Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

selamat malam semuanya... kali ini aku post part 1 ya... dan part ini lumayan panjang... hihihiii... semoga ga lelah aja bacanya :D :D :D

================================================================================

Oktober, selalu punya caranya sendiri untuk membuat hari cerah kembali kelam dengan awannya yang berbondong-bondong menutupi langit. Kutengadahkan kepala dan mendapati warna kelabu yang menghiasi pemandangan di atas sana. Kuhela dalam-dalam udara ke seluruh penjuru paru-paruku.

Beginikah rasanya udara bebas? tanya hatiku geli. Hanya dua tahun, tapi semua yang mengukungku membuatku berpikir bahwa kurasa aku sudah menghilang selama dua puluh tahun dari dunia ini.

Ini adalah kali kedua aku keluar dari tempat yang sama. Mereka dengan senang hati memberikan ceramah dan nasihat agar aku tak kembali lagi ke tempat yang sama. Dan hatiku mengejek. Bukankah harusnya mereka senang kalau aku kembali lagi? Panti rehabilitas tak mungkin tetap berdiri tanpa adanya pasien di dalam sana, bukan?

Kuusap perlahan ukiran berwarna hijau yang berpadu merah di sepanjang lengan kiriku. Aku benar-benar merindukan duniaku. Duniaku yang sebenarnya. Bukan dunia dimana aku diberi segala macam nasihat yang bahkan aku sendiripun tak tahu untuk apa itu. Mereka bilang itu bukan hal yang tepat untuk melampiaskan emosi yang kumiliki, tapi bahkan mereka tak tahu pasti apa persisnya emosi yang aku miliki.

Ah, sudahlah, pikirku. Kubiarkan mereka beropini sesuka mereka, dan kubiarkan juga keinginanku membawaku kemana. Tentu, ke tempat dimana aku biasanya berada. Tempat yang..., yah, mungkin akan kembali membawaku ke tempat ini lagi.

*****

"Kapan kau keluar?"

Pertanyaan pertama yang kudapatkan ketika aku memasuki rumah besar yang terdengar riuh bahkan dari pinggir jalan itu. Aku membanting tas ranselku, satu-satunya benda yang kubawa keluar dari tempat itu bersama denganku. Segera aku meraih gelas yang berisi alkohol dan meneguknya cepat. Betapa aku merindukan rasa ini. Rasa membakar yang seolah memang diciptakan untuk menghanguskan semua yang aku tahan.

Aku beranjak ke sebuah sofa yang empuk. Kembali menuang ke dalam gelasku dan menjawab, "Pagi tadi."

"Dan kau langsung ke sini?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk dan mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan itu. Semua yang tampak di mataku tak berubah walau sudah 2 tahun berlalu sejak terakhir kali aku dipaksa keluar dari sini. Aku meringis. Memangnya perubahan apa yang kukira akan terjadi di sini?

Bangunan ini berdiri tetap dengan kokohnya. Diwarnai dengan cat hitam mengelam, seolah rumah besar ini ingin mengirimkan pesan bahwa hanya mereka dengan kehidupan gelaplah yang pantas berada di dalam sini. Atau justru ingin mengatakan bahwa sekali kau masuk, maka selamanya kehidupanmu akan tetap penuh kegelapan.

Tapi, aku tak peduli itu. Benar-benar tak peduli. Aku kembali meneguk minumku untuk kesekian kalinya ketika akhirnya beberapa orang di sana tersadar akan kehadiranku dan langsung menghampiriku.

Mereka tertawa dan menepuk punggungku berulang kali seraya mengucapkan kata selamat datang. Aku meringis merasakan sakit di punggungku. Tapi, beginilah cara kau mendapatkan kesenangan di sini.

"Kau keliatan tambah tua setelah keluar dari sana!"

Dan tawa mereka meledak. Aku tak membantah perkataan Alex. Aku memang keliatan tua karena terpenjara di sana selama dua tahun.

Aku menyeringai pada Alex, teman terdekatku di sini. Dan ia juga tak berubah. Masih dengan kaos hitam kebanggaannya yang mencetak kuat semua bentuk otot di tubuhnya. Ia kuat dan aku suka berteman dengannya. Bahkan ketika tak ada keluargaku yang menjenguk aku di rehabilitas, Alex terkadang datang. Tidak sering, hanya sesekali. Tapi, itu jauh lebih berarti ketimbang mereka yang mengatakan sayang padamu tapi justru tak mendatangimu, bukan?

"Dan apa kau pikir kau jauh lebih muda sekarang?" ejekku sambil melihat ia yang tertawa lepas sembari tak melepaskan rengkuhannya pada seorang wanita di sampingnya.

Orang baru, tebakku. Aku tak melihat wanita itu dua tahun yang lalu. Wanita itu tampak santai dalam rengkuhan tangan Alex. Rambut hitam ikalnya menjuntai dan sedikit menutupi dadanya yang tak terlalu tersimpan baik di dress hitam yang ia kenakan. Dan lantas, ia tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya seadanya.

Kulihat Alex melirik interaksi singkat antara kami berdua. Dan segera saja Alex mengumbar tawanya dan mencium pipi wanita itu kuat-kuat. "Itu, Enrick!"

Alex menyebut namaku sambil menunjukku dengan menggunakan gelas minumnya. "Enrick, ini Sherryl."

Aku mengangguk pelan.

"Dan dia teman baruku." Alex tergelak. "Kau tahu maksudku."

Aku menyeringai.

"Kubilang padamu, Sherryl," lanjut Alex. "Percuma kau menggodanya dengan senyummu itu. Ia tak akan menghiraukanmu."

Dan tawa mereka di sana meledak dengan kuat. Aku tak membantah. Yang dikatakan Alex benar. Semua orang di sini mengetahuinya.

Tampak wajah Sherryl mengeluarkan raut terkejutnya mendengar perkataan Alex. Dan itu mau tak mau juga membuatku lucu dan tertawa.

"Kau boleh telanjang di depannya, membuka kakimu selebar mungkin, tapi ia tak akan menyentuhmu!" tambah Alex lucu.

"Kau..." Sherryl tak melanjutkan perkataannya.

Aku geli melihatnya dan aku menggeleng. Tentu saja aku masih normal. Aku bukan penyuka sesama jenis, tapi semua orang di sini tahu bahwa aku tak akan menyentuh wanita. Wanita manapun. Tak terkecuali kalau ada bidadari tanpa busana muncul di hadapanku. Ada banyak alasan mengapa aku menganggap bahwa menyentuh wanita bukan hal yang penting untuk kulakukan.

Dan aku tak akan mau untuk bersibuk-sibuk ria untuk menceritakan hal itu. Yah, setidaknya belum untuk saat itu.

Aku kembali meneguk minum yang tersaji di meja. Sesekali aku ikut tenggelam dalam obrolan malam yang tak pernah habisnya dengan mereka.

Malam kelam yang semakin riuh tampak merupakan tempat yang tepat untukku. Inilah tempatku sebenarnya. Bukan di panti rehabilitas itu ataupun rumah mewah milik keluargaku.

Oh, kalau kalian kira aku hanyalah anak miskin sehingga tak ada seorangpun yang mampu menjengukku di panti rehabilitas maka harus kukatakan dengan berat hati, itu salah. Hidupku bergelimang harta. Dan karena itulah aku mampu bertahan lama di duniaku sekarang ini. Serta karena harta itulah aku yang seharusnya masuk penjara mampu pindah lokasi ke panti rehabilitas. Kata pengacara keluargaku, aku korban. Lihat? Mereka saja tahu kalau aku korban. Tapi mereka tak ada waktu untuk mengurusi korban ini. Jadi aku akan dengan senang hati memikirkan kapan tepatnya aku mungkin akan tinggal di tempat itu lagi.

Ngomong-ngomong soal korban, aku sendiri sebenarnya agak kurang suka dengan istilah itu. Entahlah, mengapa aku bisa dikatakan korban? Aku memakai dengan kesadaranku sendiri. Kurasa istilah korban itu cocok digunakan dalam kasus pemerkosaan atau pembunuhan. Sedangkan aku? Aku masih ada otak dan akal sehat, tapi aku memilih untuk memakai. Dan aku disebut korban? Oke, fix! Kurasa pengacara pintar dan bodoh itu sebelas dua belas. 

Terlepas dari itu semua, kenyataan lain membuktikan bahwa sebenarnya aku bukan korban. Aku turut menjual barang itu. Kalian bingung mengapa aku lolos dari jeruji besi itu? Ehm. Untuk apa heran? Uang bisa membeli semuanya di zaman seperti ini. Hukum, kebahagiaan, bahkan nyawa. Ironis, bukan? Tapi apa peduliku. Yang penting aku masih bernapas dengan aliran uang yang tak pernah memutus. 

Atau sekarang kalian heran mengapa aku turut menjual barang itu sedangkan uangku mengalir deras tanpa henti? Well, anggap saja aku kemarin sedang mencari pengalaman kerja. Kalian tahu? Zaman sekarang mencari pekerjaan itu susah. Kalaupun ada lowongan, kebanyakan dari mereka mencantumkan satu syarat mutlak: punya pengalaman. Yah, walaupun aku ragu pengalamanku yang satu itu akan membantuku dalam melamar pekerjaan. Tapi, hei! Untuk apa aku benar-benar mencari pekerjaan? Seperti yang aku bilang tadi, hidupku tercukupi. Jadi kurasa tak banyak yang bisa kulakukan untuk hidupku selain terus bersenang-senang, bukan?

*****

Setelah menghabiskan sepanjang malam di rumah Alex, aku memutuskan bahwa pagi itu aku akan menyempatkan sedikit waktuku untuk pulang ke rumah. Rumah orang tuaku pastinya. Dan tanpa perlu berpamitan pada mereka yang sedang tergeletak tak berdaya, aku segera pulang. Dengan menggunakan uang Alex, aku pulang ke rumah dengan menggunakan taksi.

Saat itu masih pagi hari. Kukira masih sekitar jam 7 pagi ketika taksi yang kunaiki berhenti tepat di sebuah rumah megah di salah satu kompleks ternama. Langkahku gontai tapi tetap saja mampu membuat refleks satpam rumahku bangkit dan segera membuka pintu pagar untukku. Aku melenggang masuk tanpa menghiraukan ucapan-ucapannya yang mengatakan bahwa dia senang aku kembali lagi ke rumah ini. Aku mendengus. Betapa banyak penjilat di sekitarku. Karena aku yakin, tak ada seorangpun yang benar-benar senang dengan kedatanganku di rumah ini.

Sekilas kutengadahkan kepalaku, sedikit mengamati rumah bertingkat yang berdiri megah di hadapanku. Tak ada yang berubah sejak hari terakhir aku melihatnya. Dan suasananya masih saja hening seperti biasanya. Ehm. Bisa kutebak, mungkin yang ada di rumahku hanyalah beberapa orang asisten rumah tangga yang dipekerjakan oleh Kakek untuk tetap merawat rumah ini agar tetap terlihat mewah.

Kembali kulangkahkan kaki, dan sontak pintu besar itu terbuka di kedua sisinya. Memperlihatkan beberapa orang asisten rumah tangga yang menunduk melihatku, seolah mereka adalah pelayan kerajaan yang sedang menyambut pulang Raja mereka, ehm, atau Pangeran mereka kurasa.

Tanpa basa-basi aku langsung masuk dan melempar tas ranselku ke sembarang arah hingga seorang pelayan tampak berusaha menangkapnya. Hatiku sempat tergelak melihat tingkah konyolnya itu. Aku heran, apakah itu memang hobi Kakek untuk memperkerjakan pelayan kikuk yang berasal dari desa terpencil? Entahlah.

Lantas, setelah mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan, aku semakin yakin. Memang tidak ada orang di sini. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya yang punya rumah ini keluargaku atau justru sekumpulan pelayan wanita itu?

Aku melintasi setiap ruangan tanpa ada minat sama sekali hingga seorang pelayan mengatakan bahwa aku bisa beristirahat di kamarku bila aku menginginkannya. Semula aku memang berpikir bahwa itu ide yang bagus, tapi ketika aku hendak menaiki satu anak tangga menuju kamarku, langkahku terhenti. Retina mataku tanpa sengaja menangkap satu pemandangan asing. Kuhentikan langkahku, dan kubiarkan sebelah tanganku bertahan pada railing tangga. Mataku memicing mencoba menangkap sosok itu agar lebih jelas lagi. Tapi, kurasa alkohol masih sedikit membuyarkan pandanganku. Jadi, kuputuskan untuk menarik langkahku kembali dan aku berjalan menuju ke taman samping.

Semakin aku mendekatinya aku semakin yakin bahwa sosok yang kulihat itu seorang wanita. Ia berdiri di bawah pohon rindang dan tampak menengadah. Kupikir ia sedang melihat fajar yang beranjak naik. Rambut hitam lurusnya tampak berkilau di bawah sinar mentari pagi. Dan sesekali angin dingin membuat rambut sepinggangnya beriak seakan sedang menari.

Untuk beberapa alasan yang aku tak tahu, aku justru terpekur setengah tak sadar melihatnya di ambang pintu. Otakku dengan sedikit kewarasan yang masih tersisa mencoba mengingat. Apakah aku punya saudara perempuan? Kurasa tidak. Atau aku punya sepupu perempuan? Sepertinya memang ada. Tapi, aku tak yakin kalau wanita yang sedang berdiri membelakangiku itu adalah salah seorang dari sederetan sepupu-sepupuku.

Lantas ia siapa?

Mengapa ia bisa ada di rumahku?

Oh, jangan bilang kalau ia salah satu pelayan di rumahku. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia bukan pelayan. Ia mengenakan celana jeans biru laut yang agak longgar yang membungkus kedua kakinya yang terlihat panjang. Serta kaos khas rumahan yang ia kenakan untuk menutupi tubuh atasnya. Pakaiannya cukup menunjukkan bahwa ia bukanlah pelayan. Jadi, siapa ia sebenarnya?

Kemudian, tanpa berpikir lebih lama lagi aku memutuskan untuk menghampirinya dan akan kutanyakan siapa ia sebenarnya. Tapi, baru beberapa langkah kakiku berjalan, sosok itu mendadak memutar tubuhnya. Membuat aku spontan menahan langkahku. Ia tampak merapikan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya karena tiupan angin nakal. Samar kulihat ia tersenyum seraya perlahan mendekatiku yang terdiam di tempat. Aku bergeming. Dan lantas kudengar suaranya merdu berkata padaku.

"Selamat datang."

*****

Hal pertama kali yang kupikirkan akan kutemui di rumahku adalah sekumpulan pelayan-pelayan kikuk yang berusaha untuk melayaniku sebisa mungkin. Aku tak pernah menduga bahwa aku akan mendapati seorang wanita muda yang terlihat sudah begitu luwes dengan tiap sisi yang dimiliki rumah ini.

Aku langsung menekan kontak Mama di ponselku dan menanyakan tentang wanita itu. Dan jawaban wanita paruh baya itu membuatku jadi meradang.

"Mama sudah lama tidak tinggal di sana. Coba kau tanyakan itu pada Kakek atau Nenekmu. Dan bagaimana ka---"

Tanpa merasa perlu untuk mendengar keseluruhan kalimat yang akan ia ucapkan, aku pun memutus sambungan telpon itu seketika. Dan lantas smartphone canggih itu langsung berubah menjadi kepingan-kepingan tak berarti ketika aku memutuskan untuk melemparnya ke dinding.

Sontak kepalaku kembali terasa berat dan berdenyut. Setelah berpikir beberapa kali, akhirnya aku memutuskan untuk menanyakannya langsung pada wanita itu. Tentu setelah aku mengguyur kepala beratku dengan kucuran air dingin dari shower.

Ketika aku selesai meredakan denyutan kepalaku, aku segera beranjak turun ke bawah. Aku mencari wanita itu dan mendapatinya yang sedang menyusun makanan di meja makan. Aku tertegun sejenak ketika ia kembali mengukir satu senyum padaku. Tapi aku tak membalasnya.

"Kau mau makan?"

Itu kalimat kedua yang aku dengar dari bibirnya. Tapi bukannya menjawab, aku malah menanyakan hal lain padanya.

"Siapa kau?"

Wanita itu langsung menghentikan kegiatannya dan mengangkat wajahnya. Ia meletakkan piring di atas meja, kemudian ia mendekatiku.

Kulihat tangan yang ia ulurkan padaku. Aku hanya menatap tangannya tanpa minat hingga akhirnya ia menarik kembali tangannya. Ia tampak berusaha menenangkan dirinya sendiri di bawah intimidasi tatapan tak suka yang terang-terangan aku tunjukkan padanya.

"Kiandra," katanya pelan. "Namaku Kiandra Pramesti."

Aku mendengus. "Yang kutanyakan siapa kau. Bukan siapa namamu!" tukasku cepat. "Kau siapa?"

Ia tampak terkejut dengan kata-kataku yang kubuat menjadi tak sebersahabat mungkin.

"Aku..., ehm.."

Mataku semakin menajam melihat kegugupannya yang menjadi-jadi. Membuatku tiba-tiba merasa emosi.

"Kau bukan pembantu baru di sini, kan?" tanyaku kemudian dengan sesinis mungkin. Pandanganku kembali meneliti penampilannya dari atas hingga ke bawah.

Pakaian yang ia kenakan memang tidak mewah, terlihat biasa-biasa saja. Tapi, tentu saja masih tergolong memiliki harga di luar jangkauan untuk masyarakat biasa. Aku tak yakin sebenarnya siapa wanita ini.

"Ehm." Kiandra mendehem lagi.

Kupikir-pikir, apa yang bisa ia lakukan hanya mendehem untuk menjawab pertanyaan penuh rasa penasaranku?

"Kalau kau bukan siapa-siapa," lanjutku lagi, "kurasa kau harus pergi dari rumah ini secepatnya. Yang punya rumah ini, aku, tidak menyukai orang asing berada di sini."

Kiandra menatapku. Kulihat ia meremas pinggiran kaos yang ia kenakan. "Kupikir harusnya Kakek yang mengenalkanku padamu. Malam ini ia akan datang ke sini untuk membicarakan soal ini padamu."

Dahiku berkerut. Terkutuklah wanita dengan segala perkataan mereka yang berbelit-belit!

"Soal apa?" tanyaku lagi. "Perlu kau tahu, aku bukanlah tipe pria yang memiliki segudang produk yang bernama sabar."

"Tentang pernikahan kita. Aku calon istrimu."

Dan demi mendengar jawabannya, aku sedetik hanya bisa melongo. Sedang ia kulihat memalingkan wajahnya. Kupikir mungkin ia sedikit jengah melihat seringai sinis yang kemudian terukir di wajahku.

"Kau...?" Aku mendengus tak percaya. "Calon istriku?"

Kiandra semakin memalingkan wajahnya.

"Waw!" Aku menarik kursi makan dan duduk. Sekilas aku langsung meraih ayam goreng yang tersaji dan menyobek dagingnya dengan gigi seriku. Aku kemudian meminum segelas air putih setelah aku selesai menghabiskan potongan ayam goreng tersebut. Aku menoleh dan masih mendapati Kiandra berdiam diri di tempatnya. Seakan kakinya sudah terpaku di sana. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Kiandra menggeleng.

"Kutebak, pasti Kakek yang memintamu untuk menjadi calon istriku." Aku menatapnya tanpa minat. "Benar begitu?"

Kiandra mengangguk.

"Well, kurasa semuanya sudah jelas di sini." Tentu saja dia mau menerima tawaran Kakek untuk menjadi calon istriku. Semua keagungan yang dimiliki Kakek pasti mampu memikat wanita manapun untuk bersedia menjadi pendamping hidupku. "Kau menerima tawaran Kakek tanpa berpikir terlebih dahulu, Kian." Kuhela napasku panjang. "Aku bukanlah pria yang dilahirkan untuk menikah. Menjadi kepala rumah tangga. Menafkahi wanita, baik itu lahir ataupun batin." Aku tergelak. "Aku bukan pria yang seperti itu."

Kiandra terdiam.

"Lebih dari itu," lanjutku. "Aku adalah pria yang terlahir untuk hidup bebas. Tanpa ikatan. Tanpa pernikahan yang bisa membelenggu setiap kakiku ingin melangkah." Aku menajamkan tatapanku. "Aku adalah pria yang berada di urutan paling akhir yang akan dipilih wanita untuk menjadi suami mereka."

Aku bangkit dari dudukku.

"Kurasa nanti malam aku akan membantumu untuk keluar dari semua ini. Sebelum kau masuk ke neraka dunia, Kian." Aku menyeringai menatapnya yang tertunduk di hadapanku. "Kau tentu tak pernah menginginkan kehidupanmu menjadi hancur, bukan?"

Dan lalu, aku segera beranjak. Aku tak berkata apa-apa lagi padanya. Kurasa kepalaku masih sesekali berdenyut. Ugh! Tidur adalah pilihan terbaik kali ini selagi aku menunggu lelaki tua itu datang ke sini. Ada banyak hal yang akan kukatakan padanya. Bagaimana mungkin ia masih merasa mempunyai hak atas hidupku? Ya, dia memang harus disadarkan segera bahwa ia sudah tak memiliki hak apa-apa lagi untuk kehidupan yang kujalani.

Aku meringis. Dan tentu saja, manusia manapun yang masih waras akan menghindari setiap keputusan yang ia buat. Perlukah aku nanti mengingatkannya akan hasil brilliant yang ia dapatkan dari kehidupan orang tuaku? Untuk itu semua, sekarang akulah yang menanggungnya. Dan sekarang, ia masih punya muka untuk mengatur hidupku?

Oh, tentu saja. Ia akan dengan mudah mencari wanita yang silau dengan uang untuk menerima tawarannya. Tak akan ada yang menolak ketika ia berkata 'Kau mau menikah dengan cucu pewarisku, Enrick?'

Tapi, tentu saja. Harusnya wanita itu bisa memakai otaknya. Setidaknya berpikirlah sekali saja.

Aku yakin, tak ada orang yang tak mengenal tindak tanduk yang telah mendarah daging padaku. Belum lagi, aku baru saja keluar dari panti rehabilitas untuk yang kedua kalinya. Bagaimana bisa wanita itu mau-mau saja menjadi calon istriku? Dia tentu memiliki segudang daftar belanjaan yang harus segera dibeli.

Tepat ketika jam 7 malam itu, dengan langkah gontai aku keluar dari kamarku. Samar-samar kudengar suara deru mobil di luar. Dan aku yakin itu pasti Kakek dan Nenekku yang dengan sungguh sangat ajaibnya masih hidup di usia yang setua ini. Mereka tentu belum mau berpisah dengan harta kekayaannya, bukan?

Ketika aku sampai di bawah, Nenek dengan dibantu oleh perawat pribadinya langsung menghampiriku. Dengan enggan aku terpaksa menunduk ketika ia berusaha untuk mencium kedua pipiku. Yang benar saja. Aku tak suka dengan aroma wanita tua renta. Jadi, dengan menahan napas aku diam saja ketika kecupan bibir keriput itu mampir di kedua pipiku. Setidaknya akal sehatku masih bekerja walau sedikit. Aku tak mungkin ingin membuat masalah dengan memancing sakit jantung wanita ini.

"Kau tampak sehat, Enrick."

Aku tersenyum samar. Kupikir aku bisa terus tinggal di panti rehabilitasi agar kesehatanku terus terjaga.

Sekilas aku melihat Kakek. Wajahnya masih terlihat keras. Sama kerasnya seperti terakhir kali aku melihatnya. Sebelum pintu rehabilitasi memisahkan dunia kami menjadi dua.

Wajahnya diam tanpa ekspresi. Kuat dan tegas, itulah kesan lain yang tersirat di sana. Harus kuakui itu, wajahnya selalu mampu mengintimidasi siapa pun yang menjadi lawannya. Hingga kini aku tak heran melihat semua keagungan yang ia peroleh. Namun, wajahnya tak akan mampu menindasku lagi kali ini. Aku tak akan membiarkannya menghancurkan hidupku seperti ia menghancurkan kehidupan keluargaku.

Aku dan Kakek tak saling menyapa walaupun kami sama-sama duduk di sofa empuk. Aku hanya diam ketika Nenek mulai berceloteh seakan aku ini masih menjadi cucu kecilnya yang imut. Seharusnya ia tahu, Enrick yang seperti itu sudah tak ada lagi di dunia ini.

"Kau sudah bertemu dengannya?"

Pertanyaan Kakek yang tiba-tiba langsung membuat suasana yang semula ramai oleh gurauan Nenek mendadak langsung menghening.

Kubawa tatapanku untuk membalas tatapannya.

Wajah kami sama mengerasnya.

Dan akhirnya, aku mengangguk.

Ia memainkan tongkat kebesarannya dengan menggunakan kedua tangannya. Melihat itu entah mengapa aku selalu teringat dengan tokoh-tokoh antagonis di film action. Tapi, berita buruknya tentang tokoh antagonis itu adalah mereka biasanya mati ketika film menjelang ending. Kurasa akan lebih baik kalau tokoh seperti itu dienyahkan secepat mungkin dari peradaban.

"Namanya Kiandra Pramesti." Ia kembali mengeluarkan suaranya yang masih terdengar berwibawa. "Aku ingin kau menikah dengannya."

Aku menyeringai. "Apa di sini aku punya hak untuk menolak?"

"Kau tak punya."

Jawaban tegas itu langsung kudengar bahkan sebelum aku sempat menarik napas untuk pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Kupikir, mengapa bukan ia saja yang menikah dengan wanita itu?

Aku menghempaskan punggungku ke sofa. Aku tertawa lirih dan tak ada satu responpun yang kudapat untuk kelakuan tak sopanku itu. Kubawa jemariku untuk memijat kedua pelipisku, seolah sekarang aku sedang berpikir untuk keputusan besar yang menyangkut kehidupanku mendatang.

Lantas, ketika kurasa semua sudah cukup sedikit dramatis, kulayangkan lagi tatapanku padanya.

"Apa kau tak pernah bisa belajar dari masa lalu?" tanyaku. Bahkan sekarang aku tak segan lagi memanggilnya tanpa istilah 'Kakek'. "Apa kau lupa dengan apa yang telah kau lakukan dulu? Dan sekarang kau ingin aku menjadi tumbal yang selanjutnya?"

Wajah pria tua itu tampak makin mengeras. Aku tahu aku sudah berhasil menyentil urat emosinya yang ia coba tahan selagi ia bersama Nenek. Ia tak ingin wanita tua renta di sampingku ini tiba-tiba merintih sembari menekan dada kirinya untuk menahan tiap rasa sakit yang ia peroleh.

"Enrick."

Aku bergeming bahkan ketika Nenek berusaha meraih tanganku. Aku menampiknya. "Apa tak sedikit pun teringat di benakmu bagaimana kehidupanku akibat campur tanganmu? Haruskah aku mendiktenya satu persatu agar kau bisa mengingatnya?" Kembali aku melontarkan pertanyaanku dengan nada menantang. "Pertama. Kau pun mengawali penderitaanku bahkan sebelum aku lahir di dunia ini. Sama dengan rencana yang akan kau lakukan padaku, kau atur pernikahan mereka. Demi menjaga kekuasaanmu, kau biarkan satu keluarga hidup di bawah tekananmu. Kedua. Akibat dari rencanamu itu, korbannya di sini aku. Kau ingat berapa banyak hari yang kulalui dengan seorang diri di rumah besar ini? Atau kau pernah menghitung berapa kali rumah ini jadi tontonan tetangga karena keributan yang terjadi? Ketiga. Untuk semua itu, aku yang harus membayarnya dengan hidupku." Aku berusaha mengatakan kata demi kata dengan setenang mungkin. Tapi, tak urung juga kudengar deru napasku yang memburu. Sesuatu di dalam dadaku berkecamuk dan menuntut untuk dikeluarkan. Setidaknya, lagi-lagi, aku berusaha menjaga nyawa wanita renta di sampingku.

Kurasakan tetesan keringat di dahiku makin menderas. Dan entah mengapa kupikir sekarang semua AC di rumah ini mendadak rusak. Hawa panas terasa melingkupi diriku.

Lelaki tua di hadapanku tampak membeku mendengar rangkaian kata-kata yang kuucapkan. Tapi, ia akan tetap seperti itu. Sedetik kemudian kulihat wajahnya terlihat lebih normal dibandingkan sebelumnya.

"Aku memang merencanakan itu semua. Tapi, itu keputusan mereka untuk berakhir menyedihkan seperti itu."

Kembali aku mendengus. Bagaimana bisa ia mengatakan bahwa orang tuaku yang memilih keputusan untuk merusak rumah tangga mereka sendiri?

"Yah! Kurasa aku tahu akhir dari ini semua," kataku seraya tersenyum sinis. "Aku akan memperpanjang riwayat tak bahagia di keluarga ini. Dan tentu saja. Itu memang keinginanmu, bukan?"

Suara yang bergetar terdengar ketika Kakek menghentakkan ujung tongkatnya di lantai dengan keramik indah itu. "Kau hanya bisa memilih di antara 2 pilihan yang kuajukan padamu."

Aku menatapnya dan menaikkan sebelah alis mataku. Menunggu lanjutan kalimatnya.

Ia menghela napas. "Kau menikah dengan Kiandra dan kau dapat menemuinya kapanpun kau mau," ia menggantung ucapannya, sejenak membuatku membeku ketika ia mulai membawa kebiasaannya untuk mengaitkan semua hal dengan titik terlemahku itu, "atau," lanjutnya lagi, "kau benar-benar tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Aku akan melakukan segala cara agar kau tak akan pernah bertemu dengannya lagi."

Kutahan napasku di dada. Dan tanpa sadar rahangku mengeras. Suara gemeretuk terdengar ketika aku berusaha menahan emosiku. Bagaimana bisa ia melakukan ini padaku?

Seringai sinis penuh kemenangan terukir di wajah tuanya. Membuat aku begitu muak dan rasanya aku ingin sekali menyentuhnya dengan menggunakan tinjuku.

"Kau mengancamku."

Ia masih menyeringai. "Kau tahu itu yang membuatku tetap bertahan di tempatku selama ini."

Aku tak membantahnya.

Kemudian, menyadari bahwa posisinya sekarang sudah berada di atas angin, kulihat ia menyantaikan posisi duduknya. Tanpa rasa bersalah, ia menyandar lemas di sofa dan kembali melanjutkan ucapannya.

"Kurasa ini merupakan kesepakatan yang tak buruk, Enrick, seandainya saja kalau otak buntumu itu bisa berpikir sedikit saja."

Aku tak merespon perkataannya.

"Kiandra bukanlah gadis yang buruk. Dia cantik. Berasal dari keluarga baik-baik."

Oh, keluarga baik-baik yang mana yang ingin putrinya menikah denganku? Walaupun wajahku tak pernah menghiasi koran atau headline news televisi, tapi beberapa catatan burukku pasti sudah tak asing di telinga pengusaha-pengusaha besar seperti Kakek. Ya, satu-satunya tindak kriminalku yang pernah lolos hingga masuk ke koran dan televisi adalah ketika aku menabrak mati sepasang ibu dan balitanya. Itupun terjadi ketika aku masih berumur sekitar 21 tahun atau tepatnya 8 tahun yang lalu. Saat itu aku mengemudi sambil mabuk. Dan langsung saja kasus itu menjadi trending topic, walaupun tak lama. Seperti yang aku bilang, semua bisa diatur ketika kau memiliki uang dan kekuasaan. Kakek dengan segala hal yang ia miliki akhirnya mampu membungkam mulut keluarga korban dan semua media yang begitu bersemangat menemukan celah kelemahan di keluarga Adinata.

Hingga sekarang aku yakin, harusnya tak ada orang tua yang ingin putrinya terjebak dalam kehidupan tak tahu arah dengan pria sepertiku. Ya, kalau aku menjadi orang tua tentu saja putriku tak akan kubiarkan menikah dengan pria sepertiku. Lihat? Pria yang hancur saja masih memiliki harapan seperti ini, lantas bagaimana bisa orang tua yang 'baik-baik' justru menjerumuskan putrinya sendiri ke jurang penderitaan? Ah, entahlah.

"Dia memang dua tahun lebih muda darimu, tapi kuyakin ia mampu untuk mengurus kehidupanmu," lanjutnya lagi.

Kehidupanku yang mana yang bisa ia urus? Toh, aku tak pernah meminta bantuan orang lain untuk mengurus kehidupanku sedari dulu. Lagi pula, kupikir walaupun nanti kami menikah ia tak akan mengurusku. Aku tentu lebih memilih untuk menghabiskan waktuku dengan berkumpul bersama teman-temanku.

Teman-teman?

Tunggu!

Apa yang akan mereka pikirkan kalau sampai tahu bahwa aku menikah? Wah. Tentu es di kutub akan segera mencair.

Dan kurasa, pembicaraan ini menjadi sia-sia saja sekarang. Toh, yang kukatakan tak akan mengubah takdir yang akan kujalani. Jadi, dengan berusaha menjaga emosiku, aku berdiri.

"Kau mau kemana?"

Aku berkacak pinggang. "Silakan lakukan apa yang kalian inginkan," kataku. "Kalian menginginkan pernikahan?" tanyaku hambar. "Maka itu yang kalian dapatkan." Kubuang napas panjang sebelum kembali melanjutkan perkataanku. "Kalian atur saja semua sesuka kalian. Seperti yang selalu kalian lakukan. Kalian ingin aku menikah besok? Oke. Aku tak menolak." Aku pun tanpa basa-basi melangkahkan kakiku. Tak ada dari mereka yang menghentikanku.

Tapi, sebelum jauh kakiku melangkah, kulihat sesosok tubuh yang bersembunyi di balik dinding. Kupikir tentu wanita itu mendengar semua pembicaraan kami. Sekilas kulihat matanya yang membulat terkejut ketika ia tahu aku menangkap basah dirinya.

Di tempatku berdiri, aku menghela napas. Dan sebelum kulanjutkan langkahku, satu kalimat meluncur mulus dari mulutku. Mungkin membuat semua orang di sana tersentak seketika.

"Tapi, Wahai Kakekku," sindirku halus, "Kurasa kau harus memikirkan satu hal tentang wanita yang kau jodohkan padaku itu." Aku menyeringai. "Kurasa tak ada wanita baik-baik yang akan tinggal di rumah pria yang belum menjadi suaminya."

Lantas, akupun berlalu.

*****

tbc...

sejauh ini, gimana tanggapannya? hehehee... narasinya kebanyakan ya?

yang baca jangan lupa tinggalin jejak dooooooooooooooong :) :) :)

see ya besok malam ya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro