Bonus - Christopher Lee
Tidak masuk akal.
Berbulan-bulan berlalu setelah kebenaran pada akhirnya terungkap. Kebenaran yang ternyata dilakukan oleh penggemar fanatik (jika sebutan itu terdengar lebih sopan, daripada penguntit gila)--Rosemary Hilda--yang membawa kami dalam keadaan berbahaya.
Heather nyaris terbunuh. Bahkan setelah aku nekad mengambil risiko dengan masuk ke lubang buaya. Memudahkan Rosemary untuk menculikku, rupanya tidak seratus persen berjalan sesuai harapanku karena pelaku kejahatan, selalu bertindak lebih pintar.
Rosemary membiusku, membuatku kehilangan kesadaran hingga tidak tahu apapun yang dialami Heather.
Aku hanya tahu dari Mr. James yang mana dia bilang, Rosemary hampir menancapkan sebilah pisau di tubuh Heather, tetapi gagal karena ia sempat menembakkan timah panas tepat di lengan gadis itu.
Aku mensyukuri hal tersebut. Rencana gila itu, tidak terlalu buruk meski aku gagal melakukan aksi heroik untuk mengesankan Heather. Membuat Heather memaafkanku. Melihat bahwa aku memang benar-benar memiliki perasaan padanya dan video sialan itu, terjadi sebelum perasaan itu kembali muncul.
Jadi aku menyukai Heather sejak permainan rolling the bottle di pesta ulang tahun Jacob. Terdengar memalukan, karena ciuman singkat yang diberikan Heather telah berhasil menggetarkan hatiku.
Akan tetapi, itu tidak berakhir baik karena sehari sebelum aku menyatakan perasaan, Grace hadir dengan membawa informasi bahwa Heather membenciku. Membenci ciuman tersebut karena aku menggunakan kawat gigi yang katanya membuat mulutku beraroma tidak sedap.
"Dia benar-benar muntah sepanjang hari karena baginya mulutmu beraroma seperti tempat pembuangan akhir."
Sungguh, perkataan Grace saat itu membuatku terluka. Bahkan berdampak pada hubunganku dengan Heather yang mana untuk bertegur sapa dengan Heather saja telah menjadi sesuatu paling mengerikan.
Akan tetapi, di waktu bersamaan hal aneh juga terjadi karena Grace, tiba-tiba saja mengajakku berkencan.
"Kau tampan, kau keren, kenapa aku harus tidak suka? Kawat gigi hanya bersifat sementara dan aroma busuk yang dikatakan Heather, jelas hanya bualan saja. Dia tidak menyukaimu karena dia aneh. Sepertinya, hidungnya bermasalah hingga tidak bisa membedakan mana aroma tempat pembuangan akhir dan mana aroma segar dari pasta gigi."
Lalu tanpa pikir panjang, aku menerima kencan Grace yang ternyata membuat hubunganku dengan Heather semakin menjauh. Kami benar-benar seperti tidak saling kenal, bahkan hal tersebut berlangsung sampai menginjak bangku kuliah.
Dan kesempatan untuk dekat dengan Heather, akhirnya kembali terbuka. Yaitu saat Big D menantangku menaklukkan Heather karena dia adalah perawan satu-satunya di kampus.
Aku tahu ini merupakan hal buruk karena jika Heather mengetahuinya, ia pasti akan berkali-kali lipat membenciku. Namun, aku tetap menerima tantangan tersebut selain karena lebih baik Heather jatuh ke dalam pelukanku, daripada pelukan lelaki brengsek lainnya, aku juga telah memiliki sesuatu yang disebut popularitas.
Menjadi anggota band dan atlet rugby telah mengubah hidupku. Dari menjadi seorang pecundang, akhirnya menjadi sosok yang memiliki banyak penggemar.
Termasuk Heather James.
Jujur saja, jantungku berdetak terlampau kencang saat tahu bahwa dia membidik fotoku (yang jelas menampilkan sisi maskulinku) secara diam-diam dan buku catatan pribadinya yang dipenuhi fantasi liarnya terhadapku.
Awalnya hal itu membebaniku, tetapi juga menggelikan karena khayalannya tentangku pada kisah-kisah erotis yang dia tulis di situs daring terkesan berlebihan dan tidak masuk akal. Maksudku, mustahil ada lelaki yang bisa melakukan seks berulang kali selama seharian penuh! Hal itu hanya bisa terjadi jika ia menggunakan semacam obat kuat atau sejenisnya.
"Ma-maksudmu, melayani dalam hal ... seks?"
Itu adalah apa yang dikatakan Heather di ruang kesehatan, setelah kuberitahu bahwa aku memiliki kelemahannya. Ini adalah obrolan pertama kami, setelah sekian lama dan dia jelas terlihat gugup karena khawatir rahasianya akan terbongkar, serta reputasi sebagai mahasiswa teladan akan tercoreng. Namun, aku juga tidak menyangka bahwa ia akan mengungkapkan pikiran kotornya secara terang-terangan.
Dia lucu. Itulah yang terlintas dipikiranku, meski secara lisan kukatakan bahwa ia bukanlah tipeku dan wajahnya memerah.
"Aku menyukaimu."
Demi Tuhan, ini adalah pernyataan cinta pertamaku, setelah sebelumnya hanya aku yang menerima pernyataan cinta. Aku mengungkapkannya ketika Heather bersedia makan malam di rumahku.
Rencana berbalut jebakan karena makan malam hanyalah kedok. Aku ingin Heather menginap di rumahku, aku ingin ia tidur di tempat tidurku, sehingga aku bisa memperlihatkan fotonya di hadapan Big D sebagai pengakuan bahwa aku telah menidurinya. Tidak benar-benar menduri Heather, tetapi terlihat seperti telah melakukan hal tersebut sehingga aku bisa mengakhiri permainan konyol tersebut dan demi menghargai perasaan Heather, aku berencana menolak uang taruhan mereka di hadapannya.
Yeah, setidaknya begitulah yang kurencanakan.
Akan tetapi, gadis itu--Rosemary Hilda--mengacaukan segala rencanaku. Dia memecahkan jendela kaca rumahku, dia akhirnya berani bertatap muka denganku, meski firasatku mengatakan bahwa kehadirannya bukan sekadar untuk mengacau.
Karena diam-diam, aku tidak sengaja melihat ponsel Heather dan sebuah nomor asing mengirimkannya pesan berisi kalimat ancaman.
Yang kuyakin, semua berasal dari Rosemary karena setelah itu kamarku dibobol. Beberapa barang milikku hilang, serta buku catatan pribadi Heather berpindah dari tempat persembunyiannya.
Lalu teror terus terjadi. Tanpa henti, tanpa memiliki jeda, sampai kecelakaan di tengah-tengah zebracross menimpaku. Aku tahu bahwa pelakunya adalah Rosemary--gadis itu menceritakan semuanya padaku di saat diriku nyaris kehilangan kesadaran--dan dia menyalahkan Heather karena yang seharusnya ia celakai adalah Heather, bukan aku.
"Jalang itu seharusnya mati. Dia menghalangi cinta kita! Aku telah menghancurkannya. Menghancurkan sampai titik terendah!"
Itulah yang dikatakan Rosemary sebelum kesadaranku benar-benar menghilang, serta sebelum ia nyaris membunuh Heather dengan sebilah pisau dan Mr. James yang berhasil menyelamatkan kami.
Ketegangan yang mengancam nyawa ini pun berakhir dan di saat kupikir, aku bisa memperbaiki hubungan kami, Heather malah meminta sebuah perpisahan.
"Kita putus saja."
Itu adalah kalimat yang paling tidak ingin kudengar. Otakku seketika seolah berhenti berpikir, jantung berhenti berdetak, dan aku sempat melupakan bagaimana cara untuk bernapas. Seolah roh telah meninggalkan raga, aku telah kehilangan arah hanya karena Heather mengatakan hal demikian.
"Ini adalah jalan terbaik untuk kita. Sejak awal hubungan ini dimulai dengan alasan yang tidak benar, aku tidak ingin ada penyesalan."
Dia bahkan memperjelas alasannya untuk berpisah. Hal yang sekali lagi menusukku karena semua itu benar. Aku mengawali hubungan ini karena tantangan Big D, tetapi bagaimana jika perasaan tersebut justru kembali lagi dan berubah menjadi nyata?
Aku ingin menjelaskan seluruhnya kepada Heather, mengatakan bahwa pada akhirnya aku kembali mencintainya, tetapi ....
Tidak berhasil. Berapa kali kucoba untuk menjelaskannya, Heather tetap keras kepala. Ia tetap menginginkan perpisahan, meski sorot matanya jelas memperlihatkan keengganan.
Saat itu dia juga berkata, "Lebih baik berteman saja, sambil memperbaiki apa yang telah kita rusak. Bukan hanya kau, tapi sejak awal aku juga memiliki kesalahan karena berambisi untuk menjadikanmu lelaki pertama."
Well, aku memang menganggapnya sebagai kesempatan kedua.
Kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah rusak, sehingga aku mencurahkan segala hal demi membujuk Heather.
Aku mengunjungi Heather setiap hari, selama masa perawatannya di rumah sakit. Senantiasa membawakannya makan siang buatan ibuku untuk kami santap bersama, meski suasana yang ia ciptakan adalah kecanggungan mutlak. Entah apa yang membuat dia seperti itu, tetapi aku tetap berusaha mencairkan suasana tanpa membicarakan hal sensitif tersebut.
Sampai dia keluar dari rumah sakit, aku menyusul beberapa hari setelahnya. Dan kudapatkan kabar bahwa Heather telah meninggalkan Michigan, menuju Indianapolis. Lebih parah lagi, dia tidak memberitahuku bahkan sekadar salam perpisahan sekali pun dan ....
... dia juga telah mengganti nomor teleponnya.
Menyedihkan. Itu yang terbesit dalam benakku.
Terlebih hanya sederet alamat rumah Nenek Heather yang berhasil kudapatkan dari Davis. Meski lelaki itu memberikannya dengan setengah hati, bahkan setelah dia melemparkan sejuta makian karena telah menyakiti adiknya, aku tidak peduli. Bagiku kesalahan adalah masa lalu dan yang harus dilakukan sekarang adalah memperbaikinya.
Jadi selama berbulan-bulan tanpa Heather, kuputuskan untuk mengirimi Heather surat berisi segala hal yang terjadi di sini selama ia tidak ada, bagaimana dengan putusan hukum yang diterima Rosemary Hilda, dan bagaimana selama ini aku merindukannya. Beberapa paket berisi hadiah-hadiah yang kubuat sendiri dengan mempelajari mereka melalui Youtube juga kukirimkan untuk Heather.
Akan tetapi, na'as, tidak ada satu pun yang dibalas atau kuterima. Rupanya hanya aku yang berusaha memperbaiki, sedangkan Heather--mungkin--hanya membual dengan menggunakan label berteman saja dulu, sambil memperbaiki hubungan kita.
Aku harus berhenti. Sudah saatnya untuk sadar diri dengan menerima keadaan.
"Kau tidak memeriksa kotak surat itu lagi, Christopher?" Ibuku bertanya setelah aku baru saja selesai bersiap untuk menghadiri malam perkumpulan di rumah Big D.
Aku melihat arloji di pergelangan tangan, sekarang jam satu siang, cukup terlambat untuk melakukan rutinitas tersebut. Namun, ibuku tahu biasanya aku akan memeriksa kotak surat setidaknya sehari dua kali. Seperti mengonsumsi obat hingga tak jarang orang tuaku turut melakukan hal tersebut sekadar untuk membantu.
Dan mereka akan tampak menyesal, setiap kali harus memberitahuku bahwa tidak ada satu pun yang berasal dari Indiapolis.
Tidak masalah. Ini akan menjadi bulan kedua belas di keesokan harinya dan kembali lagi, aku juga sudah berniat untuk berhenti.
Berhenti mengirim surat, kartu ucapan, dan paket hadiah.
"Kurasa tidak." Aku menjawab pertanyaan ibuku dengan senyum tipis lalu mengambil segelas air mineral, dan meminumnya hingga tandas dalam beberapa tegukan. "Sudah terlalu lama untuk berharap."
"Maafkan aku. Aku turut sedih karena harus mengetahuinya." Ibuku menatapku miris lalu mengusap punggungku dan memberikan kue cokelat yang baru saja keluar dari oven. "Dan aku juga tahu ini terdengar kekanakan, tetapi cokelat mampu memperbaiki mood."
"Thanks, tapi aku lebih suka pai jeruk."
"Ini malam natal. Pai jeruk tidak terlalu cocok."
Aku mengedikkan bahu. Tetap berusaha untuk bersikap se-normal mungkin, di saat lubang kekecewaan masih menganga lebar di dalam sana. "Yeah, nuansa natal sudah sangat terasa sejak bulan November awal."
"Apa kau akan pulang cepat, Son?" Suara ayahku terdengar, dari depan pintu kolam renang. Ia membawa beberapa kardus berisi pernak-pernik natal yang sepertinya akan diletakkan di area dekat kolam renang. "Aku memerlukan sedikit tenagamu untuk mengerjakan dekorasi di ruangan terbuka."
Sebelah alisku terangkat. Tidak seperti biasanya, mereka bersama di hari-hari penting. "Apa kalian akan bercerai?" Dan dengan sangat lancar, pertanyaan itu keluar dari mulutku.
Yang tentu saja, sebuah pukulan mendarat di punggungku. Ibuku melotot, tetapi aku memberikannya tatapan heran. "Why?" Aku memang tidak mengerti karena ini memang sungguh aneh.
Mereka biasanya memiliki acara masing-masing, hingga aku menjadi terbiasa melewatkan hari perayaan seorang diri sampai menganggapnya tak jauh berbeda dengan hari biasa.
"Jaga mulutmu, Idiot," hardik ayah dan ibuku bersamaan.
Bahkan mereka pun seketika menjadi cukup kompak.
"Kami sedang berusaha menghiburmu."
"Lagi pula apa salahnya merayakan perayaan natal bersama keluarga. Aku sudah mempersiapkan hari ini, bahkan sejak bulan Oktober," sahut ayahku, menimpali perkataan ibu.
"Wow." Kedua alisku terangkat. "Mengejutkan. Perlu diapresiasi." Kedua sudut bibirku nyaris terangkat. Namun, kutahan karena tidak ingin memperlihatkan kebahagiaan ini. "Tapi aku harus segera pergi. Jangan khawatir, aku tidak akan merusak rasa antusias kalian dan akan pulang lebih cepat," kataku dan akhirnya tersenyum juga.
Aku meraih beberapa keping kue cokelat dan kue jahe, kemudian mencium pipi ibuku serta mengangkat tangan saat berpapasan dengan ayahku, sambil berkata, "See you guys."
Dan mereka membalas, menggunakan jawaban tidak biasa dengan mengatakan; hati-hati di jalan dan semoga hariku menyenangkan. Ha-ha. Senyumku semakin lebar karena itu terdengar sangat menggelikan.
"Cepat masuk, Brengsek! Kita tidak punya banyak waktu menunggumu berdandan." Davis membuka pintu mobilnya, setelah melihatku keluar dari rumah.
Jeff dan Kenneth berada di kursi belakang. Mereka menurunkan kaca mobil, melambai ke arahku, lalu berseru agar aku melangkah lebih cepat.
... atau kalau bisa berlari saja.
Aku menuruti keinginan mereka. Berlari kecil, meski sebenarnya masih memerlukan sedikit penyesuaian dan ketika melewati kotak surat di halaman rumah kami, kucoba untuk bersikap abai. Bahkan tidak juga sekadar melirik ke arahnya.
Aku masuk ke dalam mobil Davis, duduk di kursi samping kemudi dan ia mendengus tak senang hati.
"Jangan besar kepala," kata Davis, sambil menginjak pedal gas dan mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. "Mereka yang membuatku duduk di sampingmu dan aku terpaksa membiarkan kalian menumpang denganku, demi menghemat waktu saat mencari tempat parkir."
Aku tidak menyahut perkataan Davis. Memilih untuk diam karena kami semua tahu, Davis adalah satu dari tiga orang terdekat Heather yang masih membenciku, selaulin Paul dan Cecilia.
Sungguh, aku juga tidak memaksa mereka untuk kembali menyukaiku.
Di sisi lain, Kenneth dan Jeff adalah pihak yang netral. Katanya demi keberlangsungan band mereka tidak akan memihak siapa pun, apalagi kami telah berhasil menembus dapur rekaman, serta menjadi salah satu band pemula yang akan tampil di panggung bersama The Beatles tahun depan.
"Aku akan pulang lebih cepat. Jadi kau tidak perlu repot mengantarku." Kuraih ponsel di dalam saku hooddie yang pernah dikenakan Heather. Aroma gadis itu masih tercium di hidungku atau mungkin hanya di benakku saja. "Dan sebelum pergi ke rumah Big D, bisakah kau berhenti sebentar di kantor pos? Aku ingin mengirim sesuatu?"
Davis tidak langsung menjawab. Kenneth dan Jeff yang dari tadi ribut sendiri dengan pembicaraan tentang pertandingan tinju pun turut terdiam, sehingga keheningan begitu terasa jika tidak ada suara Drake yang terdengar samar dari mesin mp3.
Aku menyadari keheningan aneh tersebut dan menatap ke arah Jeff serta Kenneth. Mereka mengedikkan bahu, tetapi sempat melirik ke arah Davis.
Davis tersenyum asimetris lalu menambahkan kecepatan mobilnya. Bahkan tiba-tiba berkendara seperti orang teler. Membuat kedua tanganku terkepal karena cukup muak dengan sikap kekanakan tersebut. Namun, ketika baru saja ingin kulayangkan satu tinjuan di wajahnya, mobil seketika terhenti.
Dia menghentikannya secara mendadak hingga kami semua tersentak ke depan, lalu mengumpat, dan--
"Kau mau mengirimkan apa lagi?!" tanyanya ketus ketika kami tiba di depan gedung USPS. Ia memiringkan tubuhnya agar bisa menatapku langsung, sambil tetap memegang kemudi. "Heather tidak akan pernah membalasnya, mau sebanyak apapun kau mengirimkannya. Dia telah melupakanmu dan semua kiriman-kirimanmu hanya akan memenuhi tong sampah nenekku."
Bisa kurasakan dua pasang mata di belakang tengah memelototi kami. Namun, aku tidak peduli dan tidak juga terpancing oleh perkataan Davis. Selama ini, dia memang selalu seperti itu. Berusaha memprovokasiku agar aku bersedia meninju wajahnya.
"Yeah, aku tahu"--ini akan menjadi kiriman yang terakhir--"tapi hanya itu yang bisa kulakukan agar Heather tidak melupakanku"--pada akhirnya, mereka akan kembali ke pemilik aslinya--"persetan, jika kirimanku hanya akan memenuhi tong sampah nenekmu, karena para petugas pembuangan akhir selalu tahu bagaimana caranya mendaur ulang"--dan jika itu benar, mustahil, Heather akan membuang miliknya yang selama ini masih bersamaku.
"Terserah apa katamu." Davis menghela napas. "Kau hanya membuang waktu." Ia membuka dashboard mobil di hadapanku kemudian meraih sebuah amplop berwarna cokelat dan mengarahkannya padaku. "Untukmu. Sepertinya petugas pos tidak bisa membedakan mana rumahku dan rumahmu."
Aku meraih benda tersebut, membaca alamat serta nama penerima yang terlampir di bagian depan amplop tersebut dan, benar, namaku tertera di sana, lengkap dengan alamat rumahku lalu ....
... kedua mataku terbuka lebar.
Tangan sedikit gemetar.
Seperti sebuah beban berat berhasil lolos dari pundakku.
Senyum tulus terlukis di wajahku.
Aku mengenali tulisan tangan yang tertera pada selembar kertas tersebut.
Tulisan tangan yang berjajar rapi, berupa huruf kecil dan ramping.
Tulisan tangan yang selalu kulihat setiap hari, hingga tak sulit untuk mengenalinya.
Ini bukan surat.
Hanya kartu ucapan edisi natal yang di bagian belakangnya bertuliskan tiga angka spesial.
143.
Tiga angka itu menjadi salah satu judul lagu pada album mini band kami, yang liriknya kubuat sendiri, yang lirik serta rekaman amatirnya sempat kukirimkan kepada Heather sebulan lalu.
Heather tidak mengabaikan kiriman-kirimanku. Ia hanya tidak membalas, tetapi tetap menerimanya sehingga aku--
"Telepon dia," kata Davis, sambil menyerahkan ponselnya padaku, "sekarang, sebelum aku berubah pikiran."
Dan aku mengambil ponsel Davis, menempelkan benda tersebut di telingaku, lalu ketika suara Heather terdengar di seberang sana ....
... jantungku seolah berhenti berdetak dan aku langsung berkata, "Aku merindukanmu."
***
LITERALLY FINISHED
Ola! Akhirnya benar-benar tamat dan semoga chapter spesial ini ada gunanya untuk melengkapi kekurangan pada chapter sebelum-sebelumnya.
Dan juga semoga kalian suka sama cerita ini, begitu pula dengan akhirnya.
Fakta sederhana saat penggarapan cerita ini:
1. Sebenarnya bergenre erotis romantis, tapi rupanya tidak bisa kumasukkan adegan seks karena menurutku akan terkesan aneh.
2. Kehadiran Rosemary sungguh diluar outline dan rencana awal yang sebenarnya hanya memiliki konflik seputar cinta segitiga.
3. Awalnya, aku ingin membuat Kenneth diam-diam suka Heather, tapi enggak jadi karena Rosemary saja sudah cukup meninggalkan trauma batin untuk Heather.
Terima kasih sudah membaca hingga akhir.
Sekarang, bolehlah kalian meluangkan waktu sebentar untuk menjawab beberapa pertanyaan. (Ps. Tolong dijawab ya biar diriku senang)
1. Alasan kalian buat buka cerita ini?
2. Kesan pertama kalian waktu baca lima bab awal?
3. Kesan dan pesan kalian dengan cerita ini?
4. Momen apa yang kalian suka dan tidak suka dari cerita ini?
5. Beritahu aku kekurangan dan kelebihan cerita ini?
6. Beri skor 0 sampai 10 untuk cerita ini?
7. Apa kalian mau baca ceritaku selanjutnya?
Sekian dan terima kasih banyak ^^
Next story yang akan kutulis dalam waktu dekat
Blurb :
Memiliki adik seperti Hyunjin adalah malapetaka bagi Seungmin. Bagaimana tidak, semenjak menginjak usia pubertas yang dihadapi hanyalah perbandingan antara dirinya dan Hyunjin. Sampai di tahun terakhir masa SMA, demi menghindari label Pecundang Seungmin Grant, ia juga masih harus berjuang yaitu mendapatkan teman kencan sungguhan untuk diajak ke pesta prom night.
Dan aplikasi kencan buatan Felix, terdengar tidak buruk di telinga Seungmin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro