Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Modus #19: Untung Ada Sabuk Pengaman

"Happy banget kayaknya," celetuk Ghazi sambil duduk di bangku, tepat di sebelah Joya.

Saat itu jam istirahat. Joya mengirim pesan kepada Ghazi untuk ketemuan di taman belakang lab sains. Penting katanya.

"So, hal penting apa yang bikin lo maksa gue ke sini?"

Bukannya menjawab, Joya malah mengomentari hal lain. "Taman ini lama-lama jadi markas rahasia kita, ya. Habisnya di sini sepi. Jadi nggak bakal ada yang curi-dengar hal yang kita obrolin."

"Jadi ini hal penting itu?"

Joya menoleh kepada Ghazi, lalu, "Ya nggaklah dodol!"

"Trus apa?"

"Lo itu emang, ya. Nggak boleh liat gue senang dikit aja. Gue pecat jadi adik ipar gue baru tau rasa. Ntar kalo lo ngemis-ngemis, nggak bakal sudi gue anggap lo adik ipar gue lagi."

Ghazi menatap Joya dengan satu alis terangkat. Ekpresinya benar-benar jijik. "Boleh gue muntah?"

Joya mengesah. Lalu ia memperbaiki posisi duduknya. "Tadinya gue mau balikin diari lo, tapi ...."

Ekpresi Ghazi langsung berubah saat Joya menyebut kata diari. Ekpresi jijik itu berganti dengan senyum lebar. Matanya menatap Joya penuh harap.

"Kakak Ipar cantik banget hari ini," kata Ghazi dengan nada dimanis-maniskan. Kalau bukan demi diari, Ghazi ogah bersikap seperti ini. Apalagi harus memanggil Joya dengan sebutan 'Kakak Ipar'. Mendengarnya saja perut Ghazi sudah mual.

"Basi. Gue juga tahu kalo gue itu cantik, imut, manis, menggemaskan," kata Joya sambil membusungkan dada.

Ghazi memutar bola matanya. "Udah, ah!" seru Ghazi. "Gue emang nggak bakat muji-muji lo. Ya udah sini balikin diari gue," tambahnya kemudian, kembali ke sifat aslinya.

"Nggak jadi."

Setelah mengatakan itu Joya berdiri, bermaksud untuk kabur. Tapi, Ghazi sigap. Dicekalnya tangan Joya. Ghazi menarik Joya agar duduk kembali dan mengembalikan diarinya. Tapi, Ghazi ternyata terlalu kuat menarik Joya. Membuat cewek itu limbung lalu menubruk tubuh Ghazi.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Ghazi khawatir. Ia merasa bersalah karena terlalu kuat menarik Joya.

Joya mendongak, lalu pupil matanya membesar saat melihat wajah Ghazi begitu dekat. Joya baru pertama kali melihat Ghazi sedekat ini. Ia baru tahu kalau Ghazi memiliki bekas luka di alis sebelah kanan.

"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Ghazi lagi karena Joya tak kunjung menjawab.

Joya tersentak. Lalu buru-buru berdiri. "Nggak. Gue nggak apa-apa, kok," katanya kemudian. Setelah mengatakan itu Joya berbalik lalu pergi meninggalkan Ghazi.

Ghazi menatap punggung Joya yang menjauh. Dalam hati merasa sangat bersalah karena tadi telah kasar menarik Joya hingga jatuh.

Setelah sampai di kelas Joya duduk di bangkunya. Joya meletakkan kedua tangan di dada. Merasakan jantungnya yang entah kenapa berdetak cepat. Tatapan Ghazi tadi membuatnya berdebar-debar seperti ini.

***

"Lesu amat lo. Kenapa?" tanya Dimas saat Ghazi kembali ke kelasnya.

Ghazi duduk di bangku, lalu menempelkan pipinya di meja. Ia merasa menyesal. Padahal tadi kesempatan untuk mendapatkan diarinya lagi. Tapi semua gagal. Ditambah lagi ia baru saja bertindak kasar pada Joya. Padahal Ghazi tidak bermaksud melakukan itu. Ia hanya ingin Joya mengembalikan diarinya.

"Oh iya tadi gue ketemu Krisan lagi. Dia ...."

Ghazi memalingkan wajah. Ia sama sekali tidak mendengarkan kata-kata Dimas lagi. Kini tatapannya terarah ke bangku Hazel. Tapi bangku itu kosong. Hari ini Hazel tidak masuk sekolah.

Apa dia baik-baik aja? tanyanya dalam hati.

***


Hazel menatap Ghazi. Ia melihat ketulusan dan kejujuran di sana. Meskipun begitu, hatinya sama sekali tidak tersentuh. Ia malah merasa sedih dan bersalah. Sebab sampai kapan pun ia tahu tidak akan pernah bisa membalas perasaan Ghazi.

"Aku nggak mau menyakiti kamu, Zi."

Ghazi menunduk, lalu mengangguk. "Perasaan emang nggak bisa dipaksain, ya."

Hazel menarik napas panjang. "Sepertinya aku kena karma."

Kening Ghazi mengerut. "Apa ini tentang Gailan?"

Hazel tersenyum miris dan mengangguk.

"Semalaman aku nangis. Tidak terima dengan kenyataan ini. Tapi, barusan aku jadi mikir. Ternyata selama ini aku bersikap egois. Aku selalu maksa Gailan buat suka sama aku. Padahal aku tau perasaan suka itu nggak bisa dipaksain. Sama seperti aku yang nggak bisa paksain sendiri perasaan aku buat suka sama kamu."

Lalu keduanya terdiam. Tak lama kemudian terdengar bunyi bel. Ghazi berdiri, bermaksud untuk kembali ke bangkunya. Tapi baru dua langkah Ghazi menoleh ke belakang ketika Hazel memanggilnya.

"Makasih udah suka sama aku selama ini. Maaf kalo aku nggak bisa membalasnya."

Ghazi mengangguk dan tersenyum. "Setidaknya kita impas," jawab Ghazi.

"Ya. Kita impas," kata Hazel membalas senyum Ghazi.

***


"Sampai," kata Gailan. Saat itu mereka sudah sampai di depan rumah Joya.

Hari ini ada jadwal latihan taekwondo. Latihan sampai sore. Akhir-akhir ini durasi latihan memang diperpanjang untuk persiapan turnamen yang akan dilaksanakan sebulan lagi.

Joya menatap Gailan. Hatinya saat ini sedang senang. Sebab Gailan mengantarkannya pulang.

"Mau mampir dulu, Kak?"

Gailan melihat jam. Sudah mau magrib. Lalu ia menggeleng. "Lain kali aja. Udah terlalu sore."

Meski sedikit kecewa karena harus berpisah dengan Gailan, Joya mengangguk maklum.

"Makasih ya, Kak, udah nganterin pulang."

"Sama-sama. Setelah ini mandi lalu istirahat, ya."

Joya menatap mata Gailan. Lalu tatapan itu turun ke bibir Gailan yang tampak ranum seperti jambu air di mata Joya. Bagaimana ya rasanya? bisik Joya.

Kata orang, jatuh cinta membuat seseorang menjadi lebih berani. Mungkin itulah yang mendorong untuk melakukannya. Tiba-tiba Joya memajukan tubuhnya mendekati Gailan. Jarak mereka kini semakin dekat. Wajah mereka udah berhadapan. Joya bisa merasakan hembusan napas Gailan.

Joya memejamkan mata. Bersiap untuk melakukan hal yang ia idam-idamkan. Tapi ....

Joya membuka mata, menggerak-gerakkan tubuhnya. Namun, tubuhnya tidak bisa maju lagi. Ternyata Joya masih memakai sabuk pengaman.

"Kamu mau ngapain?" tanya Gailan dengan suara berbisik. Kening cowok itu mengerut. Bingung dengan tindakan Joya barusan.

Wajah Joya seketika memanas. Saat ini mukanya pasti semerah tomat busuk. Ah, sial. Kenapa ia mengalami momen memalukan ini, sih?

Joya buru-buru melepas sabuk pengaman. Lalu membuka pintu dan turun dari mobil. Saking malunya, Joya tidak berani menoleh ke arah Gailan. Joya langsung pergi begitu saja dan masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sementara Gailan memejamkan mata. Tangan kanannya menyentuh dada. Jantungnya berdetak kecang. Jarak wajah mereka yang terlalu dekat membuat dada Gailan berdebar-debar.

Gailan membuka mata. Lalu ia tersenyum sambil menggeleng-geleng kepalanya. Gailan bersyukur hari ini sabuk pengaman berhasil menyelamatkan mereka untuk tidak melakukan hal yang belum sepantasnya itu.

***

Halo, semua. Akhirnya bisa update lagi. Semoga masih menunggu, ya.

Oke deh. Selamat membaca aja author ucapkan. Semoga dapat menikmati kisah ini.

Sampai jumpa hari Senin.

Bubay

K. Agusta

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro