❬ 15 ❭ @RGNyamm - Utusan
Petir bersahut-sahutan, kilat menyambar disana-sini. Tempat itu berubah menjadi tempat yang ramai akibat kilatan dan petir yang menyilaukan, juga suaranya yang memekakan telinga.
Makhluk-mahkluk itu seakan-akan sudah tak punya hati karena tingkah mereka yang beringas dan kejam.
Skip
"RICKO!!!!!"
Ponsel yang sejak setengah jam lalu dipegang erat akhirnya terlepas dari genggaman karena empunya tengah terkejut akibat teriakan ibu Guru.
Panggilan Ricko atau Rick dengan nada melengking memang sudah tidak asing lagi di telinga anak-anak kelas X A5 ini. Pasalnya, ada satu anak yang entah jin apa yang merasuki sukmanya hingga sepertinya ia hobi sekali dimarahi Guru.
"Iya? Ada apa, Bu?" ujar Ricko setelah gelagapan sok coolnya. Jujur saja, sebenarnya dia cerdas, semua mata pelajaran bisa ia kuasai dalam waktu singkat. Tapi, sebagaimana anak lainnya, dia juga pecandu game, maka jadilah seperti Ricko dengan imej yang nakal, binal dan bandel ini.
Gurunya hanya geleng-geleng kepala. Dalam hati bergumam udah jam laper begini, masih aja bikin ulah. Awas kamu, dengan batin yang menyumpah-nyumpah ia bergerak tenang menuju bangku tempat Ricko duduk, lantas mengucapkan kalimat paling horor di sepanjang sejarah menjadi anak sekolah,
"Rick, ayo ikut saya ke ruang BP," ucapnya tanpa jeda. Seakan mengalir seperti udara, menambah kesan dingin yang mengerikan.
Di ruang BP, setelah dibawa oleh ibu Guru seperti polisi membawa tersangka korupsi, Ricko berakhir dengan duduk diam. Matanya menatap sekililing ruangan dengan saksama. Ponsel yang berisi game online miliknya tak sengaja tertinggal di laci mejanya. Sial!
Satu-satunya yang melekat pada diri Ricko--selain bajunya--adalah arloji. Arloji berwarna coklat itu masih bertengger erat pada pergelangan tangan kirinya sejak masih SD. Hadiah dari kakeknya karena peringkat pertama di kelas.
"Argh! Sialan, masa gue disuruh nunggu lama gini, sih?!" gerutu Ricko, mendecak-decakkan lidah beberapa kali.
Ia tahu dan sepenuhnya sadar, bahwa ia salah tapi ego tetap ego. Ia tetap tidak bisa menyembunyikan kemarahannya, padahal tadi saat ditawan oleh Gurunya, ia nampak biasa saja.
Ricko kembali diam sembari mengetuk-ketuk kaca arlojinya. Ia diam lebih karena tidak bisa melakukan apapun di ruang BP yang suasananya sejuk-mencekam itu. Selain ada CCTV, telinganya juga menangkap beberapa suara yang ia yakini itu merupakan suara Gurunya dan Guru BP, yang akan segera menindaklanjuti tingkah binalnya itu.
Namun, tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu menusuk lehernya lantas ia tak sadarkan diri seketika.
Skip
"Wah, utusan sudah bangun!"
"Lio, segera panggilkan Pangeran Radevo!"
"SIAP MASTER!!!"
Kedua mata Ricko mulai terbuka, menampakkan maniknya yang sedetik lalu hanya seperempat bagian lalu kini setengah bagiannya lagi.
Lantas akhirnya, terbuka sempurna.
"Utusan," Suara seseorang menginterupsi ketenangan sekejap milik Ricko, membuat remaja tanggung itu menoleh ke sumber suara.
Dan rasa terkejut pun terbit dalam hatinya. Ia tak berani menampakkan keterkejutannya karena si sumber suara itu adalah laki-laki kekar dan gempal serta sekujur tubuhnya ditutupi oleh baju zirah.
Tapi, baju zirah itu bukan baju zirah biasa. Baju zirah ini memiliki warna yang beragam atau lebih tepatnya warna yang 'bertabrakan' sehingga siapapun yang melihatnya akan sangat tertarik untuk melihatnya lagi dan lagi.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanya si pemakai zirah, sedangkan Ricko hanya mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Masih takjub dengan apa yang terjadi di hadapannya kini.
Seperti tau apa yang terjadi pada Ricko, si pemakai zirah tersenyum simpul. "Sebelumnya maafkan kecerobohan saya karena belum memperkenalkan diri," ucapnya diikuti dengan gerakan membungkuk. "Izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya Paleo. Anda boleh memanggil saya Leo."
Dan untuk kesekian kalinya Ricko terpana, matanya tak henti-hentinya mengerjap-ngerjap dan mulutnya juga ternganga meski kecil. Ia bahkan lupa untuk merespon ucapan Paleo barusan.
"Utusan? Apa Anda baik-baik saja? Apa ada yang terasa sakit?" tanya Paleo gelagapan karena si utusan masih diam membisu.
Ricko segera menggeleng setelah tersadar, "Saya baik, kok. Gak ada yang sakit."
Paleo hanya mengangguk-angguk. Tidak ada lagi yang hendak ia sampaikan. Akhirnya ia pamit untuk menjemput Lio, yang sejak tadi tak kunjung kembali setelah diberi perintah untuk menjemput Pangeran Radevo.
"Lio, Lio, alangkah lamanya dia menjemput Pangeran Devo," gumam Paleo melangkah keluar dari tempat Ricko istirahat sembari melepas penutup kepala yang berbentuk seperti helm itu.
"MASTER!!!" Suara cempreng seseorang membuat Paleo tersentak. Ia segera menoleh ke sumber suara dan dugaannya benar. Disana nampak Lio sedang berlarian dengan tangan kanan yang menarik tangan sang Pangeran.
"Master, ini Pangeran Radevo!" ujar Lio, menyerahkan Pangeran seperti menyerahkan sekantong uang. Sedikit melempar. Mungkin itu efek dari semangatnya yang menggebu-gebu.
Paleo yang menjadi saksi kebiasaan Lio yang suka buru-buru pun hanya bisa memaksakan senyum. Di satu sisi, ia menghargai hasil kerja Lio dan di sisi lain ia juga merasa tidak sopan pada pangeran Radevo.
Paleo mengangguk dan menyilakan pangeran Radevo untuk masuk.
"Permisi," sapa pangeran Radevo memasuki ruangan, sikapnya yang santun membuat suaranya yang halus itu tak sampai ke gendang telinga Ricko.
Pangeran berjalan mendekat, bersama sinar matahari remang yang menembus masuk ke dalam ruangan, ia mendatangi Ricko, sang utusan yang masih berbaring. Setelah sampai di pinggiran ranjang ia kembali menyapa,
"Permisi, apakah kamu sang utusan?" sapa pangeran Radevo tak keruan akibat rasa gugupnya.
Ricko dengan terpaksa membuka matanya yang sudah nyaman, ia...
Ia terkejut!
Ia langsung terkejut setelah melihat apa yang ada dihadapannya. Astaga!
"Muka lo kenapa sama kaya gue?!!!" ucapnya sambil bangun dan mundur beberapa jengkal dari tempatnya tidur tadi. Bicaranya barusan juga bagian dari spontanitasnya, padahal di depannya berdiri seorang laki-laki yang memakai zirah. Namun berbeda dari Paleo, laki-laki yang nampak seperti cermin bagi Ricko ini zirahnya dilengkapi dengan jubah. Tak lupa di kepalanya juga ada mahkota berwarna safir dan ruby membentuk daun semanggi melingkar.
Radevo menggeleng, "Entahlah," ia benar-benar tidak punya alasan mengapa si utusan ini punya wajah yang sama persis dengan dirinya.
Ricko tak berkutik, otaknya merangkai-rangkai kemungkinan yang akan terjadi jika ia tetap bersikap anti pada orang di depannya.
"Ohh kamu juga gak tau ya," ucapnya melunak sembari kembali ke posisi awal. Ia penasaran setengah mati dengan orang yang ada di depannya ini. Ia penasaran mengapa orang di depannya ini punya wajah yang sama dengannya. Juga namanya, kira-kira siapa nama orang ini?
Dan, bak gayung bersambut, si Pangeran Radevo ternyata memperkenalkan dirinya,"Saya Radevo. Putra mahkota dari Iridos," ucapnya sedikit gagap karena canggung.
Ricko mengangguk-angguk, "Kenalin, saya Ricko!" ia menjulurkan tangan, ikut memperkenalkan diri. Juluran tangannya dibalas dengan sambutan tangan Radevo. "Kamu masih ingin istirahat?"
Ricko mengerutkan keningnya, muncul rasa curiga di hatinya meski enggan ia keluarkan. "Nggak. Kenapa?" jawabnya singkat karena ia masih curiga.
"Saya ingin menunjukkan istana ini ke kamu," kata Radevo ramah, matanya menatap langit-langit ruangan dengan tatapan yang tak mampu dijelaskan.
Ricko sedikit terkejut. Kecurigaannya membesar, tapi ia melihat ini sebagai peluang supaya ia bisa tau tempat apa ini. Jadi ia mengangguk, menyegerakan diri turun dari kasur.
Skip
"Bagaimana? Istana ini bagus, bukan?" Sejak satu jam yang lalu, Radevo menjadi guide bagi Ricko dengan sopan dan telaten.
Sedangkan Ricko lebih banyak terdiam. Ia lebih suka bergumam dalam hati. Menurutnya, istana ini bagus, semua perabotannya nampak mewah dan indah. Tapi ia sempat melihat beberapa sudut ruangan yang berantakan, dindingnya nampak terkelupas dan warnanya rusak.
Sebagai tamu yang baik, ia mengangguk. "Tapi, aku punya pertanyaan. Kalau ini Kerajaan Iridos, rajanya mana?" Satu pertanyaan akhirnya ia keluarkan, meski sedikit ragu.
Radevo terkejut, ekspresi wajahnya menggambarkan perasaannya. "Jadi kamu tidak tau? Kupikir Paleo sudah memberitaukan hal ini. Raja Irad VII sudah meninggal. Beliau mengorbankan nyawanya demi Iridos dengan bertarung melawan mahkluk dari dunia Growl." Penjelasan Radevo barusan benar-benar hal baru di telinga Ricko yang anti ngayal-ngayal club.
Ia menyadari dua hal dari sana. Satu, ternyata kisah raja melawan monster itu bukan cuma cerita komik saja. Dua, karena kata Radevo, Raja Irad VII sudah meninggal itu artinya Radevo sekarang jadi raja.
Secara tak sadar, pandangan mengenai Radevo berubah. Dia raja kok ngomong Pangeran, gak paham atau gue yang kepinteran ya, kira-kira seperti itu pandangan Ricko sekarang. Gemas tapi Ricko bisa apa?
"Terus kalau begitu, kamu sudah jadi raja kan?" Sambil mensejajari langkah Radevo yang bajunya melambai-lambai, Ricko bertanya karena rasa gemas sudah sampai puncak kepalanya.
Radevo mengangguk kecil, kali ini ia nampak tak bersemangat, tertunduk lesu.
"Iya, tapi...,"
Ricko mengangkat satu alisnya. "Tapi apa?"
Kali ini Radevo mengangkat kepalanya secara tiba-tiba, ia mendekat ke arah Ricko sambil memegang lengannya. Sedangkan, Ricko dengan sigap menjauh. "Tapi saya gak bisa jadi raja tanpa bantuanmu, utusanku!"
Ricko ber 'hah' lebar. Apa maksudnya? Dia sungguh tak mengerti apa-apa, namun ucapan Radevo barusan seakan langsung memberikan ultimatum pada otaknya kalau semua ini memang nyata. Ia memang tidak sedang bermimpi.
Radevo melepas pegangannya pada lengan Ricko lantas menarik napas panjang, bersiap menjelaskan. "Kamu mungkin menolak tapi ini semua sudah ada ketentuannya," ujarnya sambil menatap wajah Ricko, "tidak. Aku tidak menyuruh kamu berperang. Aku hanya akan meminta bantuanmu mengenai senjata."
Belum selesai ber 'hah' ria, Ricko kembali dikejutkan dengan fakta ini. Senjata? Seumur-umur, Ricko belum pernah memegang senjata. Paling-paling cuma pistol milik ponakannya. Itupun cuma pistol mainan.
"Senjata?"
Radevo mengangguk, "Senjata mematikan untuk Growl yang bisa digunakan untuk pertarungan jarak jauh."
Ricko menelan ludah, kenyataan ini semakin membuatnya gila. Senjata jenis apa yang bisa seperti itu?
Skip
Sebut saja Ricko sedang gundah. Ia sedang clueless terhadap senjata apa yang sesuai dengan keinginan Radevo yang diam-diam ia kutuk dalam hati. Jangankan senjata, tempat ia berpijak saja ia tidak tau. Apalagi senjata seperti itu.
Tapi jangan lupakan fakta jika Ricko adalah orang yang pintar. Ia pasti mampu menyelesaikan tugas dari si Pangeran Radevo yang seenak jidat itu.
"Senjata apaan coba yang bisa begituan," Ricko berdiri di balkon tempat awal ia sadar setelah pingsan. Angin mengalir lancar menggerakkan anak rambutnya yang memanjang.
Seminggu ini ia sudah dilatih Paleo untuk bertarung, dilatih Lio untuk menyembuhkan diri sendiri. Mereka berdua bilang jika itu akan berguna baginya kalau ia terpaksa berperang dengan Growl.
Omong-omong Growl, Lio sempat bercerita jika mahkluk itulah yang sudah membuat Iridos menjadi kacau. Mahkluk itu merusak segalanya, termasuk pemandangan yang sedang diamati oleh Ricko sekarang. Semua yang dilihat oleh kedua mata Ricko hanyalah kehancuran. Semuanya berantakan, seperti rumah-rumahan dari lego yang dirobohkan kemudian disusun ulang.
Tapi ini bukan lego, ini kota.
"Utusan!" Suara cempreng menginterupsi pemikiran Ricko tentang senjata. Ia sontak menoleh.
Ricko tersenyum kecil. Laksana lampu yang mati lantas dihidupkan, sejak terdampar di negeri yang ia tak tau rimbanya ini, Ricko berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih menghargai orang lain, lebih menghargai waktunya juga lebih menghargai hidupnya. Ya, ketimbang hanya bermain game saja.
"Ada apa, Li?"
Lio menggeleng. Ia berlari menghampiri Ricko, telunjuknya terarah tepat kepadanya. "Tidak ada. Sudah menemukan ide tentang senja...,"
"Lio, aku tau?!! Aku tau senjatanya!" Ricko tak sengaja memotong ucapan Lio, seperti lagu yang diputar lantas dimatikan tiba-tiba, gadis ceria itu langsung diam.
"Aku tau senjata yang pas!"
Skip
Seminggu dihabiskan Ricko merakit pistol dengan cara yang ia cari tutorialnya di Youtube. Ia berusaha mempersiapkan semuanya dengan sungguh-sungguh.
Ia mengajari Radevo, Paleo dan Lio cara menggunakan pistol sebisanya. Karena sejujurnya, ia juga belum pernah menggunakan pistol asli.
Hari yang sudah diperhitungkan akhirnya datang, Radevo memberanikan diri datang ke rumah Growl. Membawa tubuh gemetar itu masuk ke dalam tempat-tempat gelap kepunyaan Growl.
Pertarungan tak terhindarkan, pertumpahan darah menjadi lumrah. Pistol rakitan itu berguna sesuai ekspektasi. Seakan Radevo mampu meramal gerakan para Growl kehausan darah itu. Sehingga tak ada satupun Growl yang mampu mencapai tubuh sang pangeran.
"Wow! Senjata ini benar-benar mematikan!" Kedua tangan Radevo yang bergerak kesana-kemari, berputar sesekali. Ia sepertinya menikmati pertarungan ini.
Satu, dua, tiga, empat, lima...
Tak terhitung sudah berapa Growl yang sudah ia tikam dengan timah panas buatan Ricko. Hingga sang matahari akhirnya tumbang, lelah menyaksikan darah berceceran di tanah buminya.
"RAJA!!!"
"Raja kita selamat!"
"Raja kita sudah kembali!!!"
Suara orang-orang bermunculan, mereka berkerumun, meluber ke jalanan setelah sekian lama mendekam di dalam rumah karena ketakutan.
Radevo hanya tersenyum, ia malu. Belum pernah ia mendapat apresiasi sebesar ini. Ia berjalan melewati rakyatnya, sampai akhirnya ia memasuki area kerajaan.
"Selamat datang, Raja Radevo!" sambutan Paleo yang menggelegar membuat Radevo semakin mati gaya. Di sebelahnya, Ricko hanya tersenyum. Senang, bangga dan haru terbit dalam dirinya. Di sebelahnya lagi ada Lio, mungkin begitulah ekspresi orang yang biasanya cerewet dan ramai. Kini, saking senangnya, ia hanya bisa tersenyum lebar tanpa memberikan sepatah teriakan seperti biasanya.
Radevo menunduk, "Terima kasih," ia telah sampai tepat di depan orang-orang yang menyambutnya.
Tiba-tiba ekspresinya berubah. Seperti teringat akan sesuatu. Kemudian, tanpa tedeng aling-aling ia menyerahkan sesuatu pada Ricko, membuka tangan kanan Ricko dengan tangannya.
"Ini!" Tanpa diduga-duga, ternyata Radevo menyerahkan arloji. Arloji hadiah dari kakeknya!
Tuk, tuk, tuk
Bzzz!
"Hey Rick! Emang anak nakal, ditinggal sebentar udah tidur kamu?!" Lagi-lagi suara menginterupsi ketenangan sesaat Ricko.
Matanya mengerjap-ngerjap, cahaya merasuk ke dalam matanya tanpa ampun. Sepertinya ia tidak lagi di ruangan luas itu. Ia kembali ke ruang BP.
Ricko memaksakan kedua matanya untuk terbuka. Dengan arloji yang masih bertengger di tangannya, ia dipaksa ke kamar mandi untuk cuci muka. Waktu lima menit di depan cermin toilet ia habis dengan bergumam,
"Dari mana aja gue? Terus suara 'tuk tuk tuk' itu apa?"
_________________________________________
Assalamualaikum hai semua siapapun yang baca Utusan:)
Ini aku ngetiknya sambil ngantuk-ngantuk plus ngafalin rumus-rumus(¬_¬)
Jadii, di Utusan ini aku dapet inspo tokoh Ricko sama Radevo dari temen baruku>_<
Mereka menginspirasiku banget ehehe:v
Terus nama Kerajaan Iridos dan keterangan baju yang dipakai disini itu aku dapet inspo dari lagu Iridescent nya Linkin Park. Dan keseluruhan ceritanya terinspirasi dari beberapa buku yang pernah dibaca wkekek:'v
Semoga ga bosen baca 2000an word ini ya gaess, maaf gak sempurna,
Karena kesempurnaan hanya milik guru BP -Ricko
Assalamualaikum, c u sun💜
Kamis, 25 Oktober 2018 | 8.20 PM
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro