Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Kecanggungan adalah hal pertama kali yang kurasakan ketika mataku membuka di pagi hari itu. Belum terlalu pagi karena sempat kulihat jam yang bahkan belum menunjukkan pukul enam pagi. Tapi bukan karena jam semua kecanggungan itu dimulai, melainkan bagaimana keadaan bangunku yang membuat semua terasa tak benar.

Entah apa warna wajahku ketika hal yang pertama kali kulihat adalah wajah lelap Kiandra di pelukanku. Bagaimana bisa aku melupakan fakta bahwa malam tadi kutarik tubuh mungilnya untuk merekat erat di rengkuhanku? Atau bagaimana bisa aku mengabaikan kenyataan bahwa kutuntun kepalanya agar berbantal lenganku? Dan sekarang aku terkejut dengan semua tindakanku malam itu? Harusnya aku bisa menebak semua ini ketika aku melakukan semua itu padanya malam tadi. Kini aku tak mungkin bisa bertindak seolah tak ada apa-apa yang terjadi di antara aku dan dia.

"Kau sudah bangun?"

Aku hampir saja melonjak kaget ketika tiba-tiba suara Kiandra terdengar di telingaku. Kupalingkan wajahku ke sisi lain dan aku mengangguk. Detik selanjutnya, kurasakan beban yang menghilang dari lenganku seiring dengan tubuhnya yang bangkit bangun.

"Malam tadi...," lirih Kiandra pelan. Dan walaupun pelan tetap saja mampu menarik perhatianku seketika. Ia terlihat merona di bawah tatapanku. "...itu sama indahnya dengan mimpiku."

"Mimpi?" Aku malah bertanya seolah orang bodoh. Tak mungkin ia sedang membicarakan ciumanku malam itu, bukan?

"Malam itu..., aku bermimpi kau menciumku dengan lembut. Selembut malam tadi."

Aku melongo mendengar perkataannya. Dan ia terlihat jengah dengan malu. Matanya terlihat begitu membulat sekarang. Maka aku tak mengatakan apa-apa ketika ia beranjak ke kamar mandi. Seketika telapak tanganku menepuk dahiku. Bagaimana bisa aku melakukan ini semua?

*****

"Kapan saya bisa pulang, Dok?" tanyaku siang itu ketika Dokter datang memeriksa keadaanku. Tentu saja itu pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutku ketika ia tiba di kamarku. Aku sudah tak betah berlama-lama tinggal di rumah sakit. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu hanya dengan menonton, membaca majalah, atau berbicara hal yang tak penting dengan Kiandra. Dan itu semua membuatku bosan.

Dokter itu tersenyum sembari memberikan lembar pemeriksaannya pada perawat di sampingnya. "Sekitar dua hari lagi, Pak. Dan Bapak bisa pulang."

Aku mengangguk muram mendengar perkataannya. Dua hari lagi mungkin akan terasa bagai dua tahun bagiku di sini.

"Kalau kau sudah pulang, kurasa kau harus memperhatikan kebiasaanmu itu, Rick." Kiandra berkata tepat ketika Dokter dan perawat meninggalkan kamarku. Ia terdengar menghela napas panjang. "Kau harus memikirkan kesehatanmu."

"Kau tak perlu mempedulikan soal kesehatanku."

Lagi-lagi kudengar Kiandra menghela napas. Mungkin saat ia ia sedang bingung dengan tingkahku. Ya, wanita mana pun pasti akan bingung. Bagaimana tidak bingung bila ia mendapat ciuman selembut kapas di malam harinya dan ia kembali diperlakukan dengan dingin di siang harinya?

Aku tak menghiraukan Kiandra dan lebih memilih sibuk mencari acara menarik di televisi, hingga kemudian perkataan Kiandra membuat perhatianku teralih seketika.

"Kau tak mungkin bisa menjaga Papamu kalau keadaanmu sendiri seperti ini."

"Apa maksudmu?" tanyaku dengan nada yang jelas-jelas tak suka dengan perkataannya. "Kau jangan sok tahu. Kau tak tahu apa-apa tentangnya."

Kiandra menatapku. "Aku memang tak tahu apa-apa. Yang kutahu hanyalah kabar bahwa Papamu sedang sakit dan Kakek yang merawatnya."

"Ia memisahkan aku dan Papa," ralatku. "Ia tak bermaksud untuk merawatnya."

"Bukan memisahkan. Ia tak percaya kau bisa menjaga Papamu kalau keadaanmu sendiri saja seperti ini."

Dan aku terkesiap mendengar tukasannya itu. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu?

"Setiap hari kau pergi keluar. Terkadang kau tak pulang berhari-hari. Kau habiskan waktumu entah dimana. Dan bagaimana kau bisa menjaga Papamu?"

Aku terdiam. Kurasa karena aku sekarang terbaring di rumah sakit karena alkohol maka Kiandra pasti sudah bisa menerka bahwa tak pulangnya diriku beberapa hari bukan lantaran karena pekerjaan. Tapi, mengapa mendadak aku merasa tak enak?

"Percuma," desisku. "Kalaupun aku di rumah, toh, Papa juga tak akan dikembalikan padaku."

Kiandra menghampiriku. "Apa kau ingin merawat Papamu?"

Aku menatapnya. Apa mungkin bisa? Dan mendadak ada sesuatu yang asing muncul di hatiku.

Ya. Aku berharap.

Aku tak tahu apa pastinya yang dikatakan Kiandra pada Kakek, tapi yang kutahu adalah beberapa hari setelah aku keluar dari rumah sakit Papa sudah berada di rumahku. Ia benar-benar tinggal bersamaku. Bahkan Kiandra sendiri yang mempersiapkan kamar untuk Papa. Ehm, tentu saja, kamar Papa yang semestinya.

Aku hampir tak percaya apa yang dilihat oleh mataku, namun ketika kucubit lenganku maka aku tahu. Semua itu nyata.

"Apa yang kau katakan pada Kakek?"

Kiandra tersenyum saat menyusun beberapa perlengkapan Papa di kamarnya. "Aku hanya mengatakan bahwa kau ingin merawat Papa. Dan ia memperbolehkannya."

"Hanya itu?" tanyaku tak percaya. Kuraih tangannya dan kuajak ia berdiri. Kutatap matanya dan aku bertanya lagi. "Benar-benar hanya itu?"

Ia mengangguk. "Tentu saja. Ia sempat ragu, tapi akhirnya aku berhasil meyakinkannya," jawabnya. "Apa kau senang?"

"Tentu saja!" jawabku cepat. Dan kemudian, tanpa sempat berpikir, kutarik tubuhnya dalam pelukanku. "Terima kasih," lirihku di telinganya. Beberapa detik aku seolah membeku di duniaku sendiri. Apa sekarang aku tengah berterima kasih padanya? Bagaimana bisa?

Tapi, kuenyahkan seketika pikiran itu. Aku hanya terlalu bahagia karena Papa yang kembali pulang. Dan Kiandra tak membalas ucapan terima kasihku melainkan kurasakan kedua tangannya yang menempel di punggungku. Lantas, kurasakan usapannya di sana.

Kuhirup aroma rambut Kiandra yang harum dan pelukan itu semakin mengerat, seolah aku ingin menarik tubuhnya masuk ke dalam tubuhku. Mungkin saat itu pelukanku sedikit menyakitinya, tapi ia tak protes.

Untuk beberapa saat kubiarkan pelukan itu yang menjamah kami berdua hingga kemudian kuurai tubuhnya dan kutatap matanya. Kiandra tersenyum padaku. Dan seketika aku tak tahan melihatnya. Bibir itu diciptakan bukan hanya untuk tersenyum. Ya, sekarang aku tahu itu. Maka aku kembali menyerah padanya. Dan kurenggut senyumnya dalam satu kecupan dalamku. Semua terasa begitu tepat sekarang.

*****

Semenjak Papa tinggal kembali bersamaku, aku yakin aku benar-benar bahagia. Setiap saat aku bisa melihatnya dan bahkan menyentuhnya. Aku pun turut bercengkerama dengannya seraya menikmati sejuk udara sore di pelataran rumah. Tak lupa Kiandra akan menemaniku dan Papa. Walau ia tak mengerti tiap isyarat yang Papa berikan, tapi ia tersenyum. Dan kurasa itu juga membuat Papa menjadi lebih bahagia sekarang. Aku dapat melihat itu dari sinar matanya. Semua terasa begitu sempurna hingga pagi itu kurasa semua tak semulus yang kukira.

Pagi itu ketika Kiandra menyiapkan sarapanku sedang aku duduk di meja makan seraya menyesap teh mintku, kulihat wajahnya yang memucat. Beberapa kali retina mataku menangkap dirinya yang tak sengaja membentur sisi meja atau bahkan salah membawa piring. Kutanya padanya apa ia sedang sakit, namun ia hanya menggeleng.

"Benar?" tanyaku lagi seraya menahan satu tangannya.

Dan ia kembali mengangguk. Maka kulepas tangannya.

Ia kembali ke dapur dan aku mulai menikmati sarapanku. Beberapa suapan nasi goreng itu terasa nikmat sampai dimana telingaku menangkap teriakan dari dapur. Segera saja aku bangkit dan beranjak ke sana.

"Kiandra," desisku melihat Kiandra yang terbaring di lantai. Segera kuhampiri tubuhnya. "Ada apa ini?" tanyaku pada dua orang asisten rumah tanggaku.

"Nyonya tiba-tiba pingsan, Tuan."

Kuangkat tubuh mungil itu dalam gendonganku dan dapat kulihat betapa pucatnya wajahnya. Aku pun segera memerintahkan mereka untuk segera menghubungi dokter keluarga. Mendadak, perasaan cemas menghampiriku.

Selama dokter memeriksa keadaan Kiandra di kamar, maka selama itu pula perasaan khawatir menyerangku. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku, hanya saja aku merasa bahwa aku tak bisa melihatnya seperti itu. Apa ia sakit karena terlalu sibuk mengurus aku dan Papa? Ia sakit karena aku?

Tapi, kemudian kupikir bahwa sebenarnya vonis sakit dokter lebih baik dari pada vonisnya yang satu itu.

Satu kabar yang tak pernah ingin kudengar dikatakan dokter. Kiandra tidak sakit. Ia hanya kelelahan dan semua itu normal. Normal untuk setiap wanita hamil.

Ya. Kiandra hamil.

Dan sekarang aku terpekur dengan posisi dudukku yang melemas di kursi seraya memandang wajahnya yang masih terlelap. Dokter mengatakan bahwa Kiandra akan segera siuman. Tapi, aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Dan memikirkan reaksinya tentang kehamilannya entah mengapa membuat perutku rasanya tak enak. Apa yang akan ia pikirkan tentang kehamilannya? Lain dari itu, bagaimana dengan aku sendiri?

Kuusap wajahku berulang kali demi mengusir rasa frustrasi itu. Aku tak tahu apa tepatnya yang kurasakan. Bayi itu, ia tak seharusnya ada. Ia hanya akan-----

"Enrick...."

Satu lirihan yang memanggil namaku membuat lamunanku buyar seketika. Aku langsung bangkit dan menghampirinya. Kubantu ia agar bisa duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.

"Aku kenapa?" tanyanya seraya merapikan rambutnya yang tampak kusut.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. Sempat terbersit di benakku untuk tak mengatakan berita itu padanya, namun aku sadar. Pada akhirnya Kiandra tetap akan tahu. Janin itu hidup di rahimnya. Cepat atau lambat ia akan menyadarinya.

"Kau pingsan. Kau...," aku meneguk ludahku, semua terasa begitu berat sekarang, "...hamil."

Kedua tangan Kiandra spontan terangkat dan menutup mulutnya sendiri. Kedua matanya membulat sempurna dengan binar......bahagia.

Detik selanjutnya, kurasakan ia yang menghambur memelukku. Aku hanya mematung mendapat reaksinya.

"Kau gugurkan saja, Kian." Dan perkataan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Apa yang kau pikirkan, Enrick?

Kiandra melepas pelukannya. Ia menatapku heran. "Kau bilang apa, Rick?"

"Gugurkan saja."

Astaga! Entah mengapa saat ini aku tak berani untuk menatap matanya.

"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" tanya Kiandra tak percaya. Ia tampak memeluk erat perutnya dengan kedua tangannya. Seolah ia sedang melindungi nyawa di sana dari ancamanku.

Aku tersenyum muram. "Anak itu.." Bagaimana bisa aku mengatakannya pada Kiandra? "Anak itu tak akan bahagia lahir di keluarga ini, Kian."

Kiandra menggeleng.

Aku menyerah.

"Kau lihat bagaimana keluarga ini?" tanyaku hambar. "Kau lihat bagaimana kehidupanku? Kakek dan semua orang di keluarga ini hanya akan membuat bayi itu menderita, Kian. Ia tak akan bahagia."

"Ia hanya tak akan bahagia kalau ia dibuang."

Aku menatap Kiandra dan merenggut kedua lengannya dalam genggaman eratku. "Kau lihat bagaimana kehidupanku? Dan ia juga akan mengalami itu!"

Kiandra terdiam.

"Kau lihat bagaimana Mamaku selingkuh dan memilih meninggalkan keluarga ini? Kau lihat bagaimana Papa yang akhirnya terpukul hingga jatuh sakit seperti ini? Kau lihat bagaimana buruknya kehidupanku?" tanyaku dengan menahan emosi. "Kau tahu berapa kali aku keluar panti rehabilitas? Kau tahu sesering apa kuhabiskan waktuku dengan benda terkutuk itu? Kau tahu kalau aku pernah menghilangkan nyawa orang ketika alkohol membuatku tak sadar? Kau tahu itu?!" Kutatap matanya dengan lekat. "Dan bagaimana mungkin bayi itu bisa hidup bahagia dengan semua ini, Kian?!" Aku menggeleng berulang kali. "Ia tak akan bahagia! Dan aku tak ingin melihatnya menderita! Jadi, kau harus menggugurkannya!"

Mata Kiandra tampak berkaca-kaca. Aku tak tahu apa pastinya yang ia pikirkan hingga membuat air matanya bergulir di pipi mulusnya. Namun, yang kutahu adalah kemudian ia kembali memelukku. Kurasakan deru napas hangatnya di telingaku. Dan lalu ia berkata dengan lirih.

"Ia akan bahagia, Rick. Aku tak mungkin meninggalkanmu. Aku akan selalu bersamamu. Dan kau pasti bisa menjadi ayah yang baik untuknya."

Aku menggeleng. "Aku tak bisa, Kian."

"Kau bisa, Rick." Kiandra melepaskan pelukannya dan kedua tangannya langsung menangkup wajahku. "Kau bisa, Rick."

Dan aku tetap menggeleng. Aku hanya ingin janin itu menghilang. Aku benar-benar tak ingin melihatnya menderita. Namun, kemudian aku menyadari satu hal lainnya. Kiandra sama keras kepalanya denganku. Berkali-kali kukatakan padanya agar menggugurkan kandungannya, maka berkali-kali pula ia menolak permintaanku itu. Bahkan ia dengan sengaja langsung memberi tahu semua orang tentang berita kehamilannya. Tak ayal lagi, sekarang semua orang tahu bahwa ia tengah mengandung. Sekarang bagaimana bisa aku membuatnya menggugurkan kandungannya tanpa diketahui orang-orang? Selain itu, aku tak mungkin melupakan bagaimana raut kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya tatkala ia menceritakan berita kehamilannya pada semua orang. Ia tak akan segan-segan menceritakan betapa ia sangat gembira karena berita itu. Dan melihat itu, entah mengapa aku terkadang merasa bersalah ketika kuingat aku pernah berniat menjauhkannya dari sumber kebahagiaannya.

Sekarang, apakah aku menerima kehamilannya?

Untuk pertanyaan itu aku tetap tak tahu apa jawabannya. Aku benar-benar tak ingin melihat anak itu hidup dengan penderitaan yang sama dengan yang pernah aku rasakan. Tapi, wajah bahagia Kiandra selalu membayang. Tiap malam sebelum tidur kulihat ia yang selalu mengusap perutnya yang masih rata. Ia tersenyum. Dan terkadang aku menangkap momen dimana ia berbicara pada janin di perutnya. Seolah ia sedang berbincang-bincang dengan kehidupan baru di dalam sana. Matanya yang membulat penuh binar mendadak membuat aku tak tahu perasaan apa yang tengah kurasa di dalam dada. Ia tampak begitu sempurna di mataku. Dan kusadari bahwa ia memang tak seharusnya menikah denganku.

*****

"Cerai atau gugurkan."

Dua pilihan itu kukatakan padanya ketika ia bersiap merebahkan tubuhnya di kasur malam itu.

"Kita bercerai atau kau gugurkan janin itu." Aku mengulang perkataanku. Mataku lurus menatap ke depan, sengaja tak melihatnya karena aku takut aku akan mundur kembali.

Seketika Kiandra memutari tempat tidur dan mengambil tempat di dekatku. Tangannya meraih wajahku dan membuatku menatapnya. "Kau bilang apa, Rick?"

"Kau sudah mendengarnya, Kian. Dan itu tak akan berubah."

Ia tersenyum perih. "Bagaimana bisa aku memilih satu di antara kalian?"

Aku menatapnya kosong. "Kau harus bisa."

"Aku tak bisa." Ia menggeleng. "Aku mencintaimu dan anak kita. Dan bagaimana bisa aku memilih antara kalian?"

Aku terdiam.

Matanya mulai berkaca-kaca. "Katakan apa salahku, Rick? Mengapa kau seperti ini padaku? Apa salahku sehingga aku harus memilih satu di antara kalian?"

"Kau tak salah," lirihku berat. "Aku yang salah di sini. Kesalahan pertamaku adalah menikahimu. Kesalahan selanjutnya adalah aku membuatmu mengandung."

Sejenak Kiandra hanya terdiam. "Tak ada yang salah dengan itu."

"Itu hal yang salah, Kian." Aku mendesah berat. "Seperti yang sudah pernah kukatakan padamu. Hidupmu tak akan bahagia denganku. Termasuk kehidupannya kelak."

"Jadi karena itu kau memutuskan hal ini?"

Aku mengangguk.

"Kau kejam, Rick," desis Kiandra.

Aku kembali mengangguk. Aku memang kejam. Semua orang tahu itu. Dan lantas kurasakan pukulan-pukulan di dadaku. Aku bergeming, bahkan ketika tangis mulai mengiringi pukulan itu.

"Kau tak bisa melakukan ini padaku." Kiandra terisak seraya terus menghujani dadaku dengan pukulannya. "Aku tak bisa memilih satu. Aku tak ingin berpisah denganmu. Dan aku tak ingin kehilangan anakku."

Sejenak kupejamkan mataku. Menolak kenyataan di depan mataku yang menampilkan wajah Kiandra yang basah dengan air mata. Atau seandainya bisa, tentu saja telah kututup kedua telingaku. Agar isaknya tak menjamah indera pendengaranku. Tapi, semua tak berguna.

"Aku mencintaimu, Rick."

Dan isakannya makin mengeras hingga kupikir ada sesuatu di dalam sana yang tak menyukai suara tangis itu. Jadi, kurengkuh tubuhnya. Tangisnya teredam di dadaku. Kurasakan hangat air matanya dan tubuhnya yang sesegukan di dalam pelukanku.

"Jangan kau suruh aku untuk memilih dua hal itu, Rick."

Gelengan kepalanya terasa nyata.

"Aku tak bisa," lirihnya lagi. "Itu membuat perasaanku sakit."

Mataku semakin erat terpejam mendengarnya. Aku merasa sangat tak menyukai kata sakit yang ia ucapkan. Lantas, kutenangkan dirinya. Kuusap kepalanya dan kuberi kecupan di sana. Dan lalu, sama seperti kejadian sebelumnya, kata itu meluncur begitu saja.

"Maafkan aku."

*****

Aku merasakan tepukan halus di pipiku. Dan lantas dengan berat hati kubuka kedua mataku. Langsung saja, wajah Kiandra adalah hal pertama yang kulihat. Ia tampak tersenyum walaupun kedua matanya tampak sembab membengkak. Dan kemudian, kuteguk berat ludahku. Aku tertidur dengan membawanya di dalam pelukanku. Bahkan saat itu kedua tanganku seolah saling terkunci di balik punggungnya, membuatnya tak bisa bergerak sama sekali. Wajahku memanas. Jangan bilang wajahku sekarang memerah.

Oh, aku tak mungkin melupakannya. Semalam karena pertengkaran kami, akhirnya aku menenangkannya dalam pelukanku. Kuusap kepalanya dan kubawa ia berbaring. Dan setelah itu kesadaranku menghilang. Ya, kesadaranku menghilang di saat ia berbaring intim denganku.

Dengan menahan perasaan malu, kuurai pelukanku darinya. Ia masih tersenyum saat memutuskan untuk bangkit dari tidurnya. Aku merasa terlalu kaku untuk membalas senyumnya. Atau bahkan terlalu kaku untuk merespon ciumannya yang mendadak jatuh di dahiku. Lantas, ia berlalu.

Hari demi hari berlalu dengan begitu teratur sekarang. Aku tidur di malam hari tepat ketika jam menunjukkan pukul sepuluh dan aku akan terbangun sebelum fajar menyingsing. Aku memang tak melakukan apa-apa. Hanya saja aku jadi tertarik melihat setiap kegiatan Kiandra. Ia bangun pagi. Kemudian, ia akan turun ke bawah dan menuju ke dapur. Dapat kulihat betapa luwes tubuhnya ketika bersinggungan dengan alat-alat dapur itu. Ia akan bertanya sarapan apa yang ingin kumakan dan ia memasaknya. Ia menyajikannya di hadapanku dan menungguku hingga aku selesai menyantapnya.

Dan setelah itu, ia akan bergegas mengajakku menghampiri Papa. Kami membersihkan dan merapikan Papa. Selanjutnya, kutuntun Papa untuk beranjak di beranda samping. Di sana, Kiandra sudah menyiapkan sarapan Papa dan aku menyuapnya. Kami membicarakan beberapa hal. Dan Papa menanggapinya.

Dari semua itu, ada yang membuat aku begitu tak habis pikir. Ketika Kiandra bercerita soal kehamilannya, saat ia mengusap perutnya yang masih rata, maka dapat kulihat tatapan haru Papa. Tatapan bahagia yang terlalu tak bisa kukatakan. Kurasa saat itu Papa tentu sangat ingin bisa menyentuh Kiandra. Dan Kiandra lantas membawa tangan Papa untuk mengusap pipinya.

Semua terasa begitu mengalir dan kurasa aku sedikit mulai menerima kehamilan Kiandra. Hingga di satu siang, Kiandra mengatakan sesuatu padaku.

"Apa?" tanyaku.

Ia tertunduk malu. "Buatkan aku ayunan di pohon itu." Ia menunjuk satu pohon. Dan aku segera ingat, di bawah pohon itulah pertama kali kulihat ia.

"Nanti kusuruh Pak Budi untuk membuatnya."

Ia menggeleng. "Aku mau kau yang membuatnya, Rick."

Aku menganga. Bagaimana bisa ia menyuruhku untuk membuat ayunan?

"Kupikir ini kemauan anak kita." Dan senyum malunya terukir seiring dengan membulatnya kedua matanya.

Setelah membujukku berkali-kali, akhirnya aku pun luluh. Dengan berat hati kusuruh Pak Budi untuk mengumpulkan beberapa perlengkapan untuk membuat ayunan sederhana di bawah pohon sana.

Aku tak pandai dengan pekerjaan seperti itu. Tapi, ketika kulihat binar dan tawa Kiandra maka aku mendadak tersenyum. Jadi, dengan bersusah payah kubuat juga ayunan itu. Bentuknya sedikit memalukan menurutku. Tapi, Kiandra mengatakan bahwa itu adalah ayunan tercantik yang pernah ia lihat. Ia segera duduk di sana ketika semua selesai.

Ia menyandarkan punggungnya di sandaran ayunan. Ya, aku dengan penuh perjuangan membuat ayunan yang menyerupai bentuk kursi. Kupikir tentu akan melelahkan kalau Kiandra harus menjaga punggungnya untuk tetap berdiri selama ia duduk di sana.

Ia tertawa dan memintaku untuk mendorongnya pelan. Dan sekarang itulah yang aku lakukan untuknya. Tawanya semakin pecah dan mau tak mau itu membuat senyumku makin melebar.

Semenjak hari itu Kiandra memiliki kebiasaan baru. Bila aku tak melihatnya maka aku akan segera tahu ia berada dimana. Ia selalu menghabiskan waktunya di ayunan itu. Ada benang dan jarum yang menemaninya di sana. Ia mengatakan akan merajut demi membuat kaos kaki atau topi untuk anak kami. Dan aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Pernah satu hari, kupikir karena cuaca yang sangat panas sedang di bawah pohon itu sangat sejuk, Kiandra jatuh tertidur di sana. Aku hanya bisa mengulum senyum mendapati keadaannya yang seperti itu. Ia tertidur dengan sangat pulas. Tentu saja, angin pasti dengan setia membelai mimpi siangnya. Dan karena aku takut ia sakit karena tertidur di luar, maka kubawa ia dalam gendonganku dengan susah payah. Kandungan Kiandra yang mulai membesar membuatku harus berhati-hati dalam menggendongnya. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Lantas, kubawa ia berbaring di kasur dan kubiarkan ia melanjutkan mimpinya.

Kutatap wajah damainya yang tertidur. Bahkan bisa kulihat wajahnya tampak semakin cerah seiring dengan makin menuanya usia kandungannya. Apa semua wanita terlihat semakin cantik ketika ia sedang hamil?

Aku terkekeh pelan menyadari pertanyaan bodohku itu. Terlepas dari itu, aku cukup tahu diri untuk mengucapkan terima kasih padanya. Ia membawa Papa kembali padaku. Ia membuat Nenekku berbahagia dengan kehamilannya. Dan itu semua sudah terasa cukup bagiku. Aku tak menginginkan hal lainnya. Namun, aku tak munafik ketika ada satu masa dimana aku bertanya pada diriku sendiri. Setelah bayi itu lahir, apakah ia akan tetap berada di sini?

Dan aku kembali terkekeh. Bagaimana bisa aku melupakan kenyataan Kiandra yang tetap berusaha mempertahankan aku dan bayinya?

Seketika, sesuatu membuat aku tergugu.

Ya. Aku meyakini kenyataan bahwa ia tak akan pergi dariku.

*****    

tbc...

20.41 WIB.

Bengkulu, 2017.02.13

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro