Chapter 004 - Win Me At the Auction
What the hell!
Aku bisa mendengar suara Max--sepupuku--dengan sangat jelas. Menyanyikan lagu Too Good At Goodbyes milik Sam Smith bernuansa akustik yang terus diulang pada bagian reff setiap lima menit sekali. Kupikir aku bisa tidur nyenyak, tapi kenyataannya tidak. Terjaga sepanjang malam, tanpa melakukan apapun, hanya berbaring di tempat tidur, hingga alarm jam weker "Max"--hadiah natal dari Max--menyadarkanku bahwa sekarang sudah pukul sepuluh pagi.
Oh, God, apa waktu berjalan secepat ini? Aku tidak sadar bahwa suara merdu Max ternyata telah menemaniku selama empat jam berturut-turut, yang artinya aku juga telah meninggalkan aktivitas lari pagi dengan hanya berbaring kaku seperti sepotong kayu.
Seharusnya aku bisa tidur lebih nyenyak, akibat peningkatan hormon serotonin dan melatonin dari daging babi panggang, spaghetti, serta salad buatan mom lalu cupcakes dan pai jeruk buatan Mrs. Lee--yang luar biasa lezat--benar-benar memenuhi isi perutku. Namun, itu tidak berlaku karena sebaliknya, aku malah terjaga sepanjang malam, memikirkan banyak hal selepas diskusi singkat di dapur bersama Christopher.
"Jadi kau menyerangku karena kau pikir aku yang melakukannya?" Christopher berdiri di belakangku, bersandar pada kitchen counter saat aku memasukkan tumpukan piring kotor ke dalam mesin pencuci piring.
Kedua orang tua kami dan Davis--kakakku--tengah berkumpul di ruang keluarga, menonton pertandingan balap kuda sehingga--sialnya--memberikan ruang kepada Christopher untuk berbicara denganku. Padahal sejak melihat lelaki itu di depan rumahku, sambil membawa senampan cupcakes, aku memutuskan tidak akan memberikan ruang kepadanya.
Jadi menanggapi pertanyaan Christopher, aku hanya mengangguk. Sejak awal, memang cuma perkataan seadanya yang kuberikan kepada lelaki itu.
"Pikiranmu terlalu pendek," katanya lalu menggigit apel yang beberapa menit lalu menjadi mainan lempar tangkap, demi memecahkan kebekuan yang kubangun.
Aku menoleh, menatapnya tak terima atas label tersebut. "Seriously?"
"Ya." Dia mengedikkan bahu. "Coba kau ingat siapa saja yang berada di sana saat Kenneth mengganggumu? Kurasa mustahil hanya kita bertiga karena masih terlalu awal untuk jam kampus berakhir."
Kedua alisku menyatu. Baiklah. Memang terlalu awal untuk jam kampus berakhir. Waktu itu perpustakaan masih cukup ramai, taman di depan lorong gedung pun beberapa titiknya diisi oleh beberapa mahasiswa yang tengah berkumpul--melakukan berbagai aktivitas--menunggu kelas-kelas selanjutnya. Aku tidak ingat jelas karena terlalu fokus ingin melarikan diri dari gangguan Kenneth, sehingga tidak sempat melihat keadaan dan--kira-kira siapa yang berpotensi menjadi pelaku?
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, otakku mulai bekerja seribu kali lipat lebih keras. Berusaha mengingat siapa yang berada di lokasi kejadian. Rasanya sudah seperti Sherlock Holmes, tetapi aku tidak memiliki petunjuk sehingga seperti tersesat tanpa tahu di mana jalan pulang dan ke mana kau ingin pergi.
Sia-sia.
Aku menghela napas panjang. "Shit, no clue," desisku putus asa selagi mendaratkan bokong pada salah satu kursi meja makan.
Christopher mengikuti dan duduk di sebelahku. Memberikan segelas air mineral, seolah cairan tersebut mampu memberikan pertolongan. "Minum, kau mungkin perlu sedikit pencahayaan dari air murni ini." Nah, apa kubilang? Tapi aku menurut, meminumnya hingga tandas sebelum menoleh ke arah lelaki itu.
"Apa Kenneth yang melakukannya?" tanyaku, "dia bisa saja menggunakan akun bodong karena, yeah, merundungku sudah seperti aktivitas wajib untuknya."
"Be honest, Heather, aku hanya punya empat foto dan itu--aku merebutnya dari Kenneth." Mengeluarkan ponsel dari saku jaket, Christopher memperlihatkan beberapa foto di galeri. Foto-fotoku yang sekarang menjadi salah satu tawanannya. "Apakah sama dengan yang beredar di grup?"
Bibirku terkatup rapat. Fokus, Heather! Sejak kapan kalian jadi berteman lagi?! Akal sehat menertawaiku, tetapi sang dewi batin berusaha memberikan energi positif bahwa Christopher mungkin saja ingin memperbaiki hubungan kami atau ... dia memiliki kepentingan, terhadapku? Entahlah.
"Nope." Aku menggeleng pelan. "Sebenarnya ada tujuh foto yang berarti, dia menyimpan tiga foto."
"Tujuh foto?!" Ekspresi terkejut seketika tampak jelas di wajah Christopher. Ia mengusap wajahnya, frustrasi, lalu menengadah sambil menyandarkan punggung kokohnya pada sandaran kursi. "Fuck! Kau ... benar-benar mesum. Dan memiliki potensi besar sebagai photographer sukses di majalah playboy."
Oh, apa itu hinaan atau sindiran? Aku tidak merasakan pujian dalam kalimat Christopher. Jadi aku menunduk, menatap kedua tangan yang sedang menggenggam gelas, serta dalam keadaan wajah memanas karena malu. Kuharap Christopher tidak tahu bahwa aku adalah penulis erotis HeatTheHottest, meski dia memiliki catatan pribadiku.
"Kita harus mendapatkan mereka," kata Christopher, "aku tidak ingin menjadi bahan fantasi liar para gadis." Ia menegaskan sambil menggigit kasar apel yang tersisa. "Well, tidak sepenuhnya tidak suka. Aku juga menyukainya karena hal itu membuatku tampak lebih mahir dalam hal "memuaskan", tanpa harus berusaha keras. But damn! Tetap saja ini gila." Christopher memukul meja dan membuatku agak terkejut. Kupikir tinjuan itu akan dilayangkan ke arahku.
"Kurasa ... aku harus menghubungi Paul atau Cecilia. Mereka mungkin mengetahui sesuatu." Suaraku tercekat, sampai membuatku terbatuk akibat sempat tersedak ludah sendiri. "Mereka yang membawaku ke ruang pelayanan kesehatan."
Christopher menoleh bersama salah satu ibu jarinya yang menunjuk ke arah luar. "Paul dan Cecilia?"
Aku mengangguk.
"Oh, yeah, aku mengingatnya. Mereka menolongmu saat aku dan Kenneth sedang adu mulut."
Baiklah. Aku mengangguk lagi, tanpa perlu membahas apa yang diperdebatkan Christopher dan Kenneth, meski sebenarnya aku pun penasaran hingga terasa menyesakkan.
Dengan gerakan jari yang super cepat, aku mengirim chat kepada Paul dan Cecilia. Menanyakan apa yang ingin kutanyakan kemudian menunggu balasan dengan perasaan tak keruan.
Aku menuang segelas air mineral lagi, sedangkan Christopher membuka sekaleng beer yang mana hal itu berhasil menarik perhatianku.
"Berapa banyak kaleng yang sudah kau habiskan?" tanyaku penuh selidik karena tidak ingin direpotkan dengan keberadaan orang teler.
"Don't worry, aku tidak mudah teler."
Jangan sampai kau berbohong. Aku memutar mata dan sedetik kemudian ponselku memperlihatkan balasan dari Paul dan Cecilia yang singkatnya, Cecilia tidak tahu pasti karena dia langsung membawaku ke ruang pelayanan kesehatan, sedangkan Paul--jawabannya lebih berguna--lelaki itu melihat sekelompok anggota cheerleader dan beberapa mahasiswa lainnya sedang merekam Kenneth dan Christopher tengah beradu mulut, kemudian ketika ia membereskan barang-barangku salah satu cheerleader itu membantunya.
Namun sayangnya, Paul tidak melihat siapa yang membantunya. Hanya sebuah tangan dan bagian ujung seragamnya karena Paul terlalu tergesa-gesa akibat mengkhawatirkanku.
"Shit!" Aku menepuk jidat, bersandar pada sandaran kursi hingga bagian kaki belakangnya berderit selagi kaki bagian depan sedikit terangkat. "Aku benci berperan sebagai detektif."
"Aku bisa membantumu."
Menoleh ke arah Christopher, aku melilitkan kedua lengan di bawah dada. "Kau sudah mengatakannya berulang kali dan biar kutegaskan, kau melakukannya karena kau pun memiliki kepentingan. Foto itu adalah dirimu yang mana kau bilang kau tidak ingin menjadi fantasi liar bagi banyak gadis."
"Yeah," katanya lalu tersenyum miring. "Lebih baik hanya kau yang melihatnya. Jadi aku memang sungguh-sungguh ingin melakukannya."
Menarik napas panjang lalu mengembuskannya, aku menegakkan tulang punggung sebelum menggeser posisi duduk menjadi benar-benar berhadapan dengan Christopher. "Bahkan setelah aku menamparmu?"
"Itu tidak terlalu menyakitkan."
Aku memutar mata. Itu jelas kata-kata bualan karena tanganku terasa panas dan nyeri selepas menamparnya. "Fine, what do you think now?"
"Kau mau menjadi pelayanku?" Sebelah alis Christopher terangkat, bibirnya tersenyum hingga sepasang lesung pipi menakjubkan itu terlihat jelas. "Akan kuberitahu jika kau bersedia melakukannya."
Dan tanpa pertimbangan lebih lanjut, aku pun berkata ya. Di mana pikiran pendekku berpendapat bahwa menjadi pelayan bukan hal sulit sebab--berkali-kali kutegaskan--jasa pelayanan adalah makanan sehari-hariku. Melayani pembaca setiaku, melayani pelanggan mom di toko rotinya, melayani para penggemar Davis, dan melayani Kenneth.
Aku sudah sangat terbiasa. Titik.
Namun, juga langsung menyesali keputusan tersebut di detik berikutnya karena sebuah beban berat, tiba-tiba saja langsung diletakkan di atas punggungku. Membuatku terus memikirkannya hingga kesulitan tidur di sepanjang malam.
Christopher mengatakan dalam kasus ini memberikan perintah, bahwa aku harus memenangkan pelelangan atas dirinya. Dia juga mengingatkan bahwa ucapanku di depan rumahnya telah memberikannya inspirasi.
Semangatku, tekadku, Christopher bilang aku adalah sosok pelayan yang sangat loyal terhadap tuannya. Ugh!
Aku bangkit dari tempat tidur, setelah pikiranku secara tidak tahu diri mengulang kembali kejadian semalam. Yang juga menjadi alasanku mengalami kesulitan tidur. Melirik ke arah nakas, sebuah kaleng bekas biskuit berdiri kokoh, meski tutupnya sedikit terbuka, dan isinya agak berantakan karena sepanjang malam pula aku telah menghitung--mempertimbangkan--berapa banyak lembar Dollar yang harus kubawa, demi memenangkan Christopher.
Entah apa yang sebenarnya Christopher rencanakan, ia hanya memintaku untuk memenangkan kencan bersamanya kemudian setelah itu aku hanya perlu memercayakan segala hal padanya.
Tapi, ini, 'kan, uangku! Dan aku tidak punya jaminan untuk keberhasilan rencana ini.
"So cheesy," umpatku pelan lalu melangkah malas menuju kamar mandi. "Aku tidak benar-benar serius mengatakannya jika pada kenyatannya uangku akan habis untuk hal yang tidak penting."
Dad menyambutku dari pintu belakang, mengenakan seragam berkebunnya sambil membawa keranjang berisi beberapa poly bag tanaman tomat yang kalau kukatakan, nyaris menginjak usia remaja.
"Morning, Dad," sapaku sambil menuang segelas air putih sebagai salah satu ritual mengawali hari.
"Oh, Heather, kau bangun terlambat hari ini." Dia berhenti sejenak, mengamatiku dari atas kepala hingga ujung kaki. "Is everything okay? you look so bad."
"I'm fine just ... tugas kuliah yang menumpuk. Kau tentu tahu seperti apa rasanya."
"Yeah." Dad mengangguk, menatapku khawatir. "Perjuangan untuk pekerjaan yang layak jadi ... jaga kesehatanmu, Baby."
Tersenyum saat mendengarnya, aku segera menjawab, "Thanks, Dad. Your baby needs to take a shower and get ready now."
"Sure. Go ahead."
Aku mengangguk kemudian bergegas mandi dan bersiap, selagi dad kembali pada aktivitas berkebun yang selalu ia lakukan di hari libur. Menjabat sebagai seorang sheriff rupanya membuat dad cukup sibuk, sehingga demi menjaga kewarasan dia memilih berkebun di setiap waktu luang. Terlebih dad mengatakan bahwa, aroma dari tumbuhan selalu berhasil menenangkan pikiran.
Tapi entahlah, aku tidak tahu seperti apa aroma tumbuhan itu.
Harper sudah terparkir manis di area parkir. Menandakan bahwa Paul dan mungkin Cecilia sudah berada di kampus lebih dulu. Hari ini jadwal kelas memang agak longgar, tetapi tadi selepas membersihkan diri mereka berdua rupanya menghubungiku--dengan tujuan yang berbeda--Paul memintaku menemuinya di kafetaria, sedangkan Cecilia meminta agar aku tidak makan apapun di rumah karena dia membawa banyak makanan dari hasil belajar memasak bersama ibu tirinya.
Yeah, kuharap itu hidangan lezat yang tidak pedas. Terakhir kali Cecilia membawa ayam berkuah, terasa asam, berwarna kuning dengan campuran coconut milk, dan itu pedas luar biasa karena potongan cabe yang membuatku berakhir diare.
"Di sini, Heather!"
Aku menoleh ke arah suara Cecilia berasal. Di antara mahasiswa lainnya di kafetaria, hanya dia yang tampak mencolok bersama dress hot pink sedikit di atas lutut, dipadu jaket berbahan denim. Gadis itu melambai sambil tersenyum lebar dan aku membalasnya, selagi menghampiri.
Di lain sisi, Paul duduk tenang dengan laptop yang menyala dan tumpukan buku hasil sastrawan Inggris di sisi kirinya. Segelas kopi panas mengepulkan asap, menandakan dia baru saja sampai tidak lama dari kehadiranku.
"Yo, Heather. Sedang memainkan peran detektif?" tanya Paul setelah aku duduk di hadapannya dan Cecilia di sampingku.
"Apa?"
Dia menyeruput kopinya, sambil melirik ke arahku. "Kau tidak pernah kepo. Sebelumnya."
Cecilia menoleh ke arah kami berdua, sebelum akhirnya bertanya, "Ada apa? Apa aku ketinggalan sesuatu?"
"Wanita ini tiba-tiba mengirimiku banyak chat, sampai aku lelah membalasnya dan memilih untuk menelepon, tapi dia malah menolak panggilanku."
"Oh." Cecilia berjengit.
"Aku tidak suka ditelepon," belaku kemudian meraih kue berwarna hijau, sedikit lebih padat, seperti sponge cake gagal. "Apa ini bisa dimakan, C?"
Cecilia mengangguk lalu mempersilakan. "Makanlah, itu bukan produk gagal. Meski aku juga sempat mengiranya begitu," jawabnya sebelum menoleh ke arah Paul. "Dan, Paul, apa yang membuat Heather mengganggumu?"
"Peristiwa kemarin. Dia penasaran setengah mati tentang siapa saja yang menonton saat Kenneth mengganggunya, penasaran apa ada orang lain yang membereskan barang-barangnya, dan banyak lagi. Kau bisa membacanya sendiri di ponselku karena aku terlalu malas untuk menjelaskan."
"Fine." Cecilia mengangguk paham, tetapi sebelum dia bertanya lebih lanjut, aku buru-buru mengganti topik--membicarakan pelelangan si Pembawa Keranjang.
"Kulihat kau terpilih menjadi si Pembawa Keranjang, Paul? Apa kau sudah menyiapkan apa saja yang menjadi daya tarikmu?" tanyaku buru-buru karena tidak ingin meladeni rasa ingin tahu Cecilia.
"Ya, tapi aku tidak tertarik. Terasa membuang waktu, jadi kalau pun tidak ada yang menawar ... aku akan baik-baik saja. Malah lebih bagus."
"Ewh, itu menyangkut harga dirimu sebagai manusia," sahut Cecilia sembari mengernyit tidak percaya. Namun, sebenarnya memaklumi karena sejak awal kami nongkrong bareng, Paul memang tak tertarik untuk menjalin hubungan.
Ambisi mendapatkan nilai terbaik, membuat Paul benar-benar sibuk dengan tumpukan buku dan artikel dalam bentuk digital.
"Ngomong-ngomong, aku akan mendapatkan Davis. Setidaknya harus." Cecilia mengedipkan sebelah matanya ke arahku. "Apa kau baik-baik saja kalau aku berkencan dengan kakakmu, James?"
Mengedikkan bahu, aku sungguh tidak peduli karena bagaimana pun aku tahu sisi buruknya Davis, Cecilia tetap saja dibutakan oleh cinta. Terlebih, saat ini mereka tengah melakukan pendekatan. "Sekalian saja kau ajak dia berpacaran. Kenapa harus membuang waktu untuk kencan, tanpa status? Kau tahu dia juga tertarik padamu."
"Yeah, aku masih ingin Davis yang mengajakku terlebih dahulu."
"Akan kuberitahu dia. Segera." Aku memasukkan gigitan terakhir kue hijau tersebut yang terus terang, terasa lezat meski bertekstur lebih berat. Ini lebih cocok untuk menu sarapan sebab mampu memberikan efek kenyang.
"Good morning, Heather." Seseorang tiba-tiba menepuk bahuku, bahkan sebelum menoleh embusan napas yang hangat turut menerpa daun telingaku. "Jangan lupa untuk memenangkanku di pelelangan," bisiknya di mana seketika membuatku merinding.
Aku menoleh. Hal yang paling kusesali karena jarak kami menjadi terlalu dekat. Hanya beberapa centi! Aku bahkan bisa menciumnya jika ingin. Namun, aku melirik ke arah dua sahabatku, teringat bahwa tindakan ini bisa menimbulkan beberapa spekulasi karena ....
... dengan kompak mereka menjatuhkan rahang.
Dia--Christopher--meremas tanganku. Tersenyum manis untukku. Dan dia mengusap rambutku. Di tempat umum.
O
h, demi Tuhan! Bukan hanya Paul dan Cecilia yang akan berspekulasi, tapi orang lain di kafetaria yang melihatnya pun bisa saja memikirkan banyak hal.
Sialan, aku tidak ingin orang lain salah paham, tidak ingin terlibat dengan penggemar fanatik lelaki itu, dan tidak ingin bermasalah dengan Lea, pacar Christopher.
Aku menepis tangannya. "Menjauhlah, Christopher."
***
WDYT about this chapter? Apakah kalian merasa bosan? Apakah bab ini kepanjangan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro