Bab Sepuluh
Galih
Pagi ini aku bangun dengan perut yang sudah kembali normal. Hanya badanku yang masih lemas karena terlalu sering buang air. Aku melirik jam yang tergantung di dinding, sudah pukul delapan lewat, dia pasti sudah berangkat tanpa membangunkanku. Aku bangkit dari tidurku, keluar kamar dan mencium aroma rempah-rempah dari arah dapur.
Tanpa kuduga, dia ada di sana dengan setelan rumahan. Joger pants krem yang dipadukan dengan kaus oblong longgar dengan tulisan 'im yours' di dadanya. Dia melihatku dan langsung menghampiriku dengan wajah cemas.
"Udah bangun? Gimana perutnya? Udah enakan?" ucapnya memberondongku dengan pertanyaan.
"Udah mending, cuma masih lemes aja. Lagi ngapain?"
"Oh, bentar!" Dia mengambil cangkir dan menuangkan sesuatu dari panci kecil. Aroma rempahnya begitu kuat menguar bersama asapnya yang mengepul. "Ini wedang jahe, aku searching katanya bisa meredakan sakit perut. Ayo di minum!"
Aku menyeruput minuman yang dia buat perlahan dan terbatuk ketika cairan itu sampai di tenggorokanku.
"Kenapa? Nggak enak, ya?" tanyanya was-was.
"Enak. Berapa banyak jahe yang kamu masukin?"
"Di resepnya sih disuruh satu ruas jari. Tapi aku lebihin biar lebih manjur. Aku masukin hampir setepak tangan deh kalo di satuin," jawabnya polos sambil merentangkan telapak tangannya sendiri.
"Gulanya?"
"Karena nggak ada gula merah jadi aku ganti pake gula putih lima sendok. Abis kan airnya cuma dikit, dua gelas yang direbus sampe nyusut sisa satu gelas."
Aku mengusap wajahku. Pantas saja rasanya begitu pahang, pahit dan pedas. Gula putih lima sendok mana bisa menyeimbangkan rasa dengan jahe setalapak tangan.
"Oiya, lupa." Dia kembali ke depan kompor, mematikan apinya, mengambil mangkuk dan menuangkan isi dari masakan yang baru saja dibuatnya.
"Ini, kayaknya kamu mesti makan bubur dulu, deh. Jadi aku buatin juga." Dia menyodorkan mangkuk bubur ke hadapanku.
Dari aromanya tercium enak, tampilannya pun bagus. Rasanya? Entahlah. Mari kita coba.
"Ehhmm."
"Kenapa? Nggak enak, ya?" tanyanya lagi dengan was-was menunggu reaksiku.
"Enak," ucapku dengan kepala manggut-manggut.
"Masa sih?" Dia merebut sendok yang kupakai untuk menyendokkan bubur buatannya dan melahapnya setelah meniupnya terlebih dahulu.
"Engh ... asin!!" Aku terkekeh melihatnya meneguk air putih karena bubur buatannya. "Katanya enak, asin gitu di bilang enak," ucapnya sambil menarik mangkuk bubur menjauh dariku.
"Eh, mau dibawa kemana?" Aku menarik kembali mangkuk itu.
"Buanglah, beli aja di depan."
"Nggak usah, aku makan aja itu."
"Kan nggak enak."
"Itu kamu yang bikin, mau gimana pun rasanya pasti aku makan. Agak asin sih, tapi masih layak untuk dikonsumsi."
Aku melahap makananku meski asin, sambil sesekali menyeruput wedang jahe buatannya meski rasanya membakar tenggorokan aku tetap menghabiskannya. Ini adalah bentuk perhatiannya padaku dan aku tidak mau menyia-nyiakan usahanya. Aku hargai setiap jerih payah dan kemauannya yang ingin merawatku.
"Nggak kerja?"
Tiba-tiba dia menepuk keningnya sendiri lalu menngambil handphone dan menelepon seseorang. Dia berbicara agak jauh namun aku masih bisa menangkap apa yang dia bicarakan.
"Izin nggak masuk hari ini."
"..."
"Suami saya sakit, Pak. Nggak ada yang jagain di rumah."
"..."
"Sehari aja."
"..."
"Siap, Pak. Makasih."
Dia menutup panggilan teleponnya dan melakukan panggilan lagi.
"Halo, Tar. Kerjaan aku yang kemaren kirim by email, ya!"
"..."
"Ho-oh, izin dulu."
"..."
"Hehehe ... thanks ya."
Dia kembali duduk di hadapanku, menengok ke dalam mangkuk bubur dan menatapku seakan takjub.
"Wah, abis juga," ucapnya pelan.
"Nggak kerja?" ucapku mengulangi pertanyaanku.
"Nggak, orang kamu sakit gitu, mana bisa kerja. Entar aku tinggalin malah makan yang aneh-aneh lagi."
Memangnya makanan juga minuman yang kamu buat ini nggak aneh apa? Jenisnya sih umum tapi rasanya unik. Aku mengulum senyum mendengar jawabannya. Apa dia khawatir padaku?
"Minum obat trus bobo lagi sana," ucapnya sambil meyodorkan obat dan segelas air putih padaku.
"Bobo? Kan baru bangun, masa udah disuruh bobo lagi," ucapku protes.
"Biar cepet sembuh." Aku meminum obat yang dia bawakan. "Udah gih sana bobo!"
"Temenin," ucapku dengan wajah memelas yang dibuat-buat membuatnya mendelikan matanya.
"Ya udah, yuk. Tapi aku sambil ngerjain tugas, ya!"
"Oke, asal jangan pergi kemana-mana."
Setelah mengambil laptop miliknya dia menyusulku ke kamar. Membuka pintu yang tembus langsung ke luar, membiarkan udara masuk. Dia duduk berselonjor sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, lalu focus pada pekerjaannya. Aku berbaring miring menghadapnya, memperhatikan wajah seriusnya dengan jemari yang menari-nari di atas keyboard. Hingga tanpa sadar aku jatuh tertidur kembali.
***
Aku terbangun lagi dengan keringat yang mengucur deras dari seluruh badanku. Dia tidak ada di tempatnya, kemana dia?
Pintu kaca tertutup rapat dan AC pun dimatikan, pantas saja udaranya panas. Aku membuka kausku dan menggantinya dengan yang baru. Lalu keluar hendak mencarinya.
"Grey!" Aku mendengar suaranya memanggil-manggil Grey. Aku melihatnya mengintip kolong buffet sambil terus memanggil nama Grey.
"Kenapa?"
"Grey nggak ada," ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Udah di cari?"
"Daritadi aku nyari tapi tetep nggak ketemu." Air matanya menitik, antara takut juga sedih Grey hilang.
"Sttt..." Aku memeluknya mencoba menenangkan dirinya yang semakin keras menangis. "Jangan nangis. Kita cari sama-sama, ya! Grey pasti masih ada di sini, dia nggak mungkin kemana-mana," ucapku sambil mengusap punggungnya, dan merasakan kepalanya mengangguk. Kami pun segera mencari Grey sekali lagi ke setiap penjuru rumah.
"Kamu cari di dalem, aku di luar, ya. Siapa tahu dia ada di luar." Dia mengangguk dan aku pun bergegas mencari Grey di luar. Semoga Grey ada di sekitar sini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya dia jika Grey tidak ditemukan.
Samar aku mendengar suara mengeong. Aku ikuti arah suara itu yang berasal dari luar halaman. Dan ketemu... dia, Grey terjebak di dalam got dan tidak bisa naik karena got yang lumayan dalam.
"Aduh, gimana ambilnya?" Aku menggaruk kepala botakku. Terpaksalah aku terjun ke dalam got yang bau dan berlumpur hitam. Dan serangan bersin pun di mulai. Sambil menggendong Grey, aku menahan napas berharap bersinku bisa berhenti sekaligus menahan bau yang menyengat dari got. Namun usahaku sia-sia, aku tetap bersin-bersin tidak karuan. Demi dia aku rela begini.
***
Friska
Aku langsung memandikan Grey begitu dia membawa pulang Grey dalam kondisi kotor dan bau. Senangnya bukan main karena dia berhasil menemukannya. Aku tak tahu harus bagaimana jika Grey sampai hilang. Tidak akan ada lagi teman curhat yang akan mendengarkan segala keluh kesahku.
Ketika aku sedang asyik menggosok bulu Grey yang sedang berendam di bath up air hangat sambil duduk di kursi kecil, tiba-tiba dia masuk dan dengan santainya membuka kaus yang dipakainya.
"Eh, mau ngapain?" ucapku panik melihat tubuhnya yang bertelanjang dada.
"Mau mandilah, badan aku juga bau comberan." Dia membuka celananya tepat di sampingku. Aku tidak berani menoleh ke arahnya karena sudah dipastikan dia sudah tidak mengenakan apa-apa sekarang.
"Kayaknya bakalan lebih bersih kalo kamu yang mandiin, deh."
Blush.
Wajahku berubah merah mendengar ucapannya sambil berlalu ke shower yang bersebelahan dengan bath up, hanya berbataskan tirai tipis anti air. Aku menggosok Grey dengan tidak tenang. Mataku beberapa kali mencuri pandang ke arah shower yang menampilkan siluet tubuhnya. Jantungku berdetak kencang dengan air liur yang terus menetes. Menikmati tubuh rampingnya dari belakang yang dengan santainya bersenandung sambil menggosok tubuhnya sendiri.
Nggak! Ini harus dihentikan.
Cepat-cepat aku membereskan Grey, mengandukinya lalu keluar dari kamar mandi sebelum aku kehilangan control. Dia terlalu menggiurkan untuk tidak ditatap.
***
Aku merasakan dia naik ke ranjang. Aku selalu tidur memungunginya dengan wajah tertempel masker. Meski kami sudah tiga bulan tinggal bersama dan dia pun pernah melihat wajahku tanpa make up, tetap saja aku belum berani menampakan wajahku padanya. Selama ini dia tidak pernah complain, tidak pernah menyuruhku untuk berpenampilan sesuai kehendaknya, meski beberapa kali dia bertanya, "Apa nggak risih itu muka di tempelin terus benda-benda begituan?" atau "Nggak kasian sama kulit muka? Dia juga butuh bernapas, loh." Selebihnya dia hanya diam, membiarkanku dengan keinginanku.
"Ehmm." Aku berdeham ingin mengucapkan sesuatu padanya.
"Kirain udah tidur,"ucapnya sambil membetulkan selimut di tubuhnya.
"Ngghh, aku belum bilang makasih karena udah nolongin Grey. Makasih, ya."
"Nggak usah bilang makasih, itu udah jadi tugas aku."
"Tetep aja aku mesti bilang makasih," ucapku dengan perasaan sedikit tidak enak.
Dia mendekat dan menarik tubuhku, memelukku dari belakang dengan tiba-tiba. Aku tidak sempat menghindar dan terperangkap di antara lengannya yang melingkar di pinggangku.
"Aku bilang nggak usah berterima kasih karena semua yang aku lakukan udah jadi tanggung jawabku. Kamu istriku dan udah seharusnya aku nolong kamu meski harus nyemplung ke got, nggak masalah."
"Apa kita nggak akan apa-apa?" gumamku.
"Maksudnya?"
"Maksud aku ... pernikahan kita. Apa nggak apa-apa kalau kita lanjutin dengan keadaan kayak gini?"
"Kamu nyesel nikah sama aku?"
"Nggak, maksudnya ... kita nikah tanpa perasaan apa pun. Kita nggak saling kenal dan tiba-tiba mesti hidup bareng sebagai suami istri. Pernikahan kita nggak seperti pernikahan orang lain yang di dasari oleh cinta."
"Untuk apa cinta kalau kita bisa saling mengerti satu sama lain. Pernikahan kita emang mendadak tanpa proses pengenalan terlebih dahulu, tapi apa itu penting kalau setelah menikah pun kita bisa saling mengenal satu sama lain. Aku udah milih kamu jadi istriku dan aku nggak akan nyesel. Meski tanpa cinta kita bisa membangun rumah tangga kita lebih baik dari mereka yang mendasari pernikahan atas nama cinta yang bisa berubah dan menghilang."
Aku terdiam mendengar perkataannya yang menyiratkan kepedihan saat dia menjabarkan tentang cinta. Mungkin dia punya kisah pedih tentang cinta. Sama sepertiku.
Benarkah?
Semua akan baik-baik saja meski tanpa perasaan apa pun? Meski tanpa cinta?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro