Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7

Satu ciuman yang kulakukan di malam itu membuat perasaanku semakin tak mengenak, terutama ketika Kiandra mengatakan betapa indah mimpi yang ia dapat malam itu. Sontak membuat seluruh bagian tubuhku bersiaga dalam keadaan penuh waspada. Akhirnya aku mulai menyadari bahwa sesuatu yang salah telah terjadi padaku. Dan aku tak mau tahu apa itu. Karena aku selalu ingat, terkadang kenyataan bisa hadir dengan begitu menyakitkan.

Untuk satu alasan itulah maka aku kembali memutuskan untuk keluar dari rumah dan menikmati kehidupanku di luar sana. Namun entah mengapa terkadang aku merasa apa yang sudah kulakukan menjadi sangat tidak berguna. Ada kalanya seolah aku sedang melihatnya yang berjalan di keremangan penyinaran temaran dari lampu klub dan lantas setelah beberapa gelengan kuat yang kuhentak pada kepalaku, akhirnya sosok itu menghilang. Saat itu kupikir alkohol sudah terlalu jauh mengambil alih otakku, tapi aku tahu itu hanya alasan agar ketakutanku tidak semakin datang menggerogotiku. Dan karena itu, semakin aku tenggelam dalam asap rokok serta tetesan minuman keras. Kupikir merekalah satu-satunya yang bisa membuat aku untuk kembali waras.

Aku tak tahu sudah botol ke berapa yang aku habiskan malam itu ketika kurasakan gelas terakhir begitu menyiksa. Rasanya kesadaranku seperti sedang ditarik paksa. Dan lantas memang tak ada yang mampu kulakukan. Kubiarkan tubuhku ambruk seketika.

*****

Kepalaku masih menyisakan berat ketika akhirnya kesadaranku perlahan kembali mulai datang. Sinar terang yang berusaha menerobos tebalnya tirai dengan perlahan tapi pasti berhasil menarik kesadaranku untuk kembali ke permukaan. Kupandangi sekelilingku dengan perasaan heran. Bagaimana aku bisa sampai di hotel adalah pertanyaan pertama yang terbersit di benakku.

Aku bangkit duduk dan memberikan kepalaku beberapa kali pukulan tanganku sendiri demi memulihkan kesadaranku sepenuhnya. Kupandang kamar itu sekeliling dan tak ada siapa pun selain aku. Apakah aku datang ke sini seorang diri? Ehm, dan itulah pertanyaan terakhir di benakku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menyegarkan tubuhku dengan guyuran air dingin shower.

Setelah kurasa perutku cukup terisi dengan sarapan yang telah disediakan oleh pihak hotel, aku berencana untuk segera check out.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Aku tersenyum hambar merespon sapaan wanita itu dan mengangguk. "Kamar 506," ucapku sambil menyodorkan card key di tanganku. Dan ia segera menyambutnya. "Kalau boleh saya tahu, pemesanan dan pembayaran atas nama siapa?"

"Sebentar."

Dan aku hanya terdiam sambil melihatnya membuka beberapa buku.

"Atas nama Ibu Sherryl Anastasya, Pak."

Seketika kalimat itu membuat semua bulu kudukku berdiri meremang. Sherryl? Dan tanpa sempat berpikir lagi, mulutku pun mengeluarkan pertanyaan lainnya. "Kapan dia pulang?"

Resepsionis wanita itu memintaku untuk menunggu lagi ketika aku selesai dengan pertanyaanku. Ia bergegas menghampiri seorang rekan kerja prianya yang tampak sibuk di belakangnya. Tak lama kemudian, pria itu menghampiriku. Ia tersenyum ramah.

"Apa dia juga turut menginap?" tanyaku khawatir.

"Tidak, Pak. Tak lama dari mengantar Bapak ke atas Ibu Sherryl langsung pulang. Ibu Sherryl mungkin cuma sekitar setengah jam di kamar sebelum pulang." jawabnya. "Saya ingat benar karena saya juga turut mengantar Bapak ke atas."

Aku mengangguk muram. Untunglah dia langsung pulang. Aku tak habis pikir seandainya ia turut menginap. Aku tak ingin terjadi kesalahpahaman antara aku dan Alex. Dan selain itu, berani sekali dia.

Sembari menahan kesal karena kelancangan Sherryl akhirnya aku pun pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dapat kurasakan perasaanku yang penuh emosi. Aku benar-benar tak ingin berdekatan dengan wanita itu. Seakan sensorku sudah bersiaga dan mengatakan bahwa ia bukanlah wanita yang pantas untuk didekati.

"Kau kelihatan lelah, Rick."

Dan itulah kalimat pertama yang kudengar ketika aku sampai di rumah. Kiandra tampak tergopoh-gopoh mengikuti langkahku ke kamar. Aku hanya menghela napas panjang seraya melepas satu per satu kancing kemejaku dengan sebelah tangan, sedang tangan satu lagi kupakai untuk memijat pelipisku.

"Aku hanya perlu mandi sebentar," kataku.

Kiandra menghampiriku. "Kupikir secangkir teh dan beberapa makanan bisa membantu."

Aku hanya mengangguk. "Terserah padamu." Dan lantas aku segera beranjak ke kamar mandi. Entah apa yang terjadi padaku, namun kepalaku terasa semakin berat dengan tubuh yang terasa begitu lelah. Bahkan aku membutuhkan lebih dari sekali mandi untuk mengusir pusing di kepalaku saat ini.

Beberapa saat kemudian setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku mendapati teh dan makananku telah siap di kamar.

"Kau harus beristirahat, Rick," lanjut Kiandra saat melihatku duduk dan mulai menyesap tehku. "Kau terlihat begitu kacau."

Aku tak menghiraukannya, namun aku tahu dia benar. Lagi pula aku tak peduli aku kacau atau tidak, tapi mendadak aku geli. Apalagi yang membuat aku geli selain tatapan cemas Kiandra?

"Kau tak perlu khawatir seperti itu." Aku berkata seraya meletakkan kembali cangkir tehku yang sudah kosong. Aku bangkit dan merebahkan tubuhku di kasur. "Aku hanya perlu tidur," lanjutku sebelum akhirnya aku memejamkan mataku.

Ketika aku bangun dari tidurku, hal yang pertama kali kurasakan adalah kepalaku yang masih pusing dengan tubuhku yang terasa sangat lemah. Kiandra yang mengetahui hal tersebut langsung terlihat panik.

"Kita harus ke rumah sakit, Rick."

Aku menggeleng dengan senyum geli di bibirku.

"Kau tertawa?" tanya Kiandra tak percaya. "Bagaimana bisa kau tertawa di saat kau sedang seperti ini?"

Aku menatapnya seraya bersedekap. "Bagaimana bisa aku tak tertawa ketika melihat wajah panikmu yang seperti ini?"

Mendapat pertanyaan balik dariku wajah Kiandra sontak langsung bersemu. Matanya membulat dengan binar malu di sana. Dan melihat itu aku langsung saja semakin geli.

Ia tertunduk malu seraya duduk di sisi tempat tidur.

"Ayolah, Rick," lirihnya pelan tanpa melihatku. "Kita ke rumah sakit. Sebentar saja." Ia menghela napas panjang. "Aku hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Mendadak senyumku menghilang.

"Cukup ayahku yang sakit," lanjutnya. "Dan aku tak ingin kau juga."

Maka, hanya disebabkan oleh satu perasaan tak enak akhirnya aku mengiyakan permintaan Kiandra. Dan betapa terkejutnya aku ketika dokter langsung memutuskan agar aku menginap beberapa hari di sana.

"Terlalu banyak alkohol di darah Bapak," terangnya. "Dan itulah yang menyebabkan pusing, badan lemah, dan beberapa keluhan Bapak yang lainnya."

Aku berusaha menolak untuk dirawat inap. Bagaimana bisa seorang Enrick menginap di rumah sakit?

Tapi, lagi-lagi. Mata membulat Kiandra yang tampak berkaca-kaca berhasil membuatku mengalah. Akhirnya dengan berat hati kuterima keputusan itu. Oke, Enrick akan menjadi pasien rumah sakit kali ini.

"Kau harus mengurangi minummu, Rick," kata Kiandra seraya menyiapkan beberapa barang di nakas.

Aku hanya mendehem pelan menaggapi perkataannya. "Berapa hari aku harus menginap di sini?"

"Mungkin sekitar empat hari," jawabnya. "Hanya sampai keadaanmu menjadi lebih baik." Ia menoleh padaku. "Aku akan sering ke sini. Tenanglah, kau tak akan sendirian."

Aku tak akan sendirian katanya?

Aku meringis di dalam hati mendengar perkataannya. Untuk apa aku takut sendirian? Nyatanya bahkan aku tak ingat kapan pertama kali aku sendirian. Itu sudah terjadi terlalu lama hingga aku rasa tak pernah aku menjalani waktu tanpa sendirian. Bahkan kalau boleh jujur, sedikit aneh ketika menyadari bahwa ada orang lain yang berusaha untuk menemaniku. Apa yang ia harapkan dari menghabiskan waktunya denganku?

Aku mencari posisi yang nyaman di atas bantalku. Kulipat sepasang tanganku dan kuletakkan di bawah kepalaku agar posisi kepalaku semakin tinggi di atas bantal.

"Mengapa kau mau menjadi istriku, Kian?"

Dan pertanyaan itu meluncur saja dari mulutku. Ia menatapku bingung, maka dengan senang hati kujelaskan maksud dari pertanyaanku itu.

"Semula kupikir kau menikah denganku dengan maksud menikmati harta Kakek," lanjutku. "Semua orang tahu apa pun akan diberikan oleh Kakek kalau itu menyangkut aku, cucu satu-satunya." Kuhela napas. Tentu saja Kakek tak punya banyak pilihan di sini. Anak semata wayangnya –Papaku- hanya memiliki aku sebagai putranya, yang otomatis menjadikanku cucu satu-satunya yang paling berharga untuk Kakek.

Kiandra tampak terkejut sekilas mendengar perkataanku, namun aku tetap melanjutkan apa yang ada di benakku.

"Tapi, tampaknya bukan itu yang membuatmu ingin menikah denganku. Selama kita bersama tak pernah sekali pun kulihat kau pergi berbelanja. Bahkan aku sedikit merasa bingung dengan penampilanmu. Kau tampak sederhana untuk dikatakan sebagai anak pengusaha." Aku semakin lekat memandangnya. "Jadi, mengapa kau ingin menikah denganku?"

Ia beranjak dan duduk di sisi ranjang perawatanku. "Sudah kubilang, bukan?" tanyanya lembut. Dan aku mengernyit. "Awalnya memang itu hanya tawaran Kakekmu, tapi ketika aku melihatmu aku langsung jatuh cinta padamu."

Mendengar jawaban itu entah mengapa membuat perutku rasanya sedang diaduk-aduk. Apa ia selalu serius dan jujur setiap ia mengatakan ia jatuh cinta padaku?

"Hanya karena sekali pertemuan itu?" tanyaku tak percaya. "Saat itu bahkan kukira aku tak bersikap baik padamu."

Ia tersenyum dan mengangkat bahunya sekilas. "Aneh, ya?" Dan ia tertawa pelan. "Kadang kupikir memang sedikit aneh. Aku ragu, tapi ketika aku melihatmu aku malah langsung jatuh cinta padamu."

Sekarang aku dibuatnya tak mampu berkata apa-apa lagi. "Apa kau memang jatuh cinta semudah itu? Sesederhana itu?"

"Ehm," gumamnya pelan. "Kalau kau mau tahu, ehm, sebenarnya kau pria pertamaku."

Oh, rasanya perutku semakin kacau. Sekarang malah dapat kurasa mataku yang ingin meloncat dari rongganya.

Ia tertawa malu. "Kau tahu seperti apa Kak Andreas? Ehm. Dia akan menghajar siapa saja yang berusaha mendekatiku. Aku mengatakan hal yang sejujurnya. Dia anak bela diri dan dia tahu benar bagaimana memanfaatkan kemampuannya itu."

Dan kali ini aku lagi-lagi salah menilainya.

"Lagi pula, tak heran bila melihatku jatuh cinta padamu. Kau punya banyak alasan untuk membuat wanita jatuh cinta. Dan yang kau bilang benar. Sesederhana itu." Kemudian ia tampak tersenyum dalam padaku hingga membuatku merasa salah karena menanyakan hal itu. "Enrick," lanjutnya lagi, "..bukan cinta namanya kalau hadirnya dapat kau kira."

Aku terdiam mendengar jawabannya. Dan ia juga tampak menjadi kikuk padaku.

"Ehm." Kiandra bangkit dari duduknya. "Aku pulang sebentar untuk mengambil beberapa perlengkapan untukmu. Nanti sore aku akan ke sini lagi."

Aku hanya mengangguk.

"Apa ada yang kau inginkan? Biar nanti kubawa."

Kuhela napas panjang. Kurasa tak ada, namun.... "Bagaimana kalau kau membawa stok tehmu?"

Mata Kiandra membulat. "Teh?"

"Ya," jawabku singkat.

"Tentu saja." Kiandra meraih tasnya. "Kau istirahatlah."

Aku mengangguk. Dan kemudian, sama seperti dengan kejadian yang sudah-sudah, tanpa sempat aku menduga, apalagi mengelak, wajah Kiandra menunduk ke arahku. Detik selanjutnya, kurasakan bibir lembutnya mengecup satu pipiku.

Lantas, ada satu hal yang kubenci ketika akhirnya sosok itu keluar dari kamarku. Entah sejak kapan, akhirnya aku menyadari satu hal hari itu. Ternyata jantungku dapat berdetak dengan sangat cepat.

*****

Menjadi pasien di rumah sakit sedikit banyak membuat aku menyadari beberapa hal. Percayalah, ada hal lain yang lebih menjemukan dari pada sendirian, yaitu tak bisa melakukan apa pun untuk mengusir bosan. Setidaknya walau terkadang aku menghabiskan waktuku seorang diri, namun di luar sana banyak hal menyenangkan yang bisa aku lakukan. Dan aku benar-benar hampir mati menahan kesal ketika akhirnya Kiandra kembali datang. Ia tampak menggoda wajahku yang kuyakin pasti menekuk seribu lipatan kala itu. Aku tak menghiraukannya melainkan lebih tertarik dengan bungkusan yang ia bawa.

Ia merapikan beberapa pakaianku di lemari sebelum akhirnya ia mengeluarkan beberapa makanan yang ia bawa. Tanpa kuminta ia menyediakan beberapa buah untukku. Pertama, ia mencuci beberapa buah tersebut untuk kemudian ia memotongnya. Selanjutnya, aku hanya melongo ketika ia mengulurkan tangannya.

"Oh, Kiandra," kataku mengelak. "Aku tak perlu disuap. Aku bahkan sebenarnya tidak benar-benar dalam keadaan sakit."

Kiandra terkikik pelan. Ia semakin menyodorkan potongan apel merah itu ke mulutnya. Jadi, dengan tampang kesal akhirnya kubuka juga mulutku.

"Tuh, pinter, deh."

Aku mendelik seketika dan ia menahan tawanya dengan tampang lucunya.

Akhirnya, aku benar-benar menjadi pasien karena ulahnya itu. Bahkan untuk makan malam pun ia kembali memaksa untuk menyuapku. Aku sudah berusaha menolak mati-matian, tapi ia bergeming. Atau bahkan bisa kukatakan bahwa ia setengah memohon padaku agar bisa menyuapku makan. Ia juga memastikan aku meminum beberapa pil dan vitamin yang diantarkan oleh seorang perawat malam harinya. Aku menjulurkan lidahku dan ia meletakkan pil dan vitamin itu di sana. Kemudian, ia membantuku untuk meneguk airku.

"Apa kau pernah bercita-cita jadi perawat?" gurauku seraya kembali merebahkan tubuhku.

Kiandra menyelimutiku. "Apakah aku cocok jadi perawat?"

"Kurasa."

Ia tersenyum dan memadamkan lampu. "Kalau begitu, anggap saja aku perawat pribadimu," ujarnya. "Selamat tidur."

Dan aku memejamkan mataku. Aku hanya berharap agar dokter secepatnya dapat memberitahu Kiandra bahwa keadaanku baik-baik saja. Aku benar-benar tidak menyukai kenyataan dimana aku harus bermalam di rumah sakit dengan status sebagai pasien.

Saat kupikir menjadi pasien adalah kenyataan buruk, maka kurasa aku harus memikirkannya kembali. Faktanya, ada hal lain yang lebih buruk dibandingkan menjadi pasien. Yaitu, mendapat kunjungan dari orang yang paling kubenci sedunia. Aku tak tahu ia tahu dari mana kalau aku sekarang berada di rumah sakit. Apa Kiandra yang memberitahunya? Tapi, Kiandra bahkan tak pernah bertemu dengannya. Maka pagi itu yang semula kulalui dengan tentram berubah seketika saat kulihat tubuhnya masuk dan langsung menghampiriku dengan sepaket buah serta bunga.

Aku mendengus dan langsung membuang mukaku.

"Mama dengar kau sakit, Rick."

Aku tak menggubris perkataan itu. Sedang dengan ekor mataku dapat kulihat Kiandra yang mematung dengan tatapan bingung.

"Kau pasti Kiandra."

Sekarang malah kudengar ia bicara dengan Kiandra dan itu langsung menarik perhatianku.

Kulihat Kiandra yang sedang mencium punggung tangan Mama dan ketika Mama akan mencium kedua pipinya, aku bangkit tanpa mempedulikan jarum infus di tanganku dan kutarik Kiandra hingga ia membentur dadaku. Satu tanganku langsung menahannya.

"Enrick.."

Aku tak peduli dengan suara penuh keterkejutan dari Kiandra. Aku hanya memandang lurus ke depan tanpa kedip sekali pun.

"Jangan sentuh Kiandra," desisku dengan penuh penekanan.

Mama tampak tergugu beberapa saat ketika akhirnya kulihat ia kembali dapat menguasai dirinya sendiri. Ia menghembuskan napas panjang seolah ada banyak tekanan di dadanya yang perlu untuk dilepaskan. Tapi, aku tahu. Ia tak pernah punya itu.

"Dia...," lirih Mama sambil mengusap satu tangannya dengan tangannya yang lain, "...menantu Mama."

"Apa kau datang di hari pernikahanku?" tanyaku dengan nada datar. "Jangan menganggap dia menantumu kalau kau saja tak datang di pernikahanku." Aku semakin mencengkeram lengan atas Kiandra ketika kurasa ia berusaha untuk melepaskan tubuhnya dari rengkuhanku. "Dia menantu Kakek. Dan kurasa kau juga sempat lupa kalau kau pernah punya seorang anak."

Kukira pasti aku sudah tak punya hati lagi sekarang. Bahkan ketika kulihat mata Mama mulai tampak berkaca-kaca, aku bergeming. Semua terasa hambar sekarang. Tak ada emosi sedikit pun yang kurasa di dadaku. Ia mungkin bisa menangis dan mengaku menyesal, tapi penyesalan tak pernah mampu mengubah apa pun. Jadi, untuk apa kau menyesal?

"Maafkan Mama, Rick."

Kali ini aku yang menghela napas panjang. "Katakan maafmu seandainya maaf bisa mengubah semua yang sudah terjadi. Dan aku akan dengan senang hati memaafkan semuanya!"

Aku sekarang hanya berharap bahwa seandainya aku menderita amnesia, itu pasti akan jauh lebih baik untukku. Aku sungguh ingin melupakan hari dimana ia menepis tangan kecilku. Atau ketika ia meninggalkanku walau aku merintih dalam tangisku. Dan bahkan ketika ia memilih menghabiskan waktunya dengan pria lain dibandingkan harus mengurusi hidupku. Aku sungguh ingin melupakan itu.

"Kau tak bisa pergi sesuka hatimu dan lantas datang hanya bermodal satu kata maaf." Dadaku semakin naik turun karena emosi yang kurasa mulai menyeruak. "Kau tak mungkin lupa untuk semua yang telah kau lakukan, kan?" Aku tersenyum sinis melihat wajahnya yang sekarang membasah. "Apa kau pernah menangis karena telah meninggalkan kami? Pernah!?"

Mama mengusap air matanya. Namun, semua percuma. Ketika ia mengusapnya maka ia hanya memberi jalan bagi guliran lainnya untuk kembali membasahi pipinya.

"Mama menangisi semua itu, Rick."

Aku berdecak mengejek. Dia masih bisa menyebut dirinya Mama. Wah! Apa ia pantas disebut 'mama' ketika ia bahkan tak menghiraukan kepulanganku ke rumah? Apa ia tak berniat sedikitpun untuk menyambutku? Aku meringis. Aku tahu ia sudah lama tak tinggal di rumah kami, tentu, semenjak ia menikah dengan pria lain. Tapi, apa ia tak merasa masih punya kewajiban terhadapku? Anak tunggalnya? Dan kali ini dia masih menyebut dirinya 'mama'?

"Tak ada hari yang Mama lalui tanpa memikirkanmu, Rick. Mama tak mungkin melupakanmu, anak Mama satu-satunya."

Kulihat ia berusaha mendekat, namun aku menjauh. Dan kubawa serta Kiandra tetap dalam rengkuhanku.

"Kalau kau pernah memikirkanku sekali saja," lirihku dengan nada berat. Yah, aku tahu kau tak pernah memikirkanku, "...setidaknya kau tak mungkin meninggalkanku." Mataku menatap tajam padanya. "Kau ingat? Kau meninggalkanku bahkan di saat aku belum tahu apa itu makna meninggalkan. Aku bahkan masih terlalu kecil." Aku tak mungkin menangis lagi untuk wanita ini, kan? Tapi, tetap saja. Ada perasaan menghangat di kedua mataku. "Kau pergi, kau datang, dan kau pergi lagi. Semua kau lakukan sesuka hati! Dan apa aku bisa percaya saat kau bilang kau memikirkanku?"

Isakan Mama sekarang terlihat nyata ketika semua kalimat itu kukatakan. Aku tak mungkin selamanya menahan sesak itu sendiri. Ia perlu tahu bahwa selamanya aku akan tetap mengingat hal buruk yang ia lakukan padaku.

"Kau datang hanya untuk mempertontonkan keributanmu dengan Papa. Dan ketika aku mendekatimu, kau malah menampikku seolah aku adalah bakteri menjijikkan. Untuk semua kemiripan antara aku dan Papa, kau justru memilih membuangku dari pada menyayangiku." Kueratkan rengkuhanku pada Kiandra. Saat itu aku merasa bahwa ia setidaknya mampu membuatku tetap berdiri.

"Mama tahu itu semua salah. Dan Mama minta maaf, Sayang."

Kupejamkan mataku. Terlalu menyesakkan ketika kata itu terdengar di telingaku.

"Kau tahu bagaimana kehidupan kami. Kau tahu mengapa kami bisa bersama. Tapi, di antara kami tak pernah ada cinta," ujarnya dengan nada terisak. "Mama tak bisa terus menerus menerima perlakuan Papamu. Ia menghabiskan waktu di luar tanpa tahu ada Mama di rumah yang menunggunya. Ia membuat Mama tak punya alasan untuk tetap tinggal."

"Apa aku bukan alasan?" tanyaku perih. "Apa aku tak cukup menjadi alasan untuk membuatmu bertahan?"

Mama terkesiap.

Dan aku bergeming.

"Aku tak cukup untuk menjadi alasanmu, bukan? Apa aku anak yang tak diharapkan untuk lahir?" Aku tertawa perih. Tak ada lagi sakit yang kurasa saat ini. "Kutanya padamu. Untuk terakhir kalinya. Ketika kau lihat betapa rusaknya hidupku, bahkan dimulai saat usiaku masih terlalu muda, apa kau pernah berpikir untuk kembali padaku?" Aku menggeleng. "Bukan kembali pada Papa. Setidaknya, apa pernah terbersit di benakmu untuk kembali padaku?" Kuhembuskan napas panjang. Dan kulihat Mama mengangguk. "Tapi, kau tak pernah datang. Kau bilang kau menunggu Papa dan apa kau tahu kalau aku juga pernah menunggumu? Dan kau tak datang."

Tangis Mama semakin meledak. Dan di satu sisi, aku merasa bahagia karenanya. Seharusnya memang seperti ini. Jangan aku saja yang merasa pedih dengan ini semua.

"Jadi, masa penantianku untukmu sudah berakhir di sini. Kumohon sekarang jangan saling mengusik kehidupan masing-masing. Kau punya keluarga yang kau harapkan. Dan aku...," kuteguk ludahku dengan berat, "...aku punya keluargaku sendiri."

"Enrick..."

"Dan kuingatkan satu hal. Jangan sentuh Kiandra. Jangan kau pikir untuk menularkan penyakitmu padanya."

Dan lantas, entah karena kata-kataku yang sudah terlalu kasar padanya atau justru karena ia sudah terlalu mengerti bahwa semua tak akan berubah, maka seraya menutup mulutnya ia akhirnya berlari meninggalkan kamarku.

Untuk beberapa saat aku masih terdiam di tempatku berdiri. Aku akhirnya kembali mengusir wanita itu untuk yang ke sekian kalinya. Aku berhasil, namun tiap kali semua terjadi kurasa sesuatu yang menganga justru semakin melebar. Aku berhasil mengusirnya, tapi di satu sisi ia juga berhasil membuat lukaku terbuka lagi.

Lamunanku tergugah ketika kurasakan Kiandra meraih tanganku. Baru kusadari saat itu bahwa punggung tanganku meneteskan darahnya ketika jarum infus tercabut paksa dari sana. Dan beberapa tetesannya telah mengotori lantai mengkilap di sana.

"Aku akan memanggil perawat!" Kiandra berkata dengan suara sarat dengan kecemasan. Tapi, aku tak melepas rengkuhanku. "Kau berdarah."

Aku tak menghiraukan kekhawatirannya. Kubawa ia duduk di sisi ranjang dan karena sesuatu yang terasa begitu menyesakkan di dalam dadaku, kubawa tubuhnya ke dalam pelukanku. Kutenggelamkan wajahku yang masih terasa panas ke lekuk lehernya dan kuhirup dalam aroma rambutnya. Kurasakan tepukan lembut berulang kali di punggungku, bergantian dengan usapan di sana. "Semua akan berakhir." Ia berkata dengan lembut seraya terus mengusapku dalam pelukannya. "Rasa sakitnya akan segera pergi. Aku janji."

Sejenak kupejamkan mataku. Dan entah sadar atau tidak, kubawa tubuhnya untuk semakin mengerat dalam pelukanku. Bahkan karena eratnya pelukan itu, dapat kurasakan dan kudengar degup jantung Kiandra. Ataukah itu milikku?

*****

Tengah malam itu, ketika setengah kesadaranku tertarik kembali ke alam nyata setelah disandera beberapa jam oleh obat penenang, sedikit kurasa seseorang yang memperbaiki letak selimutku. Sungguh aku ingin membuka lebar mataku, tapi kelopak mataku tak terlalu bersahabat. Jadi, dengan pasrah kubiarkan retinaku berusaha menangkap wajah itu dari celah kecil yang diberikannya.

Kiandra.

Oh, aku baru ingat bahwa dia memang turut menginap untuk menemaniku di sini. Dan aku tak heran mendapatinya yang tengah menjagaku, sekali pun itu di saat aku tertidur. Terkadang aku merasa tak enak untuk semua kebaikan yang sudah ia lakukan padaku sedang aku terlalu kaku untuk membalas semua itu.

Seluruh saraf di tubuhku seakan menegang tiba-tiba tatkala kurasakan satu tangan Kiandra yang mengusap pelan wajahku. Seakan ia tak ingin ujung jari halusnya itu mengganggu tidurku.

Apa ini hembusan napasnya?

Kurasakan terpaan hangat yang membelai wajahku ketika ia menundukkan wajahnya. Kulihat ia yang sedang menatapku lekat dengan senyum di wajahnya. Dan sekarang, baru kusadari, wanita itu memang cantik.

Beberapa saat ia hanya menatapku, membuatku penasaran apa yang ada di dalam benaknya ketika ia menatapku. Atau, apakah malam kemarin ia juga menghabiskan waktu tengah malamnya dengan mengamati wajah tidurku? Oh, rasanya sekarang aku hampir tak bisa lagi berpura-pura tidur. Mendadak perutku geli dengan kemungkinan itu. Apa yang ia dapatkan dari melihat wajah orang yang tengah tertidur?

Ya, aku memang tak akan bisa tahu apa yang ada di benak Kiandra saat itu. Karena ketika hal itu terjadi justru ada satu pertanyaan lain yang mendadak menyentilku di sudut sana. Mengapa aku memilih diam seolah aku menikmati perlakuannya padaku?

Anggap aku kasar dan kaku untuk semua urusan yang lumrah bagi makhluk sosial lainnya, tapi yang aku herankan adalah mengapa justru di saat itu semua hal tersebut seolah menghilang? Mengapa aku membiarkan ia menyentuh wajahku ketika kuingat dulu aku pernah mengatakan bahwa ia tak akan pernah mampu untuk mengusikku? Jadi, untuk alasan apa aku berusaha setengah mati agar ia tak tahu bahwa saat ini aku sebenarnya sudah terbangun? Apakah aku sudah terlalu begitu penasaran tentang apa yang sebenarnya ia nikmati dari menatap wajahku?

Mungkin semua hanyalah ketakutanku semata. Ketakutanku yang tak kutahu karena apa. Tapi, semua semakin menjelas ketika kurasakan sentuhan tangannya di satu sisi wajahku. Seakan tubuhku sudah mengetahui hal apa yang akan terjadi selanjutnya, ia sontak menegang dengan sendirinya.

Aku tak yakin saat itu Kiandra tak curiga kalau aku hanya berpura-pura tidur dengan kenyataan dimana jantungku yang berdegup semakin tak menentu. Bahkan kurasa gendang telingaku saat itu pun bisa pecah karena besarnya bunyi debarku. Aku ingin mengenyahkan perasaan itu, tapi ketika semua sarafku bersiaga maka aku sudah sedikit mengetahui apa yang sedang terjadi padaku. Terutama ketika tanpa ada niat sedikit pun untuk menghentikannya, kubiarkan ia semakin menunduk ke arahku. Apa ini balasannya untuk malam itu?

Dan satu perasaan itu seketika menyelimuti seluruh sisi tubuhku. Kurasakan bibir lembutnya jatuh di atas milikku. Napas hangatnya begitu terasa di wajahku. Kulihat matanya terpejam seolah ia sedang meresapi momen tersebut. Beberapa saat aku harus berusaha mati-matian agar tidak merusak akting payahku yang sedang tidur. Tapi, semua memang tak semudah itu. Tak pernah mudah ketika ada perasaan yang bermain di sana. Aku tahu itu salah, tapi ternyata saat itu aku tak berdaya.

Kesiap kaget sempat kudengar ketika akhirnya kuputuskan untuk membalas kecupan lembut itu. Kurengkuh tubuhnya agar ia tak pergi dariku dan kutahan tekuknya agar tak menarik bibir lembutnya dari milikku. Dan selanjutnya, semua terjadi sebagaimana alam yang telah memutuskannya. Kupejamkan mataku saat bibirku menuntut haknya terhadap Kiandra. Dan dengan senang hati kulumat kedua belah bibirnya. Semua terasa begitu nyata ketika Kiandra semakin menyambut sentuhanku. Sekarang dapat kurasakan kedua tangannya di pipiku. Maka tak ada alasan lain yang terbersit di benakku untuk tidak meneruskan itu semua. Setidaknya tak ada untuk malam itu. Mungkin di esok pagi aku baru akan menyadari kesalahan yang telah kulakukan. Namun, malam itu telah berkata.

Ya. Aku menyukai saat dimana ia menyentuhku.

*****

tbc...

ini tinggal menyisakan 4 part lagi ya :) :) :)

20.03 WIB.

Bengkulu, 2017.02.12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro