Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Modus #18: Hati yang Jatuh Cinta

Foto-foto tertempel pada styrofoam berwarna biru pucat yang direkatkan pada dinding. Krisan menatap dan menyentuh foto-foto itu satu per satu, dan bibirnya tersenyum. Foto-foto itu berisi objek yang sama, Ghazi Airlangga, yang diambil secara diam-diam.

Krisan tidak pernah menyangka akhirnya ia punya kesempatan berkenalan secara langsung dengan Ghazi. Keberanian itu muncul karena insiden tabrakan di tangga menuju perpustakaan. Krisan menganggap, mungkin sekarang sudah saatnya ia keluar dari cangkang cinta platoniknya kepada Ghazi.

Krisan tidak akan pernah bisa lupa pertama kali ia menyukai Ghazi.

Saat itu MOS, semua siswa baru dibariskan di lapangan sekolah. Para senior tidak peduli matahari yang bersinar terik. Krisan yang lupa sarapan, mulai merasa pusing karena panas yang menyengat. Ubun-ubunnya seperti disiram timah panas. Keringat mulai membasahi wajahnya.

Tiba-tiba murid laki-laki di hadapannya mundur selangkah. Gerakan itu membuat Krisan mendongak, menatap punggung yang kini melindunginya dari sengatan matahari. Lalu, murid laki-laki itu menoleh ke belakang, dan tersenyum.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya dengan suara berbisik dan hati-hati. Takut diketahui senior sedang berbicara.

Krisan menatap wajah itu, lalu mengangguk.

"Syukurlah," kata murid laki-laki itu lalu kembali menghadap ke depan.

Krisan menatap punggung di hadapannya. Punggung itu basah oleh keringat. Krisan tidak bisa mengalihkan tatapannya dari sosok murid laki-laki tersebut.

Itulah pertama kalinya Krisan tersentuh oleh perbuatan seseorang. Hatinya menghangat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Krisan tahu, murid laki-laki itu sudah membuatnya jatuh hati.

***

Ghazi sungguh tidak mengerti bagaimana kinerja hati dan perasaan seseorang. Bagaimana bisa hati ini merasa sakit hanya karena melihat orang yang disukai murung? Ghazi menghela napas panjang. Mulai tidak tahan dengan sesak yang memilin-milin hatinya karena melihat Hazel termenung dan murung.

Ghazi menutup bukunya, lalu mendorong kursi ke belakang dan berdiri. Ia berjalan mendekati Hazel. Ghazi menarik kursi di sebelah Hazel dan duduk di sana. Hazel sama sekali tidak menyadari kedatangan Ghazi.

Saat itu istirahat. Kelas X.3 sepi. Murid-murid memilih hijrah ke kantin untuk mengisi perut. Mereka butuh energi karena tadi habis terkuras oleh ulangan Fisika. Ghazi sebenarnya mau ikut Dimas ke kantin. Tapi melihat Hazel yang tidak bergerak dari tempat duduknya membuat Ghazi mengurungkan niatnya.

Ghazi memperhatikan wajah Hazel. Hidung cewek itu merah, seperti sedang flu. Kelopak matanya bengkak dan merah.

"Zel," panggil Ghazi, tapi Hazel tidak merespons.

"Hazel," panggil Ghazi sekali lagi, kali ini sambil menyentuh tangan Hazel.

Hazel tersentak dari lamunannya lalu menoleh kepada Ghazi.

"Ngapain kamu di sini?" Itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Hazel.

"Temani kamu," jawab Ghazi.

Hazel menatap Ghazi. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi terkatup lagi. Akhirnya Hazel malah menggeleng dan menarik napas panjang.

"Kalo kamu mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan."

"Kamu nyindir?" Hazel tertawa sinis.

"Bukan nyindir, tapi peduli,"  koreksi Ghazi. "Menangis bukan berarti kamu lemah. Menangis berarti kamu masih punya perasaan. Semua orang pernah menangis. Kalo menangis bisa membuat kamu merasa lebih baik, menangis aja. Nggak usah ditahan-tahan. Nggak usah malu."

"Aku capek nangis," aku Hazel akhirnya.

Ghazi memperbaiki posisi duduknya. Kini ia menghadap Hazel. Lalu, Ghazi berkata, "Kalo kamu capek, bahu aku siap untuk jadi sandaran."

Hazel menatap Ghazi.

"Aku serius," lanjut Ghazi.

Hazel tertawa pelan. "Kenapa kamu masih aja peduli sama orang yang udah terang-terangan nyakitin kamu, sih?"

Ghazi diam sesaat. Tidak langsung menjawab. Sebenarnya pertanyaan itu juga yang sering ia tanyakan. Kenapa ia masih saja peduli pada orang yang menyakitinya? Kenapa ia tidak membenci Hazel saja? Semakin Ghazi memikirkannya, semakin Ghazi mengerti. Jawabannya cuma satu: ia menyukai Hazel dan peduli pada cewek itu.

"Karena aku suka kamu," jawab Ghazi akhirnya.

***

"Boleh aku minta hati Kak Ilan?"

Gailan menggeleng-geleng. Berusaha mengusir pertanyaan yang sejak kemarin memenuhi kepalanya. Entah kenapa pertanyaan itu sulit sekali ia lupakan.

Gailan menghela napas panjang. Memilih berkonsentrasi pada guru yang mengajar. Tapi, hal itu hanya bertahan lima menit saja. Lima menit berikutnya pertanyaan itu kembali mengambil alih pikiran Gailan.

"Lo kenapa sih dari tadi gelisah mulu," tanya teman sebangkunya.

Gailan tersentak lalu menoleh. "Nggak apa-apa," jawab Gailan. Lalu kembali pura-pura menulis. Padahal ia hanya mencoret-coret bukunya dengan tulisan yang tidak jelas.

Nggak apa-apa. Tentu saja jawaban itu bohong. Gailan tahu ada masalah pada dirinya: lebih tepat hatinya. Tidak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia tidak pernah memikirkan ucapan orang lain seperti ini.

Astaga, Gailan! Dia hanya Joya. Cewek yang biasanya dekatin lo. Kenapa lo bisa gelisah seperti ini? bisik Gailan, berusaha menenangkan dirinya. Tapi, ternyata tidak berhasil. Sampai jam pelajaran berakhir, Gailan masih dihantui oleh pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuatnya jantungnya berdetak lebih cepat.

***

"Boleh aku minta hati Kak Ilan?"

Joya tersenyum geli dan menggeleng-geleng mengingat kejadian kemarin. Bagaimana mungkin ia bisa seberani itu? Sungguh kalo dipikir-pikir lagi, pertanyaan itu membuat Joya seperti cewek murahan, cewek yang tidak punya harga diri. Seharusnya ia tidak boleh bersikap agresif dan bertanya seperti itu. Tapi, semua sudah terlanjur terjadi. Kalau boleh jujur, Joya tidak terlalu menyesali sudah mengajukan pertanyaan itu.

Cinta butuh diperjuangkan, prinsip yang terus Joya pegang. Itulah yang ia lakukan kemarin. Ia berjuang untuk mendapatkan hati Gailan. Memang, tindakannya itu memalukan. Tapi, cinta tidak pernah mengenal malu, kan?

"Ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Friska dengan kening berkerut.

Joya menoleh kepada teman sebangkunya. "Gue lagi jatuh cinta," jawab Joya dengan senyum lebar.

***

"Ma-maksud kamu apa?"

"Aku mau hati Kak Ilan buat aku."

Gailan tertawa canggung, sambil mengalihkan wajahnya. Ia tidak mengerti kenapa dadanya bisa berdebar kencang oleh pertanyaan receh seperti itu. Tak ingin kelihatan salah tingkah, Gailan berdeham sejenak, lalu menjawab pertanyaan Joya dengan gurauan.

"Kalo kamu minta hati aku, ntar aku mati, dong!"

Tapi, Joya tidak tertawa. Cewek itu hanya tersenyum dengan mata terus menatap Gailan intens.

"Kak Ilan tau apa yang aku maksud," kata Joya kemudian.

Gailan diam. Tidak menjawab.

"Baiklah. Kak Ilan nggak perlu jawab sekarang. Aku masih bisa menunggu sampai Kak Ilan siap. Terpenting saat ini Kak Ilan udah tahu kalo aku suka Kak Ilan."

***

Halo semua. Ketemu hari Senin lagi. Berarti jadwal MODUS buat menyapa kalian.

Maaf postingannya telat, ya. Tahu sendirilah. Masa ujian. Berarti pekerjaan menumpuk. Bisa nulis kalau ada waktu senggang. Tapi kuharap kalian masih setia menunggu kelanjutan kisah mereka.

Oke segini dulu ya. Jangan lupa vomentnya.

Sampai jumpa lagi.

K. Agusta

PS: Mampir ke akun pribadiku, yuk. Id: kamaLAgusta. Baca cerita Interval. Mana tahu suka. Hehehe :')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro