Question ...
Lana dengan gencar memacu pedal menyusuri kota yang bising sore itu. Dia sengaja mengambil jalan memutar untuk memuaskan hasratnya akan sepeda. Entah apa yang membuatnya memilih rute ini. Namun satu hal yang pasti, dia selalu penasaran dengan perempuan di halte kota lama.
Hampir sebulan lamanya. Saat dia mencoba rute baru untuk pulang. Selama satu bulan penuh juga, dia selalu melihat seorang perempuan seumurannya di halte kota lama. Perempuan itu duduk termenung penuh kegelisahan. Jaket kedodoran miliknya selalu menutupi bagian atas sang perempuan. Ekspresi yang dia tunjukkan sama seperti ketika Lana kehilangan sosok ayahnya.
Manakala matanya menangkap siluet dari seseorang duduk sendiri di bangku halte. Secepat itu pula tangannya menekan rem dan sepeda berhenti lima belas meter dari halte. Rasa penasarannya telah mencapai batas tertinggi.
Dia masih di sana, di tempat yang sama.
Lana mengangkat sepedanya, berjalan di atas trotoar menuju halte. Sepeda telah terparkir rapi di samping tiang. Kini dia duduk di sebelah perempuan itu. Dengan jarak sejauh dua meter, Lana tak bisa menghilangkan rasa gugupnya.
Pertarungan batin tak bisa dihindari. Gejolak ingin menyapa hampir terkalahkan oleh rasa takut.
"Hei." Lana memberanikan diri menyapa.
Perempuan itu masih terdiam. Malahan dia lebih merapatkan jaket yang menyelimutinya. Dia bergeser sedikit menjauh dari Lana.
"Aku sering melihatmu di sini. Di jam yang sama, hampir setiap hari. Apa kau menunggu seseorang?"
Lana terus berbicara sendiri meski tak ditanggapi. Bahkan dia juga mencoba memberi salah satu snack penambah energi miliknya.
"Makanlah."
Lana menaruh snack itu di sebelah kiri tangan si perempuan yang sedang bertumpu.
"Ah, maaf aku bukan penguntit atau apa kok. Hehe, aku cuma kebetulan lewat sini sebelum pulang."
Tanpa kata, tangan kiri si perempuan meraih snack yang pemuda itu berikan. Dia merobek bungkusnya dengan gigi, lalu memakan isinya. Namun tingkat kewaspadaan si perempuan tak berkurang sedikit pun.
Angin berhembus pelan menerpa polusi kota. Rambut panjang milik perempuan itu menari-nari ringan. Poni yang menutup matanya juga ikut beterbangan, menunjukkan tiap detail raut muka sang perempuan.
Jantung Lana berdegup kencang. Sudah lama dia tak merasakan hal ini. Terakhir kali ketika dia masih kecil dan melihat atlet renang bersama ayahnya.
Lima bus telah terlewatkan. Namun gadis itu tak menunjukkan hawa untuk menaiki bus tersebut untuk pulang. Lana tetap setia duduk di sampingnya, meski tak ada kata terucap.
Matahari telah lelah. Berangsur-angsur dia menenggelamkan diri di ufuk barat terjauh. Rembulan menampakkan diri, menunggu di atas cakrawala untuk menyejukkan malam.
Perempuan itu tertawa tanpa sebab. Aneh, hanya itu yang terbesit di kepala Lana.
Perempuan itu lantas pergi meninggalkan Lana dengan sejuta pertanyaan. Lana masih terdiam menatap langit malam tanpa adanya sang bintang. Penerangan jalan, cahaya kendaraan, serta lampu deretan pertokoan seakan membias. Menutup sebuah kemungkinan untuk sang bintang bertengger penuh kesombongan.
Lana memeriksa teleponnya yang sejak tadi berdering dari dalam tas. Matanya membelalak tatkala nama Hendra muncul di notifikasi. Tak hanya satu, namun puluhan. Lana mengangkat dering selanjutnya.
"Ada apa?" tanya Lana malas. Lain halnya dengan Hendra yang terburu-buru.
"Di mana lo?"
"Halte Kota Lama. Kenapa emang?"
"Gawat! Icus abis kecelakaan pas dia pulang dari mini market."
Napas Hendra memburu. Dia tidak tahu keadaannya akan menjadi buruk seperti itu.
"Terus?" tanya Lana yang seakan tidak peduli.
"Bantuin lah, bego! Sini cepet, di Rumah Sakit Mangunkarsa."
Lana mematikan teleponnya secara sepihak. Sepedanya dia angkat kembali menuju tepi jalan. Dia menekan pedal sedikit lebih kencang.
Berhubung jalanan yang mulai sepi dari pengendara bus dan truk besar. Lana bisa bebas bersuka hati untuk ngebut di jalanan. Kakinya menaikkan jumlah putaran pedal dari yang biasa dia pacu. Dengan mengandalkan gigi berat, Lana melaju lebih cepat hampir menyamai kecepatan standar sepeda motor.
Sesampainya di lobi rumah sakit. Lana berjalan menghampiri Hendra yang terduduk lesu melihat para perawat berlalu lalang. Matanya awas, memandang tiap bidadari di depannya.
"Ngapain?" Lana mengepalkan tinjunya lalu memukul belakang kepala Hendra.
"Nungguin elo lah, bego!"
"Oke, aku balik nih."
"Jangan gitu lah, Lan. Please, bantuin gue."
Lana berpikir sejenak. Dia mengambil telepon genggamnya hendak melakukan sebuah panggilan. Namun Hendra menghentikan Lana. Tangannya menunjuk ke tempat tunggu resepsionis. Ada Bu Rinjani di sana.
"Buset! Dari semua guru, kenapa harus dia?" Lana panik.
"Gue panik tadi. Tangan gue gak bisa diajak kompromi. Tau-tau udah nelpon Bu Rinjani, Lan." Hendra tak kalah panik.
"Mampus."
Lana mengumpat dalam hati. Bukan karena masalahnya dengan Bu Rinjani tempo hari. Hanya saja Lana selalu menjadi objek kesalahan di setiap materi Bu Rinjani. Entah dia benar maupun salah. Lana tetap akan menjadi bulan-bulanan guru itu.
Benar saja. Begitu Bu Rinjani selesai mengurus administrasi. Dia menatap Lana penuh arti. Sedang Lana hanya menggeleng cepat. Tangannya menunjuk Hendra, sebagai pelaku sebenarnya.
"Saya gak tau apa-apa, Bu. Sumpah!"
"Hendra, kok bisa sih. Kamu ngebiarin si Suci minum itu."
Hendra terdiam.
"Bu, tunggu. Sebenarnya Icus kenapa? Cecunguk ini cuma bilang dia kecelakaan waktu telepon," tanya Lana dengan nada berhati-hati tanpa mengurangi rasa kesalnya.
"Suci keracunan. Badannya gak bisa nerima protein dari kacang-kacangan. Dan dia tanpa sengaja meminum itu, hasilnya sistem antibodynya menurun."
Bu Rinjani menjelaskan sembari berjalan ke ruangan tempat Icus istirahat. Mereka berdua mengekor bak sapi yang terkena hukum cambuk.
Bu Rinjani membalikkan badannya. Hendra dan Lana terkesiap berdiri mematung.
"Semua karenamu, Hendra."
"Saya gak tau, Bu. Serius, saya niatnya cuma mau beliin dia minum habis olahraga. Eh, dia malah jatuh tersungkur waktu minum."
"Lain kali ingat. Gak semua orang bisa meminum apa yang biasa kamu minum. Tiap orang punya sistem imun yang berbeda-beda. Contohnya bocah satu yang di sebelahmu itu."
Lana menunjuk dirinya sendiri bingung. "Saya?"
"Siapa lagi?!" Bu Rinjani membalas dengan ketus.
Mereka bertiga sampai di kamar Icus. Kamar dengan kapasitas tiga ranjang pasien itu nampak sepi. Hanya Icus sendiri yang berada di sana. Perawat baru saja keluar dari kamar saat mereka bertiga masuk.
Hendra menatap Lana lekat-lekat. Mulutnya terbuka-menutup mengatakan kata buah, tanpa bersuara. Jelas dibalas gelengan kepala oleh Lana. Hendra sedikit kecewa, tapi bukan salah Lana juga karena dia tak memberi tahunya untuk membawa buah, setidaknya jeruk sebiji.
Icus perlahan mengerjapkan mata. Rasa pusing dan mual berlebih belum kunjung sirna. Dia tidak bisa menyalahkan Hendra yang berniat baik, memberinya minuman kala kehausan. Namun semua terjadi karena ketidak hati-hatiannya. Sesungguhnya ia dapat membedakan mana yang mengandung kedelai atau tidak. Hanya saja di botol itu terasa samar sekali rasa dan bau dari kedelai. Begitu diminum, sekejap itu pula sistem kerja tubuhnya menolak.
"Bu Jani, sudah mengabarkan hal ini pada Pak Brata?" tanya Lana tiba-tiba.
"Belum. Memang kenapa? Lagipula siapa pula Bu Jani!" jawab Bu Rinjani penasaran sedikit protes.
"Kalau begitu, Bu Rinjani berikan status izin saja pada Hendra dan Icus."
Lana beranjak meninggalkan kamar. Sesaat sebelumnya Lana meletakkan apel merah di meja, yang dia beli di minimarket sebelah rumah sakit.
"Selamat malam. Cepat sembuh, Cus."
"Tunggu," tahan Bu Rinjani.
"Apa maksud perkataanmu tadi?"
"Bukan apa-apa Bu. Biar saya saja yang menghadap Pak Brata besok pagi."
Lana tak mengindahkan pertanyaan Bu Rinjani dan pergi secepat kilat dari rumah sakit. Hendra yang menjadi dalang dari kejadian ini, hanya sedikit tertawa lalu berucap.
"Memang begitu si Lana, Bu. Jangan terlalu dipikirkan, Bu Jani."
Tanpa dia sadari, sekali lagi sebuah pena melayang tepat ke kening Hendra. Akibat ketidaksukaan Bu Rinjani yang dipanggil seenak hati oleh mereka berdua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro