Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Modus #26: Pemilik Didi Sebenarnya

Ghazi melirik Joya yang duduk di sampingnya. Keningnya berkerut, merasa sedikit heran. Saat itu mereka dalam perjalanan menuju rumah Joya. Namun dari tadi, Ghazi perhatikan Joya melamun terus. Sebenarnya Ghazi masih kesal, dan malas berbicara dengan Joya. Tapi, melihat aksi diam Joya, yang tidak seperti biasa, membuat Ghazi tidak bisa menahan lidahnya untuk tidak bertanya.

"Lo lagi kesambet, ya?"

Pertanyaan Ghazi menarik Joya dari lamunan. Cewek itu tersentak, hingga kepalanya membentur kaca jendela. Joya mengaduh sambil mengusap dahinya.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Ghazi khawatir. Tangan kirinya terulur menyentuh dahi Joya, sementara tangan kanannya tetap memegang kemudi.

Sentuhan itu sekali lagi memberikan sengatan bagi Joya. Buru-buru Joya menepis tangan Ghazi dan memundurkan kepalanya hingga menjauh dari jangkau Ghazi. "Gu-gue nggak apa-apa," jawabnya.

Ghazi menarik kembali tangannya, lalu meletakkannya pada kemudi. Ia memerhatikan jalanan, tapi sesekali melirik ke arah Joya. Entah kenapa muncul rasa penasaran dalam diri Ghazi. Ia ingin tahu apa yang saat ini yang Joya pikirkan.

"Lo yakin nggak kenapa-napa?" tanya Ghazi sekali lagi. Kali ini suaranya lembut. Sarat dengan kekhawatiran. "Dari tadi diem mulu gue liat. Biasanya kan lo  suka heboh gitu kalo habis ketemu Ilan."

"Gue nggak apa-apa," kata Joya sekali lagi. Tapi, semakin ia menegaskan itu, entah kenapa Ghazi semakin merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Joya.

"Kenapa sih cewek suka bilang gue nggak kenapa-napa padahal kalian kenapa-napa? Emang susah ya untuk mengakui kalo kalian itu ada masalah?"

"Gue emang nggak kenapa-napa!" sentak Joya, kali ini dengan nada sedikit keras.

Ghazi tentu saja terkejut. Lalu cowok itu mendengkus dan menggeleng-geleng.

"Selama ini gue kira ego cowok itu paling tinggi. Tapi gue salah. Ego cewek ternyata lebih tinggi lagi. Buktinya, ya, ini. Setiap kali ditanya kenapa, jawabannya selalu gue nggak kenapa-napa."

Joya memijit pelipisnya. Saat ini pikirannya sedang penuh. Tapi, kenapa Ghazi bisa jadi secerewet ini? Kenapa cowok itu tidak mendiamkannya saja seperti tadi?

"Kenapa sih lo mendadak cerewet gini? Kembali ke mode silent lo tadi aja deh. Kalo pun gue kenapa-napa itu bukan urusan lo. Lo nggak punya hak apa-apa untuk ikut campur urusan gue seperti ini!" seru Joya tajam.

Sejurus kemudian Joya sadar apa yang ia ucapkan itu keterlaluan. Tidak seharusnya ia berkata seperti itu kepada Ghazi. Joya menatap Ghazi, ia bisa melihat rahang cowok itu mengeras. Joya tahu ucapannya barusan pasti melukai hati Ghazi. Joya menyesal sudah mengatakan kata-kata bernada tajam tersebut.

"Oke. Gue emang nggak punya hak."

Setelah mengatakan itu Ghazi tak bersuara lagi. Ia hanya melajukan mobil semakin cepat, sebagai pelampiasan rasa marah yang memenuhi dadanya.

Dasar bodoh! Kenapa  juga lo musti peduli sama cewek rese di samping lo itu? maki Ghazi kepada dirinya sendiri.

***

"Anak Ayah jangan nangis lagi, ya. Sebagai gantinya Ayah akan ajak kamu ke pasar malam. Dipta mau?"

Gadis kecil itu menghapus air mata di pipinya. Lalu menatap sang ayah dan berkata, "Ayah nggak bohong, kan?"

Sang ayah tersenyum lebar, mengusap rambut anak manisnya yang kini terpangkas terlalu pendek mirip laki-laki. Rambut inilah yang jadi penyebab gadis kecilnya menangis dari tadi. Memang ini kesalahannya. Seandainya saja ia tidak memotong rambut putrinya, dan memilih membawa putrinya ke salon potong rambut langganan mereka, pasti hasilnya tidak akan seperti ini. Tapi, semua sudah terjadi.

"Ini sebagai permintaan maaf Ayah karena sudah merusak rambut Dipta. Maaf, ya," kata Ayah tulus sambil mengulurkan jari kelingkingnya.

Gadis kecil yang dipanggil Dipta itu menatap ayahnya. Ia bisa merasakan kesungguhan dalam kata-kata ayahnya. Ayah pasti tidak sengaja memotong rambutnya seperti ini. Pada akhirnya, gadis itu berusaha menarik sudut-sudut bibirnya, dan mengaitkan kelingkingnya pada kelingking sang ayah.

"Maaf diterima," kata Dipta.

Ayah tersenyum lebar, lalu menyubit pipi anaknya dengan gemas. "Senyum ini yang membuat anak Ayah selalu cantik."

Malam itu Ayah menepati janjinya mengajak Dipta ke pasar malam. Dipta senang sekali, hingga ia lupa rasa sedih akibat rambutnya yang mirip laki-laki. Dipta sudah tidak peduli lagi dengan rambutnya. Toh, beberapa minggu lagi rambutnya akan tumbuh dan tidak akan mirip laki-laki lagi. Ia hanya butuh bersabar untuk itu.

Ayah mengajak Dipta menyoba berbagai wahana. Semuanya terasa menyenangkan. Tapi, wahana paling favorit bagi Dipta adalah bianglala. Dipta suka naik bianglala karena ia bisa melihat keindahan kota di malam hari dengan cahaya lampunya yang tampak seperti cahaya kunang-kunang. Dipta suka cahaya kunang-kunang.

Dipta merasa malam ini adalah malam paling spesial dalam hidupnya. Belum pernah ia merasa sesenang ini. Hatinya sungguh sangat gembira.

Setelah puas mencoba berbagai wahana. Ayah mengajak Dipta untuk mencari jajanan. Dipta melompat-lompat gembira sambil bersorak-sorak. Ayahnya memang yang paling terbaik di dunia.

Ketika Ayah sedang membeli arum manis, Dipta melihat bocah laki-laki yang menangis terisak-isak. Entah kenapa melihat bocah itu menangis, membuat Dipta merasa sedih. Dipta heran, kenapa di tempat semeriah ini ada anak kecil yang menangis tersedu-sedu. Akhirnya, Dipta melangkahkan kaki mendekati bocah laki-laki itu.

"Kamu kenapa?" tanya Dipta.

Bocah laki-laki itu menatap Dipta, lalu mengusap ingusnya. "Mama," kata bocah laki-laki itu di sela isak tangis.

Dipta pun paham. Bocah laki-laki itu terpisah dari mamanya. Tak tega melihat bocah laki-laki itu terus menangis, Dipta pun mengatakan akan meminta bantuan ayahnya untuk mencari mama bocah laki-laki tersebut. Dipta menyerahkan Didi, boneka beruang miliknya yang baru saja dibelikan ayah, dan meminta bocah itu untuk tetap diam di sana. Lalu Diptaa berlari ke arah ayahnya. Ia sempat menoleh ke belakang, melihat bocah laki-laki itu memeluk Didi dengan erat, dan sudah tidak menangis lagi.

"Kenapa lari-lari?" tanya Ayah saat Dipta terengah-engah.

Dipta mengatur napasnya. Lalu berkata, "Di sana ada anak kehilangan mamanya. Kita bantu cari mamanya, ya, Yah," pinta Dipta sambil menunjuk ke arah bocah laki-laki itu dimintanya menunggu.

Ayah menoleh ke arah yang ditunjuk Dipta. Lalu ia menatap Dipta kembali. "Anak yang mana? Nggak ada anak kecil di sana," kata Ayah.

Dipta melihat ke arah yang ia tunjuk. Ayah benar. Bocah laki-laki itu tidak ada lagi di sana. Dia sudah menghilang.

"Boneka  beruang kamu mana?" tanya Ayah kemudian.

Dipta menatap Ayah, lalu menggeleng.

"Aduh, Dipta. Kan itu baru ayah beliin. Kok bisa hilang?"

Dipta menunduk, tak  bisa menjawab kata-kata Ayah. Ayah pun menghela napas panjang, dan mengajak Dipta untuk pulang.

Sebelum pergi, Dipta menoleh sekali lagi ke arah tempat bocah laki-laki itu menghilang bersama Didi.

***

Dipta. Satu nama yang sudah lama tidak Joya dengar. Selama ini hanya satu orang yang pernah Joya dengar menyebut nama Dipta, yaitu ayahnya. Dipta adalah panggilan kesayangan Ayah untuk dirinya.

Joya memejamkan mata. Kenangan sembilan tahun lalu kembali memenuhi kepalanya. Mengingatnya kembali membuat kepala Joya sedikit pusing. Juga jantungnya berdetak tak wajar. Joya menghela napas panjang.

Joya memang tahu Ghazi punya boneka kesayangan berbentuk beruang. Tapi, ia tidak pernah menyangka bahwa boneka itu adalah Didi, boneka beruang miliknya. Rasanya mustahil sekali. Sebab di dunia ini ada bermiliyar boneka beruang. Kenyataan bahwa boneka beruang kesayangan Ghazi adalah boneka miliknya adalah sesuatu yang ... Joya pun sulit memilih kata yang pas untuk mengatakannya.

Joya menghela napas sekali lagi. Lalu, kata-kata terakhir Gailan memenuhi kepala Joya.

Ghazi masih mencari pemilik Didi yang sebenarnya.

Joya menggeleng-geleng. Berusaha mengenyahkan suara Gailan dari kepalanya. Joya membuka matanya, menatap langit-langit kamar. Lalu, ia pun bertekad, tidak akan memberitahu Ghazi kalau pemilik Didi sebenarnya adalah dirinya. Ya, Ghazi tidak perlu tahu hal itu. Biarlah ini menjadi rahasianya. Toh, yang Ghazi tahu pemilik Didi adalah bocah laki-laki. Bukan seorang anak perempuan.

Joya memejamkan mata kembali. Tapi sejurus kemudian ia mengerang sambil memegang dadanya dengan kedua tangan.

Entah kenapa kenyataan Ghazi terus menjaga Didi sampai detik ini membuat dadanya berdebar-debar tak keruan.

***

Halo semua. Aku kembali untuk memenuhi janjiku, double update hari ini. Semoga kalian semua senang, yaaaa ...

Oke, aku mau ngucapin terima kasih karena kalian sangat antusias sama cerita yang aku tulis ini. Sungguh, rasanya membahagiakan sekali. Kalian seperti suntikan semangat untuk aku terus menulis, dan tidak ingin mengakhiri kisah ini. Tapi apalah daya. Setiap kisah harus diakhiri. Jadi, kisah ini juga akan berakhir.

Tapi jangan sedih dulu. Karena masih ada beberapa part lagi sebelum kisah ini benar-benar tamat. Dan semoga endingnya sesuai dengan kalian harapkan. Semua tokoh berhasil menemukan kebahagiaan versi mereka masing-masing. Jadi, sebagai author aku tidak bakal punya rasa bersalah dan penyesalan.

Oke, untuk kali ini cukup sekian. Sampai jumpa pada kesempatan berikutnya.

Bubay!

K. Agusta

Ps: Oh iya aku punya tantangan lagi nih. Hari Senin depan aku bakal double up lagi kalo komentar di part ini sampai di angka 2018. Batas waktunya cukup panjang lho. Sampai Minggu malam.

Seperti biasa, tantangan ini jangan dianggap serius ya. Dibawa santai aja. Nggak ada unsur paksaan. Hihihi ... 😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro