Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima Alasan

"Apa?"

"Aku bilang, kita putus."

"Hah?"

"Aku bilang, kita putus! Duh, kapan sih terakhir kali kamu ngorek kuping?" Sally bersidekap, alisnya menukik tajam dan mata belonya terlihat seperti ingin keluar karena dia mengerahkan seluruh kemampuan otot mata untuk melotot ke pacar--yang mungkin sekarang bergelar mantan.

Dika, si--yang sekarang bisa dianggap--mantan pacarnya Sally kelihatan garuk-garuk kepala seperti orang belum cuci rambut dua minggu. "Kok tiba-tiba?"

Sally masih jutek, mendengus-dengus berkali-kali menunjukkan kekesalan. "Coba pikir sendiri." Nada suaranya setajam pisau daging.

"Ya mana bisa. Maksudnya putus apa." Dika bahkan tidak mau repot-repot membuat nada suara seperti orang bertanya. Jarinya sudah berhenti garuk-garuk kepala, dan keliatan mengendus ujung jari sendiri.

Pemandangan itu kontan mengundang rasa jijik Sally. "Ya, putus. Bubar. Enggak bareng lagi. Lo, gue, end!" Tak lupa dia melakukan gestur terkenal untuk kalimat terakhir. Mengekspektasikan wajah kecewa dari laki-laki di hadapannya.

"Hah? Bubar? Memang sekarang kita puasa, ya? Bubar gitu." Wajah Dika tanpa dosa.

"Bukan buka bareng! Duh! Dika! Ada ya, manusia sereceh kamu!" Sally gemas sendiri. "Nah! Ini, nih! Ini salah satu alasan kenapa aku mau kita end!" Sekarang jari mungil itu menunjuk-nunjuk Dika, maksudnya sih benar-benar mau menusuk dada bidang itu, tapi Dika keburu mundur.

"Apanya?" Dika cuma angkat satu alis, kepalanya teleng sedikit ke kanan, melihat Sally yang memang jauh lebih pendek.

Sally menarik napas panjang, dia melihat sekeliling. Baru sadar ternyata dari tadi sedang berdiri di taman dan beberapa orang sudah berhenti seolah ingin menonton drama mereka. "Jangan di sini, deh." Sally mengisyaratkan Dika agar mereka pergi ke tempat yang agak sepi. "Dik, aku punya lima alasan kenapa aku mau mutusin kamu."

Dika hanya diam, tapi alisnya masih terangkat, kali ini keduanya alih-alih cuma satu. Seolah bilang, "Apa emangnya?"

"Pertama, kamu enggak pernah bales WA aku!" Sally berkutat dengan gawai berpelindung seperti karakter Hello Kitty sebelum menunjukkan riwayat percakapan keduanya tepat ke wajah Dika. "Nih, aku chat kamu pagi, siang, malam. Kamu enggak bales sembilan dari sepuluh chat aku!"

"Kayak sampo Clear, ya? Dipakai sembilan dari sepuluh wanita Indonesia." Dika cengar-cengir.

"Beda! Sampo Clear masih mending! Kamu enggak bales sembilan dari sepuluh chat aku, tahu!" Sally berkacak pinggang, lalu tersadar. "Ini bukan masalah perbandingan atau sampo Clear!" Sally nyaris membanting gawainya. "Kenapa kamu enggak pernah bales chat?"

"Kamu kan tau aku memang jarang balas chat." Dika mengendikkan bahu. "Tapi kadang aku baca, 'kan?"

"Iya, tapi kamu enggak bales," kata Sally mulai keletihan karena dari tadi emosi melulu.

"Tapi kalau kamu telepon, masih aku angkat, 'kan?"

Sally mengembuskan napas. "Iya, sih." Lalu dia berkacak pinggang lagi. "Nah, ini jadi alasan kedua. Kamu enggak pernah ajak aku jalan!" Lagi-lagi Sally tidak sopan main tunjuk-tunjuk. "Kamu emang angkat teleponku, tapi nanti kamu baru datang satu atau dua jam kemudian. Akhirnya aku suruh aja kamu balik pulang."

Dika sepertinya tidak punya perlawanan untuk yang satu ini. "Kan aku salat dulu di masjid."

"Ya, masa doa kamu sepanjang tali beruk!"

"Lebih panjang." Ekspresi Dika serius.

Sally terperangah. Dia selalu lemah dengan ekspresi serius Dika. Habisnya, Dika suka pasang muka seperti anak autis sehari-hari. "Alasan ketiga, kamu enggak pernah perhatian." Cepat-cepat Sally menukar topik.

"Perhatian apa?"

"Ya, perhatian. Misalnya aku lagi bad mood, kamu enggak ada coba cari tahu aku kenapa. Kalau aku sakit, kamu biarin aja." Mata Sally mulai berkaca-kaca.

"Kamu kan sama teman-teman kamu, masa aku langsung nyelonong gitu aja. Kan enggak lucu."

"Dik, orang super receh kayak kamu enggak pantas bilang gitu."

Dika cengar-cengir lagi. "Kamu kenapa sih, marah-marah terus dari tadi? Lagi bad mood, ya?" Dika bertanya dengan ekspresi khawatir.

"Aku enggak butuh kamu nanya sekarang, Dika!" Sally mengentak-entakkan kaki seperti anak kecil yang merajuk, meskipun wajahnya mulai memerah. Entah malu, entah marah, atau keduanya.

"Ssh, kalau marah-marah nanti cepat tua. Malu, sama anak kecil di sana, dia diam-diam saja." Dika menunjuk ke arah taman yang ramai, ke seorang anak kecil yang duduk manis ambil makan es krim.

Sally dengan bodohnya menoleh ke arah yang ditunjuk Dika dan terdiam, sebelum dia membuat ekspresi berang lagi. "Kamu samain aku dengan anak kecil, huh? Iya?"

"Kamu kan memang kecil." Dika membalas kalem.

"Kamu jahat." Sally sepertiya mulai lelah untuk merespons dengan agresif. "Tiap aku ngomong serius, kamu selalu ajak main-main. Kamu anggap aku sesepele itu, ya?" Kini, air mata benar-benar nyaris jatuh dari kedua manik hitam Sally.

Dika terdiam, yang tadinya masih memasang ekspresi geli, sekarang tidak ada lagi.

"Aku tau kamu receh. Dulu aku juga mikir kamu lucu banget, makanya lama-lama jadi suka. Aku enggak pa-pa kamu jarang bales chat, enggak mau foto, enggak mau umbar ke orang kalau kita pacaran. Tapi aku enggak sanggup lagi."

Tiba-tiba terdengar suara azan berkumandang.

"Sally."

Sally mendongak, hanya untuk menemukan Dika meletakkan jari telunjuk di atas bibir sendiri, mengisyaratkan kalau saat azan tidak boleh berbicara. Sally kehilangan kata-kata, memberi Dika tatapan tidak percaya.

Apalagi saat Dika terlihat seperti ingin pergi, Sally merentangkan tangan dan menggeleng keras-keras, lalu menginjak kaki Dika yang meringis tapi tetap tanpa suara, mereka terdiam sampai azan selesai.

"Sal, aku salat dulu, ya. Kita lanjut nanti." Dika berkata lembut, sudah jelas ingin salat berjamaah di masjid.

"Tunggu, kan belum ikamah. Kita belum selesai bicara." Sally cemberut, tapi wajahnya juga sekaligus memohon.

"Apa lagi?"

"Pokoknya, kita putus." Sally berkata lagi, kali ini dengan tegas. "Aku enggak ngerti kenapa waktu itu kamu bisa confess ke aku, tapi jujur kamu sama sekali enggak kayak orang yang suka sama aku."

"Sally, dengar aku dulu."

"Enggak ada. Aku enggak mau denger alasan kamu lagi." Sally menggeleng, berbalik ingin pergi.

"Tunggu dulu, Sally!"

Suara Dika yang keras mengejutkan Sally, dia terpaksa berbalik lagi. Apa Dika mulai menyesal, ya? Wajah seriusnya agak seram juga.

"Kamu dari tadi bilang putus, putus... memang kita pacaran?"

"Hah?"

"Eh?"

Sally mematung.

Dika menelengkan kepala. "Aku memang bilang suka kamu, tapi aku enggak ada ajak pacaran, 'kan?" Dika kali ini tidak cengar-cengir, hanya tersenyum tidak enak. "Pacaran itu kan dilarang agama."

Sally masih mematung. Jadi selama ini? Dia cuma ge-er? Dika cuma suka, tapi enggak mau ada hubungan apa-apa? Dan dia marah-marah dari tadi, dan ekspresi bingung Dika tadi, bukan karena dia tidak anggap serius, tapi memang benar-benar bingung?

"Aku juga manggil kamu ke sini mau kasih tau kamu tadi buat siap-siap. Nanti malam, aku bakal ke rumah kamu bareng orang tuaku." Dika mengalihkan pandangannya, kelihatan agak malu.

"Apa?"

"Aku serius pas bilang aku suka kamu. Aku serius. Makanya enggak mau pacaran. Jadi enggak pa-pa sih, kita putus, ya. Nanti aku ke rumah kamu." Dika tersenyum lembut.

Tidak adil, kalau dia tersenyum seperti itu, bagaimana Sally mau marah-marah. "Iya...."

"Sudah ikamah tuh, aku pergi dulu. Pulangnya hati-hati, ya." Dika melambaikan tangan. "Langsung pulang, ya. Salat di rumah saja."

"Iya...." Lagi-lagi, Sally hanya mengangguk patuh. Setelah Dika hilang dari padangan, dia buru-buru menangkup pipi. "Apa-apaan, sih?"

Sally memang putus, tapi sepertinya statusnya dengan Dika akan naik tingkat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro