itu hanyalah pacar pura-pura. Persetan!

"Tidak apa-apa. Di mana aku harus meletakkannya?" tanyaku kepada Christopher atau siapa pun itu yang berada di sekitar kami.

"Di depan ruang ganti."

Oh, thanks, God. Siapa pun yang menjawabnya, aku sungguh berterima kasih. Aku segera melangkah menuju ruang ganti klub rugby, tempatnya berada tepat di bawah tribune utama, dan mustahil tidak ada yang mengetahuinya, tetapi orang itu--Mr. Chen--kembali menahanku.

"Hei, Heather, letakkan saja kardus itu di sini," ujarnya, "kau tidak perlu terlalu baik kepada para idiot ini." Yeah, dia memang terkenal bermulut kasar terhadap anak didiknya.

Jadi aku berdiri di hadapan Mr. Wang dan ingin meletakkan kardus tersebut sesuai perintah. Namun, Kenneth merebutnya di mana hal paling mengejutkan adalah, dia menyapukan kedua tangannya di tanganku sambil berbisik ....

Apa? Aku tidak tahu apa yang dia katakan barusan sebab hanya berupa bisikan dan juga karena embusan angin membuatku tuli selama beberapa detik. Namun, yang jelas ada nama Christopher di sana. Kedua alisku menyatu selagi mata yang turut menyipit. Aku perlu ia mengatakannya dengan lebih jelas sekali lagi.

"Sial! Aku menyuruh kalian untuk melakukan pemanasan bukan bermain lumpur seperti babi." Mr. Wang menoleh ke arah kami. "Dan Kenneth, Christopher, ganti pakaian kalian. Kita latihan sebentar lagi."

"Err ... Mr. Wang, Christopher tidak punya baju ganti." Kenneth melirik ke arahku yang membuatku tidak nyaman.

"Dia meminjamkan seragamnya kepada cewek itu!"

Mr. Wang menoleh ke arahku, setelah lelaki berkulit gelap--Greg--berteriak dengan sangat norak. Sepertinya dia adalah penyebab dari ketololan ini.

"Tidak masalah, aku punya baju cadangan." Christopher menjelaskan bahkan sebelum Mr. Wang mengatakan sesuatu. "Aku hanya perlu waktu sekitar sepuluh puluh menit untuk kembali."

Dari sudutku melihat, Greg tampak kecewa karena rencananya--entah apa--berjalan tidak sesuai keinginan.

"Kita tidak punya waktu untuk menunggumu, Lee."

"Kalau begitu aku akan latihan tanpa--"

"Whoa, whoa, whoa, kau pikir bisa pamer semudah itu, eh?!" Seakan bisa membaca pikiran Christopher, Mr. Wang segera menyelanya lalu mengembuskan napas panjang. "Sialan, pakai saja baju yang ada di ruang ganti. Kurasa beberapa senior kalian meninggalkannya di sana. Lagi pula ini cuma latihan."

Christopher dan Kenneth saling pandang kemudian tersenyum penuh arti yang sayangnya, aku tidak mengerti makna dari senyuman tersebut.

Mr. Wang menoleh ke arahku lagi. "Kau boleh pergi sekarang, Heather, dan abaikan saja kumpulan babi idiot ini."

Memang tidak ada alasan penting untukku bertahan di sini, jadi aku mengangguk kemudian mengucapkan selamat tinggal pada Christopher. Yang mana tentu saja memicu reaksi pada kumpulan lelaki berupa; siulan, jeritan dalam arti mengejek, dan hal paling membuatku mual sekaligus menyesal adalah mereka memintaku untuk memberikan Christopher ciuman perpisahan. Sinting! Aku hanya menjalankan peran sebagai pacar yang baik, Sialan!

"Hei, tunggu." Christopher menyusulku ketika aku baru beberapa langkah meninggalkan lapangan. "Boleh kupinjam kunci mobilmu? Kupikir aku meninggalkan susu proteinku di sana."

Oh. Aku segera merogoh isi tasku kemudian memberikan benda tersebut pada Christopher, tetapi dia malah tertawa hingga matanya nyaris terpejam.

"Kau bisa lihat kedua tanganku sedang sibuk, 'kan?" tanyanya sambil memperlihatkan kardus-kardus sialan itu. "Masukkan saja ke dalam saku celanaku."

"A-apa?" Tolong, jangan memerah sekarang! Secara imajiner, aku memukul-mukul kepala agar tetap waras.

"Yeah, itu bukan hal sulit."

Kedua alisku menyatu, hingga membuat lipatan-lipatan horizontal di kening. Itu adalah hal sulit, Brengsek! Saku celanamu dekat dengan penismu dan mustahil untuk tidak berpikir kotor! Dewi batinku menjerit-jerit, tetapi di lain sisi juga merasakan adrenalin yang menggebu-gebu karena penasaran tentang rasanya.

Aku meneguk saliva, secara hati-hati meletakkan kunci mobil di saku depan celana jins Christopher lalu buru-buru berkata, "Sampai jumpa setelah latihan nanti, Christopher."

"Ya, tentu. Jaga dirimu."

Aku bergegas berbalik, melangkah lebar sambil melambaikan tangan, dan demi Tuhan tidak ingin memperlihatkan kepada Christopher bahwa aku sedang salah tingkah. Meskipun tanpa melihat, dari balik punggungku bisa kurasakan dia tersenyum lebar, beberapa teman menggoda lelaki itu, dan Mr. Wang, mungkin saja merasa mual karenanya. Terutama setelah samar-samar bisa kudengar Christopher menyebutku dengan panggilan 'sayang' di akhir kalimatnya tadi.

Oh, Jesus Christ, kurasa aku bisa melupakan segala bebanku hanya dengan kejadian barusan.

Ponselku bergetar memperlihatkan notification, berisi pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal. Aku membukanya setelah berada di depan ruang latihan band, sambil mengetuk pintu dan--Jesus! What the hell's going on, Dude?!

"Damn it." Andai ini film kartun, rahangku pasti sudah menyentuh lantai, kedua mata terlepas dari rongganya dan telingaku mengepulkan asap selagi kepala yang mengobarkan api. "Jalang sialan," geramku, sambil ingin segera melangkah lebar, tetapi sebuah tangan menyentakku, membuatku masuk ke dalam ruangan tersebut dan ....

... kudengar Davis tengah membuat nada dengan nada pilu, begitu pula dengan liriknya.

Oh, shit! Apapun yang terjadi padanya sekarang, tetap saja, dia akan membunuhku jika mengetahui hal ini.

Sekali lagi aku pun meneguk saliva.

***

Ola! What do u think about this chap? Jangan lupa tinggalkan tanggapan kalian, ya ^^ dan tidak pernah lelah mengingatkan kalian, semoga kalian gk pernah bosan buat ngikutin cerita ini.

Sampai jumpa lagi di chapter selanjutnya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro