Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Break off

Break off

"Lu bukannya beneran mau mati gara-gara putus sama Ara, kan?"

Nathan memijat pelipis, sangat tidak butuh omelan teman satu kos-nya itu pagi ini. Ia bangun dengan kepala pening, hidung tersumbat dan badan yang demam. Siapapun akan setuju diomeli bukan cara terbaik untuk sehat kembali.

"Stop being so dramatic, Farhan Ruslan Ginanjar Menungso ya gusti menengo jangkrik. Pala gue sakit." desisnya, nyaris kembali menyelami selimut jika saja Farhan tidak menariknya paksa.

"Terus bisa jelasin kenapa lu ujan-ujanan dan tidur di genteng kosan kemaren malem, bangsat! Lu tahu gimana bude lu nggusrek-gusrek badan gue semaleman gara-gara lu kaga balik-balik?!"

Bude Nathan adalah ibu kosan mereka, wanita paling dramatis se-kelurahan. Farhan adalah anak didik terbaiknya. Dalam hal dramatis tidak guna tentu saja.

Bicara soal ketiduran di genteng kosan, cukup rumit sebenarnya. Kemarin, setelah pulang dari acara pensi, Ara, pacarnya setahun terakhir meminta putus di gerbang masuk gedung fakultas. Nathan kaget, tapi ia hanya menyetujui usulan itu. Semuanya harusnya berhenti sampai disitu, kalau saja Farhan dan gengnya tidak tiba-tiba menguping dan sok-sokan bersimpati lalu mengajaknya ke angkringan untuk menghibur diri. Katanya bentuk ke-solidan atau apalah.

Tapi kemudian salah satu anggota geng Farhan overdosis wedang jahe dan mencret di tempat. Semuanya heboh melakukan pertolongan pertama dan Nathan dititipi nota sepuluh mangkuk ronde dan puluhan tusuk sate usus.

Tunggu, bukannya ini mulai terlihat seperti salahnya Farhan?

"Lu pikir gara-gara siapa gue gabisa pesen gojek semalem hah? Duit gue abis bayarin makanan lu pada. Akhirnya gue balik ke kosan jalan kaki, dan pintu kosan kekunci. Gue udah ratusan kali ngelemparin jendela lupake batu, lu-nya kaga bangun-bangun. Tidur di pelataran gue takut got meluap kalo ujan, ya udah gue naik genteng. Bukan salah gue dong gue collaps di atas genteng?"

Kalau Nathan masih balita, ia mungkin sudah menangis sekarang.

"Ya sori, gue lupa." ringis Farhan, tidak tahu diri seperti biasa. Ia kemudian mengembalikan selimut Nathan dan memandu teman sekos-nya itu kembali tidur.

Atau tidak, karena ia kembali bicara.

"Jadi lu beneran gapapa?"

Nathan menghela napas panjang, menahan diri agar tidak menginjak wajah temannya itu. "Hm."

"Lu tahu gue bisa diajak ngomong, kan?"

"Tahu, lu bacot banget dari kemaren."

"Nggak, maksud gue!" entah kenapa malah Farhan yang kelihatan frustasi. "Maksud gue, man! Gue tahu rasanya putus. Kalau berat lu bisa cerita sama gue lah."

Nathan jadi penasaran siapa yang sebenarnya baru putus di sini.

"Gue rasa obrolan kita di angkringan udah jelas, Han. Ara minta putus, gue emang ngerasa kita udah nggak fine lagi. The end."

"Segampang itu?"

"Segampang itu."

Farhan mulai diam. Nathan sebenarnya tahu asal muasal kegelisahan menggelikan Farhan pagi ini. Saat Farhan baru putus dari pacar pertamanya saat semester tiga, ia menangisi kepergian kekasihnya itu nyaris sebulan penuh.

Kalau bukan karena Nathan, Farhan mungkin sudah bersatu dengan kecebong got di depan kosan. Mengambang dan hanyut tanpa tujuan.

Namun, sekarang, saat mungkin Farhan sudah menanti-nanti timing balas budinya, Nathan tidak menunjukan reaksi withdrawal apapun. Bahkan setelah putus dengan Ara, pacarnya dari semester satu, pacarnya selama nyaris tiga semester terakhir.

Sebenarnya Nathan sempat bertanya-tanya sebelum bangun di genteng kosan pagi ini, soal emosi tersembunyi dan sebagainya. Namun ia memang sedang tidak seberduka itu.

Kaget? Mungkin. Namun saat kau sudah menyadari perbedaan hubungan yang nyata nyaris setelah setahun, rasanya putus bukan hal yang mengherankan dalam kasusnya. Malah mungkin, Nathan sudah mengantisipasinya. Setidaknya sampai tadi malam.

"Lu keren banget, man."

Nathan mendengus."Lu sih kebanyakan main sama bude gue."

Farhan tertawa, lalu selonjoran di lantai kamar kos Nathan yang berantakan seperti biasa. "Seenggaknya gue sadar lah, nangis nggak ngurangin trait masculinity gue."

"Bacot, Han. Lu harus ingat lu nangis tiap malam sebulan penuh, geli gue ngingetnya." Nathan nyaris merinding saat mengingat dirinya harus punya jadwal tersendiri tiap malam hanya untuk menghibur Farhan dan segala dramanya.

"Yah, tapi kan emosi gue jadi jelas," sahut Farhan sensi, melirik Nathan yang masih menyembunyikan diri di balik selimut. "Gak kaya elu sekarang."

Oke, bulls eyes.

Salah satu hal menyebalkan dari berinteraksi dengan Farhan dan bude-nya adalah, mereka punya level drama yang lebih tinggi dari manusia normal kebanyakan. Dan bagi jiwa pemendam emosi seperti Nathan, bukan ide bagus berkeliaran di sekitar mereka. Terutama saat situasinya seperti sekarang.

Seharusnya Nathan menginjak wajahnya saja sejak tadi.

"Bacot, bangsat."

Mendengarnya, Farhan cuma mendengus kecil. Lalu meregangkan otot dan bersiap tidur siang sambil mendengarkan suara kecil yang Nathan buat di balik selimutnya.

"Cie, nangis." ejeknya.

Setelahnya Nathan benar-benar menginjak wajahnya.

*********************

"Bisa tanya, kenapa kamu minta putus?"

Nathan melirik Ara yang berdiri di sampingnya. Di pagar pembatas gedung fakultas lantai dua, tempat Nathan mengajak Ara pacaran setahun yang lalu. Mereka sedang jam kosong, menunggu kelas Vocabulary yang baru akan mulai setengah jam lagi.

Ia menemui Ara karena tadi pagi bude-nya berkata demikian. (Yang Demi Tuhan Nathan sendiri tidak tahu bagaimana beliau bisa tahu selak beluk cerita hidupnya dalam waktu sesingkat itu).

Semua gak akan selesai kalau nggak dibicarakan.

Jadi disinilah dia sekarang.

"Baru tanya sekarang?" Ara, tersenyum pada Farhan. Manis jika dilihat orang lain, pahit bagi Nathan dan dirinya sendiri.

Nathan memasang wajah bersalah. "Kemaren terlalu kaget, maaf."

Butuh waktu lama sampai akhirnya Ara bicara.

"Kamu tahu di screen saver windows kadang suka ada quote-quote emo gitu, kan?"

Nathan mengangguk, walau ia tidak terlalu peduli.

"Mereka tanya, apa anda pernah bermimpi tidur dalam rumah kaca dan menatap langit dari sana?" jelasnya, membuat Nathan menautkan alis.

Drama dari negeri macam apa lagi ini?

"Menurutmu gimana?"

Nathan nyaris konslet, tidak mengerti sama sekali arah pembicaraan Ara. Tapi ia harus menjawab, kan? Seabsurd apapun itu?

"Wow. That would be really hot," celetuknya, sedetik kemudian menambahkan karena Ara sudah melotot kaget. "Maksudku, bayangin aja rumah kaca. Rumah kaca loh! Berarti gak ada jendela dan ketutup kan? Dan kamu mau tiduran di dalamnya, siang-siang, mandangin langit? Kan panas?"

"The heck?" Ara menyahut seadanya, sedetik kemudian mendengus tidak percaya.

Nathan tidak tertawa, dia sudah tidak tahu lagi salahnya di mana.

"Omonganmu sama kaya waktu kita dinner anniversary pertama." ucap Ara lagi, senyumnya kelihatan lebih pahit dari sebelumnya.

Nathan ingat. Tentu ingat.

"Oh, dinner di pinggir pantai, malam-malam, pas lagi bulan purnama, gelombang lagi tinggi-tingginya, terus anginnya nerbangin taplak meja dan lobster harga nyaris sejuta itu?" Senyum Nathan berubah masam. "Terus apa? Kamu ketumpahan anggur juga, kan? Terus akhirnya dressnya kamu buang gara-gara nodanya gak bisa ilang walau udah di cuci lima kali ke binatu?"

"Nathan!" sentak Ara. Nathan langsung berhenti bicara.

"Sori." selorohnya. Nathan baru sadar ia baru saja melakukan re-experiencing, mungkin ia sudah kena PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau apalah. "Intinya, bisa kita simpulin, selera dan pandangan kita tentang hidup itu beda."

Ara melirik Nathan. "Sebenarnya bagimu hubungan yang romantis itu gimana sih?"

Nathan balas melirik Ara, lumayan kaget. "Bukannya agak telat bicara soal itu?"

"Penasaran aja." Ara mengangkat bahu.

Nathan bergumam panjang. "Hubungan yang romantis itu, nyuci piring setelah makan bareng, ngelipet baju bareng, berantem masalah pajak dan diskon indomaret, terus patungan Netflix dan chruncyroll tiap bulan?"

Ekspresi Ara cukup komikal, Nathan nyaris menyangka Ara bagian dari murid bude-nya. Ia kemudian tertawa lepas, memukul Nathan gemas di antara tawanya. "Kok aku nggak pernah tahu, sih?"

Nathan mendengus. "Seharusnya emang kita harus lebih banyak ngobrol daripada berantem."

Ara tertawa lagi, setelahnya mengangguk-angguk dramatis. "Setuju, setuju."

Ara dan Nathan saling lirik, seolah ingin saling memastikan sesuatu. Nathan adalah yang pertama bicara setelah keheningan yang panjang.

"But then again, kita masih punya hidup yang beda. Kamu berhak punya seseorang yang dengan tulus dan ajaibnya ikut bahagia saat harus makan makanan yang dihembuskan angin pantai dengan segala resiko termasuk pasir-pasirnya."

"Atau seseorang yang bener-bener bahagia saat ngelipet baju dan nyuci piring." Ara menyahut, "Kalau aku sih, no."

"Pastinya." Nathan mendengus kecil. "sejak awal kita mungkin emang gak cocok."

Ara mengangguk-angguk lagi. "Sepertinya begitu."

Nathan menarik napas panjang, lalu mengulurkan tangan kanannya. Butuh beberapa detik sampai Ara meraih tangan itu.

"Sori, sudah sering bikin kita berantem."

Ara mengangkat bahu."Sori juga, sudah maksa kamu nurutin semua selera dan mauku."

Nathan mengulum senyum, paling tulus dalam setahun terakhir. Sampai akhirnya ia sadar.

"Kelas Mr.Tion jam berapa?"

Ara melirik arlojinya. "Jam 11, sepuluh menit yang lalu."

Keduanya terdiam. Saling tatap. Setelahnya saling menyalahkan lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro