10
Hari itu Nura tepat berusia empat puluh hari dan aku tanpa menolak sedikit pun menyetujui keinginan Nenek untuk mengadakan syukuran. Malamnya rumahku yang selalu sepi mendadak ramai. Para tetangga dan keluarga semuanya berkumpul malam itu. Di sampingku Kiandra dengan setia menjaga Nura dalam gendongannya. Dan mataku selalu tertuju pada mereka. Kini kurasa aku tak perlu berpura-pura lagi untuk terlihat bahagia. Kurasa seperti inilah wajah orang yang bahagia.
Mereka yang datang kemudian mendekat silih berganti untuk sekadar dapat melihat Nura dari jarak yang lebih dekat. Mereka mengatakan betapa cantiknya, imutnya, dan aku tahu, mereka semua benar. Bagaimana mungkin bayi mungil ini tak cantik? Ia benar-benar mirip dengan Kiandra. Hatiku sedikit meringis. Kurasa tak ada kemiripan apa pun antara aku dan Nura. Ia benar-benar seperti replika Kiandra.
Ketika acara malam itu selesai, tanpa sengaja kukatakan apa yang ada di benakku pada Kiandra. Kala itu Nura baru saja tertidur. Dan Kiandra tampak kesusahan menahan tawa yang bersiap meledak dari mulutnya.
"Apa itu lucu?" tanyaku setengah berbisik.
Kiandra mengangguk. Ia memeluk perutnya. Matanya yang membulat tampak berair karena tawa. "Bagaimana bisa tidak lucu?"
Aku mendesah panjang seraya merebahkan tubuhku di kasur. Kulihat Kiandra juga melakukan hal yang sama. Ia memiringkan tubuhnya dan kulihat ia yang menatapku.
"Kau mungkin tak menyadari bahwa Nura mirip denganmu."
Aku turut memiringkan tubuhku dan membalas tatapannya. "Memang tak ada."
"Matanya." Kiandra tersenyum. "Ia memiliki matamu dan pantas saja kau tak menyadarinya."
Seketika perasaanku menjadi tenang mendengarnya. Apakah itu sekarang menjadi hal yang penting untukku?
Kurasa, ya.
Dan begitulah hari-hariku selanjutnya berlalu. Aku menikmati kesibukanku yang mengharuskanku membagi perhatianku antara Papa dan Nura. Sesekali kuajak Nura untuk turut berkumpul dengan Papa. Papa terlihat begitu bahagia. Tak akan ada yang tak bahagia ketika melihat wajah Nura. Senyumnya, celotehnya, dan tatapannya. Semuanya mampu menghipnotis siapa pun yang melihatnya.
Terkadang aku pernah berpikir, apakah semua yang tengah kualami saat ini adalah kenyataan? Aku bahkan mengira saat itu aku sedang bermimpi. Tentu, mimpi yang sangat indah. Sekarang lihatlah kehidupanku. Aku memiliki Papa. Dan aku juga memiliki Nura. Serta Kiandra, ia tetap berada di rumah ini. Ia sama seperti sebelumnya. Di sela-sela kesibukannya mengurus Nura ia akan tetap berusaha turut mengurus Papa. Padaku? Setidaknya ia menyempatkan untuk membuat minuman kesukaanku tiap sore. Teh mintnya. Entah dimulai sejak kapan, tapi kurasa ada sesuatu yang kurang kala aku tak menyeruput teh seduhan tangannya.
Semua terasa begitu sempurna. Aku bukan manusia munafik yang mencoba menampik kenyataan yang ada. Semua orang juga mampu melihatnya. Aku sekarang menjelma menjadi pria yang bahagia. Kupikir inilah keluarga yang sebenarnya.
Selain dari itu, entah sejak kapan, aku jadi terbiasa berbincang dengan Andreas. Ya. Kakak Kiandra sering datang berkunjung datang ke rumah demi bertemu dengan Nura. Aku tahu. Siapa pun tak akan merasa cukup bila hanya sekali bertemu dengan bayi mungil itu. Dan dimulai dari sanalah semuanya terjadi, kurasa. Ketika aku dan dia sering berbicara tentang bisnis yang ia kelola. Aku mendengarkannya. Kemudian ia akan meminta saranku, untuk selanjutnya kukatakan apa yang ada di benakku. Hingga kupikir sore itu ia tengah memujiku.
"Kau benar-benar terlihat seperti pewaris yang sesungguhnya." Andreas tertawa. "Jangan tersinggung. Ini pujian. Dan kukatakan kau benar-benar berbakat dalam bidang seperti ini."
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Kau bisa mencobanya, Rick," lanjut Andreas. "Kukira Kakekmu sedang mencoba merambah ke bidang itu."
Semula aku tak menanggapi serius perkataan Andreas. Namun semua terjadi begitu saja ketika di suatu hari aku ikut berkumpul dengan para relasi Kakek di suatu acara amal perusahaan. Kukira saat itu penting bagiku untuk tetap menjaga pandangan orang. Ya, hanya demi Kiandra dan Nura. Sekilas acara amal itu malah seperti ajang pengenalan Nura pada semua orang. Dan aku –yang harus kuakui dengan berat hati-, sangat tak ingin membiarkan Nura jauh dari pandanganku hingga akhirnya aku ikut bergabung di acara itu. Sekarang bisa dikatakan bahwa ketika Kiandra dan Nura pergi, maka aku juga akan pergi.
Di acara itu, aku berkenalan dengan beberapa orang relasi Kakek dan tentu saja, teman-teman Papa yang sibuk menanyakan keadaan Papa. Aku dengan bangga menceritakan kabar Papa. Papa memang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tubuhnya sudah terlihat normal lagi dan dokter juga berkata bahwa bukan mustahil Papa akan sembuh seutuhnya. Dan di saat itulah aku sadar betapa banyak Kiandra membantuku selama ini. Jadi berdasarkan ide sebagai upaya untuk sedikit membalas budi padanya aku dengan senang hati mengikuti tiap jejak yang ia langkahkan. Terutama ketika ia tiba-tiba mengajukan diriku pada Kakek untuk mengurus satu cabang perusahaan yang baru saja dibuka. Aku benar-benar ingin menolak. Sumpah! Aku benar-benar tak ingin berdekatan dengan pria tua itu. Tapi, ketika kulihat Kiandra yang seolah bangga padaku, entah mengapa, anggukan itu tergerak begitu saja.
Dan karena acara tersebut maka aku pun akhirnya mulai diperkenalkan dengan dunia itu. Aku tak tahu apa-apa, tapi kurasa tidak dengan Kiandra. Ia tahu banyak hal. Dan ia memberitahuku. Sejak hari itu, tiap malam setelah Nura tertidur maka aku dan Kiandra berbicara banyak hal. Sesekali kami membicarakan soal perusahaan Kakek yang sedang kucoba untuk kutangani, namun terkadang kami juga membicarakan hal lain. Hingga aku tak ingat lagi, entah sejak kapan aku sudah terbiasa dengan memeluk dirinya sambil berbicara di atas tempat tidur. Akan kutuntun tubuhnya agar bersandar sepenuhnya di dadaku dan kuletakkan daguku di satu bahunya. Kemudian ia akan bicara banyak hal tentang Nura seraya mengelus pelan kedua tanganku yang terlipat di pinggangnya. Aku mendengarkannya dengan seksama karena aku tak ingin luput sedikit pun tentang Nura. Terkadang aku ingin kembali menjadi Enrick yang tak sibuk dengan urusan pekerjaan. Tapi, lain dari itu semua, aku bisa melihat tatapan Papa yang berbinar ketika hari itu kukatakan padanya bahwa aku berusaha untuk menggantikan tugasnya. Jadi, beginilah aku sekarang. Aku sudah terbiasa bangun pagi untuk ke kantor dan sore aku akan disambut senyum cerah Nura yang langsung terkembang ketika melihatku pulang.
Itu benar-benar kehidupan yang menyenangkan, bukan?
Tapi, kembali pada takdirku. Kurasa tak akan pernah ada hari bahagia yang terus berlanjut dalam hidupku. Seolah semua yang kunikmati selama beberapa saat hanya merupakan sebuah prolog dari cerita yang sesungguhnya. Semua hari yang telah kami lalui hanyalah satu pendahuluan untuk menunjukkan padaku bahwa isi dari kehidupanku yang sebenarnya tetaplah sama. Apakah aku masih bisa berkata aku bahagia ketika satu kenyataan yang kutahu pagi itu ternyata sangat berbeda dengan yang selama ini aku duga?
Ya, di pagi itu ketika aku baru tiba di kantor dan seketika dahiku berkerut saat kulihat satu judul besar di halaman pertama majalah bisnis. Judul mencolok itu langsung saja menarik perhatianku. Dengan tangan bergetar kuraih majalah tersebut. Kutelusuri kata demi kata yang tertulis di artikel lima halaman tersebut. Dan otakku dengan cepat menarik satu kesimpulan yang membuatku segera keluar lagi dari ruanganku. Tak kupedulikan pertanyaan sekretaris yang tertuju padaku dan aku bergegas memacu pulang mobilku menuju rumahku.
Sesampainya di rumah aku langsung berlari ke kamarku. Aku tak menghiraukan tawa Nura saat ia sedang bermain dengan babysister. Kiandra menatapku kaget dan bingung ketika ia melihatku pulang.
"Enrick, mengapa kau pulang? Apa a---"
Ucapan Kiandra terhenti seketika saat kulempar majalah itu ke wajahnya. Benar-benar ke wajahnya. Dan ia terkesiap.
Aku memandangnya tanpa kedip. Kedua tanganku berkacak di pinggang. Dan tak ada yang kukatakan hingga akhirnya Kiandra meraih majalah yang terjatuh di lantai tersebut. Kutunggu sesaat ia membaca artikel itu dan semua dapat kulihat dengan jelas. Mata Kiandra spontan membulat dan satu tangannya perlahan naik menutup mulutnya sendiri. Seketika mataku terpejam. Semua benar, lirihku.
Kala itu aku tahu satu hal yang penting. Sebaik apa pun kau menyembunyikan rahasia, suatu saat semua akan terbongkar. Apa pun jalannya.
Tidak!
Aku bahkan masih ingat betapa meyakinkannya Kiandra ketika ia mengatakan ia mencintaiku. Dan hari itu aku tahu, ia tidak pernah merasakannya. Artikel itu menunjukkan kenyataan yang sebenarnya padaku.
Kurasakan dadaku sangat menyesak. Jadi kulempar jasku sembarang arah dan kulonggarkan dasiku. Bisa kurasakan memburunya napasku atau kenyataan dimana dadaku naik turun dengan irama yang tak beraturan. Kupijat pangkal hidungku seraya memikirkan apa yang harus aku katakan padanya sekarang.
Dan akhirnya aku tahu, tak ada yang bisa kukatakan selain hal yang satu itu.
"Kau bersedia menikah denganku demi menyelamatkan perusahaan Ayahmu. Kau membutuhkan bantuan Kakek dan Kakek tentu menawarkan perjanjian tentang pernikahan kita. Kau tinggal di sini sebelum aku pulang demi meyakinkan Kakek bahwa kau memang serius dengan hal itu." Kupejamkan mataku dan satu kalimat itu menutup semuanya. "Dan kau memanipulasiku selama ini dengan kata cintamu."
Bukankah itu skenario yang sangat sempurna? Mari dekati cucu pewaris yang baru keluar dari panti rehabilitasi. Katakan padanya bahwa ada seorang wanita yang jatuh cinta pada pertemuan pertama dan selanjutnya, ayo kita menikah!
Untuk semua yang kukatakan, Kiandra meresponnya dengan sangat manusiawi. Ia menghambur memelukku. Air matanya tumpah dan membasahi kemejaku. Ia terisak. Kata maaf terucap berulang kali dari mulutnya. Dan itu semakin menegaskan padaku bahwa semua yang kupikirkan adalah benar.
"Enrick," lirih Kiandra di sela-sela tangisnya. "Maafkan aku. Semua itu..."
Bahkan Kiandra terlihat kesulitan untuk mengatakan pembelaannya, kan? Itu karena semua sudah terlalu jelas untuk disanggah sekarang.
Aku sungguh sangat ingin membentak, mencaci, dan memaki. Seperti yang biasa aku lakukan pada siapa pun yang mengusikku. Tapi, sekarang aku tak bisa. Semuanya menjadi tak berguna di depan wanita ini. Aku tak bisa mengucapkan satu kata kasar pun untuknya. Sekarang aku merasa bagai pecundang di hadapannya.
Ketika untuk ke sekian kalinya Kiandra meminta maaf dan berusaha menjelaskan padaku, kutahan tubuhnya, lantas kudorong ia untuk melepas pelukannya. Tanganku bergetar ketika melakukan itu semua. Tak mungkin tak bergetar parah di saat aku harus menahan semua emosiku.
"Enrick," lirih Kiandra ketika melihat langkah gontaiku.
Aku terus melangkah. Tanpa melihatnya aku berkata. "Aku tak bisa melihatmu lagi. Tak akan bisa lagi setelah semua ini, Kian. Kau bisa memilih. Aku yang pergi dari rumah ini atau kau."
Jeritan frustrasi Kiandra terdengar ketika aku selesai dengan ucapanku. Setengah berlari kuturuni tangga dan aku kembali mengendarai mobilku. Akhirnya ketika mobilku sudah menyatu dengan jalanan, air mataku menetes.
Kali ini siapa yang akan kau salahkan, Enrick? Kiandra yang telah membohongimu atau dirimu sendiri karena telah membiarkan ia berhasil membohongimu?
Berkali-kali kupukul kemudi dengan sekuat tenaga.
Rasanya tak mungkin sesakit ini andai aku masih memandang Kiandra dengan cara yang sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Tapi, dengan semua hal yang telah kulalui bersamanya tak mungkin itu bisa kulakukan. Aku tak menginginkannya, tapi bukan berarti aku tak merasakannya. Untuk alasan itulah mengapa semua terasa begitu menyakitkan.
Jadi, setelah seharian aku berkeliling tanpa arah tujuan, akhirnya aku tahu kemana aku harus pergi. Aku memutuskan untuk datang ke klub. Ke tempat dimana seharusnya aku berada. Dan saat itu aku menyadari satu hal. Aku tak akan pernah benar-benar keluar dari semua dunia gelapku. Entah bagaimana jalannya, aku tetaplah manusia kotor dan tempatku bersama dengan barang-barang terkutuk itu. Tak akan ada orang yang benar-benar menerimaku selayaknya aku.
Aku memilih untuk duduk sendirian setibanya aku di sana. Langsung saja kutenggelamkan pikiranku dengan berbotol-botol alkohol yang tersuguh. Rasanya begitu menyakitkan. Aku merutuk dan aku menyesali apa yang telah aku lakukan selama ini. Tak mungkin semuanya terasa semenyakitkan itu andai aku tak memiliki rasa apa pun padanya. Tapi, aku tahu. Semua sudah berubah. Entah sejak kapan, yang pasti ada yang berbeda ketika hal itu berhubungan dengan Kiandra.
Untuk yang ke sekian kalinya, kuteguk habis minum di gelasku. Dan sejurus kemudian mataku menatap sosok pria yang tampak sempoyongan menuju ke mejaku. Mataku memicing dan mendapati Alex yang menghampiriku. Aku menyeringai padanya dan yang kudapatkan caci makinya.
Kuhela napas panjang seraya berusaha untuk tak menghiraukannya. Pengaruh mabuk, pikirku. Bagaimana bisa hari ini menjadi seburuk ini? Sangat-sangat buruk ketika aku sadar Alex bukan sekadar mabuk. Ia marah dan ia menyerangku.
"Ada apa denganmu, Lex!?" hardikku seraya membalas serangannya yang membuat ia tersungkur ke meja. Bajunya basah terkena tumpahan minuman di sana.
Alex memandangku dengan tatapan membunuh. "Kau bajingan keparat! Kau masih ada muka untuk datang ke sini setelah yang kau lakukan dengan Sherryl di belakangku!?"
Dan aku tahu semua kemarahan Alex berasal dari mana. Tapi, percuma memberi penjelasan pada orang mabuk, ia tak akan mendengar sedikit pun. Dan itulah yang terjadi padaku. Alex tak mendengar penjelasanku dan ia semakin beringas menyerangku. Ia tak memberiku pilihan lain selain membalas serangannya.
Kami pasti masih akan terus berkelahi andai petugas keamanan dan beberapa orang teman kami tak datang melerai. Aku mendengus padanya. Setengah mengejek aku berseru di depan wajahnya. "Kau pikir Sherryl secantik itu untuk membuatku mau mendekatinya!? Dan kau biarkan wanita nakal seperti itu meracuni otakmu!? Kau gila! Kau yang bajingan, Alex!"
Lantas, dengan sengaja kudorong bahunya kasar dengan bahuku ketika aku memilih untuk beranjak dari situ. Masih sempat kudengar sumpah serapah dari mulutnya. Dan aku meringis. Hari ini begitu sempurna.
Dengan masih menahan kesal kutelusuri ruang temaram itu dan aku langsung menuju ke parkiran. Dari kejauhan kutekan smart key dan mendadak langkahku terhenti. Tepat ketika kulihat seorang wanita yang benar-benar tak ingin kutemui. Ia berdiri di dekat mobilku dan ketika ia menyadari keberadaanku, ia mendekatiku dengan perlahan.
"Enrick..."
Aku menengadah sejenak. Mengapa ia tahu aku ada di sini?
"Ini bukan tempatmu, Kian," kataku datar tanpa beranjak dari tempatku berdiri. Sedangkan di depanku Kiandra spontan menghentikan langkahku. "Mengapa kau ke sini? Pulanglah."
Kiandra menatapku. "Kita pulang, Rick. Aku ingin pulang bersamamu.
Aku menggeleng berulang kali. "Sudah kukatakan, bukan?" tanyaku. "Kau atau aku harus pergi dari rumah itu. Aku tak bisa lagi melihatmu." Kedua tangaku terkepal di sisi badan. Ya, pada masa itu aku tahu sesuatu, tak akan ada yang benar-benar mencintaiku. Ucapan, perhatian, dan sentuhan yang ia berikan semuanya tak benar.
"Aku minta maaf, Rick. Tapi, aku perlu mengatakan sesuatu padamu. Aku---"
"Berhenti di sana, Kian," ujarku memotong ucapan dan langkahnya yang ingin mendekatiku. "Kau tak bisa melakukan ini padaku. Aku tak melakukan salah sedikit pun padamu tapi kau menjadikan aku korban di sini. Kau menipuku. Kau mengkhianatiku." Aku menatapnya tajam. "Dan kau tak pernah mencintaiku!"
"Aku mencintaimu, Rick!" Kiandra berkata pelan dengan air mata yang mulai meleleh di wajahnya.
"Kau masih bisa mengatakan itu?" Aku tertawa perih. "Untuk semua kebohongan itu kau masih bisa mengatakan hal menjijikkan seperti itu? Apa kau merasa kebohonganmu selama ini kurang? Dan lantas kau pikir dengan kedatanganmu ke sini mampu mengubah semuanya? Kau harusnya---"
"Enrick!"
Mendadak kudengar teriakan Kiandra yang memotong ucapanku. Kulihat wajahnya yang seketika memucat ketika retina mataku menangkap silau lampu serta telingaku mendengar deru mobil yang melaju kencang.
Aku spontan menoleh dan mendapati Alex yang sedang mengemudikan mobilnya. Dia tak mungkin...
Mungkin saja. Karena kulihat seringainya.
Dalam detik yang begitu cepat kurasakan tubuhku yang terdorong. Punggungku terbanting keras di lantai bersamaan dengan suara benturan dan decitan ban mobil. Semua terjadi begitu cepat hingga aku belum sadar dengan apa yang terjadi sampai kulihat sosok yang terbaring beberapa meter di depanku.
Setengah merangkak kudekati tubuh itu perlahan. Tanganku bergetar ketika mataku dengan jelas melihat tubuh itu.
"Kian...."
Secepat mungkin kuraih tubuhnya ke pangkuanku. Jantungku berdegup kencang dan darahku terasa bagai berhenti mengalir.
"Ambulans! Siapa saja tolong panggil ambulans!" teriakku panik. Aku tak peduli kemana Alex, yang penting saat ini hanyalah Kiandra. Dan teriakanku berhasil menarik perhatian beberapa orang di sana. Mereka segera menghampiri kami dan tampak langsung menelpon ambulans.
"Kian. Kian."
Kiandra memandangku dengan tatapan nanar. Bola matanya berputar ke sembarang arah dengan tatapan yang tak fokus. Kubekap tubuhnya dalam pelukanku. Sebisa mungkin kutahan luka menganga di kepalanya. Seketika itu air mataku mengalir.
"Bertahanlah, Kian," lirihku. "Ambulans akan datang."
"En...rick."
Kukecup dahinya. "Ssst... Jangan bicara."
"Maafkan aku."
Aku mengangguk. "Aku memaafkanmu, Kian. Tapi, kau harus bertahan." Kukatakan semua itu dengan menahan perih. Bagaimana bisa aku tak melihat betapa parahnya luka yang ia alami? Harusnya aku yang mengalami itu.!
"Awalnya...memang itu tawaran Kakek...," lirihnya pelan. "Tapi...aku tak bohong. Aku...mencintaimu..."
Aku tahu itu, Kian.
Aku mengangguk.
"Sekarang..kau..tahu?" Kiandra berusaha kembali berkata, namun yang kulihat adalah luapan darah yang keluar dari mulutnya.
"Jangan mengatakan apa-apa lagi, Kian.. Ssst... Aku tahu. Aku tahu semuanya."
Kiandra tersenyum. Dan lalu matanya menutup.
Kutepuk pelan pipinya, namun matanya tak lagi membuka. Maka kedua tanganku semakin mengerat memeluk tubuhnya yang tak lagi bergerak. Ia tetap tak bergerak walau perlahan kuguncang tubuhnya. Matanya tetap menutup. Dan aku semakin putus asa dalam ketakutanku. Putus asa menghadapi kemungkinan ia akan meninggalkanku.
"Kau tak mungkin meninggalkanku, kan, Kian?" Tanganku masih kutepuk-tepukkan dengan lembut di pipinya. "Buka matamu, Kian. Aku perlu melihat matamu yang membulat itu." Dan tawa perihku keluar. "Kau tahu? Aku selalu suka melihat matamu yang membulat. Awalnya aku melihatnya aneh, tapi sekarang aku tak bisa kalau tak melihatnya. Jadi," lirihku dalam dan meminta padanya, "...buka matamu, Sayang." Mendadak aku tersadar sesuatu. "Kau dengar itu, Kian? Aku memanggilmu 'sayang'."
Kulihat wajah Kiandra, tapi tak berubah. "Aku memanggilmu 'sayang', Kian," ujarku lagi seraya membiarkan air mataku terus mengalir. "Kau perlu membuka matamu, Kian. Dan aku akan mengatakan satu rahasia padamu." Aku tersenyum muram. "Dengar ini, Sayang. Kau ingat malam dimana kau mengatakan bahwa kau bermimpi aku menciummu dengan lembut?" Kutahan sejenak napasku di dada. Kepalaku mengangguk berulang kali. "Itu bukan mimpi. Itu kenyataan. Aku mencuri ciuman itu ketika kau tertidur." Kuusap darah yang mulai menutupi hampir seluruh wajahnya. "Dan sekarang bagaimana bisa aku menciummu seperti malam itu kalau darah ini menghalangiku, Sayang?"
Semua terasa semakin menyesakkan ketika aku sadar tak ada respon sedikit pun dari Kiandra. Dan itu semakin membuatku takut. "Mana ambulans?" tanyaku frustrasi. Napasku terasa susah karena air mata yang terus mengalir. Pandanganku nelangsa oleh air mata dan kesedihan ketika aku melihat mereka yang berkumpul di sana.
"Dalam perjalanan."
Jawaban itu terasa tak berarti di telingaku. Aku begitu gila karena merasa waktu berjalan begitu lama. "Dengar itu, Sayang? Ambulans akan segera datang. Kau hanya harus bertahan sebentar saja. Kau tak perlu cemas," lanjutku. "Aku tak akan melepaskan tanganku darimu. Aku akan bersamamu. Aku janji kau akan baik-baik saja, Sayang."
Semua yang mampu kukatakan telah kuucapkan. Tapi, entah mengapa untuk tiap kata itu kurasa semua yang terjadi justru sebaliknya. Aku tahu seberapa parah lukanya atau sebanyak apa ia kehilangan darahnya.
"Kau tak bisa meninggalkanku seperti ini, Kian. Kau tak bisa mengatakan kau mencintaiku dan lalu kau meninggalkanku. Kau telah mengatakan bahwa kau tak akan meninggalkanku. Kau sudah berjanji padaku, Kian!" racauku penuh ketakutan. Dan lantas kuungkapkan semua yang kurasa. "Kau selalu bertingkah sesukamu, Kian. Kau datang. Kau buat aku bergantung padamu. Dan sekarang bagaimana bisa kau ingin meninggalkanku!?" Aku menggeleng. "Kau tak boleh meninggalkanku!"
Dan aku tersadar, bukan hanya aku yang akan Kiandra tinggalkan. Ya, makhluk kecil itu. "Dan kau tak bisa meninggalkan Nura, Kian. Dia masih terlalu kecil. Dia membutuhkanmu! Dan aku tak akan bisa menjaganya seorang diri. Kau jangan egois, Kian! Kau harus bertanggungjawab! Kau...kau..." Dan tangisku semakin pecah. "Kau lihat hancurnya hidupku tanpa orang tuaku? Apa kau ingin melihat Nura seperti itu? Ibu macam apa kau hingga tega padanya!? Jawab aku, Kian!"
Detik selanjutnya ketakutanku berubah menjadi kemarahan. Emosi mendadak membuat kesedihanku berubah menjadi ancaman padanya. "Aku janji padamu, Kian. Kalau kau sampai meninggalkanku, aku akan biarkan Nura seorang diri! Aku tak akan menyentuhnya sedikit pun! Akan kubiarkan ia hidup tanpa tahu siapa orang tuanya! Dan lalu, kau bisa lihat aku akan kembali pada kehidupanku yang dulu! Aku janji itu, Kian!"
Semua terasa tak berguna dan aku seolah hanya berpegang pada harapan kosong. Banyaknya darah yang keluar cukup membuatku sadar betapa parahnya luka yang ia derita. Luka yang seharusnya aku alami. Dan ia menukar nyawanya untukku.
Pelukanku semakin mengerat dan kususupi wajahku di lekuk lehernya, mencoba menghirup aromanya. Meyakinkan diriku bahwa ia akan tetap bertahan untukku. Dan semua semakin sulit ketika aku dengan lirih bertanya padanya.
"Kalau kau pergi meninggalkanku, Kian, maka bagaimana bisa kau tahu bahwa aku mencintaimu?"
Dan untuk semua penyesalanku karena telah meragukannya, aku menyadarinya, aku akan menjadi bajingan paling terkutuk karena tak pernah membiarkan ia tahu bahwa aku mencintainya.
*****
Napasku memburu dan entah sudah berapa kali kutinju dinding rumah sakit. Aku benci pintu kaca yang memisahkan aku dan Kiandra. Aku harus bersamanya. Aku pernah mengatakan padanya bahwa aku tak akan melepas tangannya. Tapi, dokter-dokter itu tak mengizinkanku untuk bersamanya.
Entah sudah berapa lama aku berdiri frustrasi di sana hingga seorang perawat keluar dari dalam dengan langkah yang tergesa-gesa. Kutahan tangannya.
"Ada apa?"
Ia tampak tersengal. "Pasien kekurangan banyak darah dan persediaan darah rumah sakit sedang kosong."
Jantungku semakin berdetak dengan irama yang membuat aku semakin gila. "Golongan apa?"
"A."
Sekejap perasaanku sedikit melega. "Darahku A. Tolong ambil darahku dan selamatkan Kian."
Tapi, perawat tersebut menatapku iba dan ia menggeleng. Wajahku mengeras. Kularikan tatapanku ke arah pandangannya. Dan di saat itu tanganku terkulai melepas tangannya.
Aku tak bisa memberi darahku.
Dan untuk pertama kalinya, di saat itulah aku begitu membenci ukiran di tanganku itu. Aku jatuh terduduk di lantai. Aku bahkan tak bisa menolongnya. Aku tak bisa melakukan apa pun untuknya. Kupukul wajahku berulang kali seiring dengan umpatanku untuk diriku sendiri.
Kubilang aku mencintainya, tapi aku tak bisa menyelamatkannya. Ia mempertaruhkan nyawanya untukku. Ia mengerang kesakitan, ia berjuang melawan kematian, dan aku hanya penonton untuk semua penderitaannya. Aku membuatnya menderita. Dan aku tak pernah bisa membuat ia bahagia. Bahkan aku tak bisa membantunya sedikit saja.
Dan kau bilang kau mencintainya, Rick!?
Demi meluapkan semua rasa tak berdayaku, kupukul tubuhku sendiri. Kucakar lenganku hingga ia berdarah. Aku ingin mengenyahkannya. Aku ingin menyelamatkan Kiandra.
Tangisku semakin meledak.
Tidak, Enrick.
Tidak hanya tanganmu. Bukan hanya tubuhmu yang kotor. Semua yang ada di dirimu telah hancur.
Aku tahu itu. Dunia gelap itu telah mengotoriku. Aku tak akan pernah bisa menyelamatkan Kiandra dengan darahku. Darahku pun telah tercemar.
Duniaku sudah hancur. Dan tanpa kau, Kian, maka semua telah berakhir.
"Enrick..."
Satu suara terdengar dengan seiring sentuhan yang menahan tanganku dari kebrutalannya. Aku memandang wajah itu. Aku bahkan tak menyadari lagi kehadiran mereka karena terlalu larut dalam penyesalanku. Mataku melihatnya dengan penuh harap. Dan aku langsung menghambur padanya.
"Mama," lirihku. Dan di saat itu aku tahu betapa sakitnya harus menghadapi kenyataan berpisah dari orang yang kita kasihi. Akhirnya aku menyadari perasaan itu. Aku sempat marah dengan Kiandra, tapi aku tak bisa berpisah darinya. Terutama ketika aku tahu kenyataannya. "Maafkan aku. Aku tahu semua yang kulakukan hanya karena sikap egoisku. Aku tahu Mama menderita dengan ini semua. Aku hanya takut kehilanganmu dan itu membuatku membencimu."
Ya. Aku hanya perlu berdamai dengan rasa sakit itu. Tak ada seorang pun yang bahagia dengan semua yang telah terjadi. Aku hanya terjebak dalam pikiran sempitku yang mengira bahwa akulah satu-satunya yang paling menderita.
Mama membalas pelukanku. "Maafkan Mama, Sayang." Suara Mama terdengar begitu lirih di telingaku. "Mama berulang kali ingin menemuimu, tapi kau tahu betapa takutnya Mama dengan segala penolakanmu. Mama tahu semua hal buruk yang terjadi padamu adalah kesalahan Mama."
Dan aku mengerti. Penolakanku selama ini hanyalah tameng agar aku yakin bahwa aku tak akan ditinggal lagi. Lebih baik tidak membuka pintu ketika kau ragu apakah ia akan selalu bersamamu. Tapi, aku salah. Pikiran picikku hanya memperparah semua itu.
Beberapa saat kemudian kubawa pandanganku menatap Kakek dan Nenek yang menatapku iba. Aku beralih pada mereka dan dengan suara lirih aku berkata padanya.
"Selamatkan Kian, Kek. Kakek bisa melakukan apa pun yang Kakek inginkan. Dan kali ini kumohon, selamatkan dia." Kuraih kedua tangannya. "Kakek lihat bagaimana hidupku sekarang?" tanyaku perih. "Aku tak akan bisa melanjutkan ini semua tanpanya." Di saat itu aku benar-benar mengiba hingga dapat kulihat mata mereka yang berkaca-kaca. "Aku janji aku akan menjadi Enrick yang lebih buruk lagi kalau Kian sampai tak selamat. Aku janji itu."
Aku bahkan tak peduli lagi bagaimana semua kisah antara aku dan Kiandra bermula. Tapi, yang aku pedulikan hanya satu, aku membutuhkannya. "Aku tak peduli Kakek melakukan perjanjian dengannya atau tidak. Aku tak peduli lagi tentang itu. Yang aku inginkan hanyalah dia kembali lagi padaku."
Kakek hanya diam melihat racauku. Kemana Kakek yang kukenal selama ini? Dia hanya terdiam melihatku.
"Aku mohon, Kek." Kali ini kukatakan permohonanku seraya memeluk erat kakinya. "Selamatkan, Kian."
Kakek meraih tubuhku dan aku tak bisa apa-apa ketika ia memelukku erat. Tangisku semakin pecah ketika ia memberikan tepukan-tepukannya di punggungku. Seolah ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi, aku tahu. Kiandra tidak dalam keadaan baik-baik.
"Nenek. Katakan pada Kakek untuk menyelamatkan Kian." Dan kemudian aku beralih pada wanita tua yang duduk pada kursi roda itu. "Apa Nenek mau melihat Nura hidup tanpa kedua orang tuanya?"
"Enrick, kau tak boleh berkata seperti itu."
Aku bersimpuh di hadapan Nenek. "Aku janji Nura akan jadi anak yatim piatu, Nek." Aku mengelap kasar wajahku yang basah. "Aku janji itu. Aku janji itu kalau Kian tidak selamat."
Lantas, semua terasa semakin menyakitkan ketika mereka hanya bisa menangis melihatku. Aku merasa menjadi manusia paling menyedihkan. Kubiarkan tangisku menjadi-jadi.
Kau akan kembali padaku, Kian. Aku tahu kau akan segera kembali kepadaku. Aku percaya kau mencintaiku, Kian. Aku percaya kau akan selalu bersamaku. Aku selalu yakin bahwa kau tak akan pernah meninggalkanku. Dan lebih dari itu semua, aku berharap kau akan selalu ada untukku. Kita harusnya menjalani kehidupan bahagia kita. Aku menyukai pagi hariku ketika kau membangunkanku. Aku menyukai sarapanku yang kau selalu sediakan untukku. Aku menyukai teh mintmu yang selalu menemani soreku. Aku menyukai usapanmu untuk menenangkanku. Aku menyukai setiap ucapanmu. Aku menyukai caramu menyebut namaku. Aku menyukai sentuhanmu, pelukanmu, kecupanmu. Aku menyukai itu semua. Dan aku tak bisa membayangkan hari seperti apa yang akan kulewati tanpa melihat kedua bola matamu.
Aku tertawa perih di antara tangisku.
Kau belum tahu kalau aku begitu mencintaimu, Kian.
Dan untuk itu semua, aku merasa segala hal yang mampu kulakukan menjadi sia-sia. Pada akhirnya aku hanya bisa berharap pada kepercayaan dan keyakinanku. Namun, aku tahu belum sepenuhnya aku berharap. Hingga kemudian satu kata kuucap jauh di lubuk hatiku.
Kumohon.
*****
tbc...
akhirnya..., cerita ini tinggal menyisakan 1 part lagi, 'epilog' yang akan diup besok malam :) :) :)
19.47 WIB.
Bengkulu, 2017.02.15
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro