Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

hai, semuanya....

akhirnya aku bisa update juga... yg baca cerita ini, maaf -______________- lagi sibuk ngurus Akreditasi program studi di kampus dan pulangnya malam terus....

btw. happy reading ya :)

================================================================================

Dini hari itu ketika hujan baru turun rintik-rintik, aku memasuki pelataran rumahku yang diterangi sinar lampu yang benderang. Badanku terasa pegal karena kupaksa untuk berpesta tanpa henti untuk beberapa malam. Dan kupikir aku perlu untuk beristirahat barang sehari atau dua hari sebelum memulai kembali kesenangan yang lainnya.

Suasana gelap adalah hal yang pertama kali kudapati ketika aku membuka pintu rumahku. Tanpa terburu-buru aku melintasi ruang tamu. Semula aku berniat pergi ke dapur untuk minum segelas air ketika tak sengaja retina mataku memicing menemukan sesosok tubuh di atas sofa.

Aku mendekat dan langsung saja rahangku mengeras melihat tubuh yang tertidur itu hanya berselimut sehelai kain tipis sedangkan di luar hujan tengah turun. Tanpa membuang waktu aku beranjak ke belakang. Aku langsung saja menggedor beberapa pintu di sana dan sontak wajah kantuk beberapa orang asisten rumah tanggaku muncul secepat mungkin di hadapanku.

Bisa kulihat wajah kaget dan ketakutan tersirat di sana. Ya, mereka memang pantas untuk takut.

"Apa saja yang kalian lakukan sampai-sampai Kiandra tidur di ruang tamu!?"

Mereka memucat mendengar pertanyaan penuh amarah yang terlontar seketika dari mulutku.

"Jawab!" sentakku sekali lagi ketika tak ada tanda-tanda dari mereka akan menjawab pertanyaanku.

"Maaf, Tuan." Seorang asisten rumah tanggaku yang terlihat sudah cukup berumur tampak berusaha mengucapkan kata-katanya seraya terus menunduk. "Kami sudah melarang, tapi Nyonya tak mau mendengar."

Aku diam. Menunggu kelanjutan perkataannya.

"Nyonya bilang Nyonya mau menunggu Tuan pulang."

"Menungguku pulang?" Tanpa sadar aku malah menanyakan hal itu. "Sudah berapa hari dia seperti itu?"

"Semenjak Tuan pergi."

Dan seketika aku langsung membubarkan mereka. Aku beranjak dan menuju tempat dimana Kiandra tengah tertidur dengan sehelai selimut tipis yang menutupi tubuhnya.

Aku berjongkok di sampingnya.

Bodoh! Untuk apa kau lakukan ini?

Ya, untuk beberapa hal, aku memang tak akan pernah mengerti pikiran Kiandra dengan segala macam kepercayaan, harapan, dan keajaibannya itu. Kita berbeda, Kian, desahku.

Beberapa saat kemudian, kubawa jemariku merapikan anak rambutnya yang berjatuhan di sisi wajahnya. Dan tanpa sempat berpikir apapun, aku segera meraih tubuh mungil itu ke dalam rengkuhanku. Kiandra tampak menggeliat sekilas ketika kutuntun kedua tangannya untuk melingkar di leherku. Lalu, aku bangkit menggendong tubuhnya.

Kurasakan wajahnya yang menyuruk di dadaku. Napasnya berhembus dengan pelan dan teratur. Ia tampak nyenyak bahkan ketika langkah besarku mengayun tubuhnya perlahan di dalam gendonganku.

Lantas, kubaringkan ia di atas tempat tidurku dan kututupi tubuhnya dengan selimut tebal. Senyum manis sempat kulihat di bibirnya sebelum ia berkata.

"Enrick."

*****

Aku benar-benar tak habis pikir sebenarnya terbuat dari apa otak Kiandra. Pagi itu ketika aku bangun, aku langsung mendapati dirinya yang sudah tak ada lagi di sampingku. Ia sudah bangun kala itu. Dan ketika aku turun ke bawah, aku semakin melongo dibuatnya.

Ia menghampiriku masih dengan senyumnya dan menarik tanganku untuk duduk di meja makan. Ia menyodorkan segelas teh mint hangat padaku. Dan bertanya menu apa yang ingin kumakan siang harinya.

"Kian."

"Ehm?" Kiandra mendehem sambil mengolesi selembar roti dengan selai. Kemudian, ia memberikannya padaku. "Pagi ini aku tak sempat masak apapun untuk sarapanmu." Ia kembali tersenyum. "Maaf, ya?"

Persetan dengan sarapan! Kapan aku pernah mempersoalkan sarapan?

"Kau tak marah padaku?" tanyaku heran. Dan aku menggeleng sendiri menyadari pertanyaanku itu. Bukan itu tepatnya hal yang ingin kutanyakan. Atau mungkin, "Kau tak ingin menanyakan kemana aku pergi beberapa hari kemarin?"

Mata Kiandra spontan membulat. Dan ia malah balik bertanya padaku. "Apa aku harus menanyakan itu padamu, Rick?"

Hah?

"Tunggu," lirihku semakin bingung. "Kemarin malam waktu aku pulang, aku mendapati kau yang tertidur di sofa karena menungguku pulang."

Kiandra mengangguk.

"Lantas," lanjutku. "Kau tak merasa penasaran kemana aku pergi?"

Kiandra memasang tampang tanpa ekspresi beberapa saat. Dan kemudian ia kembali menggeleng.

"Kalau kau tak penasaran kemana aku pergi, mengapa kau menungguku?"

Wah! Aku benar-benar tak bisa menebak isi pikiran wanita ini. Kukira harusnya ia menodongku dengan sejuta pertanyaan, kemudian ia marah, dan selanjutnya kami akan bertengkar. Setelah itu, beberapa bulan kemudian mungkin pernikahan kami akan segera berakhir.

Kupikir skenarionya akan seperti itu.

Tapi, bagaimana bisa ia....?

Kiandra menghela napas panjang. "Aku memang menunggumu, tapi bukan berarti aku ingin tahu alasanmu."

Ia berusaha tersenyum. Tapi, senyumnya sendu terlihat dimataku.

"Aku sudah terbiasa untuk menunggu. Dan aku tak perlu tahu untuk apa mereka atau kau membuatku menunggu."

Dahiku berkerut. "Apa maksudmu?"

"Sedari kecil, ketika kesehatan Ibu semakin memburuk, Ayah sering menyalahkanku. Andai aku tak lahir, katanya saat itu." Kiandra menghela napas. "Tapi, aku tetap menunggunya kembali menghampiriku. Dan itu yang terjadi. Akhirnya Ayah tahu bahwa aku juga menyayanginya." Ia menatapku dalam. "Keluargaku pernah menganggap bahwa aku seharusnya tak hadir di dunia ini."

Sial! upat hatiku.

"Aku sudah terbiasa menunggu. Bahkan walaupun itu kulakukan tanpa karena ada alasan. Sekarangpun, kalau kau ingin tahu, aku juga tengah menunggu seseorang. Seseorang yang juga penting di hidupku." Kiandra kembali menghela napas. "Lagi pula, aku tak berhak untuk tahu tentang pekerjaanmu di luar sana, kan?"

Pekerjaan?

"Aku tahu. Cucu pengusaha sepertimu pasti sibuk. Kau harus memeriksa beberapa kantor dan mulai menggantikan peran Kakekmu." Ia kembali tersenyum dan meraih selembar roti lainnya. Ia mengoles selai di sana. "Jadi, aku cuma tak ingin membuatmu tambah banyak pikiran. Kau seperti yang Kakekmu bilang."

"Apa yang ia bilang?"

Kiandra kembali menoleh padaku. "Dia bilang bahwa kau pria baik yang memiliki rasa tanggungjawab yang besar."

Aku meringis.

"Dia membohongimu."

Mata Kiandra kembali membulat.

"Dia mengatakan kebohongan itu hanya agar kau bersedia menjadi istriku." Aku tersenyum sinis. "Kau menikahi pria yang salah, Kian. Aku bukanlah pria yang seperti itu."

Mata Kiandra yang membulat lantas berkilat karena sesuatu. Dan aku tak tahu apa itu. "Kurasa kau salah."

"Apa?"

"Kau memang pria yang baik, Rick." Ia tersenyum. "Kau menggendongku ke kamar malam tadi. Dan kau menyelimutiku."

Wajahku membeku.

"Bagaimana bisa kau katakan kau tak baik dan tak bertanggungjawab?"

Persetan dengan itu. Dan kemudian, aku bangkit dari dudukku. Meninggalkan Kiandra yang mematung di sana.

Aku merutuk berulang kali. Mengapa wanita itu menganggap perlakuanku sebagai bentuk tanggungjawab? Aku tak pernah bertanggungjawab untuk semua yang terjadi pada hidupku.

Satu-satunya alasan mengapa aku baik padanya hanya karena aku tak ingin menjadi perusak kebahagiaan hidupnya. Walaupun pada akhirnya akupun sadar. Hidupnya juga memiliki sisi lain yang tak kuduga. Ternyata, hidupnya tak sesempurna yang sempat kukira sebelumnya.

Dan untuk itu, seketika hatiku seolah bertanya. Akhirnya kau tahu bahwa tak pernah ada yang sempurna?

*****

Mungkin orang akan mengatakan bahwa aku bukanlah makhluk sosial yang sebenarnya. Itu karena ketika aku memutuskan untuk pergi dari rumah, maka tujuanku pasti hanya satu. Berkumpul dengan Alex dan menghabiskan waktu dengan berbotol-botol alkohol ataupun pesta. Tak terkecuali malam itu, ketika kami kembali menghabiskan waktu di salah satu klub malam.

Aku menghisap rokokku dengan kuat dan sedetik kemudian asap putih yang tebal perlahan keluar dari hidung dan mulutku.

"Kau tidak kelihatan seperti orang yang sudah menikah!" celetuk Alex tertawa padaku.

Kulihat wajahnya yang terkena kelap-kelip lampu klub malam. Ia tampak menyeringai padaku. Dan aku menggidikkan bahuku sekilas.

"Apa mau dikata," tukasku seadanya. "Pernikahan ini bukan kemauanku."

Alex kembali tertawa. "Setidaknya, walaupun kau tak menginginkannya, tapi kau tetap bisa menikmatinya."

Aku hanya meliriknya sekilas.

"Dia cantik, Rick. Apa kau tak ingin mencobanya?"

Kentara sekali di telingaku kalau Alex sedang berusaha memanas-manasiku saat itu. Tapi, ia tak akan berhasil. Jadi aku menggeleng seketika setelah meneguk isi gelasku. "Aku tak tertarik."

"Wow!" Alex berseru. "Jadi maksudmu...., istrimu itu masih kau biarkan menjadi perawan?"

Dahiku lantas berkerut. Aku bahkan tak pernah memikirkan apakah Kiandra masih perawan atau tidak. Memangnya apa peduliku? Tidak ada.

"Aku tak tahu soal itu."

"Tak tahu soal apa?" tanya Alex sembari menggoyang-goyangkan gelas di tangan kirinya.

Aku tersenyum hambar. "Aku tak tahu dia perawan atau tidak," kataku sambil merebahkan punggungku ke belakang. "Dan aku tak berniat untuk mencari tahu tentang itu."

Lantas, kulihat seringai licik terbit di wajah Alex. Dan mendadak tubuhku menegang ketika aku mendengar ia mengatakan sesuatu yang membuatku sejenak meradang.

"Karena aku temanmu dan seperti yang kau tahu kalau aku temanmu yang terbaik," lirihnya pelan, "Aku tak keberatan untuk mengecek hal itu demi kau, Rick. Kita cek dia masih perawan atau tidak."

Punggungku yang semula bersandar sontak bangkit lagi. Aku tak tahu apa yang kurasakan, tapi hal itu terasa menyesak di salah satu bagian tubuhku.

"Jangan sentuh dia, Lex."

"Hah?"

Aku menggeleng. "Jangan berpikir untuk menyentuh dia. Dia bukan wanita yang seperti itu. Dia bukan seperti kita."

"Kau melindunginya?" Dan Alex terkekeh.

Tangannya berulang kali menepuk punggungku. Membuat isi gelasku beriak ke segala arah. Aku mengupat.

"Bukan melindunginya," elakku. "Hanya saja ia memiliki kehidupan yang lebih baik dari kita. Aku hanya tak ingin menjadi penyebab rusaknya kehidupannya." Kuhela napas. Seandainya Kiandra adalah wanita gila harta, tentu saja sejak awal dimana kami menikah aku akan segera 'menyerahkannya' pada Alex. Tapi, dia bukan wanita yang seperti itu. Jadi, aku tak punya alasan untuk merusak hidupnya. Lagi pula, di sini memang tua bangka itu penyebab semua kekacauan ini terjadi. Kiandra hanyalah alat yang ia gunakan agar keinginannya tercapai.

Sungguh tua bangka yang licik, ejek hatiku.

Lantas, begitulah aku melalui hari-hariku. Ketika pagi aku memutuskan untuk beristirahat di hotel dan malam hari aku kembali berpetualang. Kuhitung-hitung sudah seminggu lebih aku tak pulang. Dan Kiandra memang tak ada menghubungi untuk menanyakan kepulanganku. Dia tahu nomor ponselku tapi ia tetap saja tak pernah menghubungiku.

Dia memang wanita yang aneh. Dia berulang kali membuatku berpikir bahwa ia sebenarnya bukan makhluk Bumi. Bisa saja dia alien yang sedang menginvasi Bumi secara diam-diam. Oh, oke! Kurasa alkohol sudah sedikit mempengaruhi otakku sekarang.

Dia, wanita yang kukira pengincar harta, tapi ternyata justru tak meminta apa pun padaku. Wanita yang kukira akan mengekangku, tapi ternyata justru bahkan tak bertanya kemana aku pergi dan tak pulang beberapa hari. Wanita yang menganggap bahwa aku adalah pria baik dan bertanggungjawab hanya karena satu gendongan di malam berhujan. Terlebih lagi, dia adalah wanita yang setiap kali aku pulang dengan aroma alkohol maka ia akan membuatku secangkir teh mint yang hangat, dan lantas bertanya, "Kau baik-baik saja?"

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku berulang kali. Kurasa saat ini kepalaku menjadi begitu berat. Aku berusaha bangkit dari dudukku dan memutuskan untuk menginap di hotel lainnya. Tapi, sebelumnya aku berusaha untuk beranjak ke toilet seraya sesekali berpegangan pada dinding.

"Urgh!" keluhku ketika kepalaku terasa makin berat. Dan semula aku berpikir pengaruh alkohol sudah terlalu kuat menyandera kesadaranku, ketika kurasakan satu tangan menarik pergelangan tanganku. Langkahku terseok dan tubuhku membentur dinding dengan pelan.

Kukerjapkan mataku berulang kali dan mendapati dua tangan mulus yang memerangkap tubuhku di kedua sisi. Mataku memicing, berusaha menembus keremangan tempat itu.

"Sherryl," lirihku pelan. "Ada apa?"

Wanita itu tersenyum.

"Alex di luar," kataku lagi sambil sesekali sesegukan.

Kulihat Sherryl tersenyum dan memajukan wajahnya. Aku berusaha menarik wajahku, tapi dinding di belakangku tak memberikanku banyak pilihan.

"Kau mau apa?" tanyaku lagi pada akhirnya.

Satu senyum menggoda terukir di bibirnya yang dipoles dengan lipstik merah menyala.

"Kau."

Aku berkerut. Belum mengerti sepenuhnya dengan perkataannya.

"Aku menginginkanmu, Rick," jelasnya kemudian. "Aku menginginkanmu. Kau tahu maksudku."

Ah, persetan dengan kepalaku yang sekarang berdenyut!

Aku menggeleng. Mungkin kali ini aku bisa memanfaatkan status beristriku padanya, bukan?

Wajah Sherryl semakin mendekat. Dan lantas kurasakan bibir itu bergerak pelan di atas bibirku. "Aku menginginkamu."

Harus berapa kali dia mengatakan hal yang sama padaku? Aku mendorong pelan Sherryl untuk mundur.

"Aku sudah menikah, Sherryl," tolakku. "Kau tahu itu." Bahkan kalaupun aku belum menikah, aku tetap saja tak ingin menghabiskan hidupku dengan tipe wanita seperti ini. Tunggu sampai Alex tahu apa yang ia lakukan.

"Tapi kau menghabiskan malam di sini, bukan dengan istrimu." Sherryl bergeming dan tampak mengeluarkan ponselnya. "Apa kau mencintainya?"

Aku mendengus. Apa yang ia tanyakan? Cinta? Apa itu semacam kue tanpa mentega?

"Aku tahu kau tak mencintainya," lanjutnya. "Dan yang aku tahu, dia juga tak mencintaimu."

"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" tanyaku mulai kesal. Aku memang pria yang tidak bisa menahan kesal.

"Apa kau tahu kalau istrimu memiliki pria lain?"

Dahiku berkerut. "Apa maksudmu?"

Sherryl menunjukkan foto di ponselnya. Dan mataku langsung membulat. Di sana kulihat Kiandra yang sedang tertawa lepas di pelukan seorang pria.

Sherryl tersenyum. "Dia punya pria lain. Dan kau juga bisa bersamaku malam ini, Rick."

Aku memandang Sherryl dengan tatapan sebengis yang aku bisa. Tanpa berkata aku langsung mendorong wanita itu hingga ia setengah terjungkal ke belakang. Aku bergegas keluar dan menuju mobilku.

"Persetan!" upatku.

Dan kembali di hadapanku terbayang satu kenyataan yang sama, wanita tak pernah bisa dipercaya!

Aku mencengkeram erat kemudi. Merutuk sikapku yang melunak padanya. Membodohi setiap anggapanku yang mengatakan bahwa ia wanita suci yang polos. Dan sekarang? Tentu saja ia tak peduli walaupun aku tak pulang ke rumah!

Perawan? Oh, baru beberapa hari yang lalu aku mengatakan pada Alex bahwa ia wanita baik-baik. Tak akan ada wanita baik-baik yang selingkuh!

Tergesa-gesa aku menekan nomor telpon rumahku di ponselku. Napasku menderu seraya menunggu telponku diangkat. Dan tak lama kemudian, suara seorang wanita menjawab panggilanku.

"Iya, Tuan?"

"Kiandra ada di rumah?!" tanyaku cepat.

"Ada, Tuan?"

"Apa hari ini dia keluar?! Jawab jujur!" bentakku memberi peringatan padanya.

"Iya, Tuan." Kutangkap nada ketakutan dari suaranya. "Nyonya memang pergi keluar, tapi pulang sebelum malam."

"Apa dia pergi dengan pria?!"

"Saya tidak tahu, Tuan. Nyonya pergi sendirian, tapi ketika pulang, Nyonya memang diantar seorang pria."

Bangsat!

"Apa yang dilakukan pria itu di rumahku!!?"

"Ti-tidak ada, Tuan. Pria itu tidak mampir. Hanya mengantar Nyonya pulang. Dan ia kemudian segera pergi."

Dan lantas, panggilan itu langsung kuputuskan.

Bangsat kau, Kiandra! Kukira kau berbeda dengan wanita yang selama ini kukenal. Tapi, nyatanya kau sama saja. Kau wanita murahan yang akan menjual dirimu pada pria manapun. Kau tak ada bedanya sama sekali.

Berulang kali tanganku memukul kemudi. Rasa sakit dan denyut di kepalaku tak lagi kuhiraukan. Saat ini aku secepatnya ingin sampai dan bertemu dengan wanita murahan itu.

Dan ketika aku sampai di rumahku, aku langsung menuju ke kamar. Tak kuhiraukan wajah terkejutnya ketika pintu yang tertutup itu mengeluarkan suara keras karena bantinganku yang penuh emosi.

Napasku semakin menderu. Dan tanpa sempat berpikir apa-apa, aku mendekatinya seraya melepas satu persatu kancing kemejaku.

Mata Kiandra membulat penuh takut. Dan ia beringsut mundur hingga tubuhnya tertahan kepala tempat tidur.

"Enrick," lirihnya sarat dengan ketakutan. "Ada apa?"

Aku menyeringai. "Dasar, Pelacur! Wanita murahan!" bentakku padanya. "Salah besar karena selama ini aku mengira bahwa kau adalah wanita suci!"

Kiandra tampak terkesiap. Matanya yang membulat terlihat menyiratkan keterkejutan dan ketakutan dalam waktu yang bersamaan.

"Aku mengira kau wanita baik-baik, tapi nyatanya kau sama saja! Kau wanita yang rela menjual tubuh dan harga dirimu demi uang!"

Aku tak mundur, tapi aku nikmati wajah ketakutannya yang menatapku. Kedua tanganku berkacak di pinggang. "Kurasa bukan hal yang baru untukmu dalam hal menjual tubuh, bukan?!" ejekku sambil kemudian melempar jauh kemejaku.

Bibir Kiandra tampak bergetar.

Aku menyeringai. "Dan kita lihat saja, apa setelah kita sama tahu bahwa kau tak ubahnya dengan pelacur, kau masih berani untuk bersandiwara seolah kau adalah wanita bersih!?"

Kiandra semakin memucat. Ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Tapi, aku tak peduli lagi. Saat itu akal sehatku entah menghilang kemana. Pengaruh alkohol dan emosi yang mendera membuatku tak bisa memikirkan lagi perbuatanku. Aku hanya ingin membuktikan bahwa wanita pilihan Kakekku itu adalah salah satu dari sederetan wanita nakal yang ada di dunia. Dia tak ada bedanya sama sekali!

Aku menyentak selimut tebal itu hingga terlepas dari cengkeramannya. Ia tampak mulai menangis dan mengiba padaku.

"Enrick. Aku minta maaf kalau aku ada salah padamu," pintanya.

Seulas senyum tipis tersungging di mulutku. Bagaimana bisa ia tak tahu apa salahnya?

Kemudian, aku mencengkeram kedua pergelangan tangan Kiandra. Ia tampak meringis dan memohon agar aku melepas tangannya. Tapi, aku tak melakukan itu.

Aku membanting tubuhnya di kasur. Dan saat itu kurasa Kiandra sudah mengerti apa yang akan aku lakukan padanya. Ia berusaha menjauh, tapi selanjutnya aku kembali menahannya.

Semua wanita sama saja, Enrick!

Aku semakin tertantang ketika melihat lelehan air mata yang mengalir di kedua pipinya. Lihat? Ia begitu ketakutan karena sebentar lagi topengnya akan terbuka. Ya, harusnya ia tahu bahwa ia tak seharusnya mempermainkan seorang Enrick!

Dan selepas ini, aku tentu saja akan menghubungi Alex. Pria itu pantas untuk turut mencicipi wanita murahan ini.

Seringaiku semakin lebar. Ia berusaha melepaskan dirinya dari kukuhanku, tapi percuma. Ketika alkohol dan emosi sudah menyatu dalam dirimu, tak ada hal apa pun yang bisa menghentikan setiap perbuatanmu itu.

Aku sudah terlalu larut dalam emosiku sendiri hingga aku tak menghiraukan sedikit saja permohonan Kiandra. Aku malah semakin senang melihat wajahnya yang basah, suaranya yang bergetar, atau justru ketika ia menutup mata.

Ia benar-benar pantas mendapatkan ini. Ia tak seharusnya berpura-pura di depanku. Lantas, tanpa perasaan, aku langsung mengenyahkan setiap penghalang yang melekat di tubuhnya.

Tangisnya semakin menjadi-jadi tatkala semua yang aku rencanakan sudah aku lakukan padanya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kulihat air matanya yang semakin menderas atau jeritan panjangnya ketika aku memulai semua penderitaannya.

Dan malam itu, ketika hujan mendadak tercurah di luar, aku kembali menyadari satu hal. Lagi-lagi, aku telah salah menilainya!

*****

tbc...

untuk part selanjutnya semoga bisa update besok ya :) :) :)

see yaaaaaaaaaaa.........

04.27 WIB.

Bengkulu, 2017.02.09

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro