Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Regretful Alpha 33

Vione yakin bahwa tak ada penantian yang lebih menyiksa ketimbang ini. Waktu berjalan begitu lambat, hari berganti dengan begitu lama. Persis seperti dirinya tengah terjebak dalam masa yang sama lantaran tak ada Usher bersamanya.

Hari demi hari berlalu serupa lingkaran penderitaan tak bertepi. Pagi memberikannya kenyataan buruk dan malam menghadiahkannya mimpi buruk. Vione menderita. Dia tersiksa dalam kerinduan yang membuatnya tak ingin menghitung sudah berapa hari Usher pergi dari sisinya.

Vione tak ingin mengetahuinya. Sebabnya, itu hanya akan menambah penderitaan dalam masa penantiannya. Maka diabaikan olehnya semua hal, diteguhkannya hati dengan meyakini satu harapan. Usher akan baik-baik saja. Dia telah berjanji. Dia pasti akan kembali padaku.

Kepercayaan pada Usher membuat Vione masih bisa berdiri tegak hingga kini. Dalam ketidakpastian masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, dia hanya bisa berpegang pada janji Usher. Lantas itulah yang dilakukan sekarang olehnya, yaitu menunggu Usher menepati janjinya.

Vione selalu berada di Air Terjun Mystoria setiap harinya, serupa agenda yang selalu dilakukannya. Bukan hanya untuk menunggu kepulangan Usher, melainkan juga untuk menenangkan diri. Dia yang selalu gelisah dan tak tenang secara ajaib selalu merasa damai ketika berada di sana.

Kedamaian yang dirasakan membuat Vione merasa lebih dekat pada alam. Jiwanya tenteram, demikian pula dengan jiwa serigalanya. Dia persis seperti berada di tempat yang semestinya, tempat yang membuatnya merasa aman, tempat yang membuatnya tak perlu mengkhawatirkan apa pun, tempat semacam rumah yang akan selalu mengembangkan kedua tangan untuk menyambut kedatangannya.

Ada perasaan yang tak mampu Vione ungkapkan dengan kata-kata. Persis ketika Rowena mengajak mereka mendatangai Air Terjun Mystoria untuk pertama kali dan dirasakan olehnya kesan familier yang membuat bertanya-tanya. Jantungnya berdenyut aneh, darahnya berdesir. Anehnya, dia yakin belum pernah mendatangi tempat itu sebelumnya sementara hatinya justru merasa hal yang bertolakbelakang. Hatinya merasa bahagia, seperti lega karena akhirnya berhasil menuntaskan perpisahan setelah sekian lama.

Vione tak mengerti dengan perasaan yang hadir setiap kali berada di Air Terjun Mystoria. Namun, lebih tak mengerti lagi ketika terkadang dirasakannya alam di sekitar mengenal dirinya.

Angin yang berembus tak hanya sekadar memberikan kesejukan, melainkan ia seolah membelai pipi Vione, seakan berusaha mengusap air mata yang menetes di pipinya. Gemeresik dedaunan tak ubah alunan musik syahdu yang ingin menghiburnya, lalu sesekali memanggil namanya. Bahkan binatang-binatang hutan yang biasanya liar, kerap kali menunjukkan diri dan menghampirinya ketika tak ada Ayla dan Rowena di sana, bagaikan teman yang tak akan membiarkannya sendiri dan sepi.

Alhasil, tak ada alasan untuk Vione meninggalkan Air Terjun Mystoria. Dia menghabiskan banyak waktu di sana dan hanya pulang ke rumah Rowena sesekali saja. Seringnya, Ayla dan Rowenalah yang mendatanginya, sama seperti malam itu.

"Luna."

Vione menyambut kedatangan Ayla dan Rowena dengan hati penuh suka cita. Senyum merekah di wajah cantiknya, tetapi tidak demikian dengan Ayla dan Rowena. Sebabnya, kedatangan mereka bukan hanya sekadar untuk memberikan selimut dan makanan padanya.

"Kumohon, Luna. Aku hanya tak ingin kau jatuh sakit," ujar Ayla kembali membujuk Vione untuk kesekian kali. Ditatapnya Vione dengan sorot penuh harap. "Alangkah baiknya kalau kau pulang dan beristirahat di rumah Rowena."

Vione mengusap lengan Ayla dengan penuh kelembutan. "Aku menyadari kekhawatiran kalian, tetapi aku baik-baik saja. Malah bisa kukatakan kalau perasaanku semakin lama semakin tenteram ketika berada di sini."

Ayla tampak nelangsa dan tak bisa berkata-kata lagi. Dia menyerah. "Luna."

Di lain pihak, Rowena pun tak tinggal diam. Dia pun berusaha untuk membujuk Ayla. Dikatakan olehnya. "Perjalanan ke masa lalu bukanlah hal sebentar, Luna. Alpha pasti membutuhkan waktu dan untuk itu, kau harus menjaga dirimu. Alpha pasti akan bersedih kalau terjadi sesuatu padamu."

"Apakah kalian tidak melihat kalau keadaanku baik-baik saja?" tanya Vione sambil merentangkan kedua tangan. Lalu dilihatnya Ayla dan Rowena bergantian. "Bukankah aku baik-baik saja? Bahkan sepertinya aku jauh lebih baik bukan?"

Ayla dan Rowena hanya bisa diam. Mereka tak bisa membantah karena ucapan Vione memang benar. Keadaan Vione tampak membaik hari demi hari. Dia yang mulanya selalu bersedih hingga wajah memucat dan tubuh menjadi kurus menunjukkan perubahan yang signifikan sekarang. Bukan hanya wajahnya menjadi segar dan tubuhnya kembali berisi, melainkan dia pun tambah bercahaya, persis cahaya bulan.

"Aku bukannya tak ingin mendengarkan nasihat kalian. Aku tahu kalian khawatir akan keadaanku. Namun, harus kukatakan bahwa tinggal di sini benar-benar adalah pilihan tepat," ujar Vione sambil melihat pada goa kecil yang berada tak jauh dari sana. Senyum pun kembali merekah di wajahnya. "Aku benar-benar merasa damai."

Ayla dan Rowena saling pandang. Tatapan mereka menyiratkan sorot tak berdaya. Untuk kesekian kali, mereka tak bisa membujuk Vione. Walau demikian mereka tak akan menyerah. Mereka akan kembali mencoba dan—

Suara benda terjatuh membuat Ayla dan Rowena berpaling bersamaan. Mereka melihat Vione yang tiba-tiba mengerang. Selimut dan rantang makanan yang sempat dipeluknya jatuh ke tanah.

"Luna!"

Rasa sakit itu datang dengan amat tiba-tiba. Sama sekali tak ada pertanda. Ia muncul dan kemudian menghantam Vione dengan tak kira-kira.

Vione mengerang panjang. Mata tertutup dan tangannya meremas dada kiri. Lalu dia tak mampu bertahan. Tubuhnya hilang kekuatan. Dia limbung.

Ayla dan Rowena berhasil menangkap Vione di waktu yang tepat. Lalu mereka membaringkan Vione di tanah dengan susah payah. Sebabnya, Vione mengalami kejang yang tak terduga.

"Rowena, apa yang terjadi pada Luna?"

Rowena segera membuka kelopak mata Vione. Tampak olehnya bola mata Vione berputar ke atas dan bersamaan dengan itu, kejangnya semakin parah.Tidak, Tuhan. Kumohon, jangan.

Wajah Rowena berubah pucat. Rasa dingin hadir dan menjalari sekujur tubuhnya. Namun, dia berusaha untuk mengusir pikiran buruk yang mulai mengisi benak.

Rowena menarik napas dalam-dalam. Ditenangkannya diri dan memutuskan untuk segera memeriksa keadaan Vione. Dugaannya bisa saja keliru.

Sayangnya, ketakutan Rowena semakin menjadi-jadi ketika dilihatnya kulit Vione menunjukkan perubahan mengerikan. Sepanjang pembuluh darah dan sarafnya mengeluarkan warna biru keemasan.

"Rowena." Suara Ayla terdengar bergetar. Sebabnya, kengerian yang dirasakan oleh Rowena turut dirasakan pula olehnya. "Apa yang terjadi pada Luna?"

Rowena tersentak. Dia mengerjap dan sebulir air mata menetes di pipi. "Alpha mati."

Ayla membeku. "A-apa kau bilang, Rowena?" tanyanya dengan getir. Lantas dia menggeleng berulang kali. "Tidak. Itu tidak mungkin."

Rowena juga ingin menolak kenyataan itu, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya. Sebabnya, sesaat kemudian, Vione tak lagi mengalami kejang. Sebaliknya, Vione tak lagi bergerak. Tubuh Vione berubah kaku dan napasnya berhenti.

"Luna!"

Ayla menjerit panjang. Didekapnya tubuh kaku Vione dan tangisnya pecah.

Di lain pihak, Rowena hanya bisa memejamkan mata. Wajahnya tertunduk, lalu diraihnya satu tangan Vione. Dikecupnya jemari Vione berulang kali. Maafkan aku, Vione. Maafkan aku.

Kala itu waktu benar-benar seolah terhenti. Kesedihan dan rasa kehilangan telah menghentikan putaran waktu. Ayla dan Rowena tenggelam dalam duka lara yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Alam hening. Tak ada nyanyian binatang malam. Tak ada nyanyian dedaunan. Bahkan angin pun tak berembus. Semua seperti merasakan kesedihan serupa. Mereka turut menangis dan berharap agar semua menghilang.

Keheningan ternoda oleh gemuruh yang berasal dari Air Terjun Mystoria. Alam memberontak. Riuh pecah di mana-mana, semua berantakan.

Angin menjelma jadi badai yang menggulung semua benda di sekitar. Pepohonan berderik dengan nuansa angker. Binatang-binatang malam bersuara dengan begitu ramai.

Hujan turun. Petir menggelegar, kilatnya bewarna biru keemasan. Semua benar-benar kacau sehingga satu persatu menghilang dari pandangan.

"Rowena!" seru Ayla sembari terus memeluk tubuh Vione. Dilindunginya tubuh Vione dari air hujan yang turun dengan amat deras. "Apa yang terjadi?"

Rowena tak langsung menjawab, melainkan dia berdiri. Dilihatnya petir yang terus menggelegar dengan lekat. Dia tak takut sama sekali. Sebaliknya, ada senyum yang kemudian merekah di balik air matanya yang terus berderai.

"Terima kasih, Alpha. Terima kasih karena telah menepati janjimu pada, Vione," ujar Rowena sebelum beralih pada Ayla. Lalu dia berkata. "Alpha berhasil."

Lantas, semua pun menghilang satu persatu. Semua lenyap dalam hujan dan petir.

*

Usher tak tahu apa persisnya hal yang terjadi padanya. Semua seperti mimpi. Terlebih ketika dilihatnya ada seorang pria yang berwajah serupa dirinya, persis seperti dirinya, seolah dia tengah becermin. Lalu tiba-tiba saja ada cahaya biru keemasan yang berpendar di kamarnya. Cahaya itu amat menyilaukan hingga akhirnya dia tak mampu bertahan. Dia pun jatuh pingsan.

"Aneh," lirih Usher sembari bangkit dari lantai. Dia beranjak sembari mengusap tengkuk. "Apa yang sebenarnya baru saja terjadi padaku? Apakah aku sedang bermimpi? Namun, mengapa—"

Kata-kata lenyap dari lidah Usher. Lebih dari itu, langkahnya pun turut berhenti. Dia bergeming sejenak. Setelahnya barulah menunduk demi melihat pada kedua kakinya sendiri.

Usher tertegun dengan perasaan yang campur aduk. Bahkan dia nyaris tak bisa bersuara ketika bertanya pada diri sendiri. "Apakah aku sembuh? Mengapa aku tak merasa lemah sama sekali?"

Kaki Usher tak goyah seperti sebelumnya. Dia bisa berdiri dengan tegap dan kakinya bisa melangkah dengan mantap, tak seperti kemarin ketika dia harus berpegangan untuk berjalan.

Tak sampai di sana. Usher pun memeriksa bagian tubuhnya yang lain. Dilihatnya kedua tangan dan bisa dipastikannya tangannya sekarang sudah mendapatkan kembali kekuatannya. Dia yakin, dia bisa kembali memecahkan dinding batu saat itu juga.

Usher merasa begitu senang. Namun, rasa senang itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebahagiaan yang dirasakannya sedetik kemudian. Tepat ketika dia memejamkan mata dan merasakan denyut familier di dalamnya. Jiwa serigalanya ada. Jiwa serigalanya tak mati. Jiwa serigalanya—

Mata Usher membuka nyalang. Dia membeku tatkala menyadari sesuatu. Mengapa aku memiliki dua jiwa serigala?

Keheranan Usher tidak berhenti sampai di sana. Sebabnya, dia menyadari bahwa salah satu dari dua jiwa serigala itu telah mati, telah lama mati.

"Bagaimana mungkin aku tak menyadarinya? Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Usher memejamkan mata. Suara itu menggema di dalam benaknya dan menarik beberapa kilasan-kilasan yang membuatnya kebingungan.

"Tidak." Usher menggeleng sambil meremas rambut. "Sebenarnya, apa yang terjadi padaku?"

Tatapan Usher membentur cermin. Jadilah segala macam pertanyaan terjeda ketika dilihatnya ada sesuatu yang ganjil. Dia beranjak dan mendekati cermin. Lalu dilihatnya pantulan di sana, tepatnya pada lehernya.

Usher menahan napas di dada sambil tato alphanya yang tampak gosong, seakan-akan ia baru saja dipanggang dengan api yang membara. Dia terdiam dan bertanya di dalam hati. Jadi itu apa kalau bukan mimpi?

Bersamaan dengan menggemanya pertanyaan itu di benak maka Usher mendengar keriuhan lain di dalam kepala. Suara dan kilasan berbagai kejadian bergumul sehingga membuat dia buru-buru berpegang pada meja.

"Dengarkan aku, Usher. Pertama, kau harus memastikan Garth untuk selalu di sampingmu. Dia tahu harus melakukan apa untuk membantumu."

Mata Usher membesar. "Garth," lirihnya sebelum memutuskan untuk beranjak menuju pintu. Dibukanya pintu dan lalu dia berseru. "Garth!"

Usher tak menemukan Garth, melainkan dua orang guard yang tak dikenalinya. Mereka tampak terkejut melihatnya.

"A-Alpha."

Usher abaikan keanehan sikap mereka dan bertanya. "Di mana, Garth? Suruh dia untuk menemuiku saat ini juga."

Kedua orang guard saling melihat satu sama lain. Mereka tampak bingung dan itu membuat Usher geram.

Usher tak bisa menunggu dan untungnya, dia teringat seseorang. "Cora!" serunya berulang kali sembari beranjak dari sana. Disusurinya lorong panjang tanpa memedulikan kedua orang guard yang berusaha untuk membawanya kembali ke kamar. "Cora! Di mana kau, Cora?!"

Langkah Usher terhentik ketika mendapati Cora muncul di ujung lorong. Dia tampak kaget melihat keberadaan Usher dan bergegas menghampirinya.

"Alpha."

Usher menggeram. "Di mana, Garth? Aku harus menemuinya sekarang juga. Aku harus bicara dengannya."

Cora tampak tak bisa menjawab pertanyaan Usher. Wajahnya menyiratkan kebingungan.

"Cora," geram Usher dengan mata memelotot. "Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?"

Cora menundukkan wajah. "Maafkan aku, Alpha, tetapi saat ini Garth tak bisa menemuimu."

"Garth tak bisa menemuiku?" Usher mengerutkan dahi. "Mengapa? Ada apa dengannya?"

Mata terpejam, Cora menjawab pertanyaan Usher dengan tak berdaya. "Garth sedang dalam persiapan untuk diadili, Alpha. Mireya menuduhnya berencana untuk membunuhmu."

Usher syok, nyaris tak bisa bernapas, bahkan jantungnya seperti tidak berdetak lagi. "Apa?!"

*

Kedatangan Usher di Pengadilan Tinggi membuat gempar semua orang. Nyaris semua orang terkejut dalam kegembiraan. Jadilah proses pengadilan Garth yang sedang berlangsung jadi tertunda.

"Alpha!"

"Alpha sembuh!"

Mayoritas dari mereka bersorak-sorai, menyuarakan kegembiraan akan sembuhnya Usher. Sebabnya, mereka bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Usher sudah seperti sediakala. Usher memang terlihat kurus, tetapi dia berdiri dengan tegap dan melangkah tanpa goyah sama sekali. Usher kembali memancarkan kekuatan dan keanggunan yang membuat semua orang terpukau.

Di sisi lain, kehadiran Usher membuat Mireya membelalak tak percaya. Dia melongo dan sempat mengira bahwa matanya salah melihat hingga Usher menghampirinya.

"U-Usher."

Usher mengatupkan mulut rapat-rapat. Wajahnya tampak kaku. "Apa yang kau lakukan, Mireya?"

Mireya gelagapan, nyaris tak bisa bicara. "U-Usher, a-aku—"

"Kudengar kau menangkap Garth dengan tuduhan perencanaan pembunuhan," potong Usher cepat dan lugas. "Benarkah begitu?"

Mireya tak tahu harus bicara apa, melainkan dilihatnya Cora yang berdiri tepat di belakang Usher. Tak perlu ditanya, dia yakin bahwa Cora yang melaporkan hal itu pada Usher.

"Usher." Mireya menarik napas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan diri sambil berusaha mencari jalan keluar. "Aku melakukan ini semua untuk keselamatanmu. Garth tidak sebaik yang kau kira. Selama ini, dia telah berkhianat. Dia bekerja sama dengan pria misterius."

Usher menyipitkan mata. "Garth berkhianat?"

"Aku tahu, kau pasti tidak akan percaya. Jadi, silakan kau lihat semua bukti yang ada."

Tuntas bicara maka Mireya segera membawa Usher untuk melihat semua bukti yang telah dirancangnya dengan amat apik. Semua foto dan video telah dimanipulasi sehingga membuat Garth bersalah.

"Kau lihat?" Mireya menunjuk sebuah foto pada Usher. "Garth bertemu dengan pria misterius ini dalam perjalanan menuju ke rumah Ayla. Mereka merencanakan pembunuhanmu. Dia telah merusak kepercayaanmu, Usher. Kau mempercayai orang yang salah."

Usher diam. Terus ditatapnya foto itu dengan keanehan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Secara logika, Garth memang tampak bersalah. Namun, instingnya mengatakan sebaliknya.

"Alpha."

Suara Garth terdengar. Usher berpaling dan melihat Garth. Kala itu baru disadarinya keadaan Garth yang amat menyedihkan.

Garth bukanlah manusia serigala yang lemah. Sebaliknya, dia adalah yang terkuat sehingga bisa mendapatkan posisi untuk menjadi pendampingnya. Namun, yang dilihat oleh Usher sekarang tidak seperti dirinya yang dulu.

Wajah Garth penuh dengan penyesalan dan putus asa. Dia tampak membenci diri sendiri yang tak berdaya untuk semua kekacauan yang terjadi. Harga dirinya hancur. Parahnya, dia merasa menjadi manusia serigala yang paling tak berguna.

"Alpha, maafkan aku. Aku bersalah, tetapi aku tak berniat untuk merusak kepercayaanmu. Jadi, apa yang harus kulakukan untuk menebus rasa bersalah ini?" tanya Garth dengan suara rendah. Dia tampak tak memiliki semangat hidup. "Apakah kau menginginkan kematianku, Alpha?"

Pengadilan menjadi gempar. Mireya tersenyum sementara Usher meringis tertahan sembari memegang kepala—ada kilasan aneh yang kembali muncul.

"Baiklah, Alpha. Bila itu kehendakmu maka aku tak akan menolak. Silakan hukum aku. Seluruh hidupku telah kujanjikan hanya untuk mengabdi padamu. Bahkan jika kau menginginkan kematianku maka itulah yang akan kuberikan."

Usher terhenyak. Kilasan itu menampilkan kejadian di mana Garth menyobek nadi di lehernya dengan tangannya sendiri. "Tidak."

"Baiklah, Alpha. Bila itu kehendakmu maka aku tak akan menolak. Silakan hukum aku. Seluruh hidupku telah kujanjikan hanya untuk mengabdi padamu. Bahkan jika kau menginginkan kematianku maka itulah yang akan kuberikan."

Garth mengucapkan kalimat persis seperti yang menggema di dalam kepala Usher. Setelahnya, dia pun mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi. Kelima jarinya mengembang dan lalu bergerak menuju leher.

Jerit panik pecah. Orang-orang memejamkan mata, tak sanggup melihat kejadian berdarah itu. Namun, ketika mereka membuka mata maka mereka melihat Usher menangkap tangan Garth.

Usher menggeram. Napasnya menggebu. "Apa-apaan kau, Garth?! Apa yang kau lakukan?!"

Garth menatap Usher dengan sorot tak percaya. "Alpha."

"Kau, Garth," ujar Usher dengan pergolakan emosi yang tak bisa diungkapkan satu persatu. Dia marah, tetapi juga merasa lega. "Berani-beraninya kau ingin meninggalkan alphamu!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro