Lara Ati si Iyem
Sebelum keringat mengucur di sekujur badan dan dompet terkuras, pintu kamar saya digedor. Tadinya, ingin saya biarkan dan lanjut tidur siang, tetapi di setiap detik gedorannya bertambah hebat. Kalau saya terlambat buka pintu barang sepuluh detik, mungkin daun pintu bagian tengah sudah hancur, atau engsel pintu akan terlepas, atau yang lebih ngeri pintu itu langsung ambruk. Saya sudah terbiasa menghadapi ini, jadi tidak kaget ketika pintu baru menganga sedikit sudah ada yang menyeruduk. Jidat dan cuping hidung tetap menjadi korban karena terantuk dan—sambil mengusap muka—saya masih menjadi kacung sesaatnya; melaksanakan titah untuk menutup pintu.
Sukiyem, itu nama asli dari dia yang sekarang tengkurap di kasur lantai saya. Namun, orang-orang dari ujung gang sampai ujung gang lain, bahkan majikannya, mengenal dia sebagai Suki. Saya pun dipaksa tutup mulut soal nama aslinya. Katanya, kalau sudah tinggal di Jakarta lebih baik nama yang lama ditanggalkan supaya bisa mendatangkan rezeki. Saya ikuti, tapi rezeki tetap seret. Berbeda dengan Iyem—panggilan ini tetap saya gunakan ketika kami sedang berdua—yang bisa menclok sesuka hati di pekerjaan yang disukai.
"Kamu tega ...."
Namun, dari dulu yang namanya beruntung selalu adil. Iyem memang mudah memperoleh pekerjaan, jika berhenti mendadak. Berbeda untuk hal yang lain. Kalau dihitung-hitung dari awal hingga pertengahan tahun ini, sudah lima kali Iyem ke kamar saya hanya untuk melampiaskan hal serupa. Dia akan meraung-raung dan terisak hebat. Itu tidak masalah buat saya selama dia tidak menghabiskan jatah mi instan saya sehabis menangis, tetapi tidak untuk telinga orang lain. Raungan dan isak tangis Iyem tidak berubah dari kecil. Sambil tengkurap—pose ini pun tetap dia pertahankan kalau merajuk dan selalu membuat saya takjub karena kuat dibekap bantal —Iyem akan menyenandungkan kegalauannya. Dalam raungan berupa desah panjang yang kencang dan isak yang menyerupai suara orang mengejan buang kotoran, tidak banyak penghuni indekos mengetuk pintu kamar saya ketika mereka lewat pas Iyem sedang berada di puncak kesedihan. Mereka tahu, bahkan pemilik dan penjaga indekos tahu, tetapi suara lantang mereka sering iseng. Sambil mengetuk mereka bertanya, "Udah berapa ronde, Sam?"
Saya bergidik. Tentu akan menjadi timpang jika (amit-amit) saya benar bersanggama dengan Iyem. Akan jadi seperti apa anak kami nanti. Iyem, dari dulu bertubuh subur (dia selalu mengetok kepala saya kalau saya bilang dia sangat gendut), kulitnya putih, matanya sipit, rambutnya tipis keriting yang kalau diikat akan tampak seperti ekor tikus, hidungnya mancung sedikit, dan bibirnya tipis. Nah, saya hampir kebalikannya. Tubuh saya kurus kering, rambut kusut mesut, kulit hitam. Saya tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya anak kami nanti (amit-amit. Jangan sampai terjadi) kalau kami memiliki anak kelak.
"Sakit ... sakit ...."
Belum sempat saya berpikir cara menenangkan Iyem, pintu kamar saya diketuk. "Gila lo, Sam. Masih siang ini! Udah berapa ronde?"
Ndas-mu!
Pekik tawa membahana dari balik pintu kamar saya. Saya mendesah. Asal tidak digiring ke kantor RW seperti dulu saja itu sudah cukup. Biarkan mereka berfantasi dan fokus saya harus kembali ke Iyem.
Iyem sudah mengubah posisi. Namun, tetap habis telentang dia tengkurap lagi. Telentang-tengkurap, terus begitu. Ini sudah parah. Iyem benar-benar butuh pedoman menghadapi beban hidup. Saya mengambil ponsel. Niat awal ingin mengutip kata-kata bijak yang sering berseliweran di Instagram, tetapi melihat Iyem yang mirip atraksi ikan paus, saya menekan aplikasi video. Iyem tidak punya akun Instagram dan pengikut saya di aplikasi itu hanya sepuluh; yang semuanya teman kerja di proyek bangunan dan tidak tahu soal Iyem. Jadi, aman sebar di sana. Diiringi kata-kata, Iyem yang galau di-caption, saya berharap kesepuluh teman saya yang semuanya kuli bangunan seperti saya itu dapat membantu.
Tidak jadi mencari petuah, saya duduk di pinggir kasur sehabis meletakkan kembali ponsel di atas dispenser. Iyem mulai berguling-guling. Badan suburnya menggelinding sampai mentok tembok dan kembali ke sisi di mana saya duduk. Dia tidak menghiraukan panggilan saya. Dia terus berguling-guling dan nyaris membuat saya terjengkang. Gemas, saya tarik ujung rambut ekor tikusnya. Dia menjerit, berhenti. Muka bulatnya menghadap langit-langit. Selama beberapa detik dia tampak seperti kuda nil di film dokumenter yang sering saya tonton. Dada dan perut besarnya naik-turun. Perlahan dia duduk, menghadapkan wajah penuh keringat bercampur air mata ke saya. Dan hidung saya langsung diserbu bau bawang.
Sepanjang Iyem membagi kisah pahit-manis asmaranya, baru kali ini ada yang membuat aroma tubuhnya berubah. Prediksi saya, Iyem tidak mandi dari kemarin. Kalau Iyem sampai tidak mau mandi, berarti masalahnya sudah di tahap serius. Iyem mengelap wajahnya dengan sarung yang biasa saya pakai buat selimut. Dari rentangan tangannya, saya tahu dia minta dipeluk. Namun, saya menggeleng mantap. Bisa pingsan saya didekap bau bawang dan asemnya.
"Lara atiku, Jo. Lara!"
Saya mengangguk. Iyem kembali mengelap wajahnya. "Tenang. Coba cerita apa yang sudah terjadi."
Yang saya mau, Iyem langsung ke inti. Namun, yang namanya perempuan, semua kudu diungkit. Kisah pertemuan pertamanya dengan Asep dan bagaimana Asep menembaknya pun turut terlontar.
"Kamu ingat, toh, waktu saya kasih kamu cokelat?"
Saya ingat betul. Wong, cokelatnya tinggal satu gigit.
"Kamu juga ingat, 'kan, waktu saya kasih kamu bakso?"
Jelas. Hanya tinggal satu biji, tapi lumayan buat tambahan mi instan.
Lalu tuturnya merembet. Dari Minggu pertama mereka ketemu di luar; menonton di bioskop, sampai sumpah setia, dan siap mendobrak keteguhan si mbok—ibunya Iyem—yang kukuh menolak mantu beda suku. Hubungan mereka bukan tanpa keasaman, tapi semenjak ada Reni—pengasuh baru anak majikan Iyem dan Asep yang punya bodi macam kuda; sekal dan cekatan. Tidak seperti Iyem yang mirip kuda nil—Asep berubah. Iyem sudah menaruh curiga sejak lama dan terbongkarlah sudah. Waktu Iyem dengan tegas meminta kepastian Asep soal siapa yang lelaki itu pilih, Asep dengan tegas langsung menyerukan nama Reni. Status Iyem berubah dari digantung menjadi diputus.
"Ndak bisa aku diginiin, Jo. Ndak bisa!" Iyem meremas-remas dadanya.
Saya merasa iba. Bagaimanapun, mbok-nya Iyem pernah menyumbangkan ASI untuk saya. Jadi, saya tepuk pundaknya. Saya besarkan hatinya. Saya bilang, lelaki banyak. Namun, Iyem semakin meraung. Sambil sesenggukan dia berucap, siapa lagi yang mau dengannya kalau saya yang monyong dan hitam saja menolak. Saya jawab, semua itu demi memperbaiki keturunan. Muka saya ditabok guling.
"Tapi, kamu benar, Jo." Tangis Iyem mereda. "Lelaki banyak di luar sana yang mau sama saya." Dia mulai celingukan. Perasaan saya jadi tidak enak. "Saya jadi lapar, Jo. Ada mi, ndak?" Sambil menyeka air mata dan membuang ingus di sarung saya, dia mulai berdiri.
Saya acungkan jari tengah. Dia paham dan masih membuang ingus.
"Kalau begitu, kita makan bakso saja."
Saya manut. Setelah mengambil dompet—Iyem berkata, pas ke sini dia tidak membawa uang—kami jalan beriringan. Sepanjang jalan mulutnya tidak berhenti berkecumik. Lirih sumpah serapahnya dia lontarkan untuk si mantan. Dia baru selesai berdoa buruk buat Asep ketika tiga mangkuk bakso tersaji. Saya maklum. Iyem bahkan mampu menghabiskan lima porsi bakso super, jika sedang tidak enak hati. Sekarang, dia merasa hatinya tersakiti. Mudah-mudahan dia sadar diri uang siapa yang dipakai buat beli.
"Saya ... sshh ... pokoknya enggak ikhlas! Sshh ... saya sudah kasih semua ... sshh ... tapi dia begitu. Lihat entar! Sshh ...."
Saya pun turut mendesah. Gila benar sambal ini. Padahal cuma dua sendok, tapi pedasnya jos. Apalagi, makan di pinggir jalan begini. Sudah terkena bising kendaraan, klakson motor dan mobil, ditambah sinar matahari yang merembes dari terpal. Lengkap sudah. Keringat saya dan keringat Iyem bercucuran. Bahkan keringat Iyem sampai menetes dan jatuh ke kuah baksonya.
"Sedap benar!" Iyem kemudian mengangkat tangan, meminta satu mangkok lagi. Itu mangkuk yang kelima, sementara saya satu mangkuk saja belum kelar.
Sambil menunggu pesanannya siap, di antara desah panjang dan setelah sendawa keras, Iyem berkata sangat sakit hati. Dari semalam dia sudah menyusun rencana. Dia yakin, majikannya pasti langsung memecat Asep dan Reni. Mula-mula, dia akan menguntit dulu. Tidak akan mempermasalahkan lagi hubungannya yang kandas dengan Asep. Lalu, ketika ada kesempatan, dia akan merekam semua kemesraan Asep dan Reni. Setelah itu, ....
Iyem menggebrak meja. Mangkuk saya dan mangkuk-mangkuknya bergetar. "Habis sudah, sshh, mereka!" Iyem tertawa jahat. Saya masih mendesah.
Iyem menanyakan pendapat saya. Saya tidak memberi tanggapan. Ada hal-hal yang sedang saya pikirkan. Terlebih Iyem sudah mengatur jadwal akan ke tempat saya lagi Minggu depan. Saya tetap diam waktu dia menanyakan kesediaan saya. Tanpa saya jawab pun, pintu kamar saya akan digedor kuat lagi. Sampai kuah bakso saya tandas, yang ada di otak saya adalah cara pura-pura mati Minggu depan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro