Gara-gara Drakor
Gara-gara Drakor
Malam tampak indah dengan ribuan bintang yang menghias langit malam, ditambah kerlip lampu yang menambah semarak suasana. Di sepanjang jalan juga berjajar rapi lilin yang berkelip-kelip. Di tengah taman juga terdapat lilin yang membentuk formasi love dengan taburan kelopak mawar merah di tiap sisinya. Membauat gadis itu dibuat takjub dengan pemandangan di hadapannya. Ia menatap lelaki di sampingnya dengan senyum lebar. Lelaki itu memegang tangan dan berlutut di hadapannya.
"Revina, will you marry me?" Kim Soo Hyun berlutut dengan sebuket mawar merah di hadapan gadis itu.
Ucapan lelaki itu membuat Revina terlonjak kaget, hingga membuatnya terjungkal ke belakang.
Gedebug!!
Revina terjatuh dari ranjang, membuat matanya terbuka sempurna. Ia mengusap-usap punggungnya yang terbentur lantai lumayan keras. Gadis itu menggerutu kesal karena terjatuh dari ranjangnya, padahal seingatnya tubuhnya berhasil ditopang oleh kekasih idamannya.
Ternyata cuma mimpi, padahal tadi lagi dilamar Kim Soo Hyun. Mana belum sempat jawab pula, batinnya.
Semalam ia tidur hingga pukul tiga dini hari karena maraton drama Korea 'My Love from the Star' dengan tokoh aktor favoritnya—Kim Soo Hyun. Wajahnya yang tampan membuat seorang Revina tertawan. Sehingga, membuat gadis itu rela begadang demi menyaksikan wajah lelaki idamannya itu. Saking cintanya dengan Kim Soo Hyun, di galeri ponselnya penuh dengan foto aktor tampan itu.
Mata Revina terbelalak ketika melihat jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul 08.30. Beruntung karena ia sedang halangan sehingga, ia tidak dianggap meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Padahal Hari ini ia ada wawancara kerja di Edelweis Corp. jam sembilan pagi. Ia segera menyambar handuk dan segera mandi. Tak sampai sepuluh menit gadis itu sudah keluar dengan wajah yang lebih segar. Entah benar-benar mandi atau hanya sekadar cuci muka dan sikat gigi, tak ada yang tahu.
Dalam sepuluh menit ia telah siap berangkat, dengan mengenakan atasan kemeja putih serta rok panjang warna coklat susu, tak lupa jilbab berwarna senada yang menutup auratnya. Ia berlari menuruni tangga karena waktu yang dimiliki semakin menipis. Meskipun jarak rumahnya dan Edelweis Corp. bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit dengan mengendarai motor, tetap saja gadis itu tak ingin terlambat.
Revina melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata agar segera sampai ke tempat tujuan. Dalam sepuluh menit, ia sudah berhasil memarkirkan motornya di parkiran Edelweis Corp. Gadis itu melirik jam tangannya, di sana menunjukkan pukul 09.05 . Itu berarti ia sudah terlambat terlambat. Setelah memastikan penampilannya di kaca spion, ia melenggang masuk ke dalam kantor.
Gadis itu menjadi pusat perhatian karyawan di tempat itu, beberapa ada yang tertawa sambil berbisik-bisik. Membuat Revina salah tingkah dibuatnya. Apa yang salah darinya, sehingga ia menjadi pusat perhatian seperti itu? Ia mengikuti arah pandang orang-orang yang melihat ke arah kakinya—bukan flatshoes yang menghias kakinya, melainkan sandal bulu yang biasa dikenakan di rumah dengan telinga kelinci pula.
Wajahnya merah padam karena malu, ia ingin menghilang ditelan bumi saat itu juga. Secepat kilat ia berlari mencari keberadaan toilet, tanpa pikir panjang ia segera masuk setelah menemukannya.
"Astagfirullah!" pekik Revina menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Membuat orang yang berada di sana terlonjak kaget dan menoleh. Menyadari kebodohannya gadis itu berbalik dan berlari secepat kilat keluar dari toilet pria. Bodoh ... Rev, kamu benar-benar memalukan, batinnya.
Revina dipanggil oleh staf HRD yang sedari tadi mencarinya, ia diminta untuk ke ruang wawancara karena sudah ditunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Gadis itu diberitahu bahwa yang akan mewawancarainya adalah calon atasannya langsung. Karena ia akan menjadi sekretaris lelaki itu.
"Semoga berhasil. Mas Rafki itu terkenal galak dan cuek, tapi dia baik kok." Perempuan yang mengantarnya memberi semangat.
Gadis itu menelan salivanya susah payah setelah mendengar tentang calon atasannya. Berbagai pikiran buruk merasuk ke dalam otaknya, apalagi ia sudah membuat calon atasannya menunggu cukup lama. Ia yang tadinya optimis menjadi pesimis. Jika kegagalan yang akan menyambut, ia sudah cukup menyiapkan mental.
Revina masuk ke ruang wawancara dengan gugup, ditambah lagi melihat ekspresi datar dan dingin dari lelaki yang berada di sana.
"Selamat pagi, Pak," sapa Revina.
Rafki mendongak dan mengamati Revina itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Netranya menyipit ketika melihat sandal bulu yang menghias kaki gadis itu apalagi di sana juga terdapat telinga panjang. Sementara gadis itu menunduk dalam ketika menyadari arah pandang lelaki itu.
"Kamu mau wawancara atau mau santai di rumah?" Rafki menahan tawa.
"Maaf, Pak. Tadi saya bangun kesiangan dan terburu-buru karena sudah hampir terlambat. Saya tidak sadar kalau masih pakai sandal rumah," jawabnya cengengesan.
"Ya sudah, silakan duduk!" titah Rafki.
Revina mengangguk, ia duduk di hadapan Rafki.
"Revina Anastasya. Jadi, saya harus panggil kamu–Revina–Ana atau Tasya?"
"Revina."
"Saya sudah baca CV kamu, saya rasa kamu cukup pantas menjadi sekretaris. Saya ini penikmat kopi, sebagai sekretaris, kamu harus bisa membuat secangkir kopi yang pas di lidah. Itu jadi syarat mutlak untuk saya terima sebagai sekretaris."
Revina hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kopinya satu sendok teh, dengan gula dua sendok teh. Rasanya tidak boleh terlalu pahit apalagi terlalu manis. Harus benar-benar pas. Sekarang coba buatkan kopi untuk saya di pantri," titah Rafki.
Revina berlalu menuju pantri, ia mengambil cangkir, menuangkan kopi, serta gula sesuai instruksi Rafki. Entah kenapa tiba-tiba matanya terasa berat, dengan mata setengah terpejam ia meraih toples berisi kristal putih dan memasukkannya ke dalam cangkir. Ia tidak mencicipinya terlebih dahulu karena yakin hasilnya memuaskan, dan dengan percaya diri membawanya ke hadapan Rafki.
Hanya sekadar buat kopi saja sih mudah, pikirnya. Ia sudah terbiasa membuatkan kopi untuk sang ayah. Seleranya juga tak jauh beda dengan lelaki itu. Rafki mencicipi kopi itu, dahinya berkerut dalam kemudian mengambil tisu dan memuntahkannya di sana.
Nah, lho! Apa yang salah coba dari kopi buatanku, batinnya.
"Kenapa, Pak? Kopinya kurang manis?" tanya Revina.
"Kamu masukkan apa ke dalam kopi saya?" Rafki balik bertanya.
"Sesuai instruksi, Pak Rafki. Kopi satu sendok teh, dan gula dua sendok teh," jawabnya.
"Saya rasa kamu salah memasukkan garam ke dalam kopi saya. Bukannya manis, tetapi rasanya asin," ucap Rafki.
Revina meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia mencoba mengingat apa yang dimasukkan ke dalam cangkir.
Berarti yang tadi kuambil bukan gula, tapi garam, batinnya. Revina tersenyum malu menyadari kesalahannya.
"Maafkan saya, Pak. Saya tadi mengantuk karena semalam maraton nonton drakor. Jadi, tidak begitu memperhatikan apa yang dimasukkan ke dalam kopi, Anda." Revina menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Sementara, Rafki hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar pengakuan Revina.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro