Chapter 003 - Damn! I've to Say Thanks And Sorry
Tuan Muda Lee.
Tuan Muda Lee.
Tuan Muda Lee.
Mustahil bagiku mengabaikan sebutan Tuan Muda Lee karena itu adalah sapaan dari salah satu karakter fiksiku. Yang mana merupakan kisah cinta antara budak dan tuan muda, pada abad ke-17.
Mudah sekali, Christopher pasti sudah membaca catatannya dan--mungkin--mencoba membuatku tidak nyaman dengan menggunakan sapaan tersebut.
Jadi aku menggumamkan nama tersebut berulang kali, selama mata kuliah Professor Dawn berlangsung hingga tidak ada satu pun kalimat dari bibir pria itu yang tersangkut di otakku. Dua jam setengah di kelas jadi terasa sia-sia karena fokusku terpecah. Apalagi yang meminta hal tersebut berada di satu ruangan denganku, bersikap acuh tak acuh seolah tidak terjadi apa-apa.
Ugh! Dia malah asyik sendiri dengan liur berlimpah ruah di sudut bibir dan membasahi meja. Suara mendengkurnya benar-benar mengganggu. Setidaknya untuk sekarang. Aku tidak terlalu suka duduk berdekatan dengannya.
"Serius, Heather, sejak kapan kau nongkrong bareng Christopher Lee?" Cecilia mendesis saat menanyakannya, sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas.
Professor Dawn telah meninggalkan ruangan, bersama dengan mahasiswa lainnya, dan hanya menyisakan aku, Cecilia, serta Paul. Kami tidak terlalu suka berada dalam kerumunan hanya untuk berebut keluar dari kekangan jam mata kuliah, sehingga sering kali menunggu sampai ruangan benar-benar sepi.
Paul terlebih dahulu bersuara, sebelum aku balik bertanya kepada Cecilia tentang maksud dari pertanyaannya. "Kau dan Christopher?" Kedua alis lelaki itu menyatu, hingga lipatan di keningnya terlihat jelas. "Wow, kalian adalah tetangga yang tidak seperti tetangga. Namun, kalau Cecilia tiba-tiba bertanya, sepertinya sesuatu telah terjadi. Aku mendengar beberapa orang membicarakanmu, Heather."
Ya, kuharap aku juga bisa mengetahui apa yang mereka bicarakan sebelum Christopher menemuiku di ruang pelayanan kesehatan. "Apa aku sedang menjadi topik utama pergosipan kampus?" tanyaku pura-pura bodoh karena mustahil menceritakan kebenaran kepada mereka. Aku tidak ingin dipandang aneh, jadi buru-buru kubereskan barang-barangku; memasukkannya ke dalam tote bag, bergegas meninggalkan ruangan.
Paul dan Cecilia mengikuti di mana dengan kompak, mereka menjawab, "Ya."
"Kau, Christopher, dan Kenneth. Terlihat seperti cinta segitiga, tapi aku yakin situasinya tidaklah seperti itu." Paul berdiri di sisi kananku, berjalan di lorong kampus, disertai Cecilia di sisi kiriku.
"Kenneth adalah pecundang yang suka menindas kelompok minoritas." Cecilia mencebik.
"Bagaimana dengan Christopher?"
"Dia preman. Bukan pecundang seperti Kenneth."
"Kau selalu pandai melabeli orang-orang."
"Well, kuanggap itu pujian. Thanks, Paul."
Aku menghela napas panjang, selagi mendengar obrolan Paul dan Cecilia. Diam-diam juga berpikir--menyusun cerita paling masuk akal--yang akan kukatakan kepada mereka.
"Jadi, Heather, kita kembali padamu." Cecilia mengalihkan pandangannya ke arahku, begitu pula dengan Paul saat kami mulai memasuki area parkir. "Ada apa antara kau dan Christopher? Jangan terus-terusan diam, kita bukan gossipers yang terlalu banyak berspekulasi."
Berhenti di depan mobil Paul, aku bersandar pada bagian kap sementara dua manusia ini berdiri menghadapiku--menunggu penjelasan--sebagaimana orang-orang dengan jiwa Sherlock Holmes pada umumnya.
"Sebenarnya, aku pun tidak tahu apapun." Begitulah, aku mengawalinya dengan sedikit kebohongan yang mungkin akan berlanjut dengan kebohongan lainnya. Kulilitkan kedua lengan di bawah dada dan sesaat kutatap kakiku tengah memainkan kerikil kecil. "Seperti biasa, Kenneth akan rugi jika tidak menggangguku so ... yeah, tiba-tiba Christopher datang seperti superhero."
Cecilia menyipitkan kedua matanya. Menatapku lekat-lekat seolah mencari sesuatu yang kurang. "Hanya itu? Aneh sekali."
Aku mengedikkan bahu. Namun, Paul segera menambahkan. "Kurasa tidak terlalu aneh. Heather adalah aset. Bisa saja Christopher berpikiran demikian."
Aset? Jangan bercanda! Sebelah alisku terangkat kurang dari sedetik. Teringat bagaimana Christopher mengajukan dua pilihan, seakan dia penentu masa depan dan bagaimana anehnya dia saat memberikan beberapa bungkus roti di ruang pelayanan kesehatan. Kutegaskan saja, lebih baik lelaki itu membalas dengan kejahatan, daripada memintaku memilih karena menjadi pesuruh pun telah menjadi makanan sehari-hariku.
Jadi ... sebenarnya itu bukanlah beban berat.
Yang memberatkan hanya ... dia adalah Christopher. "Kau harus lebih sering menahan diri," gumamku pada diri sendiri, saat netraku menemukan keberadaan Christopher--bersama tim rugby-nya--di sudut area parkir. Lelaki itu mengangkat dagu, sambil tersenyum miring penuh arti, dan--tunggu! Mengangkat tangan kanannya. Apa dia baru saja menyapaku?
Secara naluriah, aku menoleh ke belakang, ke sisi kanan, dan kiri sekadar memastikan bahwa ada orang lain yang berpotensi disapa oleh seorang Christopher. Namun, nihil! Tidak ada siapa pun selain sekelompok pecundang; aku, Cecilia, serta Paul sedang berkumpul--mengobrol--sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Paul mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Halo, James, kau masih bersama kami, eh?" tanyanya, membuatku lantas mengerjap dan berdeham. Sedikit salah tingkah karena sadar tengah menatap Christopher diam-diam.
"Yeah, sure." Aku tersenyum canggung.
"Ok. Kau bersikap aneh hari ini," komentar Cecilia. Dia memajukan tubuhnya, mengedus ke arahku, seakan aku memiliki bau badan. "Aku mencium sesuatu yang amis."
"Err ... tapi aku tidak makan apapun yang berbau amis," jawabku cepat kemudian berdiri tegak, sambil membenarkan letak tote bag yang kusampirkan di bahu kanan. "Time's up guys, Paul harus segera menemui ayahnya sebelum pria itu membunuhnya karena terlambat untuk makan malam keluarga."
"Oh, Tuhan." Paul menepuk jidatnya lalu menghela napas panjang. "Aku melupakannya karena tidak menyukai acara kaku tersebut." Dia merogoh saku celana, meraih kunci mobil, dan memperlihatkannya ke arah kami. "Corny, padahal aku masih penasaran bagaimana kau mau menjadi photographer Christopher, hanya untuk menarik perhatian para penggemarnya di acara penggalangan dana."
Apa? Otakku kembali berpikir tentang apa yang mungkin terjadi di belakangku dan apa yang dikatakan Christopher untuk melindungi reputasiku. Bukan tidak bersyukur, tetapi kurasa dia tidak perlu terlalu banyak mengarang cerita karena untuk apa aku terlibat dengan para penggemarnya? Sekelompok gadis agresif yang akan melakukan apa saja, demi kesenangan idola mereka.
Demi Tuhan, aku jadi merinding saat teringat seruan mereka di tribun musim lalu. Terlalu banyak kalimat seksual yang diucapkan secara terang-terangan, tanpa rasa malu.
"Well, simpel saja, aku perlu uang untuk hal-hal di luar perkuliahan. Jadi ini adalah pekerjaan sampinganku." Mengedikkan bahu, akhirnya kupilih jawaban general agar mereka mengakhiri percakapan ini dan sebaiknya aku pun harus segera mengganti topik pembicaraan. Seperti acara makan malam keluarga Paul, misalnya?
Paul menepuk bahuku, begitu pula dengan Cecilia yang memelukku selama beberapa detik, sebelum mereka membuka pintu mobil. Aku mengikuti mereka, duduk di kursi belakang karena Cecilia memiliki isu mabuk darat. Namun, belum sempat mendaratkan bokongku pada jok kulit milik Harper--Paul menamai mobil BMW E36 itu sejak pertama kali membelinya di pelelangan--suara klakson terdengar dan mobil jeep berhenti tepat di depan kami.
Lagi-lagi Christopher. Aku ingin memutar mata, tapi kutahan karena rasanya tidak perlu melakukan hal tersebut sebab lelaki itu, menyunggingkan senyum paling mematikan di dunia. Sial! Jantungku!
"Hai, James, sampai ketemu lagi nanti malam," kata Christopher sebelum menjalankan mobilnya lagi, bersamaan dengan keheningan yang tiba-tiba ia ciptakan.
Aku mengekori ke mana mobil itu pergi, hingga benda tersebut tak lagi terlihat kemudian melirik ke arah Cecilia dan Paul. Mereka menatapku, menyunggingkan senyum penuh arti seolah berkata, kubilang apa? Kau harus menyalakan lampu kuning, sebelum memutuskan lampu hijau.
Dan aku buru-buru berkata, sembari masuk ke dalam mobil. "Profesionalisme pekerjaan, kurasa. Kami memang sesekali bertemu setiap kali harus membuang sampah."
Lalu mereka sama-sama membentuk huruf "o", tanpa berkomentar apa-apa lagi. Meskipun ekspresi mereka tidak sesederhana itu. Persetan.
Paul pun menjalankan mobil, selagi Cecilia menyalakan tape tua yang hanya bisa memutar album Keep the Faith milik Bon Jovi. Nyaris dua tahun, menumpang pada Harper rupanya membuat kami secara tidak langsung menghapal seluruh lagu dalam album tersebut.
○●○●○●
Sebenarnya, aku bersumpah tidak akan menggunakan tabungan hasil jerih payahku untuk berfoya-foya. Selama menjadi penulis freelance di situs daring, sekiranya hanya sepuluh persen dari gajiku yang digunakan untuk sekadar nongkrong--itu pun tidak setiap minggu--bersama Paul dan Cecilia.
Akan tetapi, sumpah tersebut rupanya harus diertimbangkan kembali. Terutama ketika aku baru saja menjatuhkan bokong ke kursi meja belajar dan ingin membuka kotak rahasia--berwarna biru dengan hiasan pita emas di atasnya--berisi koleksi pribadiku--yang artinya tidak jauh dari seorang Christopher Lee--ponselku tiba-tiba saja berbunyi, mendengarkan dering notification tiada henti dari grup angkatan kampus.
Shit! Apa-apaan?! Para gadis seketika menggila.
Ruang obrolan mendadak ramai, balon chat mengalir deras sejak diumumkan bahwa Christopher dinobatkan sebagai salah satu lelaki pembawa keranjang. Dalam artian dia akan dilelang untuk berkencan seharian dengan gadis yang memenangkannya. Baiklah, itu tidak penting karena sejak awal tidak pernah tertarik mengikutinya. Namun, jariku seketika berhenti bergerak, saat salah seorang gadis memberitahu ada hadiah ekslusif berupa foto-foto seksi Christopher buat si pemenang pelelangan dan--itu foto hasil jepretanku!
Kedua mataku terbelalak sedetik setelah melihat satu foto sampel yang dikirimkan gadis itu. Dengan tergesa-gesa, aku melangkah menuju lemari pakaian, mengambil toples bekas biskuit di rak terbawah, lalu membukanya di atas tempat tidur. Gulungan-gulungan uang lima puluh dan seratus Dollar pun tampak menggiurkan setiap kali aku membukanya. Oh, uang hasil kerja kerasku yang terancam.
Aku meneguk saliva, menatapnya, mengabaikan bunyi ponsel yang masih tidak berhenti, lalu menoleh ke arah jendela yang menghadap kamar Christopher.
"Sialan, apa kau sedang mempraktikkan teori kapitalisme, heh?" gumamku menahan geram yang ditujukan kepada Christopher, meskipun lelaki itu jelas tidak mendengarnya. "Menjadikanku sebagai kaum buruh yang tertindas? Fuck! Yang benar saja?!"
Beranjak dari tempat tidur, aku pun memutuskan untuk segera turun ke bawah. Setengah berlari menuruni tangga, membuatku nyaris terjatuh, menciptakan suara yang cukup berisik hingga mom mencegatku dengan masih mengenakan celemek dan menggenggam rolling pin. Tangan mom penuh tepung, begitu pula di beberapa bagian wajahnya.
"Kau baru saja sampai dan ingin pergi lagi?" Ada nada menuntut dalam pertanyaannya, ketika kami berhadapan di depan tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua rumah kami. "Kalau senggang, sebaiknya kau membantuku di dapur karena malam ini kita akan kedatangan keluarga Lee."
Perhatianku beralih. "Keluarga Lee?"
"Ya, acara makan malam bersama. Sudah cukup lama tidak melakukannya, sejak natal dua tahun yang lalu," kata mom, "kita harus menjaga hubungan dengan sesama tetangga."
"Tapi--"
"Sudah hampir selesai. Kau hanya membantuku sebentar sampai adonannya benar-benar menjadi spagetthi."
Oh, sialan! Aku ingin memutar mata, tapi urung dilakukan karena itu mom. Aku mendesah pelan, sebelum bertanya, "Kau sudah mengundang mereka?"
Mom menggeleng. Nice. "Hanya melalui obrolan singkat, saat tidak sengaja bertemu Nancy di pasar swalayan."
"Kalau begitu kita perlu mengundangnya secara resmi. Apa kita memiliki sesuatu yang bisa dibawa sekarang?" tanyaku sambil melongok ke arah dapur. "Aku secara sukarela akan mengundang mereka secara resmi. Sekarang." Kutegaskan kata sekarang, agar mom meyakini bahwa keputusanku merupakan ide cemerlang.
"Kita punya sekeranjang jeruk hasil tanaman dad."
"Tidak masalah, aku akan mengambil sekaligus mengantarkannya." Aku melangkah melintasi mom, bergegas menuju dapur dan segera meraih keranjang berukuran sedang berisi jeruk di meja makan. "Jangan khawatir, aku akan secepatnya kembali padamu." Kucium pipi kiri mom, sebelum pergi menuju rumah keluarga Lee, sambil melambaikan tangan.
Aku melangkah lebar--terkesan terburu-buru--menuju rumah Christopher, padahal jarak yang kutempuh sebenarnya kurang lebih hanyalah sepuluh meter. Menekan bel beberapa kali, aku bahkan menunggu dengan tidak sabar sampai kaki kananku terus bergerak--gelisah--berharap Christopher-lah yang membuka pintu, hingga aku tidak perlu repot untuk menanyakan keberadaannya.
Lima detik.
Enam detik.
Dan nyaris lima belas detik.
Masih tidak ada seorang pun yang membukakan pintu untukku. Tapi aku adalah tipikal manusia pantang menyerah, sehingga aku menekan bel sekali lagi sambil berteriak 'permisi' dan menunggu.
Seketika aku merasa seperti tarzan yang sedang berteriak di tengah hutan.
Rumah Christopher jauh lebih besar dari milikku, meski sama-sama memiliki dua lantai dengan pagar rendah yang memperlihatkan pekarangan. Mereka memiliki kolam renang pribadi dan halaman penuh bunga, sedangkan rumah kami sekelilingnya hanya dipenuhi oleh tanaman buah dan sayur milik dad. Jadi bisa disimpulkan bahwa pekerjaan serta hobi orang tua akan menentukan bagaimana kediamanmu terlihat.
Tapi bagaimana pun rumah itu tetap menjadi tempat ternyamanku karena jika pasokan makanan instan di toserba menjadi langka, maka selama masih bisa memasak maka mustahil aku akan kelaparan. Dan aku sayang dad, dia memiliki keterampilan yang tidak semua orang miliki.
"Oh, Heather?" Dan pintu akhirnya terbuka, memperlihatkan lelaki tengah bertelanjang dada, dan hanya mengenakan celana olah raga pendek. Rambut hitamnya lembap, begitu pula dengan kulit putih susu penuh keringat yang menandakan dirinya baru saja selesai berolah raga.
And again, he looks amazing. Aku menatap perut yang memiliki pahatan luar biasa itu, juga dada bidangnya, dan otot lengannya, lalu ke bagian bahu kokohnya dan--
"What's up?"
Sial, sial, sial! Bagaimana bisa aku jadi teralihkan oleh hal-hal seperti itu?! Aku mengerjap beberapa kali, diam-diam merutuki diri sendiri sambil mengarahkan keranjang jeruk ke arah Christopher. "Untukmu dan keluargamu," kataku ketus, demi menyembunyikan rasa malu karena sempat terpesona. "Terima kasih atas rotinya dan sesuai amanah ibuku, kalian diundang untuk makan malam di rumahku."
Christopher menerima bingkisan tersebut dengan wajah yang merona. Oh, aku tahu sekali bahwa dia sangat suka jeruk. "Thanks, Heather, but--"
Tapi ucapan Christopher terputus, setelah sedetik bingkisan tersebut berpindah tangan dan aku baru saja melayangkan satu tamparan keras di wajahnya.
Aku menempelkan ujung jari telunjukku di dadanya, mengabaikan aliran panas yang menjalar ke seluruh tubuhku karena aku segera berkata tegas, "And sorry, itu juga untukmu."
"What?" Christopher tampak kebingungan. "Why?" Tapi aku tidak peduli. Dia pasti hanya pura-pura bodoh.
"Akan kudapatkan milikku kembali dan tidak akan kubiarkan kau memberikannya pada gadis lain," kataku penuh ketegasan dan amarah. Bahkan secara naluriah, aku berjinjit akan menghantamkan keningku ke keninganya. Namun, gagal karena aku melupakan masalah tinggi badan yang pada akhirnya keningku menghantam dagunya dan itu sungguh menyakitkan!
Aku berusaha menahan rasa sakitnya. Sekuat tenaga tidak mengusapnya atau apapun itu.
"Menyebalkan! Intinya, kau tidak boleh bertindak sesuka hati, Christopher Lee!" Lalu aku pergi, setelah berusaha mendorong Christopher.
Mengabaikan panggilannya.
Kembali ke rumah dalam keadaan menggebu-gebu, bersiap terlibat dalam pertarungan di keesokan hari.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro