Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

As You Wish: BAB 06

Lima menit mereka duduk di kursi yang ada di pinggir lapangan basket, lima menit juga mereka geming. Angkasa masih memandangi langit yang menggelap, sementara Mona terus mencengkeram gelas Caramel Macchiato-nya yang masih tersisa setengah.

"Na, gue nanya, tapi jangan marah, ya?" tutur Angkasa sebagai pembuka. Di tangannya kini terselip sebatang rokok. Siap bakar. Mona kini menatap laki-laki yang memandangi bulan di atas. Gadis itu turut menatap bulan, lalu mengangguk. "Sebenernya, yang lo pengin tuh, apa sih, Na?"

Mata Mona yang sedari tadi masih berkaca-kaca, kini bisa Angkasa lihat dengan lebih jelas: kembali berlinang air mata. Gadis itu memilih untuk tidak menjawab, melainkan terus melihat ke atas langit seperti sedang disuruh menghitung jumlah bintang.

"Masih mau jadi pacar gue, kayak dulu?" tanya Angkasa sambil memantikkan korek gasnya. Membakar rokok yang sudah diapit bibirnya, lalu mengepulkan asap ke udara. Sementara Mona hanya menyaksikan tanpa berkata apapun. Pertanyaan Angkasa pun tidak dijawab.

Mona sedang memikirkan bagaimana caranya ia memberikan jawaban. Satu, Mona ingin menjawab ya untuk pertanyaannya. Tapi dua, kali ini Mona tidak mau secepat itu ambil keputusan. Mona tidak mau Angkasa bersikap seperti dulu ketika mereka masih sekolah.

Mona tidak mau Angkasa berpikiran buruk tentangnya.

Setelah tiga kali mengisap dan mengepulkan asap rokoknya, Angkasa menghela napasnya. Angkasa tak kunjung mendapatkan jawaban. Justru kini yang dilihatnya Mona melipat kedua kakinya, memeluknya erat, dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua kakinya.

Angkasa bisa mendengar Mona berdesah dengan gusar.

"Kalau sikap lo aja nggak berubah, gue percaya kalau perasaan lo juga nggak berubah, Na," simpul Angkasa. Tetap tidak ada respons berharga. "Kalau lo bersedia sekali lagi aja Na, tanyain pertanyaan itu lagi ke gue, ini bakal jadi jawaban gue. Jawaban yang bener-bener udah gue pikirin sematang-matangnya."

Mona tidak mau mengangkat kepalanya. Angkasa masih ingat pertanyaan yang diajukannya beberapa tahun lalu itu? Ah, malu sekali rasanya jadi Mona. Menyesal sekali Mona mengiyakan permintaan Angkasa untuk bicara tadi.


Sekarang dia terjebak dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Permasalahan ini harus tuntas. Tapi bagaimana?

"Pertanyaan yang mana?" tanya Mona sambil perlahan-lahan kepalanya terangkat. Rebas semua air matanya. Mona merasa benar-benar salah sudah pernah bertanya segila itu kepada Angkasa. Betapa bodohnya.

Angkasa mengedikkan bahu. "Pertanyaan yang itu," kata Angkasa. "Kenapa kita nggak pacaran?" tanya Angkasa dengan intonasi yang benar-benar ia samakan dengan cara Mona bicara empat tahun lalu. Angkasa masih ingat betul bagaimana ia mendengar suara Mona di telepon malam itu.

Begitu pula dengan Mona, tentu saja. Mona tidak pernah lupa ia pernah bertanya begitu kepada Angkasa. Juga, sebenarnya tidak lupa kalau Angkasa pernah memberikan jawaban atas pertanyaannya, pada hari di mana untuk terakhir kalinya Mona bertemu dengan Angkasa bertahun-tahun silam.

"Lupain, Sa," pinta Mona.

Angkasa menggeleng.

"Itu permintaan gue, Angkasa," pinta Mona lagi.

Angkasa kembali menggeleng. "Gue mau denger pertanyaan itu sekali lagi, malam ini, Na."

Gantian Mona yang menggeleng, tapi Angkasa tersenyum. "Itu permintaan gue, Nana."

Wajah Mona semakin cemberut kini. Bagaimana caranya ia bisa keluar dari jebakan ini? Mona benar-benar merasa dipermainkan.

"Niat gue baik mau ngajak ngomongin ini sampai clear. Tapi lo sendiri nggak bisa diajak omongin ini baik-baik, Na. Tapi giliran gue nggak mau bahas, nanti lo bakal bahas ini. Apa harus gitu, Na, kalau jatuh cinta?" Angkasa bergumam sendiri. Ia melemparkan puntung rokoknya ke tanah, kemudian menginjaknya sampai padam. "Ayo pulang. Gue nggak mau buang-buang waktu."

Angkasa beranjak dari kursi, mulai melangkah menuju ke motornya yang terparkir di luar lapangan. Kabar buruknya, isak tangis Mona semakin terdengar kini.

"Kenapa ... sih?" tanya Mona diiringi isak tangisnya yang sebenarnya entah menangisi apa. Mendengar itu, laki-laki dengan kaus hitam berlogo Converse itu berhenti melangkah. "Kenapa gue harus nanyain itu lagi kalau gue udah tau jawabannya, Sa? Gue nggak mau nyakitin perasaan gue sendiri."

Angkasa berbalik lagi. Laki-laki itu kembali mendekat. Ia bercangkung tepat di depan Mona. "Mona Arisa, if you have a wish, kasih tau gue," ujar Angkasa lembut.

Dengan wajahnya yang penuh air mata, Mona menatap Angkasa tanpa suara. Permintaan? Permintaan bagaimana, maksudnya? Memangnya Angkasa jin yang akan mengabulkannya?

"Kalau gue masih minta buat jadi...." Omongannya menggantung di sana begitu dilihatnya Angkasa menyungging senyum. "Nggak, de—"

"As you wish." Secepat mungkin Angkasa menginterupsi.

Mona diam tidak mengerti. Apanya yang as you wish?

"Apaan?" tanya Mona.

Angkasa mengacungkan kelingkingnya. "Di hidup yang cuma sekali ini, bersedia ya, Na, jadi pacar gue, sekali dalam seumur hidup?" ucap Angkasa. Mona membelalak. Apa yang baru saja didengarnya pasti bercanda. Angkasa pasti akan tertawa setelah ini.

Coba saja hitung.

3....

2....

1....

Tidak?

"Na, let's make it true. Jadi pacar gue. Cukup sekali seumur hidup, tapi ayo bertahan sampai salah satu dari kita dipanggil Tuhan," ucap Angkasa sambil meraih kelingking Mona dengan kelingkingnya. Mona berusaha, tapi tidak bisa menemukan ekspresi selain keseriusan di wajah Angkasa.

Air matanya semakin deras.

Ini pasti mimpi.

"As you wish, Angkasa."

+ + +

Angkasa Putra P. : Gue jadian sama Mona.

Itu adalah pesan yang pertama kali muncul begitu Dara membuka matanya pagi ini. Juga pesan terakhir yang semalam dilihatnya sebelum tidur. Dara belum sempat membalasnya. Bukannya tidak turut senang, tapi Dara bingung harus memberikan selamat seperti apa.

Bingung juga soal kenapa ia merasa tidak biasa. Tidak seenerjik ketika mendengar kabar-kabar burung bahwa Mona pernah dekat dengan mantan kakak kelasnya, Garda. Padahal kali ini Angkasa. Angkasa Putra Perkasa, laki-laki yang sejak empat tahun silam selalu Mona tuju.

Ah. Dara tidak tahu harus menyikapinya bagaimana. Padahal baru kemarin sore Dara merasa benar-benar spesial. Namun pada akhirnya tetap saja dipatahkan.

"Bener kata Mona. Angkasa PHP," gumamnya sambil bangkit dari posisi tidurnya. Pandangan Dara menyapu sekitar, mendapati ranjangnya benar-benar berantakan. Ponselnya terbaring di atas selimutnya yang sudah tidak berbentuk. Bergetar.

Nama Randi terpampang di layar. Dara juga tidak ingat sejak kapan ia pernah saling kontak dengan Randi.

"Pacar lo kenapa, deh?" tanya Randi serta-merta. "Tolong dong dijagain. Masa gue baru putus tapi dia udah deketin Mona. Dia lupa emangnya kalau udah punya lo?"

Sejenak Dara menjauhkan ponsel dari telinganya begitu didengarnya Randi mengomel tanpa ampun. "Woi, masih pagi. Gue baru bangun udah lo omelin?!" balas Dara tak mau kalah.

"Ya tetap aja. Itu pac—"

"Di, kita ketemu di kantin depan jam sepuluh, ya? Gue bakal jelasin sebanyak apapun yang lo mau," interupsi Dara lalu menyudahi telepon sepihak.

Tubuhnya kembali terbaring. Pandangannya terarah lurus ke langit-langit kamarnya. Dara tahu, dengan jadiannya Angkasa dan Mona, pasti gadis itu sudah putus dari Randi. Tapi, kapan? Mona tidak pernah menceritakan apapun kepada Dara.

Dan ... bodoh! Memangnya siapayang saat itu membuat karangan kepada Randi kalau Angkasa adalah pacarnya Dara?Kenapa sekarang mereka jadian?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro