Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Modus #8: Mencari Sekutu

Tips #8:
Nggak ada salahnya bikin rumor lo dan gebetan lagi dekat. Mana tau rumor itu bisa jadi doa, juga semacam isyarat agar yang lain nggak deketin doi. Tapi ingat, jangan sampai gebetan lo tau kalo rumor itu berasal dari lo aja.
***

Ini harus berhasil, tekad Joya.

Hari ini Joya akan memulai rencananya. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah mencari sekutu. Calonnya sudah jelas, Ghazi Airlangga. Namun kali ini tentu saja tidak bisa memaksa Ghazi dengan ancaman buku diari. Harus ada suatu penawaran yang membuat cowok itu tertarik. Joya sudah memikirkan penawarannya itu semalaman.

Ketika melihat Ghazi lewat di depan kelasnya, Joya mencegat.

"Apaan, sih, lo? Pagi-pagi bikin orang jantungan aja!" omel Ghazi dengan mata melotot. Untung ia tidak punya riwayat penyakit jantung. Kalau ada dijamin pagi ini Ghazi akan 'lewat'.

"Gitu aja kaget lo!"

"Ya kagetlah. Gue kira tadi tuyul yang muncul."

Joya menggembungkan pipi, mengkal dibilang tuyul. Mentang-mentang tuh cowok badannya tinggi, seenaknya aja meledek orang. Tapi, Joya tidak ingin membalas. Ada misi penting yang harus ia selesaikan. Berdebat dengan Ghazi hanya akan merugikan dirinya.

"Oke, terserah lo mau bilang gue apa. Tuyul kek, kuntilanak kek, atau jenglot sekalian, terserah. Kali ini gue maafin."

Kening Ghazi mengerut. Tidak seperti biasanya Joya bersikap seperti ini. Mendadak Ghazi merasa merinding. Joya bersikap baik seperti ini malah menakutkan. Ghazi mencubit lengannya keras-keras. Berharap ini mimpi dan ia segera bangun.

"Aw!" pekik Ghazi saat merasa sengatan di lengannya. Ternyata ini bukan mimpi.

"Ngapain, sih, lo?" tanya Joya heran.

"Cuma ngecek, ini mimpi atau bukan."

"Kurang kerjaan lo!"

"Habis lo tiba-tiba bersikap baik gitu, bikin gue ngeri tau. Merinding, nih." Ghazi menunjukkan lengannya. Bulu tangannya berdiri.

"Tenang, kali ini gue lagi jinak. Nggak bakal ngapa-ngapain. Gue cuma mau bikin penawaran buat lo."

"Apaan? Pasti ini tentang Gailan lagi, kan?"

Joya mengangguk. "Lo kan tau gue udah cinta mati sama abang lo."

Ghazi memutar matanya. Geli sendiri mendengar ucapan Joya barusan. "Ya udah, mati aja lo sana. Biar hidup gue tenang."

Joya memukul lengan Ghazi keras, membuat cowok itu mengaduh. "Apaan, sih, lo? Main pukul orang sembarangan!"

"Soalnya gue kesel. Dari tadi gue ngomong serius, lo malah gitu responsnya."

"Oke-oke. Gue serius, nih. Emang lo mau bikin penawaran apa? Jangan macem-macem. Soalnya gue masih mau hidup tenang."

Kali ini Joya tersenyum lebar. Memperlihatkan gigi kelincinya. "Tenang aja. Penawaran gue kali ini bakal nguntungin lo juga, kok. Meski lo ngeselin, lo tetap aja calon adik ipar gue. Jadi, sebagai kakak ipar yang baik, gue juga ingin memberikan kebahagiaan buat lo. Ya, anggap aja ini semacam simbiosis mutualisme."

"Bahasa lo lagi. Kayak ngerti aja simbiosis mutualisme," cela Ghazi.

Joya mengibaskan tangannya. Memilih untuk mengabaikan celaan Ghazi barusan. Penawaran ini lebih penting untuk dibahas karena menyangkut masa depannya.

"Eh, ini bentar lagi bel. Buruan bilang penawaran lo itu."

"Nunduk sini. Biar gue bisikin," pinta Joya sambil menarik tangan Ghazi agar cowok itu sedikit merunduk.

"Rempong banget, sih? Bilang aja langsung."

Joya mendelik. "Gue sih nggak masalah orang lain tau. Bagus malah. Dengan begitu gue punya kesempatan makin besar buat dapetin Gailan. Tapi, lo gimana? Gue nggak bisa jamin hidup lo tenang kalo orang-orang pada tau ini."

Sial! umpat Ghazi. Joya selalu tahu cara menaklukkannya.

"Oke-oke," kata Ghazi akhirnya sambil menundukkan kepala hingga kini telinganya sejajar dengan bibir Joya. Kemudian cewek itu membisikkan penawarannya.

Mata Ghazi melotot. Cowok itu langsung menegakkan punggung dan mundur selangkah. "Gila lo! Gue nggak mau. Lo aja lakuin itu sendiri."

Joya melipat tangan di depan dada, lalu berkata, "Yakin lo nggak mau? Ini kesempatan bagus buat lo dan gue. Kita bisa dapatkan apa yang kita mau."

Ghazi terdiam sesaat. Namun, beberapa detik kemudian cowok itu menggeleng. "Gue nggak mau."

Joya menghela napas. "Lo pikirin aja dulu. Gue kasih waktu sampai pulang sekolah. Gue cuma mau bilang, mungkin kesempatan ini hanya datang sekali. Lo pertimbangkan baik-baik. Jangan sampai nanti lo nyesel karena nolak penawaran gue ini."

Joya maju selangkah. Menepuk bahu Ghazi sebanyak tiga kali. Kemudian berbisik, "Gue tau lo masih suka dia. Ingat, cinta butuh diperjuangkan."

Setelah mengatakan itu, Joya berbalik dan pergi meninggalkan Ghazi. Sementara cowok masih diam di tempat, memikirkan perkataan yang barusan Joya ucapkan.

Cinta butuh diperjuangkan. Kali ini, haruskah ia kembali berjuang?

***

Ghazi masuk kelas dengan pikiran tidak sepenuhnya sadar. Ternyata kata-kata terakhir yang diucapkan Joya mengambil alih sebagian pikirannya. Cowok itu baru tersentak ketika Dimas menampol dahinya.

"Apaan, sih, lo?" kata Ghazi keki. Ini masih pagi, tapi dirinya sudah beberapa kali jadi korban penganiayaan.

"Lo yang kenapa? Dari tadi gue panggil diem aja. Kayak ayam sakit yang bentar lagi mau dead!"

Ghazi menyentil bibir Dimas dan berkata, "Jahat amat omongan lo."

"Bukan jahat, gue ngomong apa adanya aja. By the way, pagi-pagi udah pacaran aja lo. Pakai mesra-mesraan lagi."

"Apaan, sih? Siapa yang pacaran emang?"

"Dasar kura-kura dalam perahu! Udah jelas ketangkep basah, masih aja ngeles. Jujur aja, lo pasti ada apa-apanya dengan cewek kelas sepuluh satu itu, kan? Nggak usah bohong!"

"Joya maksud lo?"

"Oooh ... jadi namanya Joya. Udah berapa lama pacaran?"

Ghazi menjitak kepala Dimas. "Udah gue bilang, kami nggak pacaran!"

Dimas meringis sambil mengusap kepalanya yang jadi korban aniaya Ghazi. Lalu, "Mesra gitu masih lo bilang nggak pacaran? Astaga, Zi, gue benar-benar nggak nyangka. Gue pikir lo itu polos. Tapi ternyata ...." Dimas menggantung ucapannya. Kini cowok itu malah geleng-geleng sambil mendecakkan lidah, membuat Ghazi jadi keki.

"Gue minta hentikan semua pikiran jorok lo tentang gue!" pinta Ghazi.

Dimas tertawa. "Jorok? Emangnya gue mikirin lo apaan, hm? Sok tau lo!"

Ghazi mencebikkan bibirnya. Malas meladenin Dimas.

"Cieee ... ngambek!"

"Sekali lagi lo ngomong, gue tendang lo dari sini," ancam Ghazi.

"Ah tendangan lo mah gue nggak takut. Kalo tendangan abang lo, baru deh! Secara dia anak taekwondo. Lo mah nggak ada apa-apanya."

"Terserah lo, deh! Ngomong sama lo sama kayak ngomong sama cabe-cabean. Bikin hati pedes!"

Setelah mengatakan itu, Ghazi memilih mengeluarkan buku paket Kimia. Daripada mendengar ocehan Dimas, mending ia baca materi yang nanti akan dipelajari. Lebih berfaedah.

Namun, baru saja Ghazi membuka buku paket Kimia, Hazel lewat di depannya. Cewek itu tersenyum manis dan menyapa, "Selamat pagi, Zi."

Ghazi hanya merespons Hazel dengan anggukan kaku yang singkat, lalu kembali menunduk untuk membaca buku Kimia. Tapi, tak satu kata pun yang berhasil Ghazi baca. Kata-kata Joya tadi kembali mengusiknya. Diputar berulang-ulang, seolah seseorang menekan tombol rewind terus-menerus.

Ghazi mengangkat kepalanya, dan mengintip Hazel. Cewek itu sedang duduk di bangkunya, mengutak-atik ponsel. Benarkah ia masih mempunyai kesempatan untuk meraih Hazel? Haruskah ia menerima penawaran Joya dan memperjuangkan cintanya lagi?

Ghazi meremas rambutnya. Merasa dilema. Setengah hatinya berkata penawaran Joya adalah hal paling gila. Tapi, setengahnya lagi berharap ia masih bisa mendapatkan cinta pertamanya.

***

Hai jumpa lagi dengan Joya dan Ghazi. Semoga masih setia menunggu, ya. Jangan lupa voment-nya. Oke?

Sampai jumpa Kamis depan.

Bubay

K. Agusta

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro