02. Defense
🌷행복한 독서🌷
📍Interdiciplinary Auditorium, Royal Medical Center
"Streptococcus pneumoniae yang menyerang paru-paru dapat menyelinap ke aliran darah lewat celah sel yang rusak. Ditinjau dari struktur morfologi, bakteri ini memiliki kapsul yang tahan terhadap sistem imun seluler dan mudah mencapai sistem saraf pusat. Rendahnya basis pertahanan di otak menyebabkan bakteri mudah bereplikasi dan mengakibatkan peradangan."
Tensi di ruang rapat interdisipliner tenaga medis Royal Medical Center semakin meningkat beriring waktu. Semua mata tertuju pada Hana yang sedang memberikan laporan kondisi istri walikota Seoul. Tidak ada satu pun yang berani menyela, bahkan suara detak jam dinding saja terdengar mengganggu. Semua peserta sidang sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah sedang mencerna informasi atau menyiapkan bantahan.
Hana berusaha menjaga fokus dengan berkedip lambat beberapa kali. Seminggu belakangan ia kurang tidur untuk menyiapkan materi presentasi di konferensi kemarin hari. Beruntung sapuan krim pelembab berhasil menyamarkan kantung matanya yang sembab. Bagaimana pun, kunci dari kepercayaan diri adalah penampilan. Berdiri di tengah ruangan dengan muka pucat jelas akan menurunkan impresi para kepala departemen yang hadir di sana.
Hana mengambil napas dalam-dalam, menyiapkan pasokan oksigen ke otaknya agar tetap mempertahankan status siaga. Pagi tadi hasil kultur darah keluar. Istri walikota Seoul positif terinfeksi bakteri Streptococcus pneumonia. Keadaannya berangsur membaik setelah injeksi sefotaksim. Meski belum sadar, kornea dan pupilnya masih menunjukkan respon terhadap rangsangan cahaya. Tekanan darah dan temperatur tubuhnya pun sudah berada di titik normal.
"Sefotaksim larut dalam lemak dan dapat menembus sawar darah otak. Antibiotik ini memiliki distribusi yang baik dengan waktu paruh singkat sehingga menjadi pertimbangan dalam keadaan darurat." Hana menelan saliva begitu mengakhiri penjelasannya.
"Bagaimana Anda menyimpulkan bila sumber infeksi berasal dari otak tanpa pencitraan radiologi?" Kepala departemen mikrobiologi angkat bicara.
"Hasil anamnesis menunjukkan pasien memiliki gejala pneumonia." Hana mengerling kepala departemen pulmonologi, berusaha memilah kalimat yang tepat agar tidak terdengar menyudutkan. Pria seusia ayahnya tersebut menerima usulan untuk memberi antibiotik tambahan di saat dokter lain menolak. "Setelah pemberian antibiotik empiris kurang lebih 48 jam, suhu tubuh pasien terus meningkat sehingga sumber infeksi dicurigai berasal dari otak."
"Sefotaksim adalah antibiotik defenitif yang bisa diberikan bila hasil kultur darah dan tes pungsi lumbar menunjukkan jenis bakteri spesifik. Atas dasar Anda memberikan tambahan antibiotik menyalahi guideline? Bagaimana bila seandainya bakteri hasil kultur tidak sesuai?"
Dan kenyataannya hasilnya sesuai! Hana berdecak dalam hati. Satu hal yang seringkali membuat hatinya gemas adalah kebiasaan orang-orang memperkarakan sesuatu yang tidak terjadi. Bila boleh jujur, Hana membuat kuputusan untuk memberikan sefotaksim sebagain besar karena dorongan intuisi. Namun, alasan tersebut tentu saja tidak bisa diterima oleh para pemikir rasional di hadapannya sekarang.
"Tes pungsi lumbar tidak bisa dilakukan karena adanya tekanan pada otak, sementara keadaan pasien sedang kritis. Sefoktaksim efektif untuk tiga jenis bakteri utama yang menyebabkan meningitis."
"Tes pungsi lumbar seharusnya segera dilakukan bila ada kecurigaan meningitis agar pembengkakan bisa segera di atasi sebelumnya. Siapa dokter yang bertanggungjawab pada pasien?"
Dokter Cho yang duduk di baris kedua menelan ludah dengan kecut. Jemarinya mencengkeram pegangan kursi. Dokter yang barusan bertanya adalah seniornya sewaktu kuliah. Meski berada di departemen yang berbeda, mereka masih terlibat perang dingin selama bertahun-tahun. Dokter Cho tahu pertanyaan tersebut bertujuan untuk memojokkannya.
Dokter Cho .... Hana meringis dalam hati. Kemarin dokter tersebut berteriak di depan wajahnya perihal batas kewenangan antar-profesi, tetapi sekarang dia malah mati kutu bahkan untuk memberi sebuah alasan.
Menyadari keraguan Hana, kepala departemen pulmonologi di tribun kanan berdiri. "Pasien menunjukkan gejala pneumonia yang sangat jelas. Hasil pemeriksaan laboratorium juga mendukung hal tersebut. Sebab itu, pemeriksaan dilanjutkan pada kultur darah untuk mengetahui penyebab infeksi."
"Di rekam medis ini tertulis ada keluhan nyeri kepala." Kepala departemen bedah ikut membela anggotanya. "Tanda rangsang meningeal sepatutnya dilakukan sejak pertama kali pasien masuk ke ICU. Gejala-gejala kecil semacam ini tidak boleh dilewatkan. Kita harus memperhitungkan semua kemungkinan sebelum menetapkan diagnosa, apalagi untuk pasien VVIP!"
Hana menahan napas di tempat. Sesuai dugaannya, nyeri kepala yang dikeluhkan pasien bukan hanya gejala umum.
"Jeongsonghamnida. Departemen kami akan lebih teliti." Kepala departemen pulmonologi mengerling dokter Cho lalu menatap Hana dan mengangguk singkat.
Hana balas melenggut. Sidang kemudian berakhir dengan desas-desus kelalaian departemen pulmonologi yang sebentar lagi akan sampai di telinga ayahnya. Beberapa perawat senior sempat berbisik tentang
Nama dokter Cho ikut terseret, tetapi Hana tidak ingin menggubris. Pengumuman hasil simposium kemarin akan keluar hari ini. Hana tidak ingin membuang waktunya di sana hanya untuk mendengar gosip.
"Hana-sii."
Hana mungkin akan merutuk bila saja suara yang menyapanya bukan milik ketua departemen pulmonologi. Pria tersebut tersenyum setengah meringis.
"Maaf menyela waktumu," ujar sang kepala departemen seraya menunduk. "Terima kasih telah membantu kami dalam menangani kasus ini."
"Animnida, Gyosu-nim." Hana membalas anggukan kepala departemen dengan tatapan tertuju pada dokter Cho yang diam-diam mencuri pandang ke arahnya. "Saya yang harus berterima kasih. Anda bersedia mendengar pendapat saya. Semua ini berkat kelapangan hati Anda."
"Kau selalu bisa melihat sisi baik orang lain."
Kali ini Hana tidak membantah, ia membungkuk pada kepala departemen yang pamit dan keluar ruangan. Setelah melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, Hana berniat beranjak sesegera mungkin. Tersisa kurang dari sepuluh menit sebelum pengumuman dirilis. Namun baru beberapa langkah keluar dari pintu auditorium, langkahnya kembali tertahan ketika dokter Cho yang berdiri di depan lift berceletuk ke arahnya.
"Hana-sii, kenapa kau buru-buru begitu?" Dokter Cho mendecakkan lidah. "Bukankah ini yang kau inginkan?"
Hana memutar bola matanya dan menatap dokter Cho yang didampingi seorang residen. Ia tidak mengharapkan pengakuan dari setiap orang. Namun, sindiran dari dokter Cho membuat harga dirinya terusik.
"Maksudmu menyelamatkan pasien?" ujar Hana. "Atau berdiri di podium seorang diri dan menghadapi penghakiman dari seluruh kepala departemen di rumah sakit ini?"
Mengabaikan perkataan Hana, dokter Cho kembali berujar sarkastik, "Apa kau puas sekarang?"
Hana menahan geram dalam hati kemudian mengangguk sekali. "Ya. Aku sangat puas."
"Puas, katamu?"
"Tentu saja. Aku sangat puas sebab istri walikota berhasil melewati fase kritisnya. Itu berarti kerja keras kita tidak sia-sia."
"Jangan bersikap naif! Kau tahu jelas maksudku!" Kelopak mata dokter Cho berkedip lambat. Ia merungus dan menuding Hana. "Kau puas membuatku terlihat bodoh di hadapan orang-orang?"
"Cho Yuri-ssi, bagaimana mungkin kau menuduh orang lain yang membuatmu terlihat bodoh sedang dirimu sendiri tidak berani mengangkat wajah?"
"Mwo?!"
"Kalau kau tidak ingin terlihat bodoh, kenapa kau tidak bisa mengangkat kepala dan diam saja ketika hasil anamnesismu dipertanyakan?" Hana tidak mengindahkan dokter Cho dan meneruskan kata-katanya. "Bila kau kecewa pada dirimu sendiri, jangan melampiaskan emosi pada orang lain. Sampai kapan kau terus bersikap denial?"
Dokter Cho kehilangan kata, bahkan untuk menahan Hana yang kembali memutar badan. Namun, sebelum Hana masuk ke dalam lift, dua orang tenaga farmasi lebih dulu menghampirinya dengan terburu.
"Hana-ssi! Pengumumannya sudah keluar!"
"Benarkah?" Hana membolakan mata. Mendebat dokter Cho membuatnya lupa waktu. "Bagaimana hasilnya?"
"Itu ... kami takut mengatakan ini."
"Waeyo?" tanya Hana mulai gelisah.
"Proposal departemen kita diterima!"
"Jinja?" Hana menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Ne, sungbaenim!"
"Aigoo ... kalian benar-benar membuatku jantungan!" Hana mengelus dada kemudian merangkul dua stafnya tersebut masuk ke dalam lift.
Sementara itu, dokter Cho yang masih berdiri di tempatnya semula mengamati Hana dengan nanar. Hana punya kehidupan sempurna dan seringkali mendapat peruntungan yang baik.
"Dia selalu saja mendapatkan segalanya!" Dokter Cho merutuk.
"Benar. Apa jangan-jangan di masa lalu Kim Hana sudah menyelamatkan satu kerajaan?" kelakar residen di sebelah dokter Cho berusaha mencairkan suasana.
Dokter Cho tertawa pendek. "Memang seperti itu?"
"Katanya seperti itu. Orang yang punya hidup sempurna berarti telah menyelamatkan banyak nyawa di masa lalu." Sang residen ikut memperhatikan Hana yang bercanda dengan dua tenaga farmasi di dalam lift sampai pintunya tertutup rapat. "Atau mungkin juga, orang yang pernah melakukan pengorbanan yang sangat besar di kehidupan sebelumnya."
⌛다음에⌛
Beberapa pembaca mungkin menganggap chapter ini agak berat, jadi singkat saja. See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro