Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 011 - 03 Uniform

"Apa kalian pikir di sini hutan rimba, eh?"

What the hell! Mataku terbelalak setelah mengetahui siapa pahlawan kesianganku ini. Rambut cokelat pasir dan sepasang mata abu-abu, sulit bagiku untuk tidak langsung mengetahuinya karena dia adalah Kenneth, bajingan yang menyeretku ke dalam drama perkuliahan.

Aku melengos karena kehadirannya bukanlah harapkanku. Anggap saja jika memang ini adalah drama perkuliahan, aku lebih mengharapkan Christopher yang menyelamatkanku karena dia adalah tokoh utama prianya dan aku tokoh utama wanitanya. Namun, di mana dia sekarang? Netraku diam-diam menyebar mencari lelaki berwajah oriental itu. Masih berharap ia akan datang--mungkin dari balik punggungku--menyelimutiku dengan jaket atau apapun, demi melindungiku dari cairan menjijikan itu.

"Kau seharusnya lebih sadar diri."

Wow, wow, wow! Apa aku tidak salah dengar?! Kini perhatianku seratus persen teralih pada si Bajingan itu. Dia mencengkram pergelangan tangan Lea--yang sebelumnya ingin digunakan untuk menamparku--menatap dengan tatapan setajam belati, dan sebenarnya aku terlalu malas untuk mengatakan hal tersebut, tapi tatapan tersebut juga membuat tiga dayang Lea melemahkan pegangan mereka pada seluruh anggota gerakku.

"Enyahlah," bisikku, sambil menyentakkan kedua tangan dan kaki saat sadar bahwa mereka akan melepaskanku.

Aku menepuk-nepuk baju dan celana yang kotor terkena debu, serta noda cairan cola di bagian bahu meski hal tersebut tidak membantu sedikit pun. Sengaja kulakukan hal itu demi mengabaikan Kenneth dan Lea, tetapi indera pendengaranku tak bisa berbohong. Mereka melakukan tugasnya dengan sangat baik.

"Apa kau gila?! Kau bilang apa barusan? Kau yang seharusnya lebih sadar diri. Berhenti mengikutiku karena aku sama sekali tidak tertarik." Nada suara Lea terdengar menantang, dengan menganggap dirinya adalah si Paling Benar.

Aku memutar mata. Bisakah aku pergi dari sini? Sepertinya urusanku sudah selesai.

"Mengikutimu?" Kenneth terkekeh nyaris mengejek. "Jangan berkhayal. Kau bersama Christopher, mustahil kubiarkan dia mencium seorang pelacur yang berniat untuk--"

"Tutup mulutmu, Brengsek!"

Secepat kecepatan cahaya, perhatianku teralih saat indera pendengaran memperdengarkan suara khas kulit bertemu kulit. Jejak merah tergambar samar di pipi Kenneth dan ketika kulihat ke arah Lea, tangan kanan gadis itu terkepal kuat. Orang-orang di sekitar pun kembali memprovokasi, membuatku tersadar bahwa Si Jalang baru saja menampar si Brengsek.

"Temanmu itu yang mengejarku duluan dan aku terpaksa menerimanya karena kasihan."

Kenneth memutar mata kemudian tersenyum asimetris. "Berhenti membual, Bitch. Just look at yourself, kalau memang perkataanmu benar, untuk apa mengganggu pecundang ini? Terlebih dia adalah mainanku." Dia melirik ke arahku, setelah menatap Lea, tetapi aku tidak merasa tersanjung.

Aku hanya ingin segera pergi dari sini. Jadi aku mengedarkan pandangan, mencari di mana Cecilia karena barang-barangku ada bersamanya. Kelas mungkin akan dimulai sebentar lagi. Namun, baru saja ingin melangkah keluar dari kerumunan suara peluit menghentikan langkahku, juga menghentikan drama sialan antara Lea dan Kenneth, sekaligus membubarkan kerumunan yang memerlukan tontonan gratis.

Oh, God, di sana kau rupanya.

Cecilia berjalan tergopoh-gopoh, di depan seorang petugas keamanan. Telunjuknya mengarah ke arah kami, selagi bibir yang terus bergerak seperti ikan yang telah meninggalkan air.

"Kupikir ini hanya kecelakaan biasa, tapi dia nyaris melakukan kekerasan pada temanku kalau tidak ditahan Kenneth," adu Cecilia ketika jarak kami hanya tersisa beberapa langkah. "Dan aku tidak bisa diam saja karena permasalahannya, malah semakin panjang."

"Tutup mulutmu, Sialan!" Lea menarik paksa tangan Cecilia, hingga membuatnya tersentak. "Kau terlalu banyak mengarang." Lalu dia mengalihkan tatapan ke petugas keamanan, setelah aku melepaskan cengkramannya di tangan Cecilia.

"Dia tidak ada urusannya denganmu," kataku dingin, memperingatkan, meski Lea mengabaikannya.

"Ini murni kecelakaan, Sir." Dia berbicara amat cepat yang menampakkan bahwa ia tengah berusaha membela diri. Kami semua mengetahuinya, terutama ini bukanlah pertama kali. "Aku tersandung dan tidak sengaja menumpahkan minuman itu padanya, tapi dia malah salah paham dan mulai menyerangku."

Geez! Selama beberapa detik kedua mataku mengerjap. Lea telah memutarbalikkan fakta, bahkan mengatakannya dengan sangat lancar.

Aku segera ingin menyangkal pernyataan Lea, tetapi dia kembali berkata seolah sadar bahwa aku pun akan membela diri. "Guys, benar, 'kan? Kalian semua melihatnya."

Aku menatap ke arah dayang-dayang Lea yang ternyata sangat disayangkan, kesetiaan mereka perlu diragukan. "Kami tidak tahu apapun," jawab si rambut merah dan hal itu membuat Kenneth tertawa.

Tawa yang terkesan berlebihan karena semua ini sangat tidak lucu.

"Kau bisa menjelaskan itu nanti, Miss Martin," ujar petugas keamanan tersebut kemudian menoleh ke arahku. "Dan juga Miss James, kalian berdua silakan menghadap di ruang dekan."

"Aku baik-baik saja." Tidak bisakah semua ini selesai begitu saja? Aku tidak ingin melibatkan, dekanat atau rektorat sekali pun. "Ini murni kecelakaan. Tidak ada tindakan kekerasan." Aku melirik ke arah Cecilia. "Temanku hanya bersikap berlebihan dan Lea Martin, maaf karena nyaris memukulmu. Suasana hatiku benar-benar buruk karena mendapatkan hari pertama."

Kudengar Kenneth bersiul dan ketika kulirik ke arahnya, dia menjulurkan lidah--mengejekku--lalu pergi sambil mengacungkan jari tengah.

Di lain sisi, Lea mendengus setelah melilitkan kedua lengan di bawah dada. "Baiklah, kau beruntung hari ini." Yang seharusnya mengatakan itu adalah aku, sialan! "Sudah selesai, 'kan? Apa kami boleh pergi sekarang, Sir?" Dia sengaja menekankan tiga kata terakhir, sehingga membuat petugas keamanan mau tidak mau mengiyakan karena aku memang menolak memperpanjang perkara.

Jadi setelah para Jalang itu pergi, pria tersebut menatap miris ke arahku. Sigh, tanpa bertanya pun, aku mampu membaca pikirannya yang mungkin saja ingin mengatakan; 1. Kau tidak harus menyembunyikannya, 2. Aku tidak buta dan tahu bahwa ini adalah perundungan, atau 3. Kau pecundang sejati sebab membiarkan dirimu mengakui hal yang tidak dilakukan.

Aku menyetujui ketiga pemikiran tersebut atau apapun yang dipikirkan pria itu karena seisi kampus, mustahil tidak ada yang memiliki kuota internet berkapasitas besar sehingga beberapa jam bahkan menit setelahnya, wajahku akan menjadi tontonan publik di media sosial, lebih parah lagi bisa saja mereka menyiarkannya secara online.

Cecilia menggenggam tanganku setelah petugas keamanan itu pergi. Dia memberikan tatapan kasihan, padahal aku sama sekali tidak membutuhkan hal tersebut. Jadi sebelum ia mengatakan sesuatu, aku buru-buru memperingatkan, "Tidak perlu melihatku seperti itu. Aku sudah menjambak rambutnya, jadi aku juga melakukan kesalahan."

"Tapi apa kau baik-baik saja?" tanyanya, sambil menyerahkan barang-barangku kembali. "Kupikir kau berencana melawan untuk menyeret Lea ke dalam masalah. Maksudku, dia menyakitimu secara verbal, menyebarkan omong kosong, dan--"

"Hei, kau pikir kau sedang mengatakan hal tersebut dengan siapa?"

Dia terdiam sejenak, ketika aku menyelanya dengan sebuah pertanyaan yang siapa saja sudah tahu harus menjawab apa.

"James Fucking Bond." Aku tertawa. Tawa yang ditujukan untuk menertawai diri sendiri, sebelum mengajak Cecilia pergi ke toilet.

Yeah, aku perlu membersihkan diri. Setidaknya sebelum kelas benar-benar dimulai, aku tidak tampak amat sangat menyedihkan dengan penampilan super berantakan.

○●○●○●

Baru saja masuk ke dalam toilet dan kami menemukan sebuah kantung plastik di atas meja washtafel, bersama stickynotes bertuliskan 'Sorry, Heather James' berisi baju ganti, handuk berukuran kecil, dan ... sampo?

Aku menoleh ke arah Cecilia dan gadis itu terlebih dahulu berkata, "Itu jelas bukan tulisan asli. Christopher atau siapa pun itu yang mungkin adalah penggemar rahasiamu, sengaja menuliskannya menggunakan tangan kiri di mana jika dia kidal, maka dia menulis dengan tangan sebaliknya."

"Benarkah?"

Dia mengedikkan bahu. "Kau bisa bertanya langsung pada Christopher, karena aku berharap itu adalah pemberiannya."

Tapi ini toilet wanita. Aku membentangkan baju perpaduan warna cream dan maroon di bagian lengannya, sebuah kostum yang sungguh tak asing lagi bagi penghuni Monarch University. Logo universitas terpampang jelas di dada sebelah kiri, angka 03 mendominasi di area depan, serta terdapat tulisan kecil One Kick Wonders di bagian belakang yang mana itu merupakan nama klub rugby kebanggaan universitas.

"Well, itu jelas punya Christopher." Cecilia akhirnya menyimpulkan isi pikiranku, sambil tersenyum lebar dan mengangguk yakin. "Siapa lagi yang memiliki angka kosong tiga pada seragam rugby-nya?"

"Tapi bagaimana dia bisa meletakkannya di sini? Maksudku, ini toilet wanita dan dia tidak--"

"Kau lupa Kenneth adalah teman dekat Christopher. Dan Christopher adalah pacarmu. Sesederhana itu, Babe." Nada suaranya seolah berusaha meyakinkanku. "Masalah bagaimana mereka bisa berada di sini, itu tidak terlalu penting karena yang terpenting adalah dia memerhatikanmu."

Oh, baiklah, Cecilia ada benarnya juga, tapi bagaimana pun aku tidak tahu harus senang atau justru waspada karena belum tentu pengirimnya adalah Christopher. Bisa saja dia adalah orang lain yang mengaku sebagai Christopher, meski memang kemungkinannya amat kecil sebab kembali ke awal, siapa lagi pemilik nomor 03 di seragam rugby selain lelaki itu?

Karena tak ada pilihan lain, aku pun memutuskan pergi ke salah satu bilik toilet dengan membawa mereka semua. Diam-diam memerhatikan tulisan tangan tersebut dengan harapan, barangkali menemukan sebuah petunjuk di sana. Aku tahu sekali tulisan tangan Christopher, dia memiliki satu ciri khas yang entah bagaimana telah kuperhatikan selama ini. Yakni dari huruf e-nya yang di bagian ujungnya selalu mencuat ke atas.

Dan, yeah, aku bisa bernapas lega saat menemukannya pada namaku. Meski dia menggunakan tangan kiri, ciri khas itu tidak hilang sama sekali. Aku menyalakan shower, mulai mencuci rambut, wajah, dan beberapa bagian di lenganku yang terasa lengket akibat cairan pemicu diabetes, kemudian mengirim pesan singkat kepada Christopher berisi ucapan terima kasih.

Cecilia masih setia menungguku di meja washtafel, sambil--sepertinya--sedang membalas pesan di ponsel. Aku tidak ingin mengganggu, jadi tanpa mengatakan apapun aku mulai mengemasi baju kotor ke dalam kantung plastik kemudian mengeringkan rambutku secara asal menggunakan handuk.

"Kau merona," ucap Cecilia.

"Who?" Aku menatapnya melalui pantulan cermin.

"Ya, kau." Dia menunjukku menggunakan ponselnya, sambil tetap menatap alat komunikasi tersebut. "Apa kau mengkhayalkan sesuatu yang vulgar?"

"Huh?" Kedua mataku terbuka lebar, pura-pura terkejut, meski sebenarnya aku sempat memikirkan hal-hal nakal selagi berada di bilik toilet.

Baju yang kukenakan, serta handuk yang saat ini mengeringkan rambutku, mereka memiliki aroma tubuh Christopher, meski telah tercampur dengan aroma detergen. Aku sempat membayangkan bagaimana melakukan sesuatu itu akan sangat memicu adrenalin karena harus mempersingkat waktu, serta dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak ada seorang pun yang tahu.

Aku meneguk saliva pelan-pelan, sambil membuka tas mencari sisir untuk merapikan diriku dan ... aku tahu, Cecilia sedang mengawasiku.

"Kau juga cocok dengan pakaian itu," komentarnya lagi. Kali ini dia tidak memusatkan fokusnya pada ponsel, sehingga sekarang akulah yang bertanya.

"Siapa yang membuatmu jadi sangat sibuk seperti ini?"

Dia menghela napas. "Davis, saudaramu," jawabnya, "dia terkesan menyebalkan akhir-akhir ini."

Oh. Aku tahu alasannya, tetapi lebih baik pura-pura tolol saja. "Apa yang dia lakukan?"

"Sikapnya sangat posesif. Aku tidak mengerti mengapa dia begitu akhir-akhir ini? Maksudku, kami bahkan belum meresmikan hubungan dan dia bersikap seolah dirinya adalah pacarku. Meskipun aku menyukainya, tapi bukan berarti aku membenarkan sikap yang seperti itu."

"Jadi?"

Cecilia memutar mata lalu menyimpan ponselnya di dalam tas. "Jadi aku membisukan ponselku dan tidak perlu membicarakannya." Dia mengarahkan dagu ke arahku. "Lebih baik mengobrol tentangmu saja yang ... bagaimana perasaanmu saat mengenakannya? Kau akan membuat banyak gadis cemburu karena boyfriend outfit."

Oh, my God! Aku memejamkan kedua mata selama beberapa detik yang mana di waktu bersamaan, secara imajiner, aku membenturkan kepala ke arah dinding karena telah melupakan hal penting.

"Boyfriend outfit," kataku mengulang perkataan Cecilia, sambil tersenyum ngeri. "Aku tidak bisa membanggakannya sebab ... sudah cukup drama bersama Lea saja yang kuhadapi. Bisakah aku mengabaikan drama baru yang mungkin saja datang dari para penggemarnya? Kurasa--tidak--apa kau punya jaket atau apapun itu untuk menyembunyikan ini?" Aku menggenggam kedua tangan Cecilia, menatapnya penuh permohonan teramat dalam, meski gadis itu menggeleng.

Oh, no!

"No way." Dia menegaskan setiap katanya, sambil tersenyum seperti senyuman buaya. Meski aku tidak tahu seperti apa hewan melata itu saat melakukannya, tetapi anggap saja kau tahu maksudku. "Ini adalah saat yang tepat untuk pamer."

"Kau jahat."

"Tidak, Heather." Cecilia menyangkal dengan tegas. "Aku sedang membantumu untuk melakukan penegasan bahwa Christopher telah memilikimu, begitu pula denganmu yang telah memilikinya. Jadi, ayo segera pergi dari sini karena kelas akan dimulai lima belas menit lagi."

Aku mengembuskan napas panjang, terpaksa menyeret kedua kaki keluar dari toilet wanita, dan mengikuti langkah Cecilia menuju kelas Professor Smith.

"Angkat wajahmu, Sayang," bisik Cecilia yang sepertinya sadar bahwa aku tengah berpura-pura sibuk dengan ponsel, di sepanjang lorong menuju kelas. "Kau tidak sedang mengenakan seragam tahanan."

Ya, aku tahu, Ahern. Bahkan benar-benar tahu, sampai tanpa melihat pun mampu menyadari bahwa sedang menjadi pusat perhatian. Tatapan para gadis yang kami lewati terasa seperti akan membunuhku dan para lelaki memberikan siulan pelan. Aku sungguh tidak bisa menikmati situasi ini, jadi kuabaikan perkataan Cecilia.

"Oh, Ya, Tuhan! Pangeranmu sudah menunggu di depan pintu."

Perkataan Cecilia berhasil memancingku. Aku mengangkat kepala, memandang lurus ke depan, ke arah pintu kelas yang ... tidak ada siapa pun. Aku menoleh ke arah Cecilia yang terkekeh.

"Kau mengharapkannya, ya?" tanyanya sambil mengerling jenaka dan aku langsung meninju lengannya.

"Berhenti menggodaku, Ahern. Kau tahu bahwa aku tertekan karena mengenakannya."

"Seharusnya kau merasa bangga." Cecilia melingkarkan lengannya di lenganku, saat kami memasuki kelas. "Aku sangat ingin mengenakan pakaian Davis dan memperlihatkan pada dunia, bahwa lelaki tampan itu adalah milikku."

Oh, damn! Aku ingin muntah saat mendengar bahwa Davis adalah lelaki yang tampan.

"Menurutku label itu lebih cocok disematkan kepada Christopher, daripada Davis."

"Well, sudut pandang kita berbeda." Cecilia menuntunku untuk duduk di salah satu bangku kosong--di bagian tengah--di mana Paul sudah menunggu kami.

Lelaki itu melambai pelan, mengisyaratkan agar kami segera mengambil tempat sebelum Professor Smith datang. Namun, sedetik kemudian kedua matanya melebar karena menyadari apa yang telah kukenakan. Lalu sebelah alis Paul terangkat dan kurasakan pipiku memanas.

"Jangan katakan apapun," pintaku setelah duduk di sisi Paul dan di saat lelaki itu ingin mengatakan sesuatu. "Aku menolak mendengar apapun, jika kau berniat ingin mengomentari penampilanku."

Tapi dia keras kepala karena tetap bertanya, "Apa orang tuamu mengunci pintu, sampai kau harus menginap dan meminjam pakaiannya, eh?"

Huh?! Itu pertanyaan paling bombastis yang tidak terpikirkan sama sekali. Aku ingin segera menyangkal, tetapi Cecilia--seperti biasa--menghalangi perkataanku dengan berkata terlebih dahulu, sambil mencondongkan tubuh ke arah kami dan meletakkan telapak tangan di sisi pipi. Dia tak jauh berbeda seperti seorang penggosip.

"Lea cemburu padanya," bisiknya, sembari melirik ke arahku lalu kembali pada Paul. "Lalu berbuat ulah di lorong utama dengan menumpahkan sekaleng cola ke arah Heather." Cecilia membantuku menjelaskan situasinya, bahkan tanpa diminta. "Tapi dia seperti terkena batunya sendiri karena Christopher, justru meminjamkan seragam yang semua gadis di kampus pun sangat menginginkannya. Oh, kasian sekali."

Dewi batinku membenarkan penuturan Cecilia. Bahkan berbangga hati karena berhasil menjadi gadis pertama. Fakta bahwa seragam Christopher telah menjadi salah satu keinginan para gadis kampus, membuatnya seperti terbang ke atas awan. Namun, akal sehatku dengan keji menjatuhkan perasaan tersebut karena sedetik kemudian ia mengingatkan, bahwa aku mendapatkan seragam itu melalui cara yang tidak keren sama sekali.

Jadi aku tersenyum miris saat mendengar penuturan Cecilia serta membiarkan Paul yang menepuk pelan bahuku.

"Aku turut prihatin, Heather," katanya dan aku mengangguk, sembari menjawab thanks.

Professor Smith memasuki ruangan. Seperti biasa menyapa menggunakan bahasa Spanyol dan beberapa mahasiswa yang masih mengobrol pun, buru-buru mengambil tempat duduk mereka. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari keberadaan Christopher karena hari ini kami sekelas. Namun--

"Terlihat pas untukmu, James."

Aku menoleh ke belakang, sedetik setelah ia mengatakannya tepat di tengkukku dan ia tersenyum, sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Aku sempat khawatir kau tidak akan memakainya dan ...." Dia mendekatkan bibirnya telingaku kemudian berbisik, "Sorry your master couldn't help you earlier. Professor Dawn membuatku tidak bisa kabur."

"Bagaimana bisa kau meletakkannya di toilet wanita? Dan bagaimana kau tahu aku--"

Ucapanku terputus ketika kudengar Professor Smith berdeham dan ketika kami menoleh ke arahnya, dia menatap tajam lalu berkata, memperingatkan, "Miss James, Mr. Lee, kelas sedang berlangsung. Kuharap kalian bisa menyimpan obrolan itu untuk nanti."

Oh, yeah.

"I'm sorry, Professor Smith," ujar kami bersamaan dan saat itu pula, ponselku bergetar, memperlihatkan sebuah pesan singkat dari Christopher.

Christopher : Traktir aku setelah latihan nanti. Aku ingin American pizza ukuran besar, Sun Chips, dan beberapa kaleng Dr Pepper.

Aku : Apapun yang kau inginkan.

Christopher : Kalau begitu, kau juga harus ke rumahku setelahnya.

Apa?! Aku menoleh ke arah Christopher, tetapi dia hanya bertopang dagu sambil menggerakan bibir yang sepertinya mengatakan 'Ini perintah, Heather.' Ugh!

***

Halo, bagaimana kabar kalian? Kuharap tetap sehat, ya ^^

Dan bagaimana chapter ini menurut kalian? Apakah alurnya terasa lambat? Apa kalian masih mau ngikutin cerita ini?

Semoga kalian gk bosan ya ^^ dan see you later

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro