Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 009 - Tree Top With You

Aku mencoba menyikapi duduk di samping Christopher, seperti menyikapi berada di samping Paul. Membicarakan banyak hal sampai sesuatu yang kedengarannya konyol, bernyanyi sepanjang perjalanan tanpa memedulikan kualitas suara, atau saling melemparkan tebak-tebakan yang sering kali memiliki jawaban paling tidak nyambung sedunia. Aku selalu melakukan hal tersebut demi membunuh kebosanan berkendara berdua dengan Paul. Namun, sayang, bersama Christopher aku gagal melakukannya. Aku diam seribu bahasa, berkutat dengan pikiran sendiri serta hanya akan bicara jika diperlukan. Alasannya pun sederhana, otak kotorku tentang lelaki itu lebih mendominasi sehingga aku harus mengunci rapat bibirku agar tidak mengatakan hal yang tak seharusnya dikatakan.

Well, fokus, Heather. Hanya tinggal beberapa menit, kau tentu bisa menanganinya. Aku menatap ke luar jendela, menurunkan sedikit kaca mobil dan membiarkan tetesan hujan sesekali menerobos masuk membasahi kening. Yang mungkin saja hal itu bisa membersihkan imajinasi liar di benakku.

Siaran radio tentang cerita horor menemani kami sepanjang perjalanan pulang dan Christopher, sesekali berkomentar mengenai cerita yang dibawakan oleh si penyiar. Aku hanya menanggapi seadanya, tapi kurasa dia tidak terlalu memikirkan hal tersebut.

"Kupikir kau lebih memilih mesin pemutar musik seperti USB, daripada mendengarkan radio," kataku setelah Christopher kembali berkomentar, bahwa satu-satunya hantu paling masuk akal hanyalah zombi dan arwah para penyihir. "Kau tidak terduga."

"Biar kuanggap itu sebagai pujian, tapi ... yeah, sesekali aku juga menggunakan USB. Radio hanya untuk siaran khusus."

"Seperti hari ini?" Aku menoleh ke arahnya dan dia mengangguk. "Aku tidak tahu kau suka hal-hal horor."

"Yang artinya, kau harus lebih berusaha keras untuk mencari tahu hal yang tidak kau ketahui tentangku."

Secara imajiner aku memutar mata. Bagaimana aku bisa tahu? Kau tidak memperlihatkannya di media sosial, tidak membicarakan hal itu pada teman-temanmu, dan tidak juga sekali pun memesan tiket bioskop untuk film horor.

"Tidak ada untungnya untukku." Aku segera mengelak sambil kembali memalingkan wajah ke arah jendela. Menyembunyikan ekspresi penuh rasa syukur bahwa mungkin saja fakta tersebut, hanya aku yang mengetahuinya. "Lagi pula, kau cuma tetangga yang kebetulan mengenalku."

Kurasakan lelaki itu mencebik di balik punggungku, tapi aku memutuskan untuk tidak perlu mengeceknya.

"Baiklah kalau memang itu yang kau pikirkan, tapi aku juga secara kebetulan menjadi objek fantasi liarmu."

Aku menoleh ke arahnya. Hanya beberapa detik, sebelum kembali memalingkan wajah. "Tidak. Jangan berkhayal." Sialan! Apa-apaan ini?!

Dari sudut aku bisa melihatnya, Christopher tersenyum lebar. "Akui saja bahwa itu benar, Heather."

Jangan terpancing. Bajingan itu jelas sedang menggodamu, Heather! Aku tidak akan lupa bahwa buku catatan pribadiku masih berada di tangan Christopher dan mustahil, jika ia hanya menyimpannya tanpa membaca. Kalau pun iya, bagaimana mungkin dia mengatakan hal sedemikian rupa? Aku tidak bisa mengelak untuk tidak membelalakkan kedua mata, bahkan dengan tak tahu dirinya air liurku berhasil memasuki saluran yang salah hingga membuatku tersedak hebat.

Christopher tertawa. Tawa yang terkesan menyebalkan, hingga aku ingin sekali menendang bokongnya meski jelas aku menyukainya. Dia menepuk-nepuk pundakku, sambil tetap menyetir dan berkata, "Relax, Heather, aku sama sekali tidak mempermasalahkannya."

Demi Tuhan, Christopher! Kau terlambat mengatakan hal itu. Sekarang aku tidak punya muka untuk berhadapan dengannya karena tanpa melihat cermin pun, aku tahu wajahku sudah semerah tomat.

"Rumah kita bersebelahan," kataku, saat melewati satu belokan terakhir yang menandakan bahwa hanya tersisa beberapa hunian sebelum tiba di rumah. "Kau tidak perlu mengantarku sampai depan rumah." Dan kuharap kau bisa berkendara sedikit lebih cepat.

"Really?" Christopher menoleh sebentar ke arahku kemudian melambankan mobilnya lagi, seakan-akan dirinya baru pertama kali memegang kemudi. "Sayang sekali."

Huh? Aku sungguh tidak sabar dan ingin sekali keluar dari tempat ini lalu memilih untuk berjalan kaki. Dia pasti sengaja melakukannya!

"Padahal aku sedang ingin mampir."

"Jangan konyol!" Kedua alisku menyatu kemudian mengangkat salah satu pergelangan tangan, seolah terdapat jam tangan yang hanya aku yang bisa melihatnya. "Sekarang jam dua belas nyaris setengah satu. Kau mau mengganggu orang-orang yang sudah tidur?"

Namun, bukannya menjawab Christopher malah menambah kecepatan mobilnya, secara mendadak, sampai aku mampu merasakan bahwa jantungku telah terlepas dari rongganya. Aku berteriak, sekeras-kerasnya, menyebutkan rentetan makian yang kupunya, sambil berdoa acak di mana hal paling sintingnya adalah Christopher justru tertawa.

Benar-benar tertawa seolah dirinya memiliki lebih dari satu nyawa.

"Sekarang kau boleh bernapas lega," katanya setelah menginjak rem secara mendadak--tepat di depan rumahnya--dan aku terselamatkan oleh sabuk pengaman. Puji Tuhan. "Apa kau perlu sedikit air?" Nada suaranya masih saja terdengar seperti mengejek.

"Tidak!" Aku lebih memerlukan cara untuk menghajarmu. "Terima kasih." Rasakan saja ini. Buru-buru kulepaskan sabuk pengaman di tubuhku kemudian menggeser posisi duduk, agar bisa menghadap Christopher lalu dengan sekuat tenaga kuarahkan tinjuan di bahunya.

Sangat keras, sampai tanganku pun juga merasakan sakit. Tapi itu sepadan. Jantungku seperti telah berhenti setelah dia membawaku ke ambang kematian.

"Berhentilah bercanda, Christopher! Kau ingin kita mati, ya?!" ujarku kesal sambil meninju bahu lelaki itu sekali lagi, meski tampaknya tidak berpengaruh apapun karena dia justru tertawa geli. Menyebalkan! "Dan berhentilah bertingkah seolah kau sinting." Aku membanting pintu mobil--sebisa mungkin melakukannya dengan kasar--kemudian melangkah lebar, setengah berlari menuju rumah.

Kedua tanganku menutupi kepala, berharap hal tersebut bisa menjadi salah satu cara agar terhindar dari tetesan hujan. Namun, Christopher memanggilku, berulang kali, sampai rasanya mustahil jika aku berpura-pura tidak mendengarnya.

Jadi aku berhenti dan menoleh ke arahnya. "Apa lagi, Christopher Lee?!"

Dia mengeluarkan payung dari bagasi mobil. Tapi aku malah menghela napas panjang karena hal itu terkesan sia-sia. Bajuku sudah cukup basah; pertama, kehujanan setelah membeli segelas kopi bersama Christopher dan kedua, kehujanan karena harus berhenti saat lelaki itu memanggilku. Oh, Jesus, dia ingin membuatku terserang flu, ya?

"Setidaknya kau tak benar-benar basah sampai di rumah," katanya, sembari berlari kecil ke arahku lalu mengarahkan payung merah tersebut ke atas kepalaku. "Karena aku memiliki benda paling bermanfaat di situasi sekarang."

Lagi, aku menghela napas panjang seakan itu adalah hobi baruku. "Thanks," jawabku tulus, tapi segera beralih menjadi pertanyaan besar sebab Christopher menarik kembali payungnya saat aku ingin meraihnya. "Now, what?" Aku frustrasi. Sungguh.

"Kau tidak mungkin lupa siapa yang menjadi tuan dan pelayannya di sini, bukan?"

Oh!

Christopher tersenyum asimetris. "Perintah pertama, berbalik." Dia memutar telunjuk, sebagai isyarat seakan sedang berkomunikasi dengan anjing.

Tapi aku bukan anjing, jadi sebelum melakukannya, aku bertanya, "Untuk apa?"

"Pelayan tidak punya hak untuk bertanya, tanpa diminta, Heather."

Bibirku mengerucut. Terlebih saat melihat ekspresinya yang tampak amat sangat menyombongkan diri. Ugh! Dia benar-benar menyebalkan. Kalau bukan karena kesepakatan yang kusetujui tanpa pikir panjang, sudah pasti aku akan meninggalkan lelaki itu.

"Bagus," puji Christopher setelah aku menuruti perintahnya dan bertanya, apa yang dia inginkan. "Gendong aku sampai depan rumahmu. Aku akan memayungimu--"

"Kau pasti bercanda, Christopher!" Kedua mataku terbelalak, sambil tersenyum miris. "Yang benar saja? Tubuhmu bahkan jauh lebih besar, daripada aku. Bagaimana bisa aku melakukannya?!"

Namun, senyum Christopher semakin lebar dan ia mengacungkan ibu jarinya padaku. "Kau pasti bisa. Percayalah."

"Sinting." Dan lebih tololnya lagi, aku malah menuruti permintaan tersebut hanya karena tidak mau memperpanjang perkara.

Aku berdiri tegak membelakangi Christopher, memasang kuda-kuda pada kedua kaki agar tidak goyah saat lelaki itu meletakkan seluruh berat badannya di punggungku, bahkan tanganku pun telah siap menerimanya. Namun, lagi-lagi, bukannya melakukan hal yang semestinya, dia malah melingkarkan lengan kanannya di bahuku, sambil meletakkan--mungkin--separuh berat badannya atau lebih sedikit kepadaku sebab kakinya masih berada di atas aspal.

Aku menoleh ke arahnya, kali ini benar-benar tanpa ekspresi. "Sebenarnya apa, sih, yang kau inginkan?"

"Kau kecil. Aku tidak ingin kau menjatuhkanku karena tidak sanggup menopang berat badanku," jawabnya sambil mengerling dan mengarahkan payung tepat di atas kepala kami. "Sekarang lakukan saja yang harus kau lakukan."

Idiot! Aku memutar mata lalu mulai melangkah yang sebenarnya cukup sulit dilakukan karena kami harus menyelaraskannya, agar tidak tersandung satu sama lain. Dan kabar baiknya, aku bisa merasakan debaran jantung Christopher di punggungku, embusan napas hangatnya di telingaku, dan imajinasiku kembali melakukan tugasnya dengan sangat baik.

Ah, aku benar-benar gila.

"Terima kasih," kataku setibanya kami di teras rumah, meski hal tersebut tidak harus kukatakan. "Untuk payungnya." Aku menunjuk ke benda merah tersebut.

"Hanya itu?"

"Aku harus segera tidur." Mengedikkan bahu, aku memang tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. "Dan berganti pakaian." Lalu memimpikanmu sesegera mungkin.

"Baiklah, selamat tidur," kata Christopher, sambil melambai pelan ke arahku dan melangkah mundur, hingga salah satu kakinya menyentuh anak tangga yang mengarah ke jalan setapak pekarangan rumahku. "Malam yang menyenangkan. Sampai jumpa lagi, James."

Hanya anggukan yang kuberikan sebagai balasan. Juga sebuah senyuman terbaik yang kumiliki.

Yeah, malam yang menyenangkan.

Bolehkah aku menciummu sebelum mengakhirinya?

Seperti sepasang kekasih?

Apa kau mau berkencan denganku, Christopher?

Haruskah aku menanyakannya sekarang?

Kurasa tidak. Ha-ha. Jangan merusak suasana, Heather.

○●○●○●

Oh my God! Otakku penuh sesak, hingga harus segera dikeluarkan jika tidak ingin meledak. Aku membuka notebook setelah memadamkan lampu kamar, hanya mengandalkan lampu baca di meja belajar dan bergegas mengetik lusinan ide yang saling menumpuk, sejak aku membersihkan diri di kamar mandi.

Dimulai dari menikmati kopi bersama, bagaimana jika ditambah sedikit dengan adegan manis lainnya seperti; berdansa di bawah lampu taman, saat sekelompok pengamen menyelenggarakan pertunjukan kemudian menjadi pusat perhatian, karena dansa tersebut terkesan sangat manis. Oh, sepertinya bisa diberikan salju pertama di malam hari, sebelum akhirnya menyatakan cinta, melamar, atau memutuskan untuk saling mengenal satu sama lain.

Baiklah, aku akan menuliskan semua ini di catatan lalu adegan; menggendong lelaki yang dicintai. Jesus, ini lucu dan menggemaskan, sangat tidak cocok untuk Chris dan Helena jadi--

"Oh, Godness, siapa yang menelepon selarut ini?" Menggeram frustrasi, aku mengalihkan pandangan ke arah ponsel yang menyala bersama icon panggilan berisi nomor telepon dengan nama Christopher.

Tiga detik pertama, alisku mengerut, sedetik kemudian aku mengintip dari jendela kamar mengamati apakah lelaki itu sedang terlelap atau terjaga, dua detik pertama--nyaris menuju akhir--aku bergegas menerima panggilannya.

"Halo," kataku, masih tetap mengintip, memastikan bahwa seseorang di seberang sana adalah Christopher sungguhan.

Lampu kamarnya menyala dan Christopher tidak pernah menutup tirai, jika ia terjaga. Jendela kamar lelaki itu tampak terbuka lebar, padahal udara selepas hujan masih menyisakan hawa dingin. Kemungkinan besar dia masih beraktivitas seperti berolahraga, menonton film di laptop, bermain game ponsel, atau apapun yang tidak kuketahui secara pasti.

Aku menyapanya sekali lagi, saat menyadari tidak ada tanggapan di seberang sana. "Hello, who is there?" tanyaku pura-pura tidak tahu, padahal aku telah menamai nomor tersebut dengan segenap hati.

"Oh, hai, Heather! Sorry, aku sedang berpakaian saat meneleponmu dan meletakkan ponselnya di tempat tidur. Jadi ... ini aku, Christopher. Aku mendapatkan nomormu di daftar grup kelas. Apa kau tidak menyimpan nomorku? Sebaiknya kau menyimpannya setelah ini."

Aku tahu kau Christopher, Idiot. Aku mengamatimu dari sini. "Aku akan menyimpannya setelah ini. Kau belum tidur?" Aku tersenyum saat menanyakan hal tersebut karena kulihat, ia berdiri di depan jendela, menatap ke arah jendela kamarku.

"Apa aku mengganggumu? Lampu kamarmu padam. Kau sudah tidur?"

Aku menggeleng. "Nope. Sedang mengerjakan sesuatu." Sesuatu yang disebut mencatat sebuah inspirasi dari apa yang kita lewati bersama malam ini. "Aku menggunakan lampu baca. Maksudku, menghemat listrik."

Ia tertawa dan kurasakan pipiku memanas. Apakah bisa menjadi semenyenangkan ini?  Aku jadi ingin melakukannya lebih sering, mengamatinya diam-diam sambil mendengarkan suaranya.

"Baiklah, baiklah, aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, apa kau bisa menyisihkan sedikit waktumu untukku lagi? Aku tidak mengantuk sama sekali."

Begitu pula denganku. "Ya. Kau perlu teman mengobrol?"

"Datanglah ke pohon Oak. Aku akan segera ke sana."

Sebelum Christopher memutuskan panggilan dan bersiap keluar dari jendela kamarnya, aku bergegas membuka tirai begitu pula dengan jendela kamarku. "Tunggu!" Aku berusaha untuk tidak terkejut, tetapi hal itu tetap gagal kulakukan karena ia nyaris memutuskan panggilan.

"Ya?"

Kami saling menatap selama beberapa detik. Christopher melambaikan tangan dan aku membalasnya. "Dahannya licin, aku tidak ingin membuat kau atau aku jatuh." Itu hanyalah alasan, karena aktivitas tersebut--dulu--cukup sering kami lakukan.

"Ini perintah, Heather James," ujar Christopher. "Kujamin kau tidak akan jatuh." Dan secara sepihak, ia memutuskan panggilan kemudian melompat keluar, mulai menaiki dahan-dahan pohon oak yang tumbuh di antara kamar kami berdua.

Aku memerhatikan Christopher beberapa saat, memastikan bahwa dahannya tidak licin dan tidak membuat lelaki itu terpeleset. Setelahnya aku mengirimi Christopher pesan singkat, bertanya, apakah aman? Dan dia menjawab, naik dan duduklah di sampingku. Ada gitar bersamaku.

Aku melongok ke atas. Kurang lebih lima meter jauhnya, Christopher melambaikan tangan menggunakan flash light ponsel kemudian memperlihatkan gitar akustik di tangan satunya.

Well, aku tahu gitar itu. Jadi aku kembali mengiriminya pesan singkat, memintanya untuk menunggu sebentar.

Sekarang jam satu dini hari, bisa saja Davis belum tidur atau belum pulang dari pesta-pesta yang dikunjunginya. Aku meninggalkan kamar, bergegas menuju kamar Davis, bahkan tanpa perlu mengetuk kubuka pintu selebar-lebarnya dan viola! Semua aman, dia tidak ada di sini sehingga aku tidak perlu meladeni pertanyaannya.

Aku mengambil papan selancar milik Davis yang diletakkannya di balik pintu, kemudian membawa benda tersebut dengan hati-hati menuju kamarku agar tidak menimbulkan suara sedikit pun, sebelum menjadikannya sebagai jembatan penghubung antara jendela kamarku dan salah satu dahan pohon oak milik Christopher.

Sialan, sudah berapa lama aku tidak melakukannya? Batinku mempertanyakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan aku menjawabnya dengan--mungkin sepuluh atau belasan tahun yang lalu. Kau sudah semakin tua, Heather.

Secara perlahan, tetapi pasti, aku pun mulai memanjat pohon oak dan menyusul Christopher di atas sana. Bahkan dengan hati-hati pula kupastikan tangan dan kaki tidak tergelincir atau lebih parahnya terkena kotoran kelelawar karena aku benci aromanya, serta teksturnya yang lengket.

Hingga nyaris tiba di puncak pohon, Christopher mengulurkan tangannya dan tentu saja, aku menyambut hal tersebut dengan penuh suka cita. Aku duduk di sisinya, bersandar pada batang pohon, bersamaan dengan debaran jantung yang teramat cepat karena sudah lama tidak melakukan hal tersebut, dan di waktu bersamaan ia berkata, "Hai, selamat datang kembali."

Aku hanya mengangguk. Masih mengatur mental.

"Apa kau masih bisa bernyanyi? Atau kau telah kehilangan suara emasmu?" tanya Christopher yang saat itu juga membuatku sadar seratus persen.

"A-apa? Aku sudah lama tidak melakukannya." Itu bohong. Aku sering melakukan hal tersebut di mobil Paul, tetapi tidak pernah memerhatikan kualitas. Jadi--bagaimana melakukannya di hadapan Christopher?!

Christopher memetik senar, seolah mengabaikan penolakanku karena ia justru berkata, "Baiklah, kita mulai dengan Kodaline, All I Want. Itu salah satu kesukaanmu, bukan?"

Hell, yeah, satu di antara banyak lagu kesukaanku. Kupikir kau melupakannya, Christopher.


***
Hi, sorry ya, baru update ^^ diriku habis maraton baca webtoon.

Semoga kalian suka dengan bab ini dan belum bosan karena mereka masih sesi pendekatan, sebelum menyambut hari-hari esok.

Tolong berikan pendapatmu tentang bab ini, ya. Terima kasih <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro