Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mas Kunti

Mas Kunti

"Heran aing."

"Heran kenapa lo? Tumben."

"Lo ngerasa nggak sih, hawanya beda pas di sini? Nggak kayak biasanya."

Namu melihat sekeliling. "Halah, parnoan lo. Mana ada? Gue ngerasa biasa aja tuh."

Mungkin benar apa yang dibilang Namu. Sambil berusaha mengenyahkan pikiran buruknya, Hobi menyusul dan berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah Namu. Mereka baru saja pulang dari les rebahan di Proton.

Sshhh ....

Entah karena telinganya yang begitu tajam dalam hal mendengar sesuatu atau memang benar dia tak salah dengar, Hobi langsung loncat di tempat dan tanpa sadar memeluk Namu. "Hih! Apa tadi?"

"Ck, apaan sih, Bi? Nggak usah meluk-meluk juga! Gue masih normal, anjir!" protes Namu.

"Lo denger nggak tadi?" tanya Hobi yang mengabaikan kekesalan Namu.

"Apaan lagi!? Gue nggak denger apa-apa!" Namu berusaha melepas pelukan Hobi. "Udah gue bilang, lo tuh kebanyakan nonton drama Korea yang horor jadi gini nih! Lepas buru—"

Srek ... srek .....

"HIH!" Namu refleks memeluk Hobi selepas mendengar sesuatu yang ganjil di telinganya—lupa kalau tadi dia berusaha melepas pelukan Hobi.

"Kan!" balas Hobi.

"Kenapa baru bilang!?"

"Gue udah bilang dari tadi, bege!"

"Ribut ae lo berdua. Berisik, tau."

Bulu kuduk mereka semakin meremang ketika sebuah bisikan melintasi indra pendengaran mereka. Patah-patah gerakan kepala mereka—menoleh ke belakang, tapi tiada satu pun yang mereka jumpai selain ... kabut?

"Lho, sejak kapan ada kabut?" heran Namu begitu menyadari ada hal aneh terjadi. "Seumur-umur tinggal di sini belum pernah ada kabut pas malem begini."

Gigi Hobi sampai bergemeletuk. "Ja-ja-ja-jangan-jangan ...."

"Jangan kangkung?"

Langsung saja Hobi menampar pipi Namu. "Lo tuh ya, lagi serius begini malah ngomongin makanan. Gue jadi laper nih."

"Heh, perut mulu yang dipikir. Gue dicuekin nih?"

Lagi. Suara itu membuat pelukan mereka semakin erat. Hobi sampai mau kencing rasanya.

"S-siapa sih!?" tanya Namu takut-takut. "Kalo berani, tunjukin wujud lo!" tantangnya.

Hobi menyentil bibir Namu, "Hih, mulut lo cantik amat kalo ngomong."

"Gue di depan kalian dari tadi," kata suara itu lagi.

Mendengar itu, mata mereka melotot dan langsung menghadap depan. Tanpa perlu disuruh, mereka sudah berteriak kencang lebih dulu.

"SETAAAN!"

"AAAH! ADA MBAK KUNTI!"

Buru-buru mereka melepas pelukan dan segera mengambil seribu bayangan—maksudnya seribu langkah. Kaki mereka memang berlari, tetapi di tempat karena tas mereka yang menempel di punggung ditarik si Mbak Kunti. Alhasil teriakan dua bocah itu semakin keras.

"Yah, malah takut mereka. Tadi katanya suruh nunjukin diri," cibir si Kunti.

"Lho, kok suaranya cowok?" heran Namu.

"Lho, bukan mbak-mbak?" Hobi ikut penasaran.

"Astagfirullah," sebut Kunti.

"Lho, kok dia bisa nyebut?"

"Dia muslim?"

"Woi, kalian niat takut nggak sih?"

"Eh, iya. Kita kan lagi takut, Nam," kata Hobi menyetujui ucapan si Mbak—bukan, Mas Kunti.

"Oh, iya. Bener juga." Setelahnya, Namu kembali berteriak, disusul Hobi.

Mas Kunti mengembuskan napas. "Ya Allah, dua hamba-Mu ini kenapa sih?" Karena teriakan mereka tak kunjung mereda, terpaksa dia menarik tas mereka dengan kencang, membuat mereka hampir terjungkal.

"Hey, listen!" kata si Kunti begitu sudah bertatap muka dengan Namu dan Hobi.

"Wah, beneran cowok dia, Bi," celutuk Namu.

"Bisa bahasa Inggris pula. Lumayan tuh, bisa jadi partner lo di lomba debat bulan depan," sambung Hobi.

"Gue lempar ke Jahanam baru tau rasa lo," ancam si Kunti alih-alih menakuti.

"Eh, ampun, Bang," melas Hobi.

Berbeda dengan Namu, dia lebih mengandalkan logika. "Emang lo bisa bawa kita ke Jahanam?" tanyanya.

"Bisa. Mau lewat jalur apa? Undangan? Prestasi? Atau tes?" tawar si Kunti.

"Lo kata jalur masuk ke universitas?"

Lama-lama dibuat geregetan, si Kunti menyentil dan mencubit bibir Namu. "Hih, geram aku. Lambene usah keakehan cocot, teyeng ora?"

"Lara, goblok!" protes Namu sambil segera mengusir tangan dingin si Kunti dari bibirnya yang memerah.

Di sebelahnya, Hobi tertawa terbahak mendengar makian Namu. Walau dia tidak begitu paham dengan bahasa Jawa, tapi dia bisa memahami maksudnya lewat interaksi antara Namu dan si Kunti.

Mengabaikan Namu yang masih memaki karena kesakitan dan Hobi yang tertawa terpingkal sampai tersungkur di jalan, si Kunti melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong tadi. "Denger, gue butuh bantuan kalian. Karena yang bisa liat gue saat ini cuma kalian, jadi terpaksa gue minta tolongnya ke lo berdua. Oh iya, sebelumnya, nama gue Agus."

***

Sampai di kamar indekos Namu, dia dan Hobi merebahkan diri di kasur. Agus yang baru pertama kali ke sini sibuk melihat kamar Namu yang luar biasa keadaannya.

"Rapi amat kamar lo, Nam," sindir Agus.

Namu melihat Agus sekilas, lantas berdecak. "Ya, maap. Gue belum sempet beresin kamar. Kalo lo nggak suka, kamar Hobi terbuka lebar—"

"Sembarangan! Kalo dia betah terus nyantol di kamar gue gimana?" potong Hobi yang tak terima dengan usulan Namu. Dia bergidik ngeri membayangkannya, "Hih! Jangan sampe!"

"Alay lo. Gue juga mana mau, mending nyantol di kosan cewek," celutuk Agus.

"Ih, otaknya ... gue suka." Namu menaik-turunkan alisnya.

Agus membuka kelima jarinya di depan Namu yang sudah bangkit dari rebahan. "High five, Bro."

Hobi yang juga ikutan bangkit pun memutar bola matanya malas. "Oke, back to topic. Jadi, lo ini arwah penasaran yang udah lama gentayangan?"

"Yup." Agus mengangguk.

"Dan lo minta tolong kita buat bantuin lo biar bisa istirahat dengan tenang?"

Agus menjentikkan jarinya, "Exactly."

"Tapi, bantu apa?" tanya Namu penasaran.

"Simple," jawab Agus enteng sambil duduk berjegang di kursi belajar Namu. "Cuma ngubah posisi mayat gue biar jadi ngadep kiblat."

Hening sesaat.

"Hah!?" Namu dan Hobi melotot.

"Kenapa?" tanya Agus.

"Nggak salah denger gue?" Namu protes.

"Sumpah ya, kenapa permintaan lo aneh banget sih, Gus?" Hobi juga protes.

"Ketimbang gue nyuruh kalian buat nemuin pembunuh gue, mending gue suruh yang lebih gampang aja," jelas Agus.

"Gampang lo bilang!? Emang siapa sih, yang nguburin lo? Bisa-bisanya nggak ngadep kiblat?"

"Ya, mana gue tau, bego. Kan gue udah mati pas dikubur."

"Maap, emang otaknya Hobi suka nggak work," sela Namu setelah mendorong kepala Hobi ke samping. "Terus, yang ngebunuh lo?"

"Ada, dua orang. Tapi itu nggak penting buat kalian. Permintaan gue cuma itu doang kok," kata Agus.

Namu berpikir sejenak. Setelahnya, dia mengembuskan napas panjang dan menepuk paha Hobi. "Gimana, Bi? Tolongin ajalah," katanya.

"Heh, seriusan lo?"

"Ketimbang dia gentayangan terus. Kasian."

"Malem ini banget?"

"Iya. Soalnya udah lama gue ada di dunia yang nggak semestinya gue tinggal. Gue udah nggak betah," tutur Agus.

"Terus, untungnya buat kita apa?" tanya Hobi lagi.

"Ada, nanti gue kasih setelah kalian berhasil," ujar Agus.

Hobi mengembuskan napas panjang. "Ya udah. Kuburan lo di mana, Gus?"

Agus tersenyum untuk pertama kalinya di pertemuan mereka. "Ayo, gue tunjukkin."

***

"Di sini?" tanya Namu begitu mereka sampai di kuburan Agus.

Si empunya makam pun mengangguk. "Ada di bawah sana, tepat di bawah kalian," jelasnya.

"Anjir!" Hobi refleks meloncat ke samping. "Lah, Nam, kita nginjek kuburan orang!"

Namu juga ikut bergeser ke samping begitu mendengar penjelasan Agus. "Y-ya, terus kenapa? Lo percaya mitos yang kalo nginjek kuburan orang lo bakal cepet mati?"

"Heh, mulut lo nggak ada filternya ya?" geram Hobi.

"Heh, udah! Jangan kebanyakan bacot lo berdua! Cepetan kerjain," sela Agus yang sudah tak tahan lagi.

Namu dan Hobi hanya berdengus mendengar titah dari Agus. "Dasar setan nggak sabaran," ketus mereka. Kemudian, mereka mengambil cangkul yang dibawa dan mulai menggali.

Selama menggali, hanya ada suara cangkul mengeruk tanah dan desiran angin malam yang entah kenapa baru terasa begitu dingin. Ditambah hawa mencekam di sekeliling mereka, hanya terdapat pohon-pohon tua dan gemerisik daun yang kadang membuat bulu kuduk meremang. Hobi berhenti sejenak di tengah penggalian kuburan Agus, memikirkan sesuatu yang dirasanya lupa.

"Nam," panggilnya.

"Apa?"

"Lo ada sesuatu yang lupa gitu nggak?"

Namu ikut berhenti menggali, berpikir sejenak. "Kita lupa bawa minum. Gue haus banget nih," jawabnya.

"Bego, yang dipikir malah itu," maki Hobi. "Gue nanya serius nih," lanjutnya.

"Apaan sih, Bi? Udah ah, lanjut aja. Nih, udah mau sampe dasarnya," elak Namu dan langsung melanjutkan pekerjaannya.

Sedangkan Agus, dia mengawasi dua bocah itu sambil terus tersenyum. Senyum yang hanya dia yang paham.

Ketika dirasa cangkulnya berbenturan dengan sesuatu, Namu segera menyingkirkan sisa-sisa tanah yang menutupi benda itu. Usaha mereka berhasil. Mereka menemukan sebuah rangkaian tulang-belulang manusia yang tidak dibalut kain kafan, melainkan ... pakaian manusia biasa.

Hobi langsung teringat sesuatu. Dia langsung menengok ke belakang atas dan melihat Agus sudah merentangkan tangannya.

"HAHAHAHAHA!"

Suaranya menggelegar, memekakan telinga mereka. Bersamaan dengan itu, tanah-tanah galian pun mulai bergerak berjatuhan menimpa mereka dengan cepat. Tak mampu mereka elak. Teriakan mereka pun perlahan lenyap ditimbun tanah, bersamaan dengan raga mereka.

Hening sejenak.

"Ah, akhirnya gue bisa pergi dengan tenang," ujar Agus. Sebelum wujudnya hilang, dia menambahkan, "Ini hadiah yang gue maksud, Hobi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro