7.
"Sorry, Ar."
#AberkoKusuma
.
.
.
"Aw, hati-hati, Ar. Sakit!" teriak Abe sambil meringis kesakitan. Sekarang mereka sedang berada di UKS sekolah.
"Kok bisa, sih, Be. Dia hajar lo habis-habisan. Kalau misal tadi nggak ada gue, bisa mati muda lo," tutur Arkhan sambil mengompres bekas luka milik temannya itu.
Di UKS ini tidak ada dokter atau apalah, hanya ada petugas kegiatan ekstrakulikuler yang disebut pembina. Minimnya dana untuk bisa menyewa dokter dan alasan utama bangunan meningkat adalah karena terbatasnya lahan untuk bisa diperluas, sehingga tidak ada cara lain untuk membuat bangunan semakin meninggi.
"Apa lagi kalau bukan kejadian saat di kantin dulu. Gue kan pernah numpahin minumannya, Ar. Lo lupa?"
"Hah? Cuman gara-gara masalah sepele itu? Ya, elah, Be. Kejadian itu udah lama kali."
"Lama lo bilang? Lo lupa, ya, kalau waktu itu lo mempermalukan dia di hadapan semua orang."
"Maksud lo?"
"Iya, lo hajar dia tanpa mau ngalah, padahal dia kakak kelas kita."
"Terus karena dia kakak kelas, kita harus ngalah walaupun ditindas gitu, Be? Kalau gue, sih, nggak mau. Kita di sini sama-sama bayar, kan? Sama-sama makan nasi juga."
"Santai dong. Ngegas amat, Mak Cik. Kek nenek aja lo ceramahin gue," balas Abe sambil tertawa.
"Resek lo! Gue serius malah dibercandain. Pokoknya gue harus bikin perhitungan sama mereka. Biar kejadian ini nggak keulang lagi."
"Jangan dong. Lo mau nyari gara-gara, Ar? Udah ah, nggak usah lebay. Kalau nyelesaiin masalah nggak harus dengan kekerasan, kan? Gue juga bentar lagi baikan."
Benar, apa yang dikatakan Abe barusan tepat. Bukankah Arkhan berjanji pada dirinya sendiri tidak ingin menjadi bahan sorotan di sekolah dan dikenal banyak publik?
Logikanya bila Arkhan membuat perhitungan dengan Harris lagi, si penguasa sekolah ini. Secara otomatis dia semakin dikenal. Buktinya saat peristiwa di kantin beberapa hari yang lalu, banyak orang melihat dirinya dengan tatapan aneh dan berbisik pelan. Seakan berbicara, "Oh, ini yang namanya Arkhan."
"Muka memar gitu lo kata baikan?" tanya Arkhan dengan emosi yang sedikit mereda.
"Iya, Ar. Seriusan gue dah sehat. Lihat, nih!"
Laki-laki bernama Abe tersebut berdiri dari duduknya. Menampilkan otot-otot tanpa tulang ke hadapan Arkhan sambil tertawa lepas seakan tidak pernah ada peristiwa apa pun. Padahal dengan keji, Arkhan tadi melihat sendiri bagaimana laki-laki ini disiksa tanpa ampun. Hal tersebut mengingatkan dirinya dengan sosok Arin. Teman dekat yang pernah ia miliki hingga tewas dengan cara mengenaskan.
Sorry, Ar. Gue bohong ke elo! batin Abe di tengah-tengah kegiaatannya yang berusaha menghibur Arkhan.
***
Setelah mendaftarkan diri mengikuti lomba lari, Adel berjalan sendirian ke arah kelas saat kedua temannya sedang sibuk. Dengan Ifa izin ke toilet dan Atta sedang membereskan peralatan upacara.
Tatapan Adel beralih ke arah mading sekolah, di sana terdapat orang yang sedang berkerumun. Perempuan itu mendekat, mencoba mencari tahu apa yang menarik perhatian begitu banyak orang.
Dengan lihai Adel menerobos masuk, mencari celah di antara orang-orang yang berdesakan. Setelah berhasil membelah kerumunan, tatapannya terkunci dengan tulisan daftar nama-nama yang lolos menjadi anggota OSIS periode tahun 2018. Spontan, Adel melebarkan senyum. Pikirannya langsung ke Atta. Tidak mungkin juga kalau ada nama Adel karena pada waktu itu ia gagal mendaftar, lantaran formulir miliknya tertukar dengan hasil ulangan. Terdengar konyol memang, tetapi itulah kenyataannya.
Jari telunjuk Adel ia gerakkan ke bawah kertas pengumuman yang tertempel di mading. Matanya dengan tajam membaca nama-nama yang ada di sana, ia terus mencari hingga jari telunjuk Adel berhenti di nomor dua puluh lima.
Terpampang jelas bahwa itu nama Atta. Adel mengembuskan napas lega karena sahabatnya diterima lagi menjadi anggota OSIS tahun ini. Namun, tatapan Adel tidak berhenti di situ.
Anak ini? batin Adel saat membaca nama yang berada di bawah Atta. Ia mengikuti garis memanjang ke samping hingga kolom ketiga bertuliskan kelas X IPS-1.
"Dia diterima."
Tepat, dugaan Adel benar bahwa ini adalah nama pemuda yang pertama kali berinteraksi dengannya di lapangan sekolah. Aldiano Arkhan Mahendra.
***
Bel istirahat berbunyi. Abe merentangkan tangannya ke atas, lalu satu tangannya menutupi mulut yang sedikit menguap. Sedangkan, Arkhan masih sibuk merapikan buku ke dalam kolong bawah meja.
Tadi setelah berada di UKS, mereka ketahuan sama Ojak dan menyuruhnya untuk kembali ke kelas, padahal Abe sudah menjelaskan bahwa dirinya sakit dan harus istirahat. Namun, melihat tingkah Abe yang pecicilan, membuat Ojak tidak percaya.
"Nge-vape yuk, Ar! Kecut, nih. Seharian belum ngisep yang manis-manis," ujar Abe sambil berdiri. Merapikan seragam yang hanya ditekuk agar terlihat seperti di masukkan ke dalam celana, takut bila ada guru BP-Ojak-berkeliaran.
Berbeda dengan Arkhan. Lelaki itu masih setia duduk. Merapikan dasi yang sedikit miring. Membersihkan pakaian yang terlihat kotor dan lusuh.
"Bentar."
"Ngapain lagi, Ar? Ya elah nih orang!" omel Abe saat melihat Arkhan malah berjongkok, melepaskan tali sepatu lalu mengikatnya kembali.
"Bacot!" seru Arkhan dengan ekspresi datar sambil berjalan ke luar kelas.
Jika ada nominasi manusia bunglon, maka julukan itu pantas diberikan untuk Arkhan. Pasalnya lelaki yang sekarang menyandang sebagai sahabatnya itu mudah sekali bergonta-ganti mood. Terkadang lembut, di lain sisi juga terlihat garang seperti sekarang.
"Woi, tunggu, Ar!" teriak Abe sambil berlari menyusul Arkhan.
Sepanjang perjalanan menuju kantin, Abe tak henti-hentinya tertawa untuk menggoda Arkhan agar mengembalikan mood temannya. Namun, usahanya sia-sia. Arkhan masih terlihat cuek dan yang lebih parah lagi malah lelaki itu terlihat tak acuh kepadanya.
Mendadak Abe berhenti dari tawa. Tatapan lurus berganti serius yang membut dirinya tiba-tiba saja berbalik, mengajak Arkhan pergi meninggalkan tempat itu.
"Ada apa, Be? Kok wajah lo takut gitu?" tanya Arkhan saat sudah menjauhi tempat tadi.
"Hm ... itu, Ar," ucap Abe gelisah. Sesekali menggigit bibir bagian bawah dengan bola mata yang tidak berani menatap Arkhan.
"Apa?" tanya Arkhan penasaran.
"Itu." Abe menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan kepada Arkhan. "Anu, Ar. Iya, gue lupa belum punya buku buat tugas sejarah besok."
Bohong, ucapan yang keluar dari mulut Abe hanyalah pemanis agar Arkhan merasa tidak curiga. Abe terpaksa harus melakukan ini karena paksaan ayahnya, demi kemajuan keluarganya.
"Ha?"
"Lo punya, Ar?"
"Hm."
"Gue minta tolong ke lo ya. Bantuin gue minjemin buku itu ke perpustakaan. Gue ada urusan sebentar. Thanks, Ar."
Dengan terburu Abe meninggalkan Arkhan yang masih setia mematung menatap kepergiannya.
Maaf banget, Ar, gue belum bisa ngomong jujur ke lo, batin Abe sambil berlari menuju tempat lain saat bertemu dengan sosok itu.
***
Jangan lupa meninggalkan jejak ⭐⭐⭐
9920
AlfinNifla
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro