Chapter 002 - Christopher's Two Offers
Bagaimana awalnya aku menyukai Christopher Lee?
Sudah lama sekali. Bahkan aku ragu seseorang akan mengingatnya karena orang-orang begitu cepat melupakan peristiwa. Apalagi jika itu tidaklah penting karena dilewatkan bersama orang yang juga sama tidak pentingnya.
Jadi aku dan Christopher adalah tetangga sejak kami mungkin baru saja dilahirkan ke dunia. Sebenarnya dia adalah teman mainku--setidaknya--sampai kami berada di tahun terakhir Junior High School. Saat itu ulang tahun Jacob dan ditengah-tengah pestanya kami memainkan permainan rolling the bottle. Itu konyol dan sebenarnya cukup menantang karena hanya ada dua pilihan setiap kali bibir botol menghadap ke arahmu. Jujur atau tantangan.
Aku selalu memilih tantangan karena tidak ingin orang lain mengetahui rahasiaku. Sedangkan Christopher beberapa kali memutuskan untuk jujur, meski kurasa dia tidak melakukannya seratus persen. Seperti ketika dia menjawab tidak pernah meninggalkan Michigan, padahal kenyataannya aku menyaksikan dirinya beberapa kali pergi ke Seoul saat musim liburan natal. Keluargaku selalu mendapatkan oleh-oleh, jadi bagaimana aku tidak mengetahuinya?
Tapi aku diam saja ketika tahu dia berbohong. Lagi pula itu urusannya, bukan urusanku.
"Oh, c'mon, apa kau akan memilih tantangan lagi, Heather?" Jacob mendecak kesal, tapi menyunggingkan senyum lebar saat bibir botol kembali menghadap ke arahku. "Kau sungguh tidak asyik."
Aku mengedikkan bahu. Kulirik teman-teman yang lain, sedang menatapku dengan tatapan aneh.
Aneh dalam artian, seperti sedang menyusun rencana jahat secara telepati tanpa melibatkanku karena aku adalah incaran mereka.
"Aku lebih suka tantangan, daripada harus berkata jujur yang kalian sendiri tidak tahu apakah aku akan benar-benar jujur atau tidak," jawabku sambil melipat kedua kaki, memeluknya hingga daguku mampu menempel pada lutut.
"Baiklah." Marsha mengambil alih botol yang menghadap ke arahku. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sembari terkikik pelan. "Tantangannya adalah kau harus berciuman dengan siapa botol ini menghadap."
"Ewh, bagaimana jika perempuan?" Grace berjengit.
"Itu akan lebih keren," jawab Marsha lalu mulai memutar botol dan ....
... jantungku berdebar kuat.
Aku tidak pernah berciuman.
Tidak sekali pun.
Bahkan membayangkannya saja belum pernah.
Apa aku akan terlihat payah jika melakukannya nanti? Apa mereka akan mengejekku jika tahu aku masih benar-benar perawan? Apa mereka pernah melakukannya dan hanya aku yang belum?
Terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan hingga membuat kepalaku terasa akan pecah. Lebih parahnya ketika gerakan botol sialan itu mulai melambat dan ....
... berhenti tepat di hadapan Christopher.
Aku menatapnya khawatir. Lalu melirik ke arah Grace. Kami semua tahu, gadis itu naksir berat dengan Christopher.
"Apa aku bisa mengganti pilihannya menjadi jujur saja?" Aku menggigit bibir. Sesaat melirik ke arah Grace kemudian ke arah Christopher, sambil diam-diam mengendalikan detak jantungku sendiri.
Tapi Christopher mengedikkan bahunya, sambil tersenyum lebar seolah tanpa beban. "Tidak ada yang bisa melawan takdir dan tidak ada yang mampu menipu botol. Kau yang memilih tantangan lalu kenapa sekarang ingin kabur?"
Kedua alisku mengerut. Dia tidak tahu bahwa aku mengkhawatirkan reaksi Grace. Tapi tidak ada pilihan lain. Aku berlutut, menghampiri Christopher, meletakkan kedua tanganku di bahunya lalu mencium bibirnya dengan sangat cepat.
Benar-benar cepat, tapi terasa sangat lama hingga aku seperti akan mati akibat tersengat aliran listrik bertegangan tinggi.
Aku gugup. Kuharap wajahku tidak memperlihatkannya, tetapi bahasa tubuhku tidak bisa berbohong. Keringat dingin membanjiri kening, seiring jantung berdetak amat kencang, hingga membuat paru-paru kesulitan bekerja, dan aliran darah pun bekerja seribu kali lipat lebih keras.
Tanpa melihat cermin, aku bisa merasakan pipiku memerah. Ini ciuman pertamaku. Dilakukan bersama lelaki tampan dan pada akhirnya menjadi lelaki yang kusukai.
Meski singkat, tapi ciuman itu menjadi ciuman terpanas dalam hidupku.
Dan sebenarnya, aku ingin menyatakan perasaanku di keesokan harinya. Namun, sayang, itu adalah terakhir kali kami bertegur sapa.
Grace sepertinya tidak membiarkan semua ini berjalan lebih mudah karena kudengar, mereka pada akhirnya berpacaran.
"Hai, kau sudah sadar, Heather?"
Kedua mataku menyipit, setelah menoleh ke arah suara yang familier. Gadis berambut hitam legam berdiri di sisiku, sambil menggenggam minyak aroma terapi untuk melegakan pernapasan. Cecilia Ahern. Ibu tirinya berasal dari Indonesia membuat dirinya jadi memiliki beberapa benda yang tidak familier, tetapi juga bermanfaat di saat-saat tertentu.
"Apa yang terjadi?" tanyaku serak, selagi mengedarkan pandangan. Mencari tahu di mana keberadaanku sekarang.
"Kau pingsan."
"Oh, ok." Aku mengangguk kemudian kembali memejamkan mata.
"Hanya ok?" Dia membuka tutup botol minyak hangat tersebut kemudian mengusapkannya di kedua pelipisku. "Kenneth baru saja membuat masalah, tapi harus kuakui kau keren waktu--"
Melawannya.
"Apa?!" Kedua mataku terbelalak, setelah akal sehat kembali sempurna seratus persen, dan gerakan refleks membuatku bergegas bangkit. Duduk di atas tempat tidur, mencari dengan panik di mana barang-barangku berada. "Tasku?"
"Paul sedang membersihkan dan memperbaiki bagian yang rusak," jawab Cecilia, "sementara kau pakai tote bag ini saja dulu." Dia menunjuk ke arah nakas, di mana sebuah tote bag berbahan kanvas tergeletak di sana.
Notebook dan buku-buku kuliahku terlihat sedikit di bagian ujungnya karena ukuran tote bag yang tidak sesuai dengan isinya. Aku bernapas lega, tapi tidak lama kemudian dewi batinku berguman--kau kehilangan buku catatanmu, Heather!
"Kau baik-baik saja?" Cecilia bertanya setelah aku buru-buru meraih tote bag tersebut dan membongkar isinya. "Apa ada yang tertinggal?"
Mustahil untuk mengatakannya. Tidak ada yang tahu tentang buku catatan itu, termasuk dua sahabatku.
Berpikirlah lebih cepat, Bodoh! Otakku berusaha mengendalikan keadaan. Bagaimana caranya mengusir Cecilia, tanpa membuatnya bertanya dan bagaimana cara kabur untuk mendapatkan buku catatan itu. Bisa jadi masalah kalau berakhir di tangan yang tidak tepat. Dewi batinku turut berkomentar.
"Sepertinya gula darahku turun drastis." Akhirnya aku beralasan. "Beberapa minggu terakhir melakukan diet gula karena wajahku membengkak." Aku memang tidak terlalu cocok dengan gula. "Tapi bisakah kau membawakan sesuatu yang manis untukku, Darl? Pandanganku seperti berkunang-kunang." Kuharap kau langsung menjawab ya, tanpa menambahkan kalimat lain Cecilia.
Gadis itu mengangguk lalu meletakkan tangannya di keningku, seolah-olah aku sedang demam. "Baiklah. Jangan pergi ke mana pun. Aku akan membawakan beberapa hal yang bisa kau makan kemudian menemui Professor Hilton untuk meminta ijin, bahwa kau perlu istirahat lebih di ruang perawatan."
"Tidak usah. Kita ada kuis."
"Hanya kau. Aku tidak ikut. Kau bisa menjaga dirimu sendiri di sini, 'kan?"
Oh, tentu saja. Aku perlu waktu sendirian untuk mengamati keadaan. "Aku hanya perlu makan lalu tidur."
Cecilia mengangguk. "Baiklah. Tunggu sebentar."
Lalu setelah memberikan ciuman singkat di keningku, Cecilia pun pergi dan saat itu pula barulah aku menyadari ada secarik kertas di bawah botol minuman isotonik yang di letakkan di atas nakas paling sudut. Segelnya sudah terbuka, membuatku berspekulasi bahwa mungkin Cecilia menyadari keberadaannya. Namun, menganggapnya sebagai sampah biasa.
Aku meraih kertas tersebut, membacanya dengan teliti, beberapa kali seperti merapal mantra.
Dan demi Tuhan! Aku ingin melompat dari tempat tidur ini. Menari hula-hula untuk menggambarkan kesenangan sesaat. Bagaimana tidak, yang menjadi tetanggaku sejak lahir--sudah jelas--hanya Christopher Lee lalu dia meninggalkan surat singkat dengan tulisan tangan yang tidak berubah banyak.
Oh, aku merasa seolah akan dihampiri nasib baik, tapi--tunggu! Apa yang dia lakukan kepada Kenneth? Dan apa pula yang diinginkannya dariku? Bukankah kita--
"Sudah sadar, rupanya."
Suara itu! Aku menoleh, sambil secepat kilat menyimpan kertas tersebut di saku celana, saat Christopher merapatkan tirai bilik.
"Kau mau apa?" tanyaku dengan suara tercekat. "Aku harus segera pergi."
Jantungku berdetak tak keruan, selagi alarm dalam tubuhku senantiasa memberi peringatan hati-hati.
Sebelah alis Christopher terangkat. Dia duduk di satu-satunya kursi di samping tempat tidurku lalu meletakkan beberapa bungkus roti di atas nakas. Namun, menyisakan satu di tangannya untuk ia koyak bungkusnya.
Aku melirik bungkusan tersebut dan perutku berbunyi samar. Well, aku sadar belum menyantap apapun sejak pagi.
"Makan, selagi kita membicarakan kegilaan yang kau lakukan barusan," ujar Christopher, sembari memberikan roti daging yang telah dibuka bungkusnya kepadaku.
Suasana canggung secara luar biasa mengelilingi kami. Aku bahkan gemetar ketika menerima roti tersebut. Bukan karena gugup layaknya gadis yang sedang jatuh cinta dihadapkan dengan dambaan hati, tapi lebih ke arah karena--sekarang--aku merasa seperti seorang tersangka kejahatan, di ruang interogasi.
Bisa saja ada sesuatu di dalamnya. Aku menatap roti tersebut lalu ke arah Christopher. Beberapa kali mengulanginya, selama kurang dari semenit. Seperti obat bius yang membuatku berkata jujur tanpa sadar atau apalah itu.
"Tidak ada apapun di sana," kata Christopher, "aku tidak segila dirimu, Stalker."
Oh my God. Aku mengulangnya sebanyak tiga atau lima kali karena Christopher, menegaskan kata stalker dalam kalimatnya.
Aku mengangguk samar lalu menggigit kecil bagian terujung roti yang entah bagaimana terasa amat hambar. Di waktu bersamaan, Christopher melipat kedua tangannya di dada, bersandar pada sandaran kursi, hingga otot-otot di lengannya pun menjadi tampak sangat seksi. Ugh!
Andai tidak terjebak dalam situasi sialan ini, pemandangan menakjubkan itu pasti sudah terperangkap dalam kameraku.
"Halo, apa kau mendengarkanku, Heather?"
Aku mengerjap. Tersadar bahwa aku baru saja larut dalam pikiran tak senonoh. "Sorry, w-what?" Dan sungguh? Aku gagap.
Christopher mengembuskan napas panjang. "Aku tidak tahu apa harus merasa senang, marah, atau bersikap biasa saja."
"O-ok." Aku menelan potongan roti lembek di dalam mulutku. "Maaf."
Sebelah alis Christopher terangkat, tetapi hanya beberapa detik. "Really, Heather? Hanya itu yang bisa kau lakukan?" Dia menatapku intens, seperti apa yang kutuliskan dalam cerita-ceritaku.
Rasanya mengintimidasi. Jadi aku hanya bisa mematung.
"Baiklah, setidaknya kau harus tahu," kata Christopher, "Terima kasih karena telah menampilkan sisi ter-seksi-ku dalam foto-foto sialanmu itu, kau photographer handal. Tapi aku juga khawatir kalau kau ternyata memiliki foto telanjangku atau ... mungkin penisku."
What the fuck!
"Moving on." Dia tersenyum miring, hingga matanya menyipit--bagian favoritku--tapi tidak berefek apapun akibat tuduhan terakhirnya. "Aku hanya bercanda, tetapi juga menduga-duga."
"No way," jawabku cepat. "Aku bisa dipenjara jika melakukannya."
Akan tetapi, dia menggeleng. "Siapa yang tahu. Kita melihat pada bukti yang ada dan hal itu membuatku berspekulasi, bahwa kau bisa saja melakukannya. Terlebih, kita adalah tetangga. Tidak mungkin kau melupakan fakta tersebut."
Sial! Tenggorokanku mengering. Salah sendiri, kau tidak menutup tirai kamarmu! Membuatku mudah sekali mengintip aktivitasmu, hingga aku berteriak seperti orang gila.
"S-so?" Aku ragu mengatakannya.
Dia mengedikkan bahu. "Kenneth sangat buruk dalam hal menyimpan rahasia. Aku sudah memaksanya untuk diam dan membiarkanku yang menyelesaikan hal ini, tapi cepat atau lambat dia akan membocorkannya yang tentu akan memberikan pengaruh buruk padamu."
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Sebenarnya tidak terlalu peduli tentang Kenneth, lebih peduli pada reaksi dan pandangan Christopher padaku.
"Jadi apa kau sudah memiliki rencana untuk menghadapi masalah ini? Karena kau tahu, tindakanmu termasuk pelanggaran privasi. Meski bukan hanya kamu yang diam-diam mengambil fotoku, tapi kau mengambilnya dalam sisi yang--kau tahu maksudku, bukan?" Dia memiringkan kepala ke arah kanan, selagi mengedikkan bahu.
"Kau ... tidak menuntutku atau apalah itu, eh?" Sungguh lebih melegakan kalau Christopher marah dan meluapkannya di hadapanku sekarang, daripada berakting seolah-olah ini adalah hal normal. "Aku berharap kau--meledak-ledak."
Tertawa pelan, Christopher menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangan kanan. "Well, sebenarnya aku tidak peduli. Namun, aku juga penasaran bagaimana kau akan menjaga reputasimu, jika itu menyangkut mempertahankan beasiswamu karena kau tahu mereka juga memerhatikan para atlet."
Oh, kau benar. Mengapa aku melupakannya? "Aku ... belum memikirkannya." Mungkin aku harus mencari pekerjaan tambahan, serta memasang topeng baja jika hal buruk benar-benar terjadi.
Aku melihat Christopher mengembuskan napas panjang. Meski samar, terlihat setitik kekecewaan di wajahnya. Memang dia mengharapkan apa dariku? Jika ia berharap aku akan membela diriku sendiri seperti para pejuang wanita pada tokoh fiksi ilmiah, maka itu tidak akan terjadi. Bisa dibilang, aku tipikal perempuan pengikut takdir, tetapi berharap lebih. Menyedihkan!
"Sayang sekali," kata Christopher lalu bangkit dari duduknya. "Kupikir kau tipe pejuang karena ...."
Its a big no!
Kedua alisku terangkat. Karena apa? Batinku mendesak kelanjutan dari ucapan Christopher.
"Ada sesuatu yang kuketahui, tapi mungkin tidak diketahui Kenneth."
Catatan pribadiku! Aku berjengit, nyaris menerjang ke arah Christopher. "Kau memiliki catatan pribadiku?!"
Seringai tajam tergambar jelas di wajahnya. "What do you think?"
"Damn it! Kembalikan."
"Kau memerintahku, heh?"
"Itu milikku. Kau tidak memiliki wewenang!"
Christopher terkekeh, saat aku mencengkram kerah bajunya. Dia bahkan tidak berusaha melepaskan diri. "Kau merasa ditelanjangi? Karena aku memiliki catatan pribadimu?"
Tentu saja! "Kau tidak perlu menanyakannya. Hanya ... kembalikan sekarang dan--"
"Aku juga merasakannya saat membaca sebagian tulisanmu."
"Apa?!" Cengkramanku lantas melemah, tergantikan dengan hawa panas di seluruh wajahku. "Jangan katakan ...." Aku menggeleng samar. Benar-benar seperti ditelanjangi di depan umum.
Namun, Christopher mengangguk. "Kau berlebihan. Penisku tidak sebesar yang kau pikirkan, hanya tujuh centimeter," katanya sambil tersenyum lebar yang membuatku semakin merah padam.
Mustahil. Dia jelas berbohong.
"Tidak kusangka kau mesum sekali," bisiknya tepat di telingaku, hingga secara naluriah membuatku bergegas menjauh darinya. "Jadi ... apa yang akan kau lakukan sekarang? Aku telah memegang kartu as-nya dan agak tidak nyaman karena tulisan erotismu tentangku."
OMG, OMG, OMG. Tenggorokanku seketika mengering, saliva pun jadi sekeras batu ketika melintasinya. Otakku seketika berhenti bekerja, tetapi lidahku justru berkata, "Kau mau apa?"
Yang membuat Christopher tersenyum semakin lebar, sampai-sampai tampak berlebihan. "Ada dua pilihan," katanya, selagi berdiri dengan suara dalam nan berat yang membuat jantung siapa saja berdebar, akibat intimidasi. "Satu, rahasiamu diketahui seisi kampus atau dua, kau bersedia menjadi pelayanku dan memanggilku dengan sebutan Tuan Muda Lee."
Ini bukan lagi zaman perbudakan.
Tapi, apa?! Tuan Muda Lee? Oh, siapa saja tolong bunuh aku sekarang!
"Mak-maksudmu, melayani dalam hal ... seks?" Seriously, Heather?! Kau sudah gila karena mengatakan hal itu!
"Huh?" Christopher menahan tawa lalu menunduk agar wajahnya sejajar denganku. "Sayangnya, kau bukan tipeku. So ... pikirkan saja. Batas waktumu sampai nanti malam. Kau tahu bagaimana cara menghubungiku."
Mengedipkan sebelah mata, Christopher kemudian menepuk-nepuk pucuk kepalaku dan pergi meninggalkanku, tepat ketika Cecilia menemuiku selagi bertanya, "Oh, hai, apa aku menganggu kalian?"
***
Hi, wdyt about this chapter? Please gimmie ur comment ya ^^ thx
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro