Mencari Alasan
Bintang
Sayang, ketemu yuk.
Aku tunggu satu jam lagi di tempat biasa.
Aku menatap datar pesan yang beberapa saat lalu masuk ke ponselku. Dia memang selalu seperti itu. Dibanding menjemput, meminta izin dengan layak pada kedua orang tuaku untuk membawa anaknya pergi, malah memilih saling menunggu di tempat biasa bertemu.
Namun, mendadak senyumku merekah. Dia meminta bertemu setelah tempo hari aku mempertanyakan keseriusannya. Mungkinkah dia akan melamarku hari ini? Orang bilang, yang tidak pernah romantis biasanya mendadak manis saat hari itu tiba.
Pikirku mengawang-awang. Setidaknya dia akan mem-booking restoran, melengkapinya dengan dekorasi ala anak kekinian. Balon-balon berbentuk hati yang menggantung di udara, cahaya temaram, lilin sebagai pemanis, cincin dalam kue, juga pernak-pernik lainnya. Bagaimanapun kami berpacaran sejak duduk di bangku SMP sampai sekarang sudah sama-sama kerja.
Aku yang biasanya terserang virus rebahan di hari libur, mendadak bersemangat setelah memikirkan segala kemungkinan itu. Aku langsung mandi, menyiapkan pakaian terbaik, kemudian berdandan secantik mungkin. Setidaknya, nanti akan ada sesi foto-foto. Tentu saja aku ingin terlihat mentereng. Shining, shimmering, splendid.
Setelah siap aku langsung memesan ojek online.
Sayangnya, begitu sampai di tempat tujuan, harapanku dibuat patah. Tidak ada booking restoran dengan dekorasi manis. Malah terlalu ramai kalau tujuannya ke sini benar melamarku. Salahku juga terlalu banyak berharap. Mana mungkin si Mas Bintang Sobo ini mau keluar modal banyak.
Jangan bilang kalau kalian beranggapan namanya benar-benar Bintang? Bukan. Namanya Dika. Dika Burto tepatnya. Belakangan ini aku baru tahu kalau Dika Burto itu kepanjangan dari Didi kasep buronan mitoha. Kasep itu tampan, sedangkan mitoha itu mertua. Jadi, Didi tampan buronan mertua. Didi sendiri dalam bahasa Mandarin artinya adik laki-laki, mengingat Dika adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Lelaki itu blasteran Cina-Sunda. Mungkin dinamai seperti itu karena orang tuanya berharap Dika diburu para calon mertua untuk putrinya.
Kontaknya kunamai Bintang sebab pada kencan pertama kami dia hanya bisa mentraktirku teh dalam gelas seharga lima ratus rupiah dengan merek bintang sobo. Sebagai anak SMP yang polos, diberi minuman gopek saja sudah membuat hati kocar-kacir dari Bumi ke Mars gratisan, PP.
"Hai." Dia menyapa, dan aku hanya membalas dengan senyum kecut.
Demi apa pun sekarang semua benar-benar tidak sesuai dengan ekspektasiku. Aku berdandan secantik ini, sementara dia hanya menggunakan kaos belel berbalut jaket denim dan cenalan jeans yang tampak robek di bagian lutut.
"Tumben cantik banget? Kayak bakal ada yang spesial aja hari ini."
Oke. Sekarang aku sadar tidak ada hal penting yang ingin dia katakan.
"Bel, soal pertanyaan kamu hari itu, anu ... aku enggak bisa menjanjikan apa pun. Kamu tahu sendiri buat makan sehari-hari aja masih utang sana-sini. Gimana menghidupi anak orang? Mau dikasih makan apa?"
"Tenang, dikasih beng-beng sama bintang sobo aja aku hidup kok," sindirku.
Sebenarnya Dika ini bukan tidak mampu, dia hanya pelit. Tapi, kok aku kuat berpacaran bertahun-tahun? Ya, namanya juga cinta. Kotoran kucing saja katanya bisa jadi rasa cokelat.
Melihat dia diam, aku kembali bersuara, "Terus kamu maunya apa?"
"Kita udahan aja, ya? Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dari aku. Aku mau kamu bahagia, walaupun enggak sama aku."
Basi. Seperti tidak ada alasan lain saja.
"Tenang, aku enggak akan minta apa pun yang udah aku kasih sama kamu kok. Simpan aja sebagai kenang-kenangan."
Ya emang apa yang udah ngana kasih, Bambank? Aku jadi sebal sendiri, sebab dari ucapannya terdengar seolah dia sudah memberikan segalanya. "Oh, ya udah. Kita putus."
"Lho, kamu enggak menyesal putus sama aku?"
"Kenapa harus menyesal? Selama ini aku minta diberi yang terbaik. Cowok yang cuma basa-basi dan banyak alasan seperti kamu emang seharusnya dari lama aku tendang."
"Kamu marah?"
"Enggak tuh. Kenapa marah?"
"Aku begini demi kebaikan kamu, Bel. Aku enggak mau kamu sengsara hidup sama aku."
"Enggak butuh alasan, Dik. Sumpah. Kalau sejak awal kamu emang serius sama aku, saat keseriusan kamu dipertanyakan, kamu akan memperjuagkan. Bukan memilih pergi dengan banyak alasan."
Haha! Si Dika langsung diam. Aku puas. Setidaknya dia harus tahu perasaan seorang wanita. Ini hati, woy! Bukan tempelan kulkas.
"Ya udahlah, ya. Aku pergi dulu. Buang-buang waktu banget ngobrol sama kamu."
Aku langsung pergi meninggalkan lelaki itu. Masih pura-pura kuat biarpun hati sudah tidak jelas bentuknya. Walau akhirnya aku tetap menangis. Bukan, bukan karena Dika sumpah. Tapi karena seperangkat make up yang tadinya hendak aku jual pada temanku malah aku pakai hanya demi bisa terlihat cantik di depan dia.
"Bel!"
Aku tak menoleh, tetapi berhenti saat Dika memanggilku. Untung saja maskara yang aku kenakan ini waterproof, jadi tidak meninggalkan jejak setelah aku menangis.
Sekarang kami berdiri berhadapan. Kupikir dia akan memintaku kembali setelah merenung beberapa saat tadi. Ternyata ....
"Punya dua ribu? Pinjam dulu, ya? Aku lupa enggak punya receh buat parkir."
Astaga. Memang sebaiknya manusia satu ini kuseret namanya ke situs santet online biar kapok.
"Kalau yang pacaran sama kamu itu bukan seorang Belvania, kamu udah dibuang dari beberapa tahun lalu, Dik."
"Iya. Emang cuma kamu yang bucin."
Haha! Apa katanya? Bucin? Ya, memang betul. Seharusnya aku minta putus dari lama. "Jangan pelit-pelit, Dik. Nanti kuburannya sempit."
"Tinggal gali lagi. Susah amat."
Ini dia serius tidak ada penyesalan sama sekali setelah mengakhiri hubungan kami? Wajahnya terlalu tenang untuk ukuran orang yang baru putus. Karena tidak tahan, setelah menyerahkan uang dua ribu pada lelaki itu, aku langsung pergi. "Enggak usah dikembaliin. Simpan aja. Siapa tahu nanti kamu lupa bawa uang buat parkir lagi. Kan kita udah putus, nanti siapa yang mau ngasih?"
Dan kalian tahu apa yang lebih menjengkelkan daripada kejadian tadi? Hanya selang kurang dari satu jam Dika mengunggah foto di laman instagramnya dengan seorang perempuan. Foto itu disertai tulisan yang bunyinya, "Cinta itu apa adanya, bukan ada apanya."
Rasanya semakin panas saja dadaku. Aku kurang apa adanya bagaimana? Aku bahkan bersedia menerima dia yang seadanya. Diajak jalan di Monas, ayo. Cuma dikasih jajan es teh manis, jalan. Ulang tahun dikasih donat madu dengan lilin segede gaban, bahagia. Apa lagi yang kurang?
Kalau orang bilang semakin dilihat mantan akan semakin bening, itu bohong. Buktinya sosok Dika di mataku sekarang seperti Hulk kekurangan oksigen. Butek, buluk, kebiruan. Dasar mantan setan!
Tapi, karma pasti berkunjung ke rumah yang tepat bukan? Dia meninggalkanku dengan banyak alasan. Semoga saja suatu hari nanti paling tidak dia pun merasakan sakitnya ditinggal tanpa penjelasan. Bayaran yang sebanding.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro