Moon and Her Sky : BAB 02
Sambil melangkah menyusuri selasar yang sudah sepi, Mona menata rambut dan menguncirnya ke belakang. Langkahnya pelan namun pasti. Pandangannya terarah lurus ke depan.
"Eh, lo yang kemarin, ya?" ujar seorang laki-laki, satu-satunya hal yang membuat perhatiannya langsung teralihkan dari jalan di depan matanya. Mona geming, memandangi laki-laki dengan batik merah dan celana kelabu yang menghentikan langkah. "Seribu gue mana?"
Sebelah alis Mona terangkat. Selain pertanyaan Mona-siapa laki-laki ini-terjawab, sekarang ia heran. "Relain aja kek, seribu doang," katanya acuh tak acuh.
Namun laki-laki dengan badge nama Angkasa Putra tersebut menggeleng sambil tetap menadahkan tangan kanannya. "Seribu juga bisa bikin sembilan puluh sembilan ribu jadi seratus ribu," balas Angkasa sekenanya. Membuat Mona semakin heran. "Atau gini deh. Pokoknya gue tunggu sampai ujian selesai. Lo tinggalin aja uang seribu di kolong meja ujian lo itu."
Mona semakin heran.
"Lo kok tau-tauan segala gue duduknya di mana?" tanya Mona sambil tetap melanjutkan kegiatannya, menguncir rambut. Sekarang bukan hanya heran yang timbul, tapi rasa curiga juga.
Angkasa mengedikkan bahunya. "Mona Arisa, kan? Gue liat kok nama di seragam lo, sama nama yang ada di meja ujian lo. Secara enggak langsung, kita sebangku. Tapi lo duluan," rincinya. "Nah, sekarang balikin seribu gue, Nana."
"Sok akrab banget manggil-manggil Nana." Mona mengerlingkan matanya sambil jalan berlalu, mengabaikan Angkasa yang menagih uangnya. "Kapan-kapan gue kembaliin ya, Angkasa," katanya sambil berlari menuruni tangga, dan beberapa kali melompati anak tangga.
"Oh iya! Jangan nyontek!" teriak Mona sambil kembali menampakkan dirinya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia berlari lagi untuk pergi.
Angkasa hanya mengedikkan bahu sambil menyungging senyum. Laki-laki itu turut melanjutkan langkahnya, ke jalur yang berlawanan dari Mona. Sepanjang jalan senyumnya bertahan. Sampai menempati kursi yang sudah beberapa hari ini jadi tempat duduknya.
Satu hal yang Angkasa langsung cari ketika sudah melepaskan tas dari punggungnya adalah balasan dari Mona di mejanya. Setelah kemarin Angkasa meninggalkan balasan "Ya udah, lo aja yang bersihin, kan lo yang peduli sama kebersihan meja sekolah lo", sekarang ia mendapatkan balasannya lagi.
Senyum Angkasa sekali lagi melebar. Di sana Mona menulis: Lo kan nempatin juga. Masa enggak tanggung jawab?
Namun daripada memberikan balasan, Angkasa lebih memilih untuk mengabaikan pesan paling baru tersebut. Meskipun bibirnya terus melengkung membentuk senyum menawan.
"Lo enggak sinting atau gimana, kan?" pertanyaan tersebut langsung membuyarkan lamunan Angkasa. Membuat laki-laki itu langsung menoleh ke sumber suara. Juga membuatnya mendapati gadis yang tadi ditemuinya, kini berdiri tepat di depan matanya. "Gue liat dari jendela, senyum-senyum kayak apaan. Padahal lagi sendirian," katanya lagi sambil bergidik geli.
Angkasa masih geming, terpaku memandanginya.
"Apaan sih!" ujar Mona ketus. "Awas awas, gue mau ambil tempat pensil di kolong meja."
"Biasa aja dong," balas Angkasa sambil bangkit dari kursinya. Ia menyingkir sejenak selama Mona menempati kursinya dan mencari-cari tempat pensilnya di kolong meja.
"Kok enggak ada, sih?" Mona bertanya entah kepada siapa. Dilihatnya lagi kolong meja yang ditempatinya dan yang ditempati Garda. Namun hasilnya nihil. Mona tidak menemukan apapun. "Lo pasti udah liat ada tempat pensil gue, ya?"
Angkasa menggeleng dengan polos. Ia melangkah mundur sedikit untuk mencapai meja di belakangnya, kemudian duduk di sana.
"Gue serius. Itu tempat pensil ada HP isinya," kata Mona sambil terus meraba-raba kolong meja. Angkasa sekali lagi menggeleng. "Bohong, ya!"
"Gila. Gue juga baru banget duduk, kali. Masa iya udah kepikiran buat nyolong. Cek aja coba tas gue," balas Angkasa yang justru ikut menunjukkan amarahnya. Mendengar Angkasa bicara begitu, Mona langsung mengambil tas hitam yang ada di atas mejanya.
Satu per satu ritsleting Mona buka, tapi benar, yang didapatinya hanyalah beberapa buku pelajaran, buku catatan, dompet, dan satu pensil kayu serta penghapus. Bibirnya langsung mengerucut. Ditaruhnya lagi tas tersebut seperti semula, di atas meja.
"Enggak ada, kan?" tanya Angkasa masih dengan nada kesal. Mona menggeleng lesu. "Udah, nanti kalau ada yang nemuin, gue kasih ke lo. Sana pulang. Gue mau belajar."
Mona beranjak dari kursinya, kembali bergantian dengan Angkasa yang segera duduk di sana. "Belajar atau bikin contekan?"
"Belajar. Lo kan liat gue bawa buku banyak," balas Angkasa. Mona hanya mengedikkan bahunya sambil diam memandangi Angkasa. "Kenapa lagi? Mau kenalan sama gue?" goda Angkasa.
Mona langsung membelalak saking terkejutnya dengan tawaran Angkasa. Ia sekali lagi bergidik geli atas ucapan laki-laki yang bertukar tempat duduk dengannya ini.
"Nama gue Angkasa Putra Perkasa. Kelas sepuluh MIPA tiga, SMA Nusa," kata Angkasa sambil mengulurkan tangan kanannya. Tapi Mona enggan membalas. Gadis itu hanya menatap tangan Angkasa sekilas. "Nama lo Mona Arisa, enggak tau kelas berapa, SMA Diponegoro."
Menyadari Mona enggan menjabat tangannya dan menyebutkan namanya, Angkasa akhirnya menarik lagi tangannya, lalu memilih untuk membuka bukunya ketimbang terus-menerus mengajak gadis tersebut bicara.
"Mona Arisa, sepuluh IIS dua, SMA Diponegoro," dikte Mona. "Salam kenal, Angkasa Putra."
Angkasa hanya melirik ke arah lawan bicaranya, tapi mendapati gadis itu tersenyum benar-benar lebar. Laki-laki itu turut tersenyum dan mengangguk tanpa bicara lebih lanjut. Setelahnya, begitu keduanya melihat ada seseorang yang datang memasuki ruangan, Mona langsung beranjak.
Gadis itu berlari di sepanjang selasar, melewati tiap-tiap siswa dan siswi berseragam batik merah, sementara ia adalah satu-satunya yang mengenakan batik putih dan rok kelabu. Mona terus melangkah sampai ia menemui Garda yang sudah duduk dengan anteng di atas motornya, tengah bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang tidak Mona kenal.
"Ketemu, Na?" tanya Garda begitu dilihatnya Mona datang. Mona menggeleng. "Terus gimana?"
"Ya enggak gimana-gimana, Kak. Lihat besok aja. Mungkin ada yang lihat tadi terus dibawa pulang," balas Mona. "Kak Garda mau pulang? Gue boleh bareng, enggak? Baran enggak bisa jemput."
Garda hanya mengangguk, kemudian mengenakan helmnya. "Ngga, duluan ya gue," pamitnya kepada laki-laki berseragam batik merah yang sejak tadi berbincang-bincang dengannya. Laki-laki tersebut hanya mengangguk mengiyakan Garda, kemudian berjalan ke arah gedung SMA Diponegoro.
Bermenit-menit setelah suasana senyap terasa, Garda pada akhirnya menghela napasnya dan mencoba mencari topik percakapan. Ia bertanya, "Tumben minta bareng, Na. Kenapa?"
Mona tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa. Kapan lagi kan, gue dianterin pulang sama artis papan atas," guraunya sambil tertawa.
"Papan tulis kali, Na," sangkal Garda sambil turut tertawa. Tawa Mona semakin kencang, tak peduli dengan orang-orang di sekitar mereka yang menyempatkan dirinya untuk menoleh, sejenak mengalihkan perhatian dari jalan raya di hadapannya.
Percakapan mereka mengalir. Dari membahas soal pekerjaan Garda sebagai aktor yang kian kemari kian padat jadwalnya, sampai membahas tentang kenapa Pak Ridwan, sang kepala sekolah, gemar sekali memberikan amanat terlalu panjang ketika menjadi pembina upacara.
Sampai percakapan mereka berhenti secara paksa sebab motor Garda terhenti tepat di depan pagar rumah Mona. Garda mengepalkan tangan kanannya, siap melakukan brofist.
Senyum Mona mengembang. "Makasih Kak," tuturnya sambil membalas kepalan tangan Garda. Laki-laki yang masih mengenakan helm itu hanya tersenyum dan mengangguk. "Habis ini langsung ke lokasi shooting?"
Sekali lagi Garda mengangguk.
"Oke. Semangat. Nanti kalau bayarannya udah turun, makan-makan dong," ujar Mona penuh semangat sambil mengacungkan ibu jarinya.
Garda tertawa. "Kapan-kapan, ya."
Mona mengangguk. Garda kemudian pamit pergi. Kacahelmnya ia turunkan lagi. Dalam hitungan detik, laki-laki itu sudah melesatcepat bersama motornya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro