Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 006 - I Like Him Like Crazy

Barangkali kau memiliki anggapan serupa dengan sebagian besar pembacaku. Menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan sesuatu yang romantis dan seksi dari seorang lelaki. Sebuah tindakan di mana tokoh utama lelaki mencium tokoh utama wanita secara tiba-tiba, di depan umum, bahkan sebelum kencan itu terjadi, lalu secara sepihak meng-klaim bahwa gadis itu adalah miliknya.

Aku baru saja mengalami hal tersebut. Meski tidak benar-benar seperti yang kujabarkan sebelumnya, tetapi intinya sama saja. Tiga hari yang lalu Christopher tiba-tiba menciumku di depan umum kemudian secara sepihak mengumumkan bahwa kami tengah berkencan. Lebih parah lagi itu semua dilakukan hanya untuk membuat Lea tutup mulut dan--mungkin--sebagai pembalasan dendam karena gadis itu mencampakkan Christopher, demi seorang pria kantoran.

Di media sosial, akun-akun asing pun mulai mengirimiku DM mengatakan bahwa aku adalah gadis murahan karena mau saja dijadikan pion. Bahkan beberapa diantaranya lebih kejam lagi, melabeliku sebagai pelacur di pinggiran kota sebab tidak menolak ketika Christopher menciumku. Padahal jika benar-benar melihat, mereka pasti mengetahui bagaimana aku menolak tindakan lelaki itu.

Akan tetapi, siapa aku? Aku jelas kalah populer dengan Christopher dan Lea. Oleh karenanya, mereka lebih membela dua manusia tersebut, daripada memikirkan bagaimana perasaanku setelah mendapatkan perlakuan yang sebenarnya, bisa menjadi sebuah tindak pelecehan.

Yeah, memang tidak perlu dipungkiri bahwa aku menyukai Christopher sampai pernah bermimpi melakukan seks dengannya. Namun, bukan seperti ini yang kuharapkan. Ciuman yang diberikan Christopher justru menyakiti hatiku karena tanpa melibatkan perasaan dan bukankah dia baru saja menolakku--mengatakan aku bukanlah tipenya--di ruang layanan kesehatan.

Dan kalau pun tanpa sepengetahuanku Christopher melibatkan perasaan--meski mustahil--akan lebih menyenangkan jika dilakukan secara intim. Maksudku, kita perlu membangun suasana terlebih dahulu, saling bersentuhan, memuji, serta ... aku akan lebih merasa berharga jika dia meminta izin dengan mengatakan, bolehkah aku menciummu? Atau sejenisnya.

Akan tetapi, aku sadar diri. Semua itu hanya khayalan.

"Bajingan, dia hanya mempermainkanku karena bosan." Aku mendesis di meja belajar kamarku, sebelum meletakkan kepala di atas sana. "Bagaimana bisa aku terbawa perasaan? Walau sedikit, tetap saja, aku seperti seorang idiot yang berpikir memiliki kesempatan."

Kurang lebih sudah sejam, tetapi netraku masih saja terpaku pada layar laptop. Menelusuri media sosial Christopher, meski lelaki itu sudah tidak aktif sejak empat hari lalu. Dewi batinku ingin menduga-duga, tetapi akal sehat melarangnya dengan tegas.

"Tapi ... setidaknya kita bisa berteman," kataku pada salah satu foto Christopher di akun Instagram-nya. "Kau hanya perlu berperilaku biasa, tanpa harus menambahkan sesuatu yang bermakna ganda. Kau paham maksudku, 'kan? Kau bilang kau tidak peduli padaku, jadi lakukan saja! Daripada tiba-tiba menempel dan bersikap seolah kau peduli. Sialan, apa, sih, yang barusan kukatakan?!"

Aku meremas rambut. Kali ini benar-benar kesal pada diri sendiri karena bersikap seperti orang gila yang plin plan.

Sebaiknya tidak berteman sama sekali, Heather. Setan kecil itu berbisik di telinga kiriku. Kau terus menyalahkan, tetapi juga membelaku. Kemudian berkata lagi di telinga sebelah kanan. Sungguh tidak berprinsip. Lalu ia berpindah di atas kepalaku kemudian menendangnya sekuat tenaga.

"Fuck off!" Aku bangkit dari kursi, secara naluriah melangkah mundur. Merasa sangat frustrasi. "Itu semua salahmu, Christopher!" Dan setan kecil itu adalah Christopher yang tengah tersenyum mengejekku. 

"Kau yang tiba-tiba datang ke acara makan malam orang tuaku, padahal sebelumnya kau tidak pernah. Kau yang mengejarku--berusaha--mengobrol denganku di dapur dan kau ... shit! Kenapa kau menyebalkan sekali?!"

Aku mengutuk diri sendiri karena masih mengingat bagaimana kami saat Christopher, tiba-tiba saja datang ke acara makan malam beberapa hari lalu. Obrolan yang berjalan lancar, lelucon payah tetapi mampu membuat kami tertawa, dan permainan tebak-tebakan menggunakan buah jeruk dad, sampai membuat kami mabuk jeruk. Semua itu terlewatkan dengan sangat menyenangkan, hingga sedikit pun tidak menyangka bahwa akan berakhir dengan sangat cepat.

Jadi seperti ini rasanya, hubungan yang baru saja membaik tiba-tiba kembali memburuk. Aku merasa dikhianati habis-habisan, hingga membuatku harus membangun tembok besar di antara kami hingga Christopher tak kuasa untuk menembusnya.

Selama tiga hari perkuliahan, aku selalu berusaha menjauhinya, bersikap abai setiap kali dia berusaha mengajakku bicara. Bahkan tidak segan meminta siapa saja di rumahku untuk mengusir atau menolak telepon dari Christopher.

"Miss James, akhirnya aku punya waktu untuk menemuimu secara empat mata."

Sial! Aku melangkah lebar, segera menutup notebook, sedetik setelah pintu kamarku terbuka dan suara Davis yang menyusul setelahnya.

Aku menoleh ke arah lelaki itu, selagi bertanya dengan nada tidak suka. "Kau tidak punya tangan, ya?! Berulang kali kukatakan ketuk pintunya. Bagaimana kalau aku sedang telanjang?"

Davis mengedikkan bahu. Bersikap tak acuh lalu duduk di tepi tempat tidurku. Lihat, 'kan? Dia terlalu menyebalkan untuk menjadi salah satu idola perempuan, sampai-sampai menerima julukan sebagai lelaki lemah lembut yang penuh sopan santun. Huwek! Aku ingin muntah di wajahnya saja.

"So easy, aku tinggal menutup kembali pintunya dan menunggumu berpakaian," jawabnya santai, selagi menyisir rambut cokelat madunya menggunakan jemari. "Lagi pula, kita sudah sering telanjang bareng."

"Waktu kecil," ralatku cepat. "Dan aku masih tidak tahu apa-apa tentang privasi." Aku melilitkan kedua lengan di bawah dada. "Jadi kenapa kau ke sini? Apa Cecilia menolakmu? Sudah kupastikan bahwa dia--"

"Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak itu?"

Crazy cray! Kupikir Davis lupa. Aku menggigit bibir, memaksa agar otakku berpikir lebih cepat saat Davis memberikan tatapan penuh selidik.

"Apa urusanmu?" Suaraku serak yang menandakan aku sedang gugup.

"Kau mencurinya dari seseorang?" Sebelah alis Davis terangkat dan ia melanjutkan, "karena mustahil kalau kau jual diri atau menabung upah dari mom atau uang jajan dari dad."

Yang benar saja! Aku agak tersinggung dengan tuduhannya. Maksudku, apa wajahku berpotensi untuk mencuri? Menyontek saja aku tidak punya nyali, apalagi mencuri uang yang nominalnya sebanyak itu.

"Aku tidak punya uang sebanyak itu, kau tahu?" Davis mengedikkan bahu, menungguku melanjutkan perkataan. "Baiklah, kau tahu Kenneth suka menggangguku, 'kan?"

Davis mengangguk, tanpa berkata apapun. Pertanda bahwa dia memiliki banyak waktu luang untuk mendengarkan karanganku. Sial!

"Dia menjadi salah satu si Pembawa Keranjang dan yang aku tahu, dia menjadi gila karena terlalu banyak yang menginginkan Christopher, daripada dirinya."

"Lalu? Apa urusannya denganmu?"

Aku menjentikkan jari. Davis menangkap umpanku dengan sangat baik. Bahkan tanpa menaruh curiga sedikit pun.

"Itulah yang menjadi urusanku. Bisa dikatakan aku ingin balas dendam. Ingin membuatnya semakin sinting karena harga Christopher jauh lebih mahal, daripada dia. Hal yang tentu akan membuat bajingan itu terlihat seperti cumi-cumi, setiap kali mereka berdampingan."

Davis mengernyit. "Entah apa yang kau pikirkan, aku tidak yakin telah menemukan koneksinya. Namun, kau beruntung karena Lea menantangmu."

Menghela napas panjang, aku memerosotkan bahu menjadi lebih rendah. Merasa lega karena bisa mengakhiri obrolan ini dengan sangat cepat. "Yeah, aku tahu Lea akan menawarkan harga yang lebih tinggi karena dia terobsesi dengan Christopher," sahutku kemudian membuka pintu kamar menjadi lebih lebar. "So ... bisakah kau pergi sekarang juga? Aku perlu bersiap sebelum pergi ke toko roti."

Namun, Davis menyeringai sambil meletakkan kaki kanannya di atas paha kiri. "Kau pikir aku tidak lihat atau tidak mendengarnya?"

Pertanyaan itu lantas membuat netraku bergetar. Sekarang apa lagi?! Aku menoleh ke balik punggungku, mengikuti arah pandangan Davis yang sebenarnya cukup mencurigakan.

"Sejak kapan kalian berkencan?" tanya Davis yang secara imajiner membuat rahangku terjatuh, hingga menyentuh lantai. "Dan mau sampai kapan perang dingin itu akan terjadi?" Dia terus bertanya, meski aku tidak langsung menjawabnya. Sungguh, fokusku masih tertuju pada apa yang sebelumnya dilihat Davis. "Demi Tuhan, aku tidak terlalu peduli dengan drama percintaanmu, Heather, tapi terus-menerus beralasan setiap kali lelaki itu menghampiri rumah kita benar-benar merepotkan. Lagi pula, mom--"

Persetan! Aku melangkah menghampiri jendela kaca yang berhadapan langsung dengan kamar Christopher. Dan yang memperlihatkan bahwa ia tengah mengamati kami, entah sejak kapan. Dengan kasar, aku bahkan menarik tirai, hingga koneksi itu benar-benar terputus begitu pula perkataan Davis.

"Wow." Davis menatapku tidak percaya, tetapi bibirnya tersenyum lebar. "Kupikir aku bisa membujukmu dengan mudah. Kau seharusnya bisa sedikit lebih lunak karena Christopher--"

"Pergilah, Davis," pintaku pelan karena terserang perasaan lelah yang mendadak. "Aku tidak ingin membahasnya. Juga menolak untuk melakukan apa yang ingin kau katakan. Terlebih jika itu untuknya." Kutegaskan kalimat terakhir itu di hadapan Davis, sambil mempersilakan agar dia segera pergi, menghilang dari pandanganku.

Davis menghela napas panjang. Menepuk pelan telapak tangannya pada paha kemudian bangkit dan ....

... tiba-tiba saja dia memelukku!

Secara alamiah, aku mendorongnya. Menolak sikap simpati tersebut karena aneh bagiku, jika yang melakukannya adalah Davis. Sekadar kau tahu bahwa Davis adalah kakak paling menyebalkan, daripada kakak terbaik di dunia.

"Menjauh dan hentikan sikap menjijikan itu," perintahku setelah mendorongnya dan mempertahankan kedua tanganku, tetap berada di depan. "Kita benar-benar cocok untuk hal itu."

"Benar." Davis terkekeh. "Kau bau. Berbau kematian, hingga membuatku merinding." Lalu dia melangkah lebar, setengah berlari meninggalkan kamar sebelum aku melemparnya dengan barang apapun yang paling mudah kujangkau.

Aku bergegas menutup pintu setelah beberapa detik kepergian Davis, kemudian menguncinya, dan kembali melangkah lebar menghampiri jendela sekadar untuk mengintip. Sungguh sedikit penasaran apakah bajingan itu masih berada di sana dan--shit! He's still there. Kedua mataku berputar.

Berbicara mengenai hati nurani, aku pun membuka tirai jendela kamarku kemudian berdiri sambil bersandar pada meja belajar, aku menunggu apa yang akan dilakukan Christopher. Kedua lenganku terlilit di bawah dada, menatap lelaki dengan amarah, dan setengah mati menekan keinginan untuk mendambakannya.

Aku adalah korban dan mendambakan Christopher, tentu menandakan bahwa ada sesuatu yang salah padaku.

Akan tetapi, bagaimana aku harus bereaksi saat Christopher, justru memperlihatkan secarik kertas berukuran A4 yang bertuliskan kata Sorry kemudian Kau bisa memakiku sekarang dan Tolong dengarkan aku.

Damn it!

Aku menutup tirai. Berusaha agar tidak semudah itu untuk melunak karena akal sehatku memaksa untuk memberikan Christopher sedikit pelajaran. Jangan terlalu gampang mempermainkan perasaan seseorang. Kau bisa saja tidak tahu apa yang dirasakan seseorang terhadapmu, oleh karena itu sesuatu yang disebut bersikap senormalnya saja pun diciptakan.

Kuraih jaket kulit dari dalam lemari gantung kemudian memakainya secara asal, sebelum beralih pada sepatu ankle boots yang tergeletak di kolong tempat tidur untuk melengkapi dress bunga tulip warna lavender. Suara Davis terdengar dari lantai satu, memanggilku berulang kali agar aku tidak membuatnya menunggu lebih lama. Mesin mobil yang telah dinyalakan pun, membuatku bergegas menuruni tangga sambil mengepang rambut menjadi kepangan Prancis.

"Jangan bikin aku terlambat, Nona," kata Davis sambil melongok ke arahku. "Aku juga memiliki kesibukan, dari sekadar menunggumu berdandan."

Tidak langsung menanggapi ucapan Davis, aku lebih memilih bergegas duduk di sisinya. Memasang safety belt, tanpa menoleh ke rumah tetangga yang mana sebelumnya, hal itu merupakan rutinitasku dengan harapan bisa melihat Christopher. "Kau yang membuatku terlambat karena mengajakku mengobrol hal tak penting."

Davis menginjak pedal gas lalu melirik ke arahku sebentar dan berkata, "Terserah. Tapi dia tidak seburuk yang kau pikirkan. Bisa saja ini salah paham."

Lantas aku menoleh ke arahnya, menatap Davis dengan tatapan seolah berkata, kau bilang apa barusan? "Damn, kenapa semua orang membelanya dan tidak ada yang mengerti perasaanku?"

Aku mengerang frustrasi di samping Davis dan lelaki itu, bukannya menjawab malah balik bertanya, "Kau benar-benar menyukainya, ya?"

Sial! "Tidak." Yeah, sampai membuatku seperti orang gila. "Itu hanya cinta monyet di masa remaja."

***

Hello, thank you for reading
BTW WDYT about this chap? Do u still like it? I hope u do ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro