Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Modus #6: Cinta Pertama Ghazi

Tips #6:

Cari alasan agar lo bisa pulang bareng dengan si doi. Setidaknya lo bisa ngirim sinyal ke dia kalo rumah lo bisa jadi tujuannya tiap malam Minggu.

***

Namanya Alfhazel Zahra, dan Ghazi tidak akan pernah melupakannya.

Kata orang cinta pertama selalu mempunyai tempat spesial di hati, meski tidak berakhir bahagia. Biarpun setelah itu masih ada banyak episode-episode cinta yang lain, cinta pertama tidak akan lekang oleh waktu. Cinta itu akan selalu dikenang sampai kapan pun.

Dan bagi Ghazi Airlangga, cinta pertamanya adalah cewek yang memiliki rambut panjang pirang bernama Alfhazel Zahra.

"Kalian udah saling kenal, ya?"

Ghazi menoleh saat Dimas berbisik kepadanya di sela menyalin materi pelajaran dari papan tulis ke buku catatan. Satu alis Ghazi terangkat, tidak mengerti arah pertanyaan teman sebangkunya itu.

"Tuh anak baru. Dari tadi ngeliat lo mulu."

Ghazi memajukan tubuhnya sedikit, lalu menoleh ke arah kanan. Saat itulah pandangannya bertemu dengan sepasang mata bulat jernih yang mengundang desiran di hatinya. Pemilik mata itu menarik sudut-sudut bibirnya.

"Atau dia naksir lo?"

"Berisik lo!" ketus Ghazi setelah memutuskan kontak mata dengan Hazel. Jantungnya juga ikut berpacu tepat. Setahun lebih sudah berlalu dan efek yang diberikan cewek itu terhadap Ghazi masih sama. Ghazi menutup buku catatan kimia miliknya, lalu mengipasi wajahnya yang mendadak terasa panas.

"Gila! Udah kayak sinetron aja. Jatuh cinta pada pandangan pertama." Dimas berdecak kagum.

"Korban sinetron lo!"

Dimas tersenyum lebar dan itu terlihat konyol.

"Udah, ah! Ntar kena semprot Bu Ira baru tau rasa."

Ghazi membuka kembali buku catatannya, dan menyalin rumus persamaan kimia di papan tulis. Namun, kali ini pikirannya dipenuhi hal lain.

Sepertinya dia naksir lo. Kata-kata Dimas itu masih bergema di kepala Ghazi, memberi efek sengatan tidak menyenangkan di hatinya. Sebab Ghazi tahu, seberapa besar pun ia ingin dan berharap, ucapan Dimas itu mustahil jadi kenyataan.

***

Dua tahun lalu, di suatu malam di bulan Februari.

"Jadi coklat ini untu-"

Ghazi buru-buru membekap mulut Gailan. Dasar Gailan rese. Ngapain, sih, dia musti bicara dengan suara menggelegar seperti itu? Kalau kedua orang tua mereka dengar, bisa-bisa Ghazi diintrogasi semalaman suntuk.

"Rese amat sih, lo!" protes Ghazi sambil mendelik tajam. Lalu ...

"Yack!" Ghazi melepaskan bekapan pada mulut Gailan dan mengelap telapak tangannya yang basah karena ludah Gailan dengan selimut. "Dasar jorok!" protesnya.

Ternyata untuk melepaskan diri, Gailan menjilati telapak tangan Ghazi. "Daripada gue mati kehabisan napas," kata Gailan dengan cengiran lebar.

Ghazi mengambil coklat yang sudah ia hias dengan pita warna merah muda, dan menyimpannya di laci meja.

"Untuk Hazel?" tanya Gailan yang ternyata mengekori langkah Ghazi.

"Emang ada cewek lain?"

"Kayaknya, nggak."

"Udah tau masih aja nanya."

Ghazi merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Lalu memeluk Didi. Gailan geleng-geleng melihat Ghazi yang belum bisa lepas dari boneka beruang buluk dan bau iler itu. Padahal Ghazi bukan bocah lagi. Ghazi sudah remaja. Terbukti sudah mengenal ketertarikan terhadap lawan jenis.

"Jangan terlalu serius. Hazel tuh cuma cinta monyet lo!"

Ghazi mendengkus. Ia tidak pernah setuju dengan istilah cinta monyet itu. Alasannya sederhana. Pertama, menurut Ghazi monyet tidak pernah mengenal apa itu cinta. Kedua, dirinya sama sekali bukan monyet. Terserah dengan teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi. Ghazi tidak pernah mau dirinya disama-samakan dengan hewan primata tersebut.

"Lo kali yang monyet. Gue mah ogah disamain dengan monyet!" ketus Ghazi.

Tidak terima dikatai monyet, Gailan langsung menjatuhkan diri di samping Ghazi dan mengepit kepala adiknya itu di bawah ketiak. Ghazi memberontak, melepaskan diri dari kuncian Gailan. Kedua saudara itu bergelut sampai akhirnya mereka berhenti dengan napas tersengal-sengal.

"Hazel pasti klepek-klepek terima coklat dari lo," kata Gailan setelah napasnya kembali normal.

Ghazi menatap langit kamarnya dan tersenyum. Dalam hati mengamini ucapan Gailan tadi.

Namun, takdir sering kali berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ekspektasi tidak seindah kenyataan. Coklat yang sudah Ghazi hias dengan pita merah muda--juga perasaan cinta--itu tidak pernah diterima Hazel. Di hari kasih sayang itu, Ghazi malah menerima satu kenyataan buruk.

"Gue suka Gailan, bukan lo."

Kalimat itulah yang diucapkan Hazel saat menolak coklat pemberian Ghazi. Kalimat yang sukses membuat hati Ghazi patah jadi dua.

***

"Lama amat, sih!" gerutu Ghazi ketika Gailan muncul di parkiran. "Gue udah lumutan nunggu lo, nih."

Gailan tertawa lalu menjitak kepala adiknya itu. Ghazi mengaduh sambil mengusap-usap kepalanya.

"Lo nggak bakal lumutan. Soalnya lumut udah takut liat muka kecut lo."

"Sialan lo!" maki Ghazi sambil menyepakkan kaki.

"Nggak usah ngomel. Kayak cewek lagi PMS aja lo."

Ghazi mendengkus lalu menyikut perut Gailan. "Rasain lo!" katanya sebelum membuka pintu mobil. Namun, Ghazi tidak jadi masuk karena seseorang tiba-tiba berlari ke arah mereka dan memanggil-manggil nama Gailan.

Cewek cebol berambut hitam sebahu itu membungkukkan badan setelah sampai di dekat Gailan. Tangannya di pinggang, berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Syukurlah Kak Gailan belum pulang," kata Joya setelah napasnya kembali normal.

Kening Gailan mengerut, membuat alis tebalnya menyatu. "Emangnya kenapa, Joy?"

"Begini ... aku mau numpang mobil Kakak sampai ke halte."

"Motor lo ke mana emang?"

"Bannya bocor, Kak. Makanya nggak aku bawa."

Alasan basi! kata Ghazi dalam hati saat mendengar percakapan Gailan dan Joya. Ghazi tahu ini hanya akal-akalan Joya saja. Soalnya tadi saat istirahat cewek itu sudah memberitahu Ghazi akan pulang bareng Gailan. Ghazi pikir Joya hanya bercanda. Ternyata cewek itu selalu sungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Rumah lo emang di mana?"

Joya dengan semangat menyebutkan alamat rumahnya dengan selengkap-lengkapnya. Saking semangatnya Joya juga menyebutkan warna dinding rumahnya dan jenis bunga yang tumbuh di teras rumah.

Gailan lalu menoleh kepada Ghazi yang masih berdiri dengan pintu mobil terbuka. "Kita anter Joya dulu gimana?" tanya Gailan.

Sebenarnya Ghazi mau menolaknya. Tapi, saat Joya melotot padanya, Ghazi akhirnya mengedikkan bahu dan berkata, "Terserah lo. Kan lo yang nyupir."

"Ayo, Joy!"

Joya tersenyum lebar, lalu baru-buru mendekat dan meraih tangan Gailan. "Makasih, ya, Kak," katanya.

Ghazi memutar bola matanya. Geli melihat Joya yang curi-curi kesempatan.

"Ya udah, ayo naik!"

Gailan membukakan pintu penumpang, mempersilakan Joya untuk naik. Tapi, belum sempat Joya naik, seseorang menyalip dan duduk lebih dulu di dalam mobil. Joya, Ghazi dan Gailan, terkejut dengan kehadiran sosok itu yang muncul secara tiba-tiba.

"Aku juga numpang ya, Kak Ilan. Masih ingat, kan, di mana rumahku?" kata Hazel dengan senyum di bibir tipisnya.

***

Hai semua. Gue kembali lagi. Semoga masih setia sama kisah Ghazi, Joya dan Gailan, ya.

Nah, menurut lo, gimana reaksi Joya saat tau dia punya satu saingan tambahan untuk dapatin cinta Gailan?

Yuk kasih pendapat lo. Mana tahu bisa membantu cerita ini jadi makin greget.

Terakhir gue mau ngucapin terima kasih buat lo yang udah voment MODUS. Sumpah gue senang banget. Maaf kalo ada beberapa yang nggak gue balas. Yang pasti gue baca semua komen lo. Jadi, terus voment ya. ^^

Sampai jumpa Senin depan.

Bubay

K. Agusta

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro