Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Gara-gara Boba

Helaan nafas kembali keluar dari mulutku. Ini sudah minuman ketiga, dan laki-laki itu masih belum menampakkan bola matanya. Waktu makan siangku tidak banyak, walau kegiatan kampus telah usai, aku masih harus mengunjungi kantor redaksi. Astaga, aku baru tahu ada laki-laki yang bisa setelat ini.

"Hai, maaf lama. Ada anak kedokteran yang minta tolong di bagian lab,"—aku hanya menggangguk dan kembali menyeruput minuman dalam genggaman—"kamu beli minuman itu lagi. Berapa kali aku bilang, ini gak sehat. Lihat, kamu bahkan mau habis tiga gelas ...,"

Kubiarkan si Budak Pangan mengoceh panjang lebar. Ceramahannya tidak akan jauh dari; kalori, protein, vitamin, lemak, zat besi dan entah apalagi namanya. Kadang aku berpikir mengapa ia tidak membuka seminar tentang makanan saja, bukankah itu lebih bermanfaat. Daripada hanya memberi kuliah privat—bahkan aku tidak mau mendengarnya. Dan lagi, ini adalah tempat umum.

" ... kamu gak memperhitungkan berapa banyak kalori yang besembayam di tubuhmu? Gula-gula itu bisa mengganggu pencernaan kamu, peningkatan berat badan, timbul jerawat, bahkan sampai penyakit mematikan seperti gangguan jantung, diabetes, lebih parahnya penyakit kanker."

Ya Allah, sebagai hambaMu yang kurang taat. Tolong maafkan aku, dan biarkan laki-laki di depanku ini mendapatkan karma yang setimpal. Dijatuhi setumpuk makanan dan minuman sampah, misalnya. Aku mulai menerawang masalalu, dosa apa yang telah kulakukan sampai harus berkencan dengan laki-laki ini.

Orang buta saja tahu kalo badanku kurus gini. "Gue tiap hari bisa sepuluh ampe dua belas kali lari sprint demi ngejar narasumber—itu berarti, olahraga adalah sobat gue. Jadi, gak usah mikirin bentukan badan gue."

"Dengar, mbak pecinta es boba. Sebelum lo masuk RS dan ngerepotin banyak manusia di sana. Sebaiknya, lo tinggalin minuman gak sehat ini." Lihat, gaya bicaranya berubah, ini pertanda pertengkaran kami akan dimulai.

"Dan perlu Anda dengar juga, mr. Kaku. Gak usah selebay itu dalam mengeritik makanan yang gue konsumsi. Lagian apa yang masuk lambung gue masih dapat gelar layak makan, selagi dikonsumsi gak berlebihan. Jangan terlalu perhitungan bisa, gak? Apa susahnya kita pacaran kayak orang normal; jalan berdua tanpa harus pake mobil, makan di pinggir jalan tanpa perlu mikirin bakteri. Gak perlu bawa-bawa penemu atau dokter saat kita kencan.

"Satu hal yang gue sadari sekarang, kita gak akan pernah satu jalan: lo dengan segala teori terikat itu, dan gue, manusia dengan segala kebebasan dalam menikmati hidup. Kita gak ada mirip-miripnya dari sudut manapun. Satu-satunya cara adalah, kita ambil jalan masing-masing. Itu lebih baik."

Aku menarik nafas kasar, kukunyah es yang tersisa dari minuman tadi. Kepalaku harus cepat-cepat didinginkan. Ya Tuhan, menyebalkan sekali. Aku ketinggalan rapat, bonusku hilang. Jika saja si Curut ini tidak minta bertemu. Argh! Ingin meledak rasanya. Ia masih terdiam, entah sedang meresapi ucapanku atau ... ah, aku menyadari sesuatu. Dia adalah tipe laki-laki pahlawan—lemah di awal kemudian menuju detik-detik terakhir berubah kuat dengan tidak masuk akal—dalam mematahkan argumen lawan bicaranya. Laki-laki busuk seperti ini sudah banyak kutemui di lapangan.

"Udah, gak ada yang perlu didiskusikan lagi, kan? Gue cabut. Gara-gara lo, bonus gue minggu ini hilang. Dan lagi, gue pesen minum ampe sebanyak ini juga gara-gara nungguin lo yang asik kencan sama anak kedokteran itu. Btw, kalian cocok. Anak pangan featuring anak kedokteran. Pasangan sempurna, siapa tahu kalian jadi duta Bakteri di masa depan."

Kutinggalkan tempat yang sudah ramai didatangi pengunjung. Terlalu banyak menarik perhatian bukan jalan hidupku. Kedua kakiku terus melangkah, kedai kopi sudah tertinggal jauh di belakang sana. Kuhembuskan nafas berharap dapat menghilangkan sedikit beban. Kutatap lampu jalanan berkedip hingga menyala. "Ah, nikmatnya jomlo. Selamat datang hidup penuh kebebasan."

***

"Ya Allah, Gusti nu Agung. Punya anak perawan gini banget bentukannya," Pagi yang indah, alarm alami sudah menyambut. Tunggu sampai omelannya selesai, baru buka mata. "katanya ini buku orderan, tapi gak kamu packing-packing. Foto-foto berserakan. Terus ini, tumpukan kertas, dipilah dong, Nak. Gimana kalo revisian kamu kecampur sama naskah klien?"

"Ana semalem ketiduran, pas selesai kirim artikel buat cetakan edisi minggu ini, Ma." Mataku masih enggan terbuka. Tidur setelah solat subuh memang paling nikmat.

"Suruh siapa ngambil kerjaan yang nguras waktu istirahat kamu. Udah jadi penulis, editor, photographer, dan sekarang, wartawan kamu embat juga. Kasihan tubuhmu, Nak."

"Tapi Mama sama Papa gak pernah larang Ana, 'kan?"

Kurasakan Mama menduduki sisi kasur, tangannya mengusap kepalaku lembut. "Ya, asal kamu suka. Apapun itu, Mama sama Papa bakalan terus dukung." Perlahan kubuka mata dan meninggalkan posisi rebahan.

"Cepat mandi, hari ini kamu ketemu calon mertua sama calonmu juga." Mama melenggang meninggalkan kamar. Apa katanya tadi, calon mertua? Dan calon ... siapa?

Hari apa ini? Rasanya lebih sial dari hari pas aku putus dengan Riki. Tunggu, itu hari keberuntungan masuknya. Sejak kapan seorang Diana punya calon mertua? Kalau sampe ada acara jodoh-jodohan kayak di drama picisan. Enggak deh, makasih. Apalagi dijodohinnya sama bujang lapuk gendut. Bisa bayangin gimana jeleknya aku bersanding dengan gentong minyak jelantah di pelaminan? Ya Allah jangan dong, gak aestetic banget.

"Keluarga tante Riska udah sampe, ayo turun." Aku mengangguk. Oke, tenang Diana, nurut dulu seperti biasa. Baru setelah itu buat rencana pelarian.

Kulihat Papa begitu akrab mengobrol dengan mereka. Jadi, tante Riska teman Mama kuliah, itu. Bau-baunya gak bakalan bisa keluar dari lingkaran drama picisan. Senyum manis terpasang otomatis kala diriku tepat di hadapan mereka. Melihat betapa hangatnya interaksi dua keluarga, aku merasa tak tega menghancurkan momen bertamu ini. Tidak ada obrolan bisnis, kedua pasangan merpati yang mulai menua sibuk mengenang masalalu. Sementara, aku dan dua anak tante Riska hanya menyimak, sesekali ikut menyahut jika ditanya. Aku masih ingat, anak pertama tante Riska saat di sekolah dasar sangat subur, sampai-sampai aku meneriakinya Giant, aku baru duduk di tamak kanak-kanak waktu itu. Dan lihat sekarang, siapa yang berada di hadapanku? Patung dewa Yunani? Tampan sekali. Tahan dirimu Diana, jadilah manusia tsundere seperti biasanya.

"Mau ke luar?"

Astaga ini tawaran kencan. "B-boleh?" Kulempar pertanyaan pada Mama. Harapannya sih, diijinkan. Tapi, demi kesehatan jantung, jangan diijinkan saja. Plis, Ma.

"Boleh, dong. Makan siang masih lama juga. Linda bantuin tante bikin dessert, mau?" Astaga, habis sudah. Dan lagi, ini adeknya si Dimas main nurut aja. Biasanya anak cewek paling agresif sama Abangnya. Sekilas kulihat tatapan haru Papa yang berlebihan, kami hanya pergi ke luar, jalan kaki. Bukan pindah galaxy.

Aku mulai bertanya-tanya juga, dari obrolan yang kutangkap. Dia jadi CEO di cabang perusahaan papanya. Tapi, kenapa milih taman kompleks, bukan ngajak ke mall atau minimal foodcourt, gitu.

"Gue jarang jalan kaki kayak gini. Jadi, kalo ada kesempatan kudu sering-sering di bawa gerak," Ia mulai buka suara. Cukup kaget juga, kupikir dia akan berbicara dengan bahasa formal ala-ala bos. "oh ya, kata tante lo suka dunia photographi, wartawan juga. Tunggu di bangku sana, gue yang beli minum." Aku hanya mengangguk, mama emang kurang obrolan. Dikira anaknya perabot dapur promo sana-sini. Gila, gugupnya melebihi saat dipelotin general manager. Disuruh liputan ke hutan Amazon lebih baik daripada berlama-lama dengan laki-laki itu.

Pipiku mengernyit saat dirasa sensasi dingin menyergap. "Greentea boba?" Kupandang ia yang duduk di hadapanku. Mungkin ini saatnya. "Lo tahu, minuman ini bisa bikin badan gue jelek."

"Lalu?" sahutnya.

"Lo gak keberatan punya tunangan gemuk?"

Ia terdiam cukup lama. Sudah kuduga, laki-laki memang busuk. Jangan terpengaruh dengan covernya. "Kalau lo gemuk cuman karena es boba yang enggak seberapa harganya. Masih ada sepuluh golcard dan tiga platinumcard, mereka bakal bantu calon istri gue langsing lagi."

Aku hanya terkekeh menanggapinya. "Gue suka cowok sombong daripada yang kaku penuh dengan teori."

"Ngomong-ngomong, lo wartawan. Pajang foto kita di artikel,"—Apa katanya?—"dan lagi, kita belum resmi tunangan. Itu berarti kita tidak ada hubungan apa-apa sekarang. Jadi, jngan lupa, gantiin biaya es bobanya."

Sialan.

Setidakmya aku bakal nikah dengan botol parfum, bukan gentong minyak jelantah.

-SELESAI-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro