As You Wish: BAB 03
Satu pekan berlalu dengan sama baik untuk Mona, untuk Angkasa, maupun untuk Dara. Mona yang masih mencari Angkasa diam-diam dan tetap tidak menemukannya. Angkasa yang tahu-tahu dekat dengan Dara dengan alasan ingin kembali berkomunikasi dengan Mona. Dan Dara yang selama sepekan ini selalu menemani Angkasa makan siang untuk berbagi cerita ... tentang Mona.
Namun Angkasa tidak pernah sekali pun melihat Mona selama lima hari terakhir ini. Ketika ia menanyakannya kepada Dara, gadis itu hanya bilang, "Randi tuh anaknya jago masak, Sa. Makanya mereka jarang ke kantin karena Randi selalu punya waktu buat masak dan nyiapin bekal. Kalau ke kantin, ya palingan kalau itu cowok lagi kesiangan."
Dan Angkasa hanya mengangguk-angguk. Memercayainya dengan mudah.
"Minggu lalu dia chat dan telepon gue, Dar. Tapi setelah itu ya, udah. Gitu aja. Chat terakhir gue nggak dibalas, dan dia nggak telepon gue lagi," lapor Angkasa sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Dara diam sambil memegangi sendok di tangan kanannya, dan garpu di tangan kirinya. "Segampang itu buat datang dan pergi."
Dara mengangguk-angguk. "Pacarnya posesif, Sa," katanya. Kini Angkasa yang diam dan mendengarkan cerita Dara. "Gue nggak ngerti kenapa Mona jadian sama Randi. Mereka sekelas waktu kelas sebelas, terus Mona ... ya, lo tau, kan, Mona gimana? Dia yang deketin Randi. Terus mereka jadian, dan tahan-tahan aja sampai sekarang. Udah dua tahun lebih. Walaupun kita, temen-temennya ini, nggak ada yang suka sama Randi."
Seusai makan, keduanya sama-sama membayar ke kedai tempat mereka memesan tadi, kemudian saling menunggu di pintu masuk kantin. "Ada kelas habis ini?" tanya Dara.
Angkasa mengangguk sambil merapikan uang kembalian ke dalam dompetnya. "Ada, di gedung F," jawabnya. "Lo di mana?"
"Sama," jawab Dara sambil menampilkan cengirannya. "Ya udah. Bareng, nih?"
Sekali lagi Angkasa mengangguk. Keduanya pun melangkah seiringan meninggalkan kantin. Percakapan-percakapan random menemani langkah mereka sampai tiba di gedung F dan mengantre di depan lift.
Dan, tebak. Begitu lift membuka pintu di lantai empat gedung, dua orang yang masuk ialah Mona dan pacarnya, Randi.
Angkasa menelan ludah. Jantungnya langsung berdebar-debar kencang sekali. Matanya terarah pada tangan Mona yang digenggam oleh laki-laki dengan kemeja putih di hadapannya. Gadis yang digandeng itu tersenyum setelah beberapa saat mematung.
"Eh, Dara," sapa Mona. Seolah di sana tidak ada Angkasa. Jelas laki-laki itu bingung kenapa tidak disapa. Dan bingung harus menyapa atau diam saja seolah-olah tidak saling kenal. "Ada kelas di atas, Dar?"
Dara mengangguk. "Iya, di lantai tujuh."
"Ini, Yang, pacar barunya Dara?" tanya Randi tiba-tiba. Dan itu membuat Dara dan Angkasa lantas membelalak ke Mona. Sialan, apa yang Mona katakan kepada pacarnya?!
Dan Mona mengangguk. "Iya. Iya, kan, Dar? Siapa namanya kemarin? Ang ... Angga, bukan, sih?" jawab Mona kepada Randi, dan bertanya kepada Dara.
"Angkasa," jawab Angkasa cepat. Dengan nada datar. "Kita kan udah ken—"
"Na, gue duluan, ya!" potong Dara cepat. Tangannya lantas meraih tangan Angkasa, dan menariknya keluar dari lift begitu pintu terbuka di lantai tujuh. "Ayo, Sayang."
Mona mematung bahkan sampai pintu lift tertutup. Mona mengatakan Angkasa dan Dara berpacaran hanya untuk mencari aman di depan Randi minggu lalu. Tapi kenapa yang sekarang dilihatnya justru seperti ini?
Baiklah, Mona yakin mereka tidak benar berpacaran seperti yang Mona katakan kepada Randi. Tapi, apa sedekat itu mereka sekarang? Bahkan untuk ke kelas saja mereka naik lift bersama? Mona yakin ini bukan lagi sebuah kebetulan seperti pada saat Dara dan Angkasa bertemu dan akhirnya makan bersama di kantin.
Semua ini pasti direncanakan. Entah siapa yang memulakan rencana, Angkasa atau Dara.
Sekarang, apa Mona benar-benar sudah tidak punya kesempatan sepersenpun untuk kembali mendapatkan Angkasa? Selain sekarang ada Randi di sisinya, sekarang ada Dara di sisi Angkasa.
Sebegitu menyesalnya Mona sudah penasaran dengan kehidupan Angkasa yang baru.
"Sayang, kenapa?" tanya Randi. Tidak ada jawaban. Sebelah tangan Randi langsung merangkul gadisnya. Satu pertanyaan lagi keluar dari mulutnya. "Hei, ada yang salah sama Dara dan pacarnya?"
Lamunan Mona langsung berantakan saat itu juga. Ia balik memandang Randi di sebelah kirinya. Senyumnya mengembang. "Hah? Nggak, kok. Nggak ada apa-apa."
Randi jelas tidak memercayainya. Dua tahun berpacaran dengan Mona membuatnya mengerti betul bagaimana sikap pacarnya ketika sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi ketimbang mereka harus ribut di sini, Randi lebih baik menganggap tidak ada apapun.
+ + +
Dering nada sambung sudah Mona dengar sejak beberapa detik yang lalu, namun teleponnya tetap saja belum diangkat. Untuk yang kesekian kalinya, Mona berdesah berat. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, ponselnya tetap melekat pada telinganya.
Angkasa tidak mengangkat teleponnya.
Dan lima belas menit berlalu. Ponselnya masih juga melekat di telinganya, hingga Mona memutuskan untuk menghentikan kegiatannya. Setelah secara otomat panggilannya terputus karena tak kunjung diangkat, Mona melepaskan ponsel dari tangannya.
Ah, nama Dara dan Angkasa kini memenuhi benaknya. Mona tidak habis pikir bagaimana Angkasa dan Dara bisa sedekat itu. Dan, apa tadi yang Mona dengar? Dara memanggilnya dengan panggilan Sayang, dan menggandeng tangan Angkasa saat keluar dari lift?
Yang benar saja?
Angkasa Putra P. : Kenapa, Na?
Angkasa Putra P. : Gue baru sampai rumah. Baru nyambung wi-fi.
Dalam sekejap tubuh Mona langsuung terangkat dari posisi telentangnya. Mona mengambil ponselnya yang tergeletak, lekas-lekas membalas pesan Angkasa dalam kurang dari satu menit.
Monarisa : Boleh telepon, nggak? Kangen teleponan sama lo.
Eh?
Monarisa : Monarisa unsent a message
Monarisa : Nggak apa-apa, Sa.
Aduh, Mona bodoh. Kenapa bisa-bisanya mengetik seperti itu?!
Tapi begitu Mona melihat pesannya sudah dibaca oleh Angkasa, satu telepon masuk. Atas nama Angkasa Putra. Jantung Mona berdebar semakin tak keruan. Angkasa pasti sudah membaca pesan yang dihapusnya.
"Halo," sapa Mona dengan suara gemetaran.
"Gue denger-denger ada yang kangen," balas Angkasa. Mona bisa mendengar laki-laki itu terkekeh dari seberang. "Udah punya pacar, loh?"
"Jadi, kalau gue nggak punya pacar, boleh kangen?" tembak Mona. Angkasa sepertinya memilih untuk diam. Entah bagaimana ekspresinya kini. "Bercanda, Angkasa."
Kekehan Angkasa kembali terdengar, namun kini dengan nada datar. "Harus ya, lo bercanda kayak gitu? Dari dulu nggak pernah berubah."
"Dan lo, harus ya deket sama sahabat gue sendiri, padahal dulu lo deket sama gue?" balas Mona. Akhirnya keluar juga pertanyaan yang ditahannya. Lega rasanya. Meski sebenarnya Mona yakin ini akan membawa kabar buruk setelahnya.
"Lo beneran cemburu sama gue dan Dara, Na?" tanya Angkasa dengan nada benar-benar tenang. Layaknya tidak merasa salah, atau memang seharusnya tidak salah, karena Mona tidak seharusnya melarang Angkasa. "Itu sahabat lo sendiri. Lagi pula, lo udah punya pacar. Apa yang lo harapkan dari orang lain yang bukan siapa-siapa lo ini?"
Mona menghela napas. Tubuhnya kembali terbaring. "Ada yang pernah bilang, bahwa tempat ternyaman bagi bulan adalah langit. Tapi ternyata gue lupa, kalau di langit juga ada bintang."
"Na, lo ngomong apa sih?" tanya Angkasa. Kenapa Mona masih saja membahas itu? Itu sudah berlalu tiga tahun yang lalu, masa iya Mona masih saja menganggapnya serius?
"Sa, nama Dara punya arti bintang-bintang. Bukannya itu berarti langit juga tempat ternyaman bagi ... bintang?"
Angkasa berdecak. "Apaan, sih. Udahlah, lupain aja omongan itu. Anggap aja gombalan, bisa nggak? Kenapa lo malah jadi begini, sih? Gue deket sama Dara cuma karena temenan aja lo begini? Bahkan di saat lo punya pacar, Na?" dan sebelum Angkasa menutup teleponnya tanpa pamit, ia sempat berkata, "Kalau lo udah jadian sama Randi, kenapa lo harus nggak suka dengan kedekatan gue dan Dara, Na? Gue juga sering denger kok kalau yang dipegang dari cowok itu adalah janjinya. Bukannya gue janjiin lo sesuatu, setelah gue lulus S1? Tapi siapa yang berkhianat? Lo yang malah jadian sama orang lain. Siapa yang sakit hati? Kok jadi lo?"
Dan sambungan telepon terputus. Mona bengong memandangi langit-langit kamarnya. Angkasa serius berkata begitu padanya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro