Nyamuk Berkepala Hitam
Nyamuk Kepala Hitam
Fajar yang bangun pukul enam pagi berhasil membuat seisi rumah keheranan. Biasanya dia akan bangun pukul setengah enam pagi saat hari sekolah—itu pun setelah disiram Ibu atau ditendang pantatnya oleh Ayah—dan pukul sebelas jika hari Minggu. Berbeda dengan hari Minggu kali ini, pemuda tingkat akhir menengah atas tersebut bangun lebih awal, membereskan kamar, menyiram bunga milik Ibu di kebun belakang, membersihkan tiga kamar mandi yang ada di rumah, menyemir sepatu kantor Ayah, membersihkan selokan depan rumah, dan bahkan jika tidak diteriaki Ibu, Fajar sudah jadi tukang bersih-bersih dadakan di kompleks mereka.
Saking herannya dengan sikap Fajar, Ibu sampai memercikinya dengan air garam yang sudah diberi doa, sedang Ayah memegangi tubuh dan ubun-ubunnya sambil mengucapkan ayat-ayat suci. Fajar dibuat seperti orang kesurupan oleh orang tuanya. Untung saja tidak ada tetangga yang melihat aksi pengusiran setan yang berlangsung secara live di teras depan. Jika tidak, Fajar dapat memastikan bahwa wajah sengsaranya akan memenuhi snap kontak Whatsapp dan viral di seluruh Indonesia.
"Ibu takut kamu kemasukan jin nenek-nenek yang nungguin pohon nangka di samping rumah," kata Ibu yang diangguki oleh Ayah, ketika Fajar sukses membuat kedua orang tuanya percaya bahwa dia tidak sedang dirasuki setan atau semacamnya.
"Giliran anaknya rajin, dikata kesurupan. Giliran males, diomelin mulu. Aku, tuh, ga bisa diginiin, Yah, Bu'," cerocos Fajar, dengan nada alay di akhir kalimat, membuat Ayah bergidik geli dan Ibu kembali memercikinya air seraya mengomel tidak jelas, kemudian berlalu dari sana, kembali ke dapur.
Ketika Ayah bertanya tentang penyebab rajinnya seorang pemalas seperti Fajar, anak itu hanya menjawab, "Lagi pengen aja, Yah. Males buat males-malesan."
Iyain aja biar ga nangis.
___o0o___
Jam sepuluh lewat sembilan, Fajar sudah mandi, gosok gigi, wangi parfum milik Ayah, dan rapi dengan pakaian kasual. Wajahnya berseri sesuai namanya, Fajar. Ayah dan Ibu sampai terbengong sendiri melihat ketampanan anaknya yang tidak tampan dan sangat jarang dilihat. Bagaimana tidak? Ke sekolah saja palingan hanya cuci muka dan sikat gigi plus disemprot parfum hasil curian di kamar orang tuanya karena sudah kesiangan.
"Kamu mau ke mana? Tumben agak ganteng, biasanya walau udah mandi pun tampangmu selalu kek gembel," tanya Ayah yang sedang menonton breaking news tentang Indonesia yang sedang mengejar ketertinggalan angka pengidap Corona: ngegas dari enam puluh sembilan ke sembilan puluh enam.
Fajar bingung entah harus merasa senang atau kesal ketika ia dipuji dan dibully di saat yang bersamaan oleh Ayahnya sendiri. "Mau kerja kelompok, Yah, di rumahnya si Pedro," jawabnya sambil berjalan ke arah dapur untuk pamit pada Ibu yang sejak pagi sibuk membuat camilan persediaan isi kulkas selama seminggu.
Ibu mengerutkan kening saat Fajar mencium tangannya. "Kamu mau kerja kelompok nggak bawa tas?"
"Nggak perlu. Tugasnya diketik, sumbernya dari internet. Jadi bawa diri sama bawa HP aja cukup," jawab Fajar yang diangguki Ibu.
"Jangan kesorean pulangnya. Besok Senin!"
"Iya, Bu', iya."
Tiba-tiba ponselnya yang berada di saku celana jeans bergetar. Lima detik setelah dilihatnya layar pipih itu, Fajar langsung berlari keluar rumah setelah pamit secara tergesa-gesa pada Ayah. Ia berlari sampai di depan kompleks dan langsung naik ke dalam angkot yang kebetulan sedang menurunkan penumpang. Angkot berwarna putih dengan berbagai stiker berbau K-Pop itu membawanya pergi selama sekitar lima belas menit menuju sebuah mall.
Setelah turun dan membayar, Fajar bergegas masuk ke dalam mall dengan setengah berlari sambil sesekali melirik ponsel di tangannya. Tetapi, saat melewati pintu masuk, ia ditahan oleh petugas yang berjaga di depan pintu. "Ada apa, ya, Pak?"
"Maaf sebelumnya. Masuk mall ini ga boleh pake sandal jepit, Dek," kata si petugas, otomatis membuat Fajar memandangi kakinya dan memejamkan matanya tak habis pikir. Ceroboh, saking buru-burunya, dia lupa memakai sepatu dan main kabur saja dari rumah. "Apa lagi buluk gitu. Maaf lagi, nih, ya. Adek pake yang lebih baik dulu baru boleh masuk. Sekarang mending Adek—"
"Nih!" Fajar mengayunkan kaki kanan dan kirinya bergantian ke arah luar, sandalnya terlepas dan melayang sesaat di atmosfer hingga akhirnya kalah oleh gravitasi. Untung sedang tidak ada orang. "Udah ga pake sandal buluk lagi! Minggir, saya mau masuk!"
Baru saja ingin melangkah, lengannya kembali ditahan si petugas. "Maaf, Dek. Ga boleh masuk kaki kosong, paling nggak—"
"Gua masuk mau beli sepatu! Puas?" bentaknya emosi. Persetan dengan tata krama dan etika pada yang lebih tua. Fajar tidak peduli, dia kesal setengah mati. Kesal dengan diri sendiri dan kesal dengan petugas itu. Memangnya mall ini akan runtuh atau kebakaran kalau ada pengunjung yang tidak beralas kaki? Atau sandal butut yang dipakai pengunjung mengandung bakteri atau virus mematikan?
Entahlah, Fajar juga tak habis pikir.
Akhirnya dengan perasaan tidak rela, si petugas pun melepas kepergian Fajar. Fajar dengan segera mencari toko sepatu sambil berusaha mempertahankan wajahnya agar tetap menghadap ke depan kendati banyak yang berbisik-bisik dan memperhatikannya.
Setelah mendapat sepatu dengan harga paling murah di sebuah toko sepatu bermerek tidak jelas, ia pun kembali pada tujuan awalnya. Ia menuju lift, dan ketika tiba, ia langsung menekan angka tiga. Namun ketika pintu lift hendak tertutup, datang sepasang lansia yang kelihatannya juga ingin menggunakan lift. Fajar menghela napas kesal ketika pasutri lanjut usia itu bukannya masuk tapi malah berdebat tidak jelas di depan pintu lift.
Si istri ingin naik lift, sedang suaminya tidak mau naik lift. Ingin naik lantai yang bisa jalan saja, katanya. Si suami tidak mau naik lift karena takut jika tiba-tiba lift akan berhenti mendadak dan mereka akan terjebak atau mati di dalam sana secara nahas seperti anime gore yang ditontonnya kemarin malam.
vvibu detected
Kakek-kakek, Njir. Fajar jadi curiga jika Kakek yang satu ini adalah temannya Kakek yang terkenal akan cucu perempuannya banyak. Atau mungkin Kakek ini salah satu pengguna website Kucingpoi? Ay ah, dark.
"Permisi, Kek, Nek," sapa fajar, berusaha sehalus dan selembut pantat bayi meski kondisi hati, jiwa, dan raganya sedang parah, membuat pasutri yang sedang adu mulut itu menoleh padanya. "Ini Nenek sama Kakek jadi naik, nggak? Saya lagi buru-buru soalnya."
"Heh! Saya baru enam puluh tiga, ya! Siapa yang kamu panggil Nenek?"
Fajar hampir terjungkal ke belakang karena saking kagetnya diteriaki oleh Si istri (ingin menyebut Nenek tapi sudah dibentak, jadi, ya udah). "Gini, nih, udah tua masih nonton drakor. Halu mulu sampe ga sadar umur," batin Fajar, tentu saja. Jika dia mengatakan itu dengan mulutnya, dapat dipastikan dia akan jadi bulan-bulanan dan direkam orang, lalu viral sungguhan.
"Udah lah, Dek, kamu duluan aja," kata Si Kakek sambil menarik tangan istrinya. Fajar tersenyum bersama beberapa ucapan terima kasih, kemudian menutup pintu lift dan meluncur vertikal menuju lantai tiga, bioskop.
Sesampai di lantai tiga, Fajar mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari seseorang yang menurut isi chat yang ia baca beberapa menit lalu, sedang duduk salah satu bangku yang terletak di samping penjual tiket.
"Kak Fajar!"
Senyum lebar terukir di wajah pas-pasan Fajar. Ia langsung berlari menuju sumber suara, masih dengan senyumnya. "Maaf, ya, aku yang ngajakin tapi malah aku yang telat. Udah lama?"
Gadis cantik berambut sebahu itu, Aurora, menggeleng lucu, membuat Fajar mati-matian menahan gemas. "Lumayan, sih. Tapi ga pa-pa, kok. Aku udah beli tiketnya," ucapnya sambil menunjukkan tiga lembar tiket.
Eh, tiga?
"Kok ada tiga?" tanya Fajar heran. Kedua sudut alisnya menyatu di tengah, sedang Aurora malah tersenyum kikuk.
"Itu, anu, aku—"
"Ini temennya, Bae?"
Suara khas laki-laki yang berasal dari belakang Fajar memutus ucapan Aurora. Fajar sontak menoleh dan medapati seorang pemuda—yang menurut hati kecil Fajar—tampan, berdiri di belakangnya dengan wajah ramah sambil membawa dua box berondong jaguung ukuran besar. Fajar saat itu juga sadar, jika dibandingkan dengan laki-laki tersebut, dia tidak lebih dari sebongkah upil di hidung Tok Dalang.
"Iya, Kak," seru Aurora. "Kak Fajar, kenalin, ini Kak San, pacar aku. Dia juga kelas dua belas, lho! Tapi beda sekolah."
Oke, Fajar merasa dunianya berhenti berputar.
"Gue San, Christopher San. Panggil aja San," ucap pemuda itu ramah, ditambah senyum manis hingga membuat kedua pipinya berlubang, seraya menyodorkan tangan kanannya yang sudah bebas dari berondong jadung karena sudah dioper satu ke Aurora.
Fajar membalasnya kaku, dengan tampang kaget yang luar biasa kentara. "G-gue Fajar. Fajar Valentino."
Bagaimana tidak kaget?
Fajar pikir, adik kelasnya yang cantik, dan manis itu masih lugu, masih belum ada yang memiliki. Pun Aurora juga tak pernah mengunggah apa-apa tentang yang berbau cinta-cintaan atau kode-kodean, selain unggahan foto-foto orang Korea yang tampak cantik untuk ukuran laki-laki dan selalu sama di mata Fajar, padahal mereka adalah orang yang berbeda.
PDKT sudah berlangsung sekitar dua bulan sejak liburan akhir tahun, yang dominan lewat media sosial, dan Fajar rasa Aurora meresponsnya dengan santai, seakan memberi hadapan pada Fajar yang sudah bosan menjomblo dari lahir.
Dan hari ini adalah hari yang indah bagi Fajar, seharusnya. Pasalnya, hari ini Fajar berencana untuk mengajak Aurora menonton film pilihannya bioskop, makan di Solaria, main di Fun World, ngadem di Chatime, dan jalan-jalan ke taman kota yang letaknya tak jauh dari mall, lalu akan menyatakan perasaannya di sana, bersamaan dengan pengucapan sebuah kalimat sakral, "Kamu mau nggak jadi pacar aku?"
Tetapi, kenyataan berkata lain. Di hari yang seharusnya menjadi hari kencan pertama terbaiknya, Fajar malah menjadi nyamuk di hari kencan terbaik mantan calon teman kencannya.
Turut berduka cita.
—THE END—
Total kata dalam cerita : 1.492
Dalam gelap kamarku, 150320; 00.32
smpkpcg
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro