5
Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan. Saat itu aku terbaring bingung setengah terduduk bersandar pada kepala tempat tidur. Tak jauh dariku, sesosok tubuh polos itu memunggungiku dan menutup erat tubuhnya dengan selimut tebal. Dapat kulihat tubuhnya yang bergetar karena sesegukan yang tak dapat ia tahan. Aku tahu ia berusaha menahan tangisnya sedari tadi. Tapi aku juga tahu bahwa air matanya masih mengalir.
Aku tak tahu bagaimana aku bisa mengatakan ini. Aku benar-benar merasa buruk. Aku kembali telah salah menilainya. Dan aku merutuk kebodohanku karena percaya dengan foto yang ditunjukkan Sherryl. Walaupun aku juga tak tahu siapa pria itu, tapi setidaknya malam itu berkat ketololanku aku jadi mengetahui satu hal lain tentang Kiandra. Dia memang benar-benar wanita baik-baik. Dan dia bukan pelacur murahan seperti yang aku katakan padanya tadi. Lebih dari itu, ada hal menyakitkan lainnya yang telah kulakukan padanya. Tak cukup dengan memanggilnya dengan beberapa kata kasar, malam ini aku bahkan telah memperkosanya!
Aku menatap helaian rambut hitamnya yang berantakan di atas bantal. Tanganku bergetar ketika kuulurkan dengan niat untuk sekadar membelainya. Tapi, gerakan kepalanya membuat aku kembali menarik tanganku.
"Aku bukan wanita seperti itu, Enrick," lirihnya pelan.
Spontan kedua mataku memejam erat. Tanganku terkepal. Dan aku bahkan tak tahu harus bagaimana membalas perkataan Kiandra yang terdengar sarat penuh sakit.
Dia memang bukan wanita seperti itu.
Dan belum cukup dengan itu semua, hatiku semakin meringis ketika kulihat noda berwarna merah di atas seprai. Seolah ingin meyakinkanku untuk yang ke sekian kalinya, aku salah menilai Kiandra.
Jadi, karena semua emosi rasanya begitu berkecamuk, maka aku memilih diam dan tak merespon perkataan Kiandra.
Kemudian, kudengar lagi isaknya. "Aku bukan wanita seperti itu, Rick. Aku bukan pelacur."
Perasaanku semakin merasa teriris mendengar kata-kata itu di sela tangisnya. Aku tahu itu, Kian. Dan semua semakin nelangsa ketika tangis itu tak kunjung berhenti.
Aku menyerah.
Akhirnya, dengan menahan napas di dada, kutarik lembut tubuh Kiandra yang masih bergetar. Sempat kurasakan penolakannya, lalu matanya yang membulat karena takut. Dan entah mengapa, itu membuatku makin merasa bersalah.
Kurengkuh tubuhnya penuh kehati-hatian dan kusandarkan kepalanya di dadaku. Bahunya masih bergoncang karena menahan sesegukannya.
Aku berusaha selembut mungkin membelai kepalanya.
"Tidurlah," lirihku pelan padanya. "Maafkan aku."
Dan untuk pertama kalinya, wanita ini mampu membuatku mengucapkan kata terlarang itu.
*****
Keesokan harinya, aku mendapatkan balasan Kiandra akan perbuatanku semalam. Wajahnya tampak mendung dan masih memilih untuk beristirahat di kamar. Aku tak tahu tentang itu. Apakah pengalaman pertamanya yang membuat ia tak bisa meninggalkan kasur atau justru karena saat itu ia sedang marah padaku?
Dan oleh sebab itulah, maka pagi hari itu, untuk pertama kalinya setelah aku menikah, sarapanku disiapkan oleh asisten rumah tangga kami. Aku memintanya membuatkan secangkir teh mint dan yang kudapat secangkir teh pahit. Bagaimana bisa ia tak tahu cara menyeduh teh mint yang benar?
Aku meletakkan cangkir itu dengan kasar di atas meja. Membuat isinya beriak dan tertumpah ke sekeliling. Aku meraih selembar roti dan tanpa mengolesinya dengan selai, aku menyobeknya kasar dan mengunyahnya.
Kulirik jam. Ini bisa dibilang bukan pagi lagi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Dan sedari tadi tak kulihat tanda-tanda bahwa Kiandra akan turun. Apa ia tak lapar?
Setelah memikirkannya berulang kali, akhirnya kuputuskan naik dan menyuruhnya untuk makan. Kalaupun memang ia merasakan lemah pada tubuhnya, maka mogok makan tentu akan memperparah itu semua.
Kiandra masih bersembunyi di balik selimut ketika aku sampai di sana. Matanya membulat takut lagi dan aku berhenti di tengah ruangan, seolah ingin meyakinkannya bahwa aku tak berniat untuk menyakitinya lagi.
"Kau," aku mendehem sejenak ketika kurasakan suaraku terasa begitu berat, "kau tak makan?"
Kiandra menatapku dan lantas ia menggeleng. "Aku tak lapar," lirihnya pelan. "Aku hanya ingin beristirahat, Rick."
Kuhela napas. "Kau harus makan. Setidaknya jangan sampai kau sakit."
"Itu bukan urusanmu."
Aku tersentak ketika mendengar perkataan itu keluar dari mulutnya. Selama ini ia tak pernah berkata seperti itu padaku. Hampir di setiap keadaan ia mencoba untuk tetap berkata lembut padaku. Apakah aku benar-benar telah menyakitinya?
Kedua kakiku melangkah pelan dan menghampirinya. Kuambil tempat di sisi ranjang dan meraih satu tangannya. "Aku minta maaf untuk..," rasanya tenggorokanku begitu serat sekarang, "...yang terjadi semalam. Aku mabuk. Kau tahu itu." Dan sekarang aku berhasil mencari alasan untuk tindakan brutalku semalam.
Aku ingin bertanya, apakah aku benar-benar telah menyakitinya? Namun kurasa aku memang pengecut. Aku tak berani menanyakan itu padanya. Jadi yang kulakukan sekarang hanya mencoba menenangkannya dengan belaianku di kepalanya.
Beberapa saat kemudian, mataku memicing melihat bibirnya yang tampak memucat. Apa dia sakit?
Tidak, pikirku.
Tanganku tak menangkap panas di tubuhnya. Dan untuk itulah aku semakin yakin, wanita ini butuh makan. Ia tak menyadari kalau tubuhnya sudah kekurangan tenaga saat ini.
"Kau harus makan, Kian," kataku kemudian.
Ia kembali menggeleng. "Aku tak lapar, Rick."
"Walau kau tak lapar, tapi tubuhmu tetap membutuhkan makanan." Aku bangkit. "Dan kau tahu kalau aku tak suka dibantah!"
Kiandra sontak menundukkan wajahnya seraya menyingkap selimut yang ia gunakan dari tadi. Di balik selimut itu ternyata Kiandra sudah memakai gaun tidurnya kembali. Aku menyerahkan jubah tidurnya dan ia langsung mengenakannya. Sempat kulihat getar-getar di kedua kakinya. Dan untuk itulah akhirnya aku kembali bertindak di luar nalar dan pikiranku.
Kedua tanganku langsung mengambil posisinya masing-masing. Dan dalam sekejap saja tubuh mungil Kiandra sudah terjatuh dalam gendonganku. Kedua tangannya spontan melingkar di leherku karena terkejut.
Dengan ujung mataku, aku melihatnya. Kiandra menundukkan kepalanya dan ia tak mengatakan apa pun ketika kedua kakiku melangkah membawanya turun ke bawah. Sekilas aku sempat mengisyaratkan pada seorang asisten rumah tangga kami untuk membersihkan serta merapikan semua kekacauan yang terjadi di kamarku. Kurasa mukaku sekarang sudah terlalu tebal. Bahkan aku tak peduli lagi akan jadi seperti apa andai seluruh asisten rumah tangga yang kupunya mulai sibuk membicarakan soal bercak darah di seprai itu. Lagi pula, itu hal biasa, kan? Kami sudah sah menjadi suami istri.
Rahangku mengeras. Dan sekarang aku mengakui hubungan kami berdua?
Perlahan aku mendudukkan Kiandra di meja makan. Ia menarik kedua tangannya dari leherku.
"Apa yang ingin kau makan?" tanyaku tetap berdiri di dekatnya.
Ia terdiam sejenak. "Aku ingin makan roti saja."
Aku menarik kursi dan menyiapkannya selembar roti. Aku tahu, ia hanya tak ingin membuatku repot. Dan oleh karena itu, kupanggil seorang asisten rumah tangga dan memintanya untuk menyiapkan sup telur secepat mungkin, serta tak lupa dengan segelas coklat hangat.
Ia meminum coklatnya perlahan. Tanpa melihat mataku, ia pun memakan rotinya. Sekarang dapat kulihat, ia benar-benar ketakutan karena tingkahku.
Sekitar sepuluh menit kemudian, semangkok sup sudah tersaji di meja. Beberapa potong sayuran berwarna di sana tampak menggoda bersanding dengan kuningnya telur. Lantas, kuraih sendok. Mata Kiandra kembali membulat kaget ketika aku menyodorkannya satu suapan sup itu.
Kulihat ia ingin menolak, tapi aku yakin kilat peringatan di mataku sukses ia terima. Dan akhirnya, ia membiarkanku untuk menyuapnya. Ia makan perlahan dan itu sedikit membuat rasa bersalahku memudar, tapi tidak sampai untuk menghilang.
Ia meneguk segelas air putih ketika semangkok sup sudah berhasil kusuap habis padanya. Ia mengelap mulutnya. Dan kulihat wajahnya tampak lebih bercahaya sekarang.
"Apa kau menginginkan yang lain?" tanyaku.
Ia menggeleng.
Kurasa ia masih marah padaku. Dan aku tak bisa berbuat banyak untuk itu. Aku bukan tipe pria yang diciptakan untuk mampu merayu seorang wanita yang sedang marah.
Untuk beberapa saat kami masih duduk di meja makan dalam diam. Aku memandangnya, sedang ia memandang arah yang berlawanan.
Keheningan di antara kami mungkin akan tetap berlanjut andaikata tak kudengar suara bel yang langsung membuat kedua mata Kiandra membulat. Otakku langsung menyimpulkan kalau yang datang adalah tamunya. Dan benar saja. Seorang asisten rumah tangga kami mengatakan hal itu.
"Nyonya, di luar ada yang mencari."
Wajah mendung Kiandra sontak berubah cerah. Dan itu entah mengapa membuatku tak suka.
Lantas, kutahan tangan Kiandra sebelum ia sempat bangkit dari duduknya. Kuberi ia tatapan tajam milikku. "Kau tunggu di sini. Kalau aku tak menyuruhmu keluar berarti kau tak bisa keluar, Kian."
Aku tak mempedulikan matanya yang membulat heran dan penuh aura kebingungan. Aku beranjak dan berniat mencari tahu siapa adanya yang mencari Kiandra. Dan aku mendapati seorang pria yang duduk di sofa ruang tamu.
Pria itu langsung melemparkan senyumnya tatkala ia menyadari kedatanganku. Ia bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan. Aku menyambutnya sekilas.
Aku tahu pria ini. Pria inilah yang kulihat memeluk mesra Kiandra di foto yang diambil oleh Sherryl kemarin. Betapa beraninya ia datang ke rumahku siang hari begini. Aku meringis, ia pasti mengira aku sedang keluar.
"Kiandra sedang tak enak badan," tukasku tanpa basa-basi.
Ia terlihat terkejut. "Kiandra sakit?"
Aku mengangguk muram.
"Kalau begitu, aku ingin melihat keadaannya. Ia harus dibawa ke dokter."
Dan aku semakin tak suka melihat wajah paniknya. Siapa dia sehingga punya hak untuk memastikan keadaan Kiandra?
"Tak perlu," tukasku lagi. "Ia hanya perlu beristirahat sejenak."
Pria itu menggeleng. "Ini perlu. Dia tak bisa berobat pada dokter lain. Itu tak akan berguna."
Dahiku berkerut. "Mengapa kau terlihat seolah begitu mengkhawatirkannya?" tanyaku lagi. Bagaimana bisa ia mengabaikan statusku sebagai suami Kiandra?
"Oh, maafkan aku," lirihnya tersenyum muram. "Aku belum memperkenalkan diriku." Ia menghela napas panjang. "Aku Andreas, kakak Kiandra."
Dan kurasa saat itu matakulah yang membulat. Kakak Kiandra?
Sontak saja aku terbatuk berulang kali kala mendengar perkataannya. Jujur, aku sangat tak menyangka hal itu.
"Maafkan aku karena tak hadir di pernikahan kalian," lanjutnya. "Kau tahu sendiri, bukan? Pernikahan kalian terlalu mendadak dan saat itu pekerjaanku di luar negeri tak bisa kutinggal."
"Ehm." Aku berusaha mereda batukku. "Jadi, kau ingin bertemu Kiandra?" tanyaku yang langsung dijawab anggukan kepalanya. Seketika aku memanggil Kiandra.
Tak lama kemudian, kulihat Kiandra yang setengah berlari datang mendekat. Ia tak menghiraukanku dan langsung menghambur ke pelukan Andreas.
"Kau sakit?" tanya Andreas sambil merapikan rambut Kiandra. "Lihatlah ini. Hari sudah siang dan kau masih memakai baju tidur?"
Mata Kiandra menghilang ketika ia tersenyum menanggapi godaan Andreas. "Aku tak sakit, hanya sedikit letih."
Dan entah mengapa, mendengar kata-kata itu aku terasa seakan sedang disentil.
"Dan matamu terlihat sembab. Kau menangis?"
Kiandra mengangguk, sedang aku mendadak memucat.
"Aku merindukanmu. Dan sangat berharap hari ini kita bisa kembali jalan-jalan."
Dan kuhembuskan napas lega.
Kiandra beralih padaku setelah melepas pelukannya pada Andreas. Ia menatapku. "Bolehkah aku pergi sebentar?"
Kuteguk ludahku. Bagaimana bisa ia meminta izin padaku setelah apa yang aku lakukan padanya? Dan belum lagi aku menjawab, Kiandra kembali berkata.
"Aku akan baik-baik saja. Dan aku akan ingat untuk makan." Ia menatapku penuh pinta. Dan aku tak punya pilihan lain selain mengangguk lemah. Ia sontak tersenyum lebar. "Aku akan bersiap sebentar, Kak," katanya pada Andreas sambil berdiri.
"Tak perlu buru-buru." Andreas tersenyum.
Kiandra sudah tampak akan beranjak, namun ia menghentikan langkahnya. Ia tersenyum padaku. "Terima kasih, Enrick."
Dan tanpa sempat aku menduga, sebuah kecupan mendarat di pipiku.
Aku terperanjat, sedang ia telah masuk ke dalam. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa di depan Andreas. Kurasa wajahku sekarang terlihat kacau. Bahkan ketika dua cangkir teh tersaji di antara kami, aku tetap tak bisa menatap wajahnya.
"Kau sangat berbeda dengan berita yang tersebar."
Satu kalimat itu sukses membuat mataku kembali beralih padanya. Andreas meminum tehnya dan tampak begitu menikmati minuman berwarna merah kecoklatan tersebut.
"Apa?" tanyaku spontan.
"Gosip tentangmu, bagaimana jeleknya reputasimu, dan belum lagi tentang skandal keluargamu."
Oh, aku mengerti sekarang. Aku tak heran kalau aku sudah sedemikian terkenalnya. Itu satu prestasi, menurutku.
"Terutama ketika aku mendapat kabar bahwa Kiandra akan menikah denganmu. Harus kuakui, aku sudah bersiap untuk menghajarmu."
"Menghajarku?"
Ia mengangguk. "Tak mungkin pernikahan bisa terjadi secepat itu tanpa ada skandal."
Aku mengerti arah pembicaraannya.
"Aku sempat tak percaya ketika ia bilang ia mencintaimu, terutama ketika ia mengatakan bahwa kau adalah pria yang baik."
Aku bukan seperti itu. Siapa pun tahu hal tersebut.
"Tapi, setidaknya hari ini aku tahu bahwa yang dikatakan orang tentangmu tak benar." Ia menatapku. "Dan bisa kulihat bahwa Kiandra memang benar-benar mencintaimu."
Aku membeku. Kiandra tidak mencintaiku. Ia tak mungkin mencintai pria buruk seperti aku.
Tapi, tunggu! Bukankah ia sendiri pernah mengatakan hal itu padaku?
Kuhela napas. Kau tak seharusnya mencintaiku, Kian. Ketika kau mencintaiku maka yang akan kau dapat hanya kepedihan di tiap sudut kehidupanmu.
Dan untuk ucapan Andreas yang satu itu, aku tak bisa membalasnya. Aku hanya terdiam dan meminum teh di cangkirku.
*****
Sepanjang hari selepas kepergian Kiandra dan Andreas, aku hanya termenung menghabiskan waktu di depan televisi. Otakku semakin kalut memikirkan wanita itu. Aku pria baik? Haruskah aku berterima kasih untuk kebohongannya itu?
Tapi, dibandingkan dengan itu, aku punya masalah besar lainnya. Karena ketololanku yang tak bertanya dulu pada Kiandra, aku sudah melakukan hal yang tak seharusnya aku lakukan pada wanita manapun. Ya, aku menyetubuhi Kiandra.
Aku mengusap wajahku frustrasi. Bagaimana kalau ia hamil? Apa yang harus aku lakukan?
Kami tak seharusnya memiliki anak.
Anak itu hanya akan merasakan kesengsaraan karena terlahir di keluarga ini. Aku sudah melihatnya sendiri. Dan aku tak bisa membiarkan anakku sendiri turut merasakan apa yang telah kurasakan.
Memutus garis keturunan, mungkin itu adalah ide balas dendam yang pertama kali terlintas di benakku. Kalian tak akan pernah mengerti bagaimana rasanya terlahir dari orang tua yang menikah hanya karena keuntungan secara materi. Tapi, aku tahu dengan sebaik mungkin. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana aku bisa lahir ketika aku mendapati kenyataan bahwa orang tuaku tak pernah kulihat tinggal di rumah yang sama. Entah itu Mama atau Papa, salah seorang dari mereka pasti tak ada di rumah ini. Dan sekarang, karena gertakan pengecut Kakek dan juga fitnah dari Sherryl, aku sukses merusak rencanaku sendiri.
Ya, dari semula inilah alasanku mengapa aku tak pernah sedikitpun berniat menyentuh wanita. Aku ingin melihat wajah pria tua itu yang sengsara karena tidak memiliki keturunan yang bisa mewarisi kerajaannya. Tak ada lagi yang akan menjalankan sejarah hierarkinya. Dan selain itu juga, aku tetap selalu ingat. Wanita itu tak selemah yang terlihat. Ia licik dan munafik. Dan aku membenci mereka.
Kuhela napas dalam-dalam, perlahan mencoba menenangkan diriku sendiri. Kiandra tak mungkin hamil, desahku. Tak banyak kehamilan yang bisa terjadi di kala pertama. Aku berusaha berpikir positif kali ini. Ya, tentu saja.
Detik kemudian, aku kembali mencoba fokus pada layar datar di hadapanku. Remot di tanganku berulang kali kutekan, namun tak ada satupun acara yang menarik minatku. Aku melirik jam dan mendapati hampir jam delapan malam, tapi Kiandra belum pulang juga.
Apa aku sekarang mengkhawatirkannya? Yang benar saja. Aku tahu bukan itu alasannya. Tapi, yang kutau hanya satu. Sekarang kurasa rumah ini menjadi lebih sepi dari biasanya ketika wanita itu tak ada.
Namun, selang beberapa menit kemudian, kudengar deru mobil di luar. Aku tak beranjak, tapi aku yakin itu pasti suara mobil Andreas yang mengantar pulang Kiandra. Dan benar saja. Tak menunggu lama, kurasakan kehadiran Kiandra di balik tubuhku.
"Kau ada di rumah, Rick?" tanya Kiandra ketika ia mendapatiku duduk di depan televisi seorang diri.
Aku menelengkan sedikit kepalaku dan melihatnya. "Kau pikir aku keluar?"
Kiandra tampak salah tingkah. Ia mengangguk. "Kukira kau pergi keluar." Ia mengambil tempat di sampingku. "Apa kau sudah makan?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Sedari tadi perutku rasanya agak aneh," keluhku. Aku kembali menatapnya. "Bisa kau buatkan aku teh mint?"
"Tentu saja." Kiandra bangkit. Tapi, sebelum beranjak, ia kembali berkata. "Apa kita makan juga? Biar kumasakan kau sesuatu."
"Bukannya kau sudah makan?"
"Benar." Ia mengikat rambut panjangnya menjadi gulungan aneh di atas kepalanya. "Tapi, kurasa aku lapar lagi." Ia tersenyum dan meraih tanganku. "Menurutmu apa yang harus kumasak?"
Aku tak menjawab pertanyaan Kiandra. Lebih dari itu, aku pasrah saja ketika ia menarik tanganku. Kupikir ini bagus, setidaknya kulihat ia sudah tak marah lagi padaku. Tentu berjalan di luar seharian dengan Andreas sudah memperbaiki mood wanita ini.
Di dapur aku memilih duduk di meja kecil yang terletak di seberang ruangan memasak itu. Kiandra segera mengenakan celemeknya dan mulai menyeduh teh mint yang kumau. Menit selanjutnya, aroma teh dan mint yang menyegarkan menerpa saraf penciumanku.
Aku menyesap sedikit teh yang masih panas tersebut. Sedang Kiandra tampak mulai menyiapkan sayuran yang akan dimasaknya.
"Tadi aku dan Kakak menjenguk Ayah di rumah sakit." Suara Kiandra terdengar ketika ia mulai memotong sayuran di talenan.
Aku tak membalas perkataan Kiandra, karena kurasa aku tak berhak tahu.
"Dan Ayah menanyakan bagaimana keadaanmu." Kiandra tampak mencuci sayuran tersebut dan menyisihkannya. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan lagi dari sana. "Kukatakan padanya bahwa kau baik-baik saja."
Aku mendehem pelan. Dan demi sedikit berbasa-basi, akhirnya aku bertanya padanya. "Kapan Ayahmu bisa keluar dari rumah sakit?"
"Mungkin sebentar lagi," jawabnya. "Setelah itu Ayah sepenuhnya akan dijaga Kakak."
Lantas, kami kembali berdiam diri. Aku hanyut dalam duniaku dan seraya sesekali kembali menyesap tehku, sedang Kiandra tampak serius dengan wajan di depannya. Tak lama kemudian kucium aroma harum yang sontak membuat perutku bergemuruh. Aromanya benar-benar mampu membangkitkan nafsu makanku yang sempat menghilang seharian ini karena pusing dan mual yang tak kunjung berhenti.
Selagi menunggu masakannya, Kiandra dengan cekatan menyusun piring untuk kami berdua. Entah mengapa, pemandangan yang menampilkan tubuh Kiandra yang tampak luwes bersinggungan dengan peralatan dapur membuat sesuatu terasa menyenangkan. Kupikir, seharusnya seperti inilah seorang istri. Tidak seperti seseorang yang bahkan aku saja tak ingat, kapan ia pernah menyiapkan makan untukku.
Kiandra menyajikan sepiring capcay ayam di hadapanku. Masih kulihat asap putih yang mengepul tanda bahwa masakan itu masih panas. Tapi, aku tak mempedulikannya. Melainkan aku langsung menyendoknya dan menyuapnya masuk ke dalam mulutku.
"Apakah rasanya enak?" tanya Kiandra sambil menarik kursi dan duduk. Ia menyiapkan nasi di piringku dan meletakkannya di hadapanku.
Aku menyambut piring itu dan mengangguk. "Sepertinya ini bagus untuk mengusir rasa tak enak perutku."
Kiandra tersenyum. Dan kemudian kulihat ia juga tampak menikmati makan malamnya.
Ketika kami berdua makan, mendadak aku tersadar akan sesuatu. Kapan aku pernah menikmati makan malam seperti ini?
*****
tbc...
19.19 WIB.
Bengkulu, 2017.02.10
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro