2 DAN 3
selamat malam minggu :D :D :D
udah hampir tengah malam sih...., ini part ketiga dipost spesial buat yang masih melek aja deh...
==============================================================================
Malam itu aku kembali menghabiskan waktuku dengan berkumpul bersama teman-temanku. Tapi berbeda dengan malam sebelumnya dimana rumah Alex yang menjadi tempat kami bersenang-senang, kali ini kami memilih untuk berkumpul di salah satu klub malam kelas atas.
Musik terdengar menghentak ketika DJ memainkan kedua tangannya mengiringi tiap kesenangan yang kunikmati malam ini. Malam yang sempurna. Alkohol dan pemandangan wanita-wanita malam yang meliuk-liukkan badannya merupakan satu kesatuan yang sempurna untuk menghabiskan waktu.
Kulihat dari kejauhan Alex dan Sherryl masih sibuk melantai berdua. Mereka dan beberapa orang temanku yang lainnya tampak begitu liar di atas lantai sana. Aku hanya menyeringai dari tempat dudukku. Entah sudah gelas yang keberapa yang kuminum, ketika akhirnya aku memutuskan untuk menyulut rokokku dan menghisapnya perlahan.
Asap putih nan tebal terlihat membumbung ketika hidungku menghembus pelan. Kunikmati tiap rasa yang kuserap dari filter rokokku. Sesaat membuatku melupakan apa yang sedang terjadi di hidupku sekarang.
"Kau memang betah sendirian, ya?"
Satu suara terdengar di telingaku. Kubuka mataku yang sempat tertutup untuk beberapa detik dan kudapati Sherryl dengan gelasnya mengambil tempat di sampingku, setengah memutar badannya untuk lebih dapat melihat wajahku.
Aku menarik satu ujung bibirku sekilas. Mengangguk tanpa minat. "Mana Alex?" tanyaku. Entah mengapa aku selalu merasa buruk kalau harus berbicara dengan wanita. Aku adalah salah satu keturunan Adam yang kurasa tercipta tanpa Hawa.
Sherryl menggerakkan sedikit kepalanya. Dan kuikuti dengan pandangan mataku. Kulihat Alex tampak berkumpul dengan teman-teman kami yang lainnya, duduk bersama di bar, dan terlihat sudah sedikit kehilangan kesadarannya.
Kulirik jam di tanganku, hampir 2 dini hari. Berarti kami di sini sudah hampir 6 jam. Aku bahkan tak tahu apa saja yang kulakukan hingga tak menyadari waktu yang telah berlalu.
"Kau sudah lama mengenal Alex?" Sherryl kembali bertanya sembari menyesap minumnya.
Aku mengangguk. "Sudah sangat lama." Jawaban singkatku tampaknya membuat Sherryl terus mengerutkan dahinya.
"Kau suka sendirian," lanjutnya, "juga irit dengan kata-kata."
Aku menyeringai.
"Apa kau benar-benar teman Alex?"
Aku menoleh sejenak. "Menurutmu?"
Ia menggidikkan bahunya sekilas. "Aku baru akhir-akhir ini bertemu denganmu. Dan kau tak terlihat seperti yang lainnya." Ia tampak mengamatiku sejenak. "Kau seolah punya duniamu sendiri."
Tanpa sadar aku tertawa pelan. "Aku baru keluar dari rehabilitas." Dan spontan kulihat wajahnya menyiratkan keterkejutan. Oh, belum terlalu terkejut sebelum perkataanku selanjutnya meluncur kembali. "Untuk yang kedua kalinya." Kali ini wajahnya terlihat lebih kaget lagi.
Tapi, untuk perkataannya yang terakhir, aku sengaja tak meresponnya. Aku memang punya duniaku sendiri. Yang kujaga agar tak ada seorangpun memasukinya. Tak peduli siapa pun itu.
"Kau bukan pemakai?" tanyaku cepat sebelum Sherryl kembali melontarkan pertanyaan berikutnya padaku. Entah mengapa aku terkadang merasa bahwa wanita ini sedang menginterogasiku. Dan itu salah satu alasan yang membuatku menjadi tak suka untuk duduk berdekatan dengannya dalam waktu yang lama.
"Bukan." Sherryl menggelengkan kepalanya berulang kali dengan perlahan. "Atau kau mau mengajakku?"
Aku menyeringai. "Aku tak pernah mengajak orang lain," kataku. "Kau sendiri yang memutuskan untuk memakai atau tidak. Bukan orang lain."
Sherryl tertawa. Dan tanpa kuduga, kemudian ia tampak menggeser duduknya. Semakin mendekatiku. Aku melirik tingkahnya itu dengan ujung mataku. Hatiku tertawa. Apa sekarang ia bermaksud untuk menggodaku dengan rok mininya yang sangat-sangat mini itu? Tidakkah ia ingat apa yang sudah dikatakan Alex malam itu?
"Beberapa hari ini kulihat kau tampak tegang, Rick." Suara Sherryl terdengar mendesah di telingaku. "Apa kau ada masalah?"
Selalu ada, tukas hatiku. Tapi, memang masalahku saat ini merupakan masalah terbesar yang pernah kualami. Dan sekarang aku jadi bertanya-tanya, apa sebesar itu pernikahan bisa menjadi masalah? Hingga orang lain saja bisa melihat masalah itu dari raut wajahku.
Dan sebagai jawabanku atas pertanyaannya, aku hanya diam. Sherryl terdengar menghirup napas panjang. Kemudian ia tampak semakin mendekatiku. Aku sedikit menggidikkan bahuku ketika ia meletakkan tangannya di sana.
"Kupikir kau harus sedikit rileks, Rick."
Akhirnya aku menoleh.
Sherryl tersenyum padaku. Sejenak kubiarkan satu tangannya yang berusaha merayap naik ke wajahku. Kuekori pergerakan tangannya yang terlihat makin berani dari waktu ke waktu. Hingga akhirnya, tangannya kulihat mantap mengusap rahangku.
"Kau pikir apa yang kau lakukan, Sherryl?"
Ia semakin tersenyum. "Ayolah, Rick! Aku hanya ingin membantumu sebagai seorang teman."
Dahiku berkerut mendengar jawabannya. Teman apa yang ia maksud di sini?
Wajahnya mendekat dan bibirnya terhenti di dekat telingaku. Terlalu dekat. Aku bahkan bisa merasakan deru napasnya yang hangat di telingaku.
"Kupikir bukan ide yang buruk kalau aku membuatmu santai untuk beberapa jam ke depan."
Waw!
Dia telah melupakan apa yang dikatakan Alex padanya.
Aku menyeringai sinis.
Atau justru dia memang keras kepala?
"Sudahlah, Sherryl." Aku berkata setengah mengejek padanya. "Alex sudah mengatakan hal itu padamu."
Kurasakan pergerakan Sherryl yang sontak terhenti mendengar perkataanku.
"Tak akan ada yang berubah." Aku meraih gelasku dan meminum isinya. "Aku tak tertarik padamu."
Setelah mengatakan itu, kembali kuletakkan gelasku yang sudah kosong di atas meja bundar itu. Tanpa peringatan apa-apa, kubawa tubuhku berdiri tegak. Sontak melepaskan tangan Sherryl dari wajahku.
Detik selanjutnya, tanpa menoleh lagi ataupun mengucapkan satu kata pun, aku meninggalkannya di sana seorang diri.
Kuhela napas dan kubelah lautan manusia di hadapanku.
Kurasa aku harus pulang sekarang, pikirku.
*****
Aku benar-benar tak tahu mengapa tadi aku memutuskan untuk pulang ke rumah setelah beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk menginap di hotel. Setelah kejadian malam itu aku tak lagi menginjakkan kakiku di rumah ini. Setidaknya sampai dini hari ini dimana kurasa aku sudah kehilangan sedikit kewarasanku dan memutuskan untuk pulang.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidurku yang empuk. Kedua telapak kakiku masih menyentuh lantai ketika justru mataku menerawang menatap langit-langit kamarku. Kedua jariku mengambil tempatnya masing-masing di pelipisku. Memijat tempat itu perlahan berulang kali. Kuhela napas dan sedetik kemudian, satu tanganku yang lain terangkat ke depan wajahku.
Satu undangan itu membuat kepalaku terasa semakin memberat seketika.
Di sana jelas-jelas tertulis Enrick Rahman Adinata dan Kiandra Pramesti. Dan itu adalah undangan pernikahan kami.
Kuhembuskan napasku sepanjang yang bisa kulakukan.
Pernikahanku sebentar lagi akan terjadi. Aku harus secepatnya mengucapkan selamat tinggal pada masa-masa bebasku.
Kemarin, waktu aku memutuskan untuk menerima keputusan itu, aku berpikir bahwa tak akan ada yang berubah dengan kehidupanku. Oke, aku memang akan menikah. Tapi kupikir aku sejatinya akan tetap bebas. Kukira pernikahan itu hanya menjadi sebuah status saja. Namun aku kecele. Bagaimana bisa aku melupakan betapa liciknya pria tua itu? Dan kali ini, ia kembali membuktikan bahwa selamanya ia akan menjadi musuh yang tangguh untuk dilawan.
Kakek mengundang seluruh relasinya. Tak tanggung-tanggung, seluruh rekan kerjanya baik itu di dalam ataupun luar negeri, semua diundangnya. Dan untuk melengkapi itu, dia bahkan mengundang pers untuk meliput. Wah! Tentu saja pernikahan itu akan dimuat di halaman depan koran bisnis.
Kalau seperti ini, aku tak mungkin lagi menutupi pernikahan ini di depan teman-temanku. Cepat atau lambat, mereka semua akan mengetahui berita ini. Dan..., aaargh!
Mendadak aku merasa muak dengan ini semua!
Tubuhku beranjak bangkit dan langkah kasar membawaku keluar dari kamarku. Aku harus menyelesaikan masalah ini sekarang. Aku benar-benar tak bisa menghabiskan waktuku untuk terikat pada seorang wanita. Aku tak mungkin menyia-nyiakan hidupku dengan makhluk mengerikan itu!
"Dug!"
"Dug!"
"Dug!"
Dengan sekuat tenagaku aku menggedor pintu kamar di depanku. Sesekali suaraku pun keluar memanggil namanya. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa wanita ini sampai tinggal di rumahku.
"Kiandra!" teriakku penuh emosi. "Buka pintunya, Kian!"
Aku kembali menggedor pintu itu tanpa ada rasa sabar sedikitpun.
"Kian! Keluar! Kita perlu bicara!" teriakku lagi. "Aku harus mengatakan ini padamu!"
Gedoranku pada pintu itu makin lama makin mengeras. Rasanya aku begitu meledak ketika untuk beberapa saat tak kutemui tanda-tanda bahwa pintu itu akan terbuka. Aku bahkan sudah berpikir untuk mendobrak pintu itu sebentar lagi. Tapi, kemudian kudengar suara kunci yang terbuka.
Pintu itu perlahan terbuka dan menampilkan satu wajah yang terlihat ketakutan.
Aku meringis. Bagaimana bisa ia menerima pernikahan ini sedang ia hampir saja selalu ketakutan ketika berhadapan denganku?
"Enrick," lirih Kiandra pelan menyebut namaku sembari menyembunyikan setengah tubuhnya di balik pintu.
Aku menahan pintu itu agar tak tertutup tiba-tiba dengan sebelah tanganku. Aku menatapnya tajam dan ia langsung terlihat meneguk ludahnya. Tapi, ia membalas tatapanku. Kedua matanya menatap milikku. Dan itu sejenak membuatku bingung. Aku tak tahu sesuatu yang tersirat di sana. Ehm. Atau apa yang ia pikirkan ketika ia menatapku.
"Ada apa, Enrick?" Kiandra bertanya dan langsung membuyarkan lamunanku.
Rahangku mengeras tatkala kuingat lagi maksud kedatanganku ke kamarnya.
"Ada yang perlu kita bicarakan."
Mata Kiandra membulat. Setelah kupikir-pikir, wanita ini tentu punya kebiasaan unik. Membulatkan matanya kalau ia sedang heran atau terkejut.
"Malam-malam seperti ini?"
Aku mengangguk. "Kita harus bicara sekarang," desisku dalam dengan penuh penekanan. Dan kubawa tubuhku untuk sedikit mendekati wajahnya yang membeku. "Aku mau kita bicara soal pernikahan kita. Sekarang!"
"Ehm." Kiandra mendehem seraya spontan menutup mulut dan hidungnya.
Aku mengerti untuk refleksnya itu. Dan aku sama sekali tidak tersinggung.
"Kau mabuk, Rick."
Aku menggeleng. "Aku tidak mabuk, Kian." Aku mulai meradang sekarang. Entahlah. Kurasa aku punya sedikit masalah dengan yang namanya sabar. "Dan sekali lagi kukatakan. Aku ingin kita bicara."
Kiandra mengangguk. Kemudian, ia membuka lebar pintu kamarnya. Sejenak kupikir ia tak ada bedanya dengan Sherryl, tapi ternyata tidak. Ia meraih ikat rambutnya di meja dan sambil mengikat rambut panjangnya, ia kembali berkata padaku.
"Kurasa kita bisa bicara di bawah." Ia melewatiku tanpa menutup kembali pintu kamarnya. "Akan kubuatkan kau secangkir teh mint hangat."
Aku berkerut.
"Kurasa itu akan membuat kau menjadi lebih baik."
Dan ia tanpa menungguku langsung saja melangkahkan kakinya menuruni tiap anak tangga.
Ketika kupikir tak ada salahnya dengan secangkir teh mint hangat, akhirnya tanpa membuang-buang waktu akupun mengikutinya. Ia membawaku ke dapur dan aku memilih untuk duduk di kursi sembari mengamati tangannya yang luwes dalam menyedu teh untukku.
Tak lama kemudian satu cangkir teh mint hangat tersaji di depanku. Aku segera meraih dan menyesapnya sedikit. Rasa hangat dan menyegarkan sontak menyapa sarafku. Membuat penglihatanku terasa lebih terang sekarang.
Kiandra menarik satu kursi dan duduk di hadapanku. Dengan bertopang dagu pada satu tangannya ia bertanya. "Apa yang ingin kau katakan?"
Kuhela napas dan kuletakkan kembali cangkir itu kembali di atas meja. Kutatap matanya. "Aku ingin kita membatalkan pernikahan ini."
Dan ketika ia mendengar perkataanku, lagi-lagi, kulihat matanya membulat. Ada apa dengan kenyataan matanya yang sering membulat itu?
"Apa yang kau inginkan, Rick?" Kiandra bertanya dengan tampang sok polosnya. "Kukira telingaku sedikit bermasalah sekarang."
Aku menggeleng. "Telingamu masih sehat." Kutegaskan lagi padanya untuk yang kedua kalinya. "Aku ingin kita membatalkan pernikahan ini."
Kiandra terdiam. Seolah ia sedang menungguku untuk melontarkan berbagai alasan yang sekiranya diperlukan untuk membatalkan rencana pernikahan. Hubungan yang tak dilandasi perasaan, orang ketiga, atau apa pun yang sering tokoh-tokoh novel dan film katakan. Tapi, ini kehidupan nyataku. Aku tak membutuhkan berbagai alasan klasik itu sekarang.
"Aku tak mengenalmu, Kian," lanjutku akhirnya. "Kau pun tak mengenalku. Dan menurutmu bagaimana kita bisa menikah?"
Kiandra masih diam.
"Kau tak mungkin mengharapkan pernikahan denganku, bukan?" tanyaku lagi. "Kau tahu bagaimana kehidupanku?"
Kutunggu respon Kiandra untuk pertanyaanku yang terakhir. Lalu, Kiandra mengangguk.
"Aku tahu bagaimana kehidupanmu."
Seringai licik muncul di bibirku. "Kalau begitu kau pasti tahu bahwa menikah denganku bukanlah pilihan yang bagus, kan?"
Mata Kiandra kembali membulat.
"Bukan seperti itu, Rick."
Dahiku berkerut. "Apa maksudmu?"
"Aku memang tahu bagaimana kehidupanmu," lanjut Kiandra perlahan. "Beberapa hari sebelum kau pulang aku pun sempat meragukan keputusanku." Ia menggantung ucapannya dan membuatku harus menahan napas untuk meredakan kesal di dadaku. "Tapi, ketika pagi dimana kulihat dirimu, ehm, aku tak meragu lagi."
Kali ini kurasa kedua alisku menyatu karena kerutan di dahiku yang semakin parah. "Apa maksudmu?"
Ia menunduk. Dan seketika membuat perasaanku menjadi tak enak.
"Kupikir aku sekarang malah menginginkan pernikahan ini." Ia menghela napas. "Kukira akupun sudah jatuh cinta padamu."
Mendengar itu sontak saja tanganku memukul meja di antara kami dengan kuat. Hingga membuat teh di dalam cangkirku beriak dan membasahi taplaknya. Ia terkejut mendapati responku yang seperti itu.
"Kau bilang kau jatuh cinta padaku?" Aku tertawa sinis. Wah! Lihatlah pengaruh uang dalam membuat perasaan. Hilang sudah kesempatanku untuk membatalkan pernikahan ini.
Wanita di depanku sudah sangat terpikat dengan kekayaan yang keluargaku miliki. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, ketika kurasa pernikahan tak mungkin dihindari maka pilihanku hanya ada satu lagi yang tersisa. "Pernikahan itu tidak akan menjadi pernikahan yang kau harapkan, Kian. Aku memperingatkanmu sebelum semua menjadi terlambat." Kutahan mataku untuk tetap menatapnya. "Kau lihat, bukan, bagaimana kehidupan keluargaku?" tanyaku padanya. Dan ia bergeming. "Pernikahan kita nanti tak akan beda jauh dengan pernikahan orang tuaku."
Aku benci ketika aku harus membawa topik memalukan tentang keluargaku sendiri menjadi bahan pembicaraan. Aku tak pernah ingin membicarakan aib itu. Tapi, setidaknya sekarang aku harus melakukannya. Sebisa mungkin aku akan tetap berusaha agar wanita bodoh ini mengurungkan niatnya untuk menjadi istriku. Dan tentu saja, kuharap ia berpikir ulang lagi ketika ia mengatakan cinta padaku.
"Pernikahan antara kita bukanlah hal yang benar. Kalaupun kita benar-benar akan menikah, maka itu hanyalah satu cara agar kita bisa merasakan perceraian, sebagaimana yang dialami orang tuaku. Kita menikah hanya untuk bercerai." Kuhela napas panjang. "Sebulan kau masih bertahan, kurasa. Tapi, memasuki enam bulan ke depan kau akan tahu bahwa aku bukanlah pria yang pantas untuk menyandang status suami. Untuk wanita manapun. Apa kau masih tak mengerti?"
Kiandra menggigit bibir bawahnya sekilas. Dan lalu, akhirnya ia kembali bersuara.
"Katakan padaku, Rick." Ia menatapku dalam. "Apa kau memliki wanita di luar sana yang kau cintai?"
Aku melongo. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Dan aku terkekeh lirih. Aku menggeleng. "Aku tak butuh alasan kampungan seperti itu untuk membatalkan pernikahan kita," jawabku. "Kalaupun aku memiliki wanita di luar sana, hal sepele seperti pernikahan ini tak akan mengubah apa pun mengenai hubunganku dengannya." Aku tertawa sinis memikirkan pikiran kolotnya.
Kiandra menghela napas.
Menghela napas lega?
Ah, persetan!
"Kalau kau tak punya wanita lain di luar sana," lanjutnya lagi dengan suara yang kudengar mantap, "kurasa kita tak punya alasan untuk membatalkan pernikahan ini, Rick."
Aku menatapnya tak percaya.
"Kita sudah sama-sama dewasa. Dan tak ada salahnya untuk kita menikah."
Wah! Kupikir aku sempat salah menilai wanita ini. Dulu kukira ia adalah tipe wanita yang akan langsung mencicit ketakutan ketika kukatakan hal yang sebenarnya. Tapi? Dia malah yakin dengan keputusan pernikahan ini?
"Kau tak mungkin bisa bertahan denganku." Aku tertawa sinis. "Harusnya kau lihat bagaimana tampang ketakutanmu tiap kali kau melihatku. Bagaimana bisa kita hidup bersama sedang tiap saat kau ketakutan akan hadirku?"
Kiandra tersentak. Dan matanya kembali membulat.
"Maafkan aku, Rick. Aku hanya belum terbiasa dengan emosimu yang mudah meledak dengan tiba-tiba." Ia berusaha tersenyum. "Seiring waktu, aku akan lebih menerima kebiasaanmu itu."
Dan sekarang, semua pembicaraan antara aku dan Kiandra kurasa sudah menjadi tak berguna lagi. Dia sama keras kepalanya dengan Kakek. Aku benar-benar tak menyangka bahwa wanita dengan tampang polosnya bisa sekeras kepala seperti ini. Huh! Tentu saja lelaki tua itu telah membelah dunia untuk bisa menemukan wanita muda yang sama keras kepalanya dengan dirinya.
"Kaupun nantinya juga akan begitu, Rick."
"Maksudmu?" tanyaku.
Oh, jangan bilang bahwa aku juga akan menerimanya. Semua orang tahu itu tak mungkin terjadi. Tapi, setidaknya itulah yang akhirnya ia katakan.
"Kau juga akan menerimaku." Ia kembali tersenyum. "Kau hanya belum mengenalku, Rick. Ketika kau sudah mengenalku maka kaupun akan memandangku dengan cara yang lain."
Wah! Harus kuakui aku sedikit terkesan dengan rasa percaya dirinya yang besar. Aku mendengus. "Kukatakan padamu, Kian. Tak akan ada yang berubah di antara kita. Baik itu sekarang ataupun di waktu yang akan datang."
Matanya kembali membulat.
"Kuharap kau ingat ini. Kau tak bisa masuk ke dalam kehidupan seseorang dan dengan percaya dirinya mengatakan bahwa kau mampu mengubah apa yang sudah membatu di kehidupan orang itu." Aku beranjak dari dudukku. "Kau hanya membuang-buang waktumu. Dan kukatakan lagi. Hidupmu akan menjelma menjadi neraka dunia tepat di hari kau menjadi istriku." Aku menatapnya lagi sebelum memutuskan untuk beranjak. "Kau akan menyesali keputusanmu ini. Dan aku dengan senang hati membantumu untuk menikmati setiap penyesalan yang kau rasakan nanti."
*****
Dan begitulah yang selanjutnya terjadi. Pernikahan memang tak bisa dibatalkan. Percuma aku menyangka bahwa Kiandra itu wanita polos. Tak ada wanita polos baik-baik yang ingin menjadi istriku.
Sekarang aku bisa melihat betapa luasnya undangan pernikahanku itu akan tersebar. Aku sekarang tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pernikahan akan terjadi dan tinggal menghitung hari. "Dan setelah itu", aku menyeringai, "kau akan mendapatkan balasanmu, Kian," tekadku.
"Jadi, mana Enrick yang tak pernah menyentuh wanita itu menghilang?" Alex tergelak dan sedikit menyentuh gelasku dengan miliknya. Ia meminum isi gelasnya dan kembali tergelak. Membuat aku muak melihat tingkahnya.
"Kau sama sekali tak membantu, Alex." Aku beringsut dan merebahkan kepalaku ke belakang. Membiarkan leherku sejenak sedikit menyantai di posisi itu. "Aku tak pernah berpikir kalau aku akan menikah."
Alex menyeringai. "Kulihat, wanita itu, ehm, Kiandra Pramesti, bukan, namanya?"
Aku mengangguk.
"Dia cantik. Menurutku tak terlalu merugikan untukmu bisa menikah dengannya. Hahaha."
Aku tak menggubris gurauan Alex. Andai aku adalah dia, tentu saja pernikahan ini akan aku terima dengan senang hati. Dia memang tak akan menyiakan kehadiran wanita manapun. Tapi, aku bukanlah pria seperti itu. Aku sama sekali tak berniat menyentuh wanita. Wanita adalah makhluk yang membuat seluruh sel dalam tubuhku serasa mati.
"Itu adalah hal yang selama ini tak kumengerti darimu, Rick."
Aku mendehem. Tak berniat memancing pertanyaan Alex. Walaupun pada akhirnya ia tetap menanyakan hal yang sama padaku untuk yang kesekian kalinya.
"Mengapa kau anti wanita?"
Aku tak menjawab.
"Kau tahu? Wanita dan pria itu diciptakan untuk saling menikmati!" Alex tergelak. "Kau belum menemukan surga dunia yang sebenarnya sampai kau menyentuh makhluk yang bernama wanita."
Aku hanya tersenyum hambar.
"Kurasa kapan-kapan aku harus berterima kasih pada mereka semua karena selalu berhasil memberikan pemandangan yang membuat mata jadi lebih rileks."
Mendengar celotehan Alex mau tak mau membuatku akhirnya tertawa lirih juga. Kupikir sekarang Alex sudah terlalu jauh melantur. Dan ia semakin melantur ketika Sherryl duduk di pangkuannya.
Aku melirik wanita itu sekilas dengan ujung mataku dan melihat ia mengirimkan senyum padaku. Aku tak membalasnya, melainkan kembali menengadahkan kepalaku ke posisi semula dan menutup mata.
Beberapa detik kemudian kudengar suara berdecak dan erangan mereka. Tanpa melihat pun aku tahu apa yang sedang meraka berdua lakukan.
Aku memilih tak menghiraukan mereka. Bahkan kalaupun mereka ingin bergulat di depanku pun tak jadi masalah.
Kuhela napas panjang. Sejenak aku teringat kembali dengan pertanyaan Alex beberapa saat yang lalu. Aku anti wanita? Bukan. Aku bukan anti wanita. Tapi, aku membenci wanita. Salah satu hal yang membuat kehidupanku menjadi berantakan seperti ini adalah wanita. Aku tak akan pernah melupakan tiap perbuatan yang dilakukan wanita itu padaku. Yang akhirnya membuatku merasakan kebencian mendalam pada tiap wanita.
Aku sudah bertekad sepanjang hidupku untuk tak berhubungan dengan wanita. Bahkan memikirkannya saja membuat ususku terasa dipelintir ke semua arah.
Wanita itu makhluk yang diciptakan dengan segala keindahannya yang ia manfaatkan untuk menyakiti orang lain. Makhluk yang memegang prinsip sebagai makhluk lemah tapi justru menyakiti orang lain. Dan ketika semua itu sudah terjadi, dia akan pergi melenggang seolah yang ia lakukan adalah hal yang wajar. Demi mengejar kebahagiaan, dalihnya.
Jadi, apa lagi yang sekarang aku harapkan dengan kehidupan rumah tangga yang akan segera menyapaku? Membiarkan Kiandra masuk dan kemudian mengubah tatanan kehidupanku yang sudah tersusun rapi sedari dulu? Aku menggeleng. Tak akan pernah. Hal itu tak akan terjadi sampai kapan pun. Dia boleh menikmati semua harta yang keluargaku miliki, tapi aku tak akan mengizinkannya menjamah kehidupanku.
*****
PART 3 YANG AKU SELIPIN DI SINI [GA TAU APA KEHAPUS YAK PART 3 NYA -_-]
Hari Sabtu itu seluruh orang yang berada di rumahku sudah sibuk bahkan sebelum ayam bangun dari tidurnya. Dan akupun dengan berat hati turut berpartisipasi menjadi salah seorang yang sibuk itu.
Pernikahanku akan dilangsungkan hari itu di sebuah gedung megah. Kami bersiap dan aku melewati semua kegiatan hari itu tanpa menaruh minat sama sekali. Bahkan ketika penata rias menyentuh tubuh dan wajahku sesuka hati mereka, aku pun bergeming. Kalian bisa menganggap aku boneka sekarang, asalkan kalian senang, pikirku.
Sebentar lagi aku akan melepas status lajangku dengan seorang wanita yang tak kukenal sebelumnya. Tapi lebih penting dari itu, aku justru memikirkan satu hal sedari tadi. Apakah ia akan datang hari ini? Apakah ia akan menyaksikan pernikahanku?
Oh, Enrick! Apakah sekarang kau berharap? Kau mengharapkan kedatangannya? ejek hatiku.
Dan aku menggeleng pada bayanganku sendiri yang terpantul di cermin lebar. Aku tak pernah lagi berharap. Berharap hanya akan membuat luka yang kau dapat menjadi lebih menyakitkan.
Kuhela napas. Aku tak peduli akan kedatangannya. Dan aku memang harus seperti itu.
Aku melalui keseluruhan rangkaian acara pernikahan hari itu dengan tanpa ekspresi dan di saat itulah aku pun menyadari sesuatu. Dia memang tak datang. Jadi untuk apa aku harus membaik dan berdamai pada hidupku?
Hal lainnya yang aku ketahui berkat acara itu adalah kenyataan bahwa orang tua Kiandra hanya tinggal Ayahnya. Dan menurut penilaian singkatku, Ayahnya sedang dalam keadaan yang tak cukup sehat. Selama acara dapat kudengar batuk berulang Ayahnya dan wajahnya yang memucat. Aku pun tak heran ketika Ayahnya terpaksa meninggalkan pesta di tengah acara.
Pada saat Ayahnya akan pergi, sempat kulihat Kiandra memeluk pria itu erat. Sekilas kutangkap peristiwa dimana air matanya menetes. Ayahnya tersenyum dan membelai kepala Kiandra dengan perasaan yang sulit untuk kujelaskan. Dan setelah itu, ia tampak mampu menguasai dirinya kembali. Ia sukses melepas kepergian Ayahnya dengan senyum.
Dan aku? Akibat banyaknya pers yang berdatangan, dengan berat hati akupun memeluk tubuh pria itu.
"Tolong jaga anakku, Enrick." Suaranya terdengar lemah. "Kau pasti laki-laki yang hebat. Mampu membuat Kiandraku mencintaimu."
Aku meringis. Apa wanita yang kunikahi ini artis Hollywood? Bagaimana bisa ia memancarkan wajah seolah penuh kebahagiaan sepanjang hari? Hingga sukses membuat siapa pun yang memandang menganggap bahwa dirinya memang sedang berbahagia akan pernikahan ini.
Ehm. Aku pikir tentu ia memang sangat berbahagia hari ini. Dia menikahi pewaris tunggal untuk semua kekayaan Kakek. Jadi, apa ada hal yang bisa membuatnya tidak bahagia? Kurasa tak ada.
Berbicara mengenai pesta pernikahanku, ada satu hal yang membuatku sedikit tak nyaman. Teman-temanku datang. Aku tak tahu mengapa mereka datang. Kupikir mereka tak akan mau datang ke pesta semacam ini. Terlebih lagi, jujur kukatakan, aku sebenarnya tak ingin mereka mengenal Kiandra. Dan aku juga berharap agar Kiandra tak mengenal mereka. Tapi, semua terlambat.
Ketika rombongan Alex datang dan mengucapkan selamat padaku dan Kiandra, aku hanya berusaha bertingkah senormal mungkin. Ya, setidaknya aku berhasil tersenyum dan menyambut pelukan selamat mereka.
"Kau benar-benar menikah, bro!" Alex tertawa.
Dan aku tahu kalau itu adalah ejekannya. Oke, Alex. Aku memang sangat tepat untuk diejek sekarang.
"Selamat."
Aku menyambut uluran tangan Sherryl dan ia segera beranjak mengucapkan selamat yang serupa pada Kiandra. Sadar atau tidak, saat itu aku mengekorinya dengan ujung mataku. Kiandra tampak tersenyum ketika mendengar Sherryl menyebut bahwa dia adalah temanku. Bahkan Kiandra tak segan-segan mengundangnya untuk berkunjung ke rumah kami di lain waktu. Kupikir dia terlalu bahagia menjadi istriku hingga tak sadar mengundang wanita itu.
Ketika acara pernikahan itu berakhir, aku dan Kiandra diantar ke sebuah hotel penuh privasi untuk beristirahat. Aku sudah dapat mengerti apa makna beristirahat di sini. Tapi, tenang saja. Aku memang akan benar-benar beristirahat. Terutama karena sepanjang hari aku terpaksa harus tersenyum di depan puluhan kamera yang siap siaga mengabadikan tiap moment yang tercipta.
Sesampainya di kamar hotel tersebut, aku langsung membanting tubuhku ke tengah-tengah king size bed yang dihiasi kelopak mawar merah. Bahkan tubuhku juga merusak rangkaian romantis bertulis I LOVE YOU di sana. Kupikir-pikir, mengapa kamar pengantin harus dihias seperti ini?
"Kau terlihat capek, Rick."
Kurasakan satu tempat di dekatku sedikit melesak seiring dengan kudengarnya suara itu.
"Ehm." Aku hanya mendehem pelan.
"Mungkin kau harus mandi dulu, biar tubuhmu sedikit nyaman."
Aku tak merespon perkataannya. Kututup mataku. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, aku memutuskan untuk hanyut dalam tidur lelapku. Aku memang butuh istirahat saat itu.
Keesokan harinya, kurasakan sinar menyilaukan yang berusaha menerobos kelopak mataku. Aku tersentak sedikit namun tak membiarkan mataku untuk terbuka. Kemudian, aku sedikit beringsut membalikkan badan, berusaha kembali menyusup ke balik selimut.
Ehm. Namun tiba-tiba hidungku menangkap bau sesuatu yang sontak membuat perutku langsung merespon aroma tersebut. Tanpa mampu kutahan lebih lama lagi, akhirnya aku bangkit duduk.
Tanganku refleks mengucek-ucek kedua mataku agar kembali terbiasa dengan sinar benderang. Kemudian, tanganku beralih ke kepalaku. Mengacak-acak helaian hitam di sana.
Satu wajah yang tersenyum langsung tertangkap retina mataku. Ia menghampiriku. Dan duduk di dekatku. "Selamat pagi."
Aku tak merespon.
Aku memutar kepalaku ke berbagai arah hingga kurasa aku mulai terasa rileks kembali. Dahiku berkerut ketika melihat keadaanku. Seingatku kemarin waktu aku tertidur aku masih memakai lengkap pakaianku. Dan sekarang? Sepatu, jas, dan dasiku sudah terlepas. Hanya menyisakan celana dan kemeja putihku yang sudah terbuka kancingnya di beberapa tempat.
"Maaf." Kiandra tampak bersuara lagi. "Kulihat malam tadi kau tak nyaman dengan semua itu, jadi aku melepasnya untukmu."
"Lain kali kau tak perlu melakukan itu," ujarku sambil bangkit. "Aku bisa mengurus diriku sendiri."
Aku beranjak ke meja yang terletak di seberang ruangan. Beberapa makanan dan minuman sudah tersaji di sana. Belum juga langkahku mengantarkanku persis di sana, kulihat Kiandra setengah berlari mendahuluiku.
"Aku tadi meminta teh mint untukmu," lirihnya sambil menuang air ke dalam cangkir yang kuyakini itu pasti teh mint yang ia maksud. Ia menyodorkan cangkir itu padaku.
Aku meraihnya setelah aku nyaman duduk di kursi. Aku menyesapnya pelan. "Kurasa teh di sini tak terlalu enak." Aku meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja. Aku meraih sepotong roti dan memakannya.
Kiandra hanya diam melihat responku dan tanpa kata-kata mengamatiku yang sedang makan.
Kulirik ia sekilas. "Apa kau bisa kenyang dengan hanya melihatku makan?"
"Eh?" Mata Kiandra membulat. "Aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk bicara padamu, Rick."
Alisku mencuat sebelah. "Apa itu?" tanyaku. Sedang dalam hati aku berharap agar ia tak membuang-buang waktunya dengan bertanya apa selanjutnya yang akan kami lakukan.
Ia meneguk ludahnya sebelum ia kembali bersuara. "Bulan madu.., tentang bulan madu kita..."
Astaga!
Rasanya ingin sekali aku menepuk dahiku sekarang. Andai tak ada Kiandra pasti aku sudah melakukannya. Mengapa aku sampai melupakan hal yang satu itu? Tunggu! Kemana tepatnya Kakek menyusun perjalanan bulan madu kami?
Aku mendehem. "Ada apa dengan bulan madu?"
"Bisakah kita menundanya?"
Eh? Sontak saja pertanyaan itu membuatku kaget. Semula kupikir ia tentu dengan antusias menyambut rencana perjalanan itu. Semua pasangan pengantin baru pasti sangat antusias dengan yang namanya bulan madu.
Aku berusaha menjaga air mukaku agar tak terlihat bahagia saat itu. Alih-alih, kutatap matanya dan bertanya.
"Memangnya ada apa?"
Ia menghela napas. "Kau lihat kemarin bagaimana buruknya kesehatan Ayah? Aku tak ingin ketika kita bulan madu, aku justru mendapat kabar bahwa kesehatan Ayah semakin memburuk." Tampak kesedihan tersirat di raut wajahnya. "Aku tak ingin itu terjadi."
Aku terdiam untuk beberapa saat. Mengamati wajahnya yang terlihat begitu memohon padaku. Ehm, bisa kutebak kalau wanita ini sangat menyayangi ayahnya.
"Kau begitu memikirkan Ayahmu." Aku menyeringai.
"Maafkan aku, Rick," lirih Kiandra pelan. "Hanya aku yang bisa menjaganya sekarang. Kakakku sedang tak berada di Indonesia."
Kedua alisku spontan menaik. Aku baru tahu kalau ia punya seorang kakak. Oke, seorang ayah dan kakak. Bagaimana dengan ibunya? Ehm. Tapi aku tak berniat untuk menanyakan hal itu padanya.
"Yah!" desahku kemudian. "Kalau memang begitu keinginanmu, apa boleh buat," lanjutku. "Kita bisa mengatur perjalanan itu lain waktu. Kupikir kau memang harus mengutamakan kesehatan ayahmu."
Dan mendengar perkataanku, matanya terlihat membulat. Namun, ada binar di sana. Terlihat unik sebagai bentuk ungkapan bahwa sekarang ia merasa senang.
Tapi, hal yang tak kuantisipasi adalah ketika ia tiba-tiba menghambur ke arahku dengan kedua tangan yang terkembang. Detik selanjutnya kudapati wajahku yang menempel di lekuk lehernya sedang hidungku menyuruk ke helaian-helaian rambutnya yang wangi. Kurasakan napas hangatnya membelai daun telingaku. Lalu, kudengar ia berkata.
"Terima kasih, Enrick."
Aku menahan napasku. Menolak aroma lembutnya yang berusaha untuk menyapa saraf penciumanku.
"Kau memang suami yang pengertian."
Dan lantas, ketika aku belum terbiasa dengan semua tindakannya, kurasakan satu permukaan lembut yang hangat menempel sekilas di pipiku.
*****
Beberapa hari setelah pernikahan kami terjadi, aku harus menahan keinginanku untuk keluar dan bersenang-senang. Setidaknya aku harus sedikit menunjukkan pada orang-orang bahwa aku sekarang adalah seorang pria beristri yang sedang dalam keadaan mabuk cinta.
Dan kini kurasakan aku sudah hampir meledak menahan keinginan itu. Hingga satu pesan yang masuk ke ponselku membuatku lega dan mampu menahan keinginanku semula.
Semua baik-baik saja, Tuan.
Tak ada yang perlu Anda cemaskan.
Ternyata semua tidak seburuk yang kukira. Kakek menepati janjinya. Ia masih bersedia menjaga hartaku yang terakhir dengan baik di sana. Tak apa aku tak dapat melihat sesering yang aku mau, tapi yang terpenting ia tetap ada dan terjaga. Itu sudah cukup untukku.
Hari itu kembali kuawali pagi dengan menyaksikan Kiandra yang bersemangat dengan perlengkapan masak di dapur. Ketika aku sampai di bawah, ia langsung menyeretku untuk duduk di meja makan. Dan ia bergegas menghidangkan hasil masakannya di hadapanku.
Masakannya tak buruk. Bahkan bisa kukatakan ia mampu memasak dengan baik. Itu adalah hal pertama yang tak kuduga tentang dirinya. Semula aku menganggap ia sama dengan wanita kaya lainnya. Kau tahulah maksudku apa. Pesolek, maniak shopping, dan anti dapur. Tapi, aku salah menilainya untuk yang pertama kali. Ia berbeda. Dan aku cukup terkejut ketika menyadari bahwa hal pertama dari Kiandra yang kutahu berbeda adalah kenyataan dimana ia sangat ahli soal meracik masakan.
"Apakah kau suka rasanya?" tanya Kiandra ketika aku menyuap nasi goreng ke mulutku.
Aku mengunyah nasi goreng itu perlahan. Dahiku sedikit berkerut. Dan kulihat matanya mulai membulat.
"Kau tak suka," lirihnya pelan.
Wajahnya mendadak mendung. Dan entah mengapa itu membuatku merasa aneh.
"Bukan tak suka," ucapku kemudian. "Nasi goreng ini enak. Hanya saja aku sedang mencoba menerka apa yang kau masukkan hingga rasanya seperti ini."
Matanya kembali membulat. "Benar?"
Dengan enggan aku mengangguk.
"Itu resep rahasia dari mendiang Ibuku." Ia berkata dengan senyum yang lebar.
Dan entah mengapa, itu justru membuat kunyahanku terhenti. Itu adalah hal yang kuhindari. Aku tak ingin ia semakin mendekat padaku. Kau tahu apa yang terjadi ketika kau mulai menceritakan kisahmu pada orang lain? Ya. Satu perasaan yang bernama kenyamanan sedang tercipta. Dan aku tak ingin ia merasakan itu padaku.
Jadi, demi menghindari hal buruk yang tak kuinginkan, aku mendadak bangkit dari kursiku. Harusnya dari awal aku tak selonggar ini. Tapi percayalah. Mulanya aku juga tak ingin menggubris Kiandra. Tapi ia selalu mengekoriku kemana saja. Bahkan ia pernah menolak untuk makan ketika aku memutuskan tak ingin makan bersamanya. Bagaimana aku bisa membuat dia sakit? Lantas apa yang akan digosipkan media?
Tapi, ternyata manusia dimana saja tetap sama. Ketika kau diberi satu kebaikan niscaya kau akan menuntut kebaikan yang kedua. Cepat atau lambat, kau akan tetap melakukannya.
"Kau mau kemana, Rick?" tanya Kiandra sambil menahan tanganku. "Sarapanmu tak kau habiskan."
Aku menyentak lepas tanganku dari tangannya. Mata itu kembali membulat merespon perlakuanku.
"Aku ada urusan di luar." Aku menjawab seadanya. "Kau tak perlu menungguku. Kurasa untuk beberapa hari aku tak pulang."
"Tapi, En---"
"Berhenti bertingkah seolah kita memang suami istri, Kian," tukasku cepat memotong ucapannya. "Kau tahu kita tidak seperti itu."
Ucapanku sukses membuatnya terdiam melongo.
"Kau urus saja rumah ini sebaik mungkin. Nanti kalau urusanku sudah selesai, aku pasti pulang."
Setelah mengatakan hal itu, aku segera berlalu. Tak menghiraukan Kiandra yang menatap penuh tanya padaku, aku melangkah keluar sembari mengeluarkan kunci mobil dari saku celanaku. Kuputuskan untuk beberapa hari ke depan aku tak akan pulang. Ada banyak tempat yang bisa kusinggahi, asalkan aku tak harus bertemu Kiandra.
Kiandra. Wanita itu mulai terasa menyebalkan tiap harinya. Dimulai di hari pertama kami pulang ke rumah setelah dua malam menghabiskan waktu di hotel, dia mulai bertingkah seolah ia adalah istriku yang sebenarnya. Dan entah dari kapan, tapi baru di hari itu aku menyadari bahwa semua perlengkapannya sudah berpindah ke kamarku. Sangat tidak mungkin bagiku untuk mengusirnya kembali ke kamarnya. Terlebih lagi dengan risiko dinding yang bertelinga. Itu adalah hal yang harus kau hadapi ketika rumahmu memiliki selusin asisten rumah tangga. Mereka tentu dengan senang hati menyaksikan sedikit saja keanehan di antara kami sebagai bahan pembicaraan.
Sejujurnya aku tak peduli dengan gosip. Dari dulu aku memang sudah terlalu sering dibicarakan. Tapi, entah mengapa kurasa Kiandra mungkin tidak sama denganku. Aku ingat satu kejadian di pesta pernikahan kami. Kala itu tanpa sengaja ia mendengar gosip yang mengatakan bahwa ia hamil di luar nikah dan alasan itulah yang membuat kami menikah dadakan. Aku hanya tertawa hambar ketika ia mengatakan itu padaku. Tapi, saat itu kulihat matanya yang membulat tampak berkaca-kaca. Aku ingat waktu ia berkata.
"Bagaimana bisa mereka mengatakan hal sekeji itu? Ayahku pasti merasa sedih kalau mendengar hal itu."
Sejak itu kupikir tentu Kiandra memiliki kehidupan yang lebih baik dariku, bukan? Kentara sekali ia begitu memperhatikan Ayahnya. Bahkan ketika ia mendengar gosip itu, yang menjadi pikiran pertamanya adalah Sang Ayah. Sejenak aku merasa iri dalam berbagai hal pada Kiandra. Oh, aku tak mungkin melupakan bagaimana pesan dan tatapan penuh harapan Ayahnya ketika menitipkan Kiandra padaku. Bahkan seorang Enrick yang tak pernah mendapat tatapan sesayang itu dari orang tuanya dapat mengerti, mereka berdua saling menyayangi. Dan itu membuat aku iri.
Hari selanjutnya, kuperhatikan ia semakin bertindak yang menurutku di luar batas. Aku memang akhirnya mengalah dan membiarkannya untuk tidur bersama di kamarku. Tapi aku tak menyangka untuk setiap tindakannya yang selalu ia lakukan padaku tiap hari.
Dimulai dari fajar menyingsing, ia akan berusaha membangunkanku. Aku bahkan tak pernah menggubrisnya. Terkadang aku malah sempat membentak dirinya. Kupikir ia akan berhenti, tapi esoknya ia kembali lagi dengan tingkah yang sama. Ada waktu itu, ketika aku sangat mengantuk karena tidur dini hari dan Kiandra berusaha membangunkanku, aku membentaknya dengan penuh murka.
Ia sangat terkejut mendengar bentakanku. Sepintas aku merasa tak enak karena bertindak seperti itu, tapi seketika rasa tak enak itu pun menguap. Bahkan selanjutnya aku malah memarahinya dan meminta agar ia tak lagi mengacaukan waktu tidurku.
Siangnya, ketika aku sudah bangun dari tidurku Kiandra bersikap padaku seperti biasa. Kupikir tentu wanita ini sudah tak memiliki saraf tersinggung lagi. Bagaimana bisa ia tetap menyajikan makan siang di hadapanku setelah kejadian itu? Bahkan ia bertanya dengan senyumnya. "Apa yang kau inginkan untuk cemilan sore? Kue atau puding?"
Wah. Tentu saja dia memang tipe wanita yang tak mudah tersinggung. Lantas, tanpa merasa berdosa aku pun iseng berkata padanya. "Kau tak perlu membuang-buang waktumu untuk bertingkah seolah kau sedang memperhatikanku atau melayaniku."
Mendengar perkataanku, Kiandra terdiam sejenak hingga ia membalas ucapanku. "Apa maksudmu?"
"Yah," lanjutku. "Kau bersibuk ria dengan membangunkanku, menyiapkan sarapan, dan semua hal yang kau lakukan, itu maksudku." Aku menatapnya. "Aku bisa mengurus hidupku sendiri. Lagi pula, beginilah hidupku. Aku tidur kapan pun aku mau, aku bangun kapan pun aku mau, aku pergi kapan pun aku mau, dan aku datang juga kapan pun aku mau. Tak ada yang harus kukerjakan dan aku tak perlu kerja. Kau tak perlu menyibukkan dirimu dengan hal yang tak penting."
"Kurasa..., mengurusmu hal yang penting."
Dan aku tertawa. "Tak ada yang mengurusku dari dulu. Hidupku pun tak perlu diurus. Aku bahkan mungkin tak ada kehidupan." Aku membawa satu tanganku untuk menopang daguku. "Kau tentu tahu, kan, bagaimana hidupku?" Aku menyeringai. "Aku sudah menghancurkannya. Dan akan seperti itu selamanya." Lantas, senyum sinis kuukir di wajahku.
Kali itu Kiandra terdiam agak lama. Aku hanya mengulum senyum melihat kedua matanya yang membulat tanpa tahu makna apa yang tersirat di sana. Hingga satu kalimat itu membuatku merasa ia semakin keterlaluan.
"Kau tak perlu khawatir," lirihnya pelan, "selalu ada kesempatan kedua."
Dan hatiku seolah diremas. Kesempatan kedua tak pernah ada untukku. "Memang mudah untukmu mengatakan itu. Kau tak pernah benar-benar tahu apa yang orang lain alami. Kau tak bisa menganggap semua orang memiliki kehidupan yang sempurna seperti milikmu."
Sekilas kulihat raut sedih di matanya yang membulat. Namun, kemudian matanya terlihat biasa kembali.
"Kau tahu sesuatu, Rick?" tanyanya sembari menatap dalam padaku.
"Apa?"
"Namaku," lirihnya seraya menghela napas panjang. "Namaku..., Kiandra.., ehm, artinya keajaiban."
Dahiku berkerut. Mengapa ia tiba-tiba membanting topik sedrastis itu?
"Waktu ibu mengandungku, kata dokter aku tak mungkin bisa lahir dengan selamat." Kiandra tampak menatapku, tapi matanya kosong. Ia berusaha tersenyum. "Ibu sedang sakit ketika mengandungku. Bahkan dokter pun menganjurkan agar ibu menyerah untukku. Tapi, ia tetap bertahan. Akhirnya aku lahir. Prematur, memang. Dan butuh perawatan beberapa bulan hingga akhirnya aku dinyatakan sehat." Kemudian ia tersenyum. "Untuk itu Ibu memberiku nama Kiandra. Ia mengatakan bahwa aku adalah keajaibannya."
Aku tak tahu harus berkata apa ketika ia menceritakan itu.
"Dan selama yang kuingat, Ibu tetap berusaha berjuang melawan sakitnya. Selama itu pula, aku selalu bersamanya. Aku menemaninya ketika ia di ruang baca, di taman, ataupun ketika ia hanya bisa terbaring di kasur."
Dan untuk beberapa alasan yang tak masuk di akalku, kali ini aku merasa begitu buruk telah membuatnya mengingat hal itu. Kurasa tak ada manusia manapun yang senang bila teringat kisah menyedihkan yang ia alami, kupikir termasuk dengan Kiandra.
Bahkan walaupun kejadian itu sudah terjadi beberapa hari yang lalu, aku entah mengapa merasa bahwa aku tak semestinya membuat ia teringat kenangan menyedihkan itu. Untuk alasan itulah sehingga terkadang aku memutuskan untuk sedikit longgar padanya. Kubiarkan ia memilih baju mana yang akan kupakai. Atau akan kujawab cemilan sore apa yang kuinginkan. Dan mendapati responku yang seperti itu, ia tampak senang dengan matanya yang lagi-lagi membulat. Pernah satu ketika aku ingin menanyakan tentang kebiasaan anehnya itu, tapi urung. Kupikir-pikir tak ada salahnya melihat ia sering membulatkan matanya.
Dan kembali lagi ke inti dimana aku saat itu secara tak sadar mengatakan bahwa hidupku sudah tak berguna lagi, ia seolah semakin memojokkanku.
"Kau hanya perlu percaya, Rick. Takdir selalu berpihak pada mereka yang percaya."
Aku mendengus mendengar ucapannya.
"Kalau kau berharap dengan penuh keyakinan, kurasa kau akan mendapatkan keajaibanmu." Kiandra tersenyum saat itu. "Takdirmu belum berakhir di sini."
Anggap aku buruk, tapi kalau takdir memang ada, mengapa ia melakukan ini semua padaku? Kurasa tak pernah ada takdir baik yang terjadi dalam hidupku.
Ah, semakin memikirkan hal itu kurasa diriku main tak karuan. Aku segera menyalakan mobil dan seketika aku melaju meninggalkan rumahku.
Sempat kulihat sekilas, Kiandra yang mematung melihatku di balik tirai tebal di ruang tamu.
"Kau tak seharusnya menikah denganku, Kian." Aku kembali merutuki hal yang sama.
Aku menyesal telah mengambil keputusan untuk menikah dengannya. Ia benar-benar akan menderita hidup denganku. Dan aku tak suka itu. Aku tak pernah ingin menjadi alasan bagi orang lain untuk menderita. Aku tak ingin membuat orang baik-baik menderita gara-garaku.
Memang, awalnya kukira Kiandra menikah denganku karena harta yang keluargaku miliki. Tapi, kurasa tidak. Setelah hampir dua minggu kebersamaan kami, ia tak meminta apa pun padaku. Ia tak pernah keluar dari rumah. Dan ia juga tak pernah kulihat memantau perkembangan fashion terbaru. Dengan berat hati aku kembali harus mengakui. Aku lagi-lagi salah menilainya untuk yang ke sekian kali.
Ketika kukatakan bahwa aku bertekad akan menghadirkankehidupan rumah tangga yang penuh dengan penderitaan padanya, itu semata karenakupikir ia adalah wanita gila harta yang rela menjual dirinya sendiri pada pria bejat sepertiku. Andai saja ia seperti itu, maka aku tak akan segan-segan lagi. Tapi, sayangnya ia bukan seperti itu. Harus kuakui, dia memang wanita baik-baik. Dan ketika aku memikirkan bahwa aku sempat ingin berbuat jahatpadanya, aku sontak teringat betapa ia dengan penuh cinta bercerita tentangmendiang ibunya, tentang kesehatan ayahnya, atau tentang keajaibannya. Aku tak seharusnya merusak kebahagiaan orang lain. Setidaknya, karena aku tahubagaimana rasanya ketika kebahagiaan kita dirusak.
*****
tbc...
semoga yang baca suka ya.... untuk part selanjutnya otw besok malam :D :D :D
23.20 WIB.
Bengkulu, 2017.02.04
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro